Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dan keragaman kandungan isinya


Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) dan keragaman kandungan isinya

Kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, yang amat mulia dan agung, adalah 'simbol' bagi tempat tercatatnya segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta ini.
Seperti halnya 'Arsy-Nya, tentunya kitab mulia (Lauh Mahfuzh) juga berada di alam
gaib (bersifat gaib). Berikut ini akan diungkap secara lebih lengkap dan detail,
tentang kitab mulia (Lauh Mahfuzh), juga beserta keragaman kandungan
isinya. Agar umat Islam bisa memiliki pemahaman yang makin tepat
dan proporsional, tentang sifat Maha Mengetahui Allah.

Pendahuluan

Dalam artikel/posting terdahulu telah diungkap relatif cukup lengkap, bahwa "Allah, 'Arsy-Nya dan kitab mulia (Lauh Mahfuzh) berada di dalam 'hati-nurani' tiap makhluk" (di alam batiniah ruh, alam pikiran atau alam akhiratnya), dan juga bahwa kitab mulia (Lauh Mahfuzh) disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, hanya sebagai suatu "contoh-perumpamaan simbolik" (bukan suatu kitab yang sebenarnya). Segala kebenaran atau pengetahuan-Nya, yang secara 'simbolik' disebut tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh), pada fakta atau kenyataannya memang tersebar dimana-mana di alam semesta ('berada' atau 'tercatat' di alam semesta, bukan di dalam suatu kitab).

Di lain pihak, umat Islam umumnya telah berpendapat, bahwa sebagian dari segala pengetahuan-Nya yang tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh), berupa qadar, takdir atau ketentuan-Nya bagi tiap makhluk. Namun umat justru sekaligus berpendapat, bahwa takdir-Nya itu sendiri berupa segala keadaan lahiriah dan batiniah pada tiap makhluk, 'tiap saatnya', yang seluruhnya telah diketahui-Nya 'sebelumnya' (bahkan sejak jaman 'azali').

Pendapat pertama tersebut relatif tidak menimbulkan persoalan, namun sebaliknya bagi pendapat keduanya. Karena pendapat kedua ini memang amat meragukan, terutama jika dikaitkan dengan 'kebebasan' dan 'tanggung-jawab' pada makhluk, dalam berkehendak dan berbuat. Padahal segala takdir atau ketentuan-Nya bisa berupa 'keadaan' dan 'aturan'. Lebih luas lagi, padahal segala kebenaran atau pengetahuan-Nya justru memiliki berragam 'sifat', 'bentuk', 'saat perolehan', 'peran makhluk', dsb, yang akan diungkap di bawah.

Segala perdebatan tentang takdir-Nya, bahkan relatif tidak pernah selesai tuntas di kalangan umat Islam, terutama sejak setelah wafatnya nabi Muhammad saw, sampai saat ini. Hal yang serupa, bahkan juga terjadi di kalangan umat pengikut agama-agama lainnya. Beberapa contoh perbedaan pendapat antar agama atau antar umat pengikutnya, tentang takdir-Nya, misalnya bisa dilihat pada predestination (Wikipedia).

Hal yang mengecewakan dari tiap perdebatan atau perbedaan pendapat seperti itu, adalah hampir tidak adanya analisa yang utuh dan mendalam, tentang 'keragaman' segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta ('sifat', 'bentuk', 'saat perolehan', 'peran makhluk', dsb). Tiap pendapat umat Islam umumnya 'hanya' mengacu kepada keterangan dari kitab suci Al-Qur'an, seperti "Allah, Maha Mengetahui segala sesuatu hal", tetapi tidak diperhatikan 'keragaman' segala pengetahuan-Nya. Maka tidak terlalu mengherankan, jika tidak pernah selesai tuntasnya perdebatan tentang takdir-Nya.

