Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dan keragaman kandungan isinya
Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, yang amat mulia dan agung, adalah 'simbol' bagi tempat tercatatnya segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta ini.
Seperti halnya 'Arsy-Nya, tentunya kitab mulia (Lauh Mahfuzh) juga berada di alam
gaib (bersifat gaib). Berikut ini akan diungkap secara lebih lengkap dan detail,
tentang kitab mulia (Lauh Mahfuzh), juga beserta keragaman kandungan
isinya. Agar umat Islam bisa memiliki pemahaman yang makin tepat
dan proporsional, tentang sifat Maha Mengetahui Allah.
Daftar isi
- Pendahuluan.
- Maha Suci Allah, ada hal-hal yang 'tidak' diketahui-Nya, 'sebelum' terjadinya.
- Berbagai hal umum yang terkait kitab mulia (Lauh Mahfuzh).
- Berbagai sebutan lain bagi kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dan penjelasannya.
- Berbagai kandungan isi kitab mulia (Lauh Mahfuzh), secara lengkap.
- Berragam segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta.
- Pengelompokan umum atas segala kebenaran atau pengetahuan-Nya.
- Kesimpulan.
Pendahuluan
Dalam artikel/posting terdahulu telah diungkap relatif cukup lengkap, bahwa "Allah, 'Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) berada di dalam 'hati-nurani' tiap makhluk" (di alam batiniah ruh, alam pikiran atau alam akhiratnya), dan juga bahwa kitab mulia (Lauh Mahfuzh) disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, hanya sebagai suatu "contoh-perumpamaan simbolik" (bukan suatu kitab yang sebenarnya). Segala kebenaran atau pengetahuan-Nya, yang secara 'simbolik' disebut tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh), pada fakta atau kenyataannya memang tersebar dimana-mana di alam semesta ('berada' atau 'tercatat' di alam semesta, bukan di dalam suatu kitab).
Di lain pihak, umat Islam umumnya telah berpendapat, bahwa sebagian dari segala pengetahuan-Nya yang tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh), berupa qadar, takdir atau ketentuan-Nya bagi tiap makhluk. Namun umat justru sekaligus berpendapat, bahwa takdir-Nya itu sendiri berupa segala keadaan lahiriah dan batiniah pada tiap makhluk, 'tiap saatnya', yang seluruhnya telah diketahui-Nya 'sebelumnya' (bahkan sejak jaman 'azali').
Pendapat pertama tersebut relatif tidak menimbulkan persoalan, namun sebaliknya bagi pendapat keduanya. Karena pendapat kedua ini memang amat meragukan, terutama jika dikaitkan dengan 'kebebasan' dan 'tanggung-jawab' pada makhluk, dalam berkehendak dan berbuat. Padahal segala takdir atau ketentuan-Nya bisa berupa 'keadaan' dan 'aturan'. Lebih luas lagi, padahal segala kebenaran atau pengetahuan-Nya justru memiliki berragam 'sifat', 'bentuk', 'saat perolehan', 'peran makhluk', dsb, yang akan diungkap di bawah.
Segala perdebatan tentang takdir-Nya, bahkan relatif tidak pernah selesai tuntas di kalangan umat Islam, terutama sejak setelah wafatnya nabi Muhammad saw, sampai saat ini. Hal yang serupa, bahkan juga terjadi di kalangan umat pengikut agama-agama lainnya. Beberapa contoh perbedaan pendapat antar agama atau antar umat pengikutnya, tentang takdir-Nya, misalnya bisa dilihat pada predestination (Wikipedia).
Hal yang mengecewakan dari tiap perdebatan atau perbedaan pendapat seperti itu, adalah hampir tidak adanya analisa yang utuh dan mendalam, tentang 'keragaman' segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta ('sifat', 'bentuk', 'saat perolehan', 'peran makhluk', dsb). Tiap pendapat umat Islam umumnya 'hanya' mengacu kepada keterangan dari kitab suci Al-Qur'an, seperti "Allah, Maha Mengetahui segala sesuatu hal", tetapi tidak diperhatikan 'keragaman' segala pengetahuan-Nya. Maka tidak terlalu mengherankan, jika tidak pernah selesai tuntasnya perdebatan tentang takdir-Nya.