Agar umat Islam bisa memperoleh pemahaman yang makin tepat dan proporsional, tentang takdir-Nya, pengetahuan-Nya ataupun sifat Maha Mengetahui Allah, maka dalam artikel/posting sekarang ini, akan diungkap lebih lengkap dan detail, tentang kandungan isi kitab mulia (Lauh Mahfuzh), beserta 'keragaman' kandungan isinya ('sifat', 'bentuk', 'saat perolehan' dan 'peran makhluk', atas pengetahuan-Nya).

Namun sebaliknya, jika umat tidak melakukan pengungkapan seperti ini, atas segala kebenaran atau pengetahuan-Nya di alam semesta, bahkan bisa melahirkan pemahaman yang relatif 'fatal', tentang takdir-Nya. Disebut bisa 'fatal', karena pemahaman umat yang 'keliru' tentang takdir-Nya, memang bisa amat mempengaruhi pula segala usahanya dalam berkehendak dan berbuat. Contoh sederhananya, segala keburukan, kebatilan, kekafiran, kehinaan, dsb, justru bisa dianggapnya sebagai 'ketentuan-Nya' yang mustahil bisa ditolak, serta sekaligus dianggapnya sama sekali tanpa 'peran' dan 'tanggung-jawab', dari makhluk yang mengalaminya (segala hal dianggapnya pasti telah diketahui dan ditentukan-Nya).

Suatu fatalisme seperti itu telah dikenal cukup luas, terdapat pada aliran Jabariyah, melalui pemahamannya seperti, "umat manusia tidak memiliki kendali atas perbuatannya, dan seluruhnya didiktekan oleh Allah". Sedangkan pada aliran-golongan-mazhab lainnya di kalangan umat islam, memang tidak menyetujui fatalisme seperti ini. Namun aliran-aliran ini justru juga relatif belum cukup memadai menerangkan, terutama tentang kaitan antara takdir-Nya dan kebebasan makhluk, termasuk tentang sifat Maha Mengetahui dan Maha Menentukan Allah. Padahal tanpa pemahaman yang cukup memadai atas hal-hal ini, justru juga bisa mengarah kepada fatalisme.

Tiap umat Islam mestinya bisa menjawab secara cermat, atas pertanyaan seperti, "apakah nasib ataupun keadaan tiap makhluk, saat sedetik, sejam, setahun atau saat Hari Kiamat 'nantinya', memang benar-benar telah diketahui dan ditentukan-Nya?", "'sebelum' dipilih oleh akal tiap makhluk, apakah pilihan akhir di antara sejumlah pilihan tiap saatnya, memang benar-benar telah diketahui dan ditentukan-Nya?" atau "apakah tiap perbuatan makhluk memang benar-benar perbuatan Allah (diciptakan-Nya, tanpa peran makhluk)?". Maha Suci Allah, semua jawaban atas pertanyaan seperti ini tentunya mestinya "tidak".

Segala qadar, takdir, nasib ataupun keadaan tiap makhluk, memang pasti diketahui dan ditentukan-Nya. Namun umat Islam juga mestinya bisa menjawab secara relatif cukup memadai, "apa hakekat dari qadar atau takdir-Nya?" dan "kapan dan bagaimana cara saat diketahui dan ditentukan-Nya, atas sesuatu hal?". Baca pula Takdir-Nya.

Maha Suci Allah, ada hal-hal yang 'tidak' diketahui-Nya, 'sebelum' terjadinya

Allah memang Maha Mengetahui segala sesuatu hal, dan Maha Menentukan segala sesuatu hal. Tetapi umat juga mestinya memahami 'apa', 'kapan' dan 'bagaimana' diketahui dan ditentukan-Nya, atas sesuatu hal, agar umat bisa memiliki pemahaman yang tepat dan proporsional. Maha Suci Allah, padahal ada berbagai hal yang justru 'tidak' diketahui-Nya, 'sebelum' terjadinya, seperti yang disebut "agar Allah mengetahui", dalam ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an di bawah. Hal yang serupa juga terjadi pada sifat Maha Menentukan Allah.