Agar umat Islam bisa memperoleh pemahaman yang makin tepat dan proporsional, tentang takdir-Nya, pengetahuan-Nya ataupun sifat Maha Mengetahui Allah, maka dalam artikel/posting sekarang ini, akan diungkap lebih lengkap dan detail, tentang kandungan isi kitab mulia (Lauh Mahfuzh), beserta 'keragaman' kandungan isinya ('sifat', 'bentuk', 'saat perolehan' dan 'peran makhluk', atas pengetahuan-Nya).
Namun sebaliknya, jika umat tidak melakukan pengungkapan seperti ini, atas segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta, bahkan bisa melahirkan pemahaman yang relatif 'fatal', tentang takdir-Nya. Disebut bisa 'fatal', karena pemahaman umat yang 'keliru' tentang takdir-Nya, memang bisa amat mempengaruhi pula segala usahanya dalam berkehendak dan berbuat. Contoh sederhananya, segala keburukan, kebatilan, kekafiran, kehinaan, dsb, justru bisa dianggapnya sebagai 'ketentuan-Nya' yang mustahil bisa ditolak, serta sekaligus dianggapnya sama sekali tanpa 'peran' dan 'tanggung-jawab', dari makhluk yang mengalaminya (segala hal dianggapnya pasti telah diketahui dan ditentukan-Nya).
Suatu fatalisme seperti itu telah dikenal cukup luas, terdapat pada aliran Jabariyah, melalui pemahamannya seperti, "umat manusia tidak memiliki kendali atas perbuatannya, dan seluruhnya didiktekan oleh Allah". Sedangkan pada aliran-golongan-mazhab lainnya di kalangan umat islam, memang tidak menyetujui fatalisme seperti ini. Namun aliran-aliran ini justru juga relatif belum cukup memadai menerangkan, terutama tentang kaitan antara takdir-Nya dan kebebasan makhluk, termasuk tentang sifat Maha Mengetahui dan Maha Menentukan Allah. Padahal tanpa pemahaman yang cukup memadai atas hal-hal ini, justru juga bisa mengarah kepada fatalisme.
Tiap umat Islam mestinya bisa menjawab secara cermat, atas pertanyaan seperti, "apakah nasib ataupun keadaan tiap makhluk, saat sedetik, sejam, setahun atau saat Hari Kiamat 'nantinya', memang benar-benar telah diketahui dan ditentukan-Nya?", "'sebelum' dipilih oleh akal tiap makhluk, apakah pilihan akhir di antara sejumlah pilihan tiap saatnya, memang benar-benar telah diketahui dan ditentukan-Nya?" atau "apakah tiap perbuatan makhluk memang benar-benar perbuatan Allah (diciptakan-Nya, tanpa peran makhluk)?". Maha Suci Allah, semua jawaban atas pertanyaan seperti ini tentunya mestinya "tidak".
Segala qadar, takdir, nasib ataupun keadaan tiap makhluk, memang pasti diketahui dan ditentukan-Nya. Namun umat Islam juga mestinya bisa menjawab secara relatif cukup memadai, "apa hakekat dari qadar atau takdir-Nya?" dan "kapan dan bagaimana cara saat diketahui dan ditentukan-Nya, atas sesuatu hal?". Baca pula Takdir-Nya.
Maha Suci Allah, ada hal-hal yang 'tidak' diketahui-Nya, 'sebelum' terjadinya
Allah memang Maha Mengetahui segala sesuatu hal, dan Maha Menentukan segala sesuatu hal. Tetapi umat juga mestinya memahami 'apa', 'kapan' dan 'bagaimana' diketahui dan ditentukan-Nya, atas sesuatu hal, agar umat bisa memiliki pemahaman yang tepat dan proporsional. Maha Suci Allah, padahal ada berbagai hal yang justru 'tidak' diketahui-Nya, 'sebelum' terjadinya, seperti yang disebut "agar Allah mengetahui", dalam ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an di bawah. Hal yang serupa juga terjadi pada sifat Maha Menentukan Allah.
Lebih jelasnya, Allah justru "tidak mengetahui segala keadaan" pada tiap makhluk, 'sebelum' terjadinya, karena memang telah diberikan-Nya kebebasan, dalam berkehendak dan berbuat, dengan diciptakan-Nya akal dan nafsu-keinginannya (ada pengetahuan-Nya yang memang diperoleh dari hasil pengaruh atau peran makhluk). Serta Allah justru "tidak menentukan segala keadaan" pada tiap makhluk, sebagai suatu bentuk balasan-Nya secara adil atau setimpal, 'sebelum' makhluknya sendiri memang telah berusaha mengubah-ubah keadaannya, melalui tiap amal-perbuatannya (ada hasil dari ketentuan-Nya yang memang ditentukan 'bersama-sama' oleh Allah dan makhluk).
Di lain pihak Allah memang mengetahui segala "keadaan umum" pada tiap makhluk, 'sebelum' terjadinya, karena alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tujuan yang 'pasti' dan 'jelas'. Makhluk nyata misalnya (termasuk manusia), pasti makin tua dan menghadapi kematian (telah diketahui dan ditentukan-Nya 'sebelumnya'). Namun 'kapan', 'bagaimana' atau 'dimana' kematiannya, justru tidak diketahui dan ditentukan-Nya 'sebelumnya'. Maka amat keliru pendapat seperti, "bunuh diri bisa menentang atau melawan ketentuan-Nya" atau lebih luasnya "makhluk bisa hidup 'di luar' ketentuan-Nya".
Allah, Maha Meliputi segala sesuatu hal, serta sama sekali tidak ada sesuatupun zat atau makhluk ciptaan-Nya, yang berada 'di luar' pengetahuan dan ketentuan-Nya. Namun sekali lagi, umat Islam mestinya bisa memahami 'apa', 'kapan' dan 'bagaimana' diketahui dan ditentukan-Nya, atas sesuatu hal. Termasuk juga mestinya bisa memahami berragam 'sifat', 'bentuk', 'saat perolehan' dan 'peran makhluk', atas pengetahuan-Nya, yang tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh).
"…. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." – (QS.2:29) dan (QS.2:231, QS.2:282, QS.3:154, QS.4:32, QS.4:135, QS.4:176, QS.5:97, QS.8:43, QS.8:75, QS.9:115, QS.11:5, QS.21:81, QS.24:35, QS.24:64, QS.29:62, QS.31:23, dsb).
"Kepunyaan-Nya-lah apa yang di langit, dan apa yang di Bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu." – (QS.4:126) dan (QS.41:54).
"…, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." – (QS.65:12) dan (QS.6:80, QS.20:98, QS.7:89, QS.40:7, QS.18:91, QS.72:28, QS.17:60).
"… melainkan agar Kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. …" – (QS.2:143).
"…, dan agar Allah mengetahui, siapa orang-orang yang beriman." – (QS.3:166).
"…, dan agar Allah mengetahui, siapa orang-orang yang beriman.", "Dan supaya Allah mengetahui, siapa orang-orang yang munafik. …" – (QS.3:166-167).
"…, supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. …" – (QS.5:94).
"…, dan supaya Allah mengetahui, siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya. …" – (QS.57:25).
"Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu, agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad, dan bersabar di antara kamu. Dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu." – (QS.47:31).
"…, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu, yang lebih tepat dalam menghitung …" – (QS.18:12).
"…, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.", "Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Rabb-nya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu-persatu." – (QS.72:27).
"…. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. …" – (QS.13:11).