Lebih jelasnya, Allah justru "tidak mengetahui segala keadaan" pada tiap makhluk, 'sebelum' terjadinya, karena memang telah diberikan-Nya kebebasan, dalam berkehendak dan berbuat, dengan diciptakan-Nya akal dan nafsu-keinginannya (ada pengetahuan-Nya yang memang diperoleh dari hasil pengaruh atau peran makhluk). Serta Allah justru "tidak menentukan segala keadaan" pada tiap makhluk, sebagai suatu bentuk balasan-Nya secara adil atau setimpal, 'sebelum' makhluknya sendiri memang telah berusaha mengubah-ubah keadaannya, melalui tiap amal-perbuatannya (ada hasil dari ketentuan-Nya yang memang ditentukan 'bersama-sama' oleh Allah dan makhluk).

Di lain pihak Allah memang mengetahui segala "keadaan umum" pada tiap makhluk, 'sebelum' terjadinya, karena alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tujuan yang 'pasti' dan 'jelas'. Makhluk nyata misalnya (termasuk manusia), pasti makin tua dan menghadapi kematian (telah diketahui dan ditentukan-Nya 'sebelumnya'). Namun 'kapan', 'bagaimana' atau 'dimana' kematiannya, justru tidak diketahui dan ditentukan-Nya 'sebelumnya'. Maka amat keliru pendapat seperti, "bunuh diri bisa menentang atau melawan ketentuan-Nya" atau lebih luasnya "makhluk bisa hidup 'di luar' ketentuan-Nya".

Allah, Maha Meliputi segala sesuatu hal, serta sama sekali tidak ada sesuatupun zat atau makhluk ciptaan-Nya, yang berada 'di luar' pengetahuan dan ketentuan-Nya. Namun sekali lagi, umat Islam mestinya bisa memahami 'apa', 'kapan' dan 'bagaimana' diketahui dan ditentukan-Nya, atas sesuatu hal. Termasuk juga mestinya bisa memahami berragam 'sifat', 'bentuk', 'saat perolehan' dan 'peran makhluk', atas pengetahuan-Nya, yang tercatat dalam kitab mulia (Lauh Mahfuzh).

"…. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." – (QS.2:29) dan (QS.2:231, QS.2:282, QS.3:154, QS.4:32, QS.4:135, QS.4:176, QS.5:97, QS.8:43, QS.8:75, QS.9:115, QS.11:5, QS.21:81, QS.24:35, QS.24:64, QS.29:62, QS.31:23, dsb).

"Kepunyaan-Nya-lah apa yang di langit, dan apa yang di Bumi, dan adalah Allah Maha Meliputi segala sesuatu." – (QS.4:126) dan (QS.41:54).

"…, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." – (QS.65:12) dan (QS.6:80, QS.20:98, QS.7:89, QS.40:7, QS.18:91, QS.72:28, QS.17:60).

 

"… melainkan agar Kami mengetahui, siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. …" – (QS.2:143).

"…, dan agar Allah mengetahui, siapa orang-orang yang beriman." – (QS.3:166).

"…, dan agar Allah mengetahui, siapa orang-orang yang beriman.", "Dan supaya Allah mengetahui, siapa orang-orang yang munafik. …" – (QS.3:166-167).

"…, supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. …" – (QS.5:94).

"…, dan supaya Allah mengetahui, siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya, padahal Allah tidak dilihatnya. …" – (QS.57:25).

"Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu, agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad, dan bersabar di antara kamu. Dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu." – (QS.47:31).

"…, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu, yang lebih tepat dalam menghitung …" – (QS.18:12).

"…, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya.", "Supaya Dia mengetahui, bahwa sesungguhnya rasul-rasul itu telah menyampaikan risalah-risalah Rabb-nya, sedang (sebenarnya) ilmu-Nya meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu-persatu." – (QS.72:27).

 

"…. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. …" – (QS.13:11).

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. …" – (QS.3:185) dan (QS.21:35, QS.29:57).

"Kami telah menentukan kematian di antara kamu, dan Kami sekali-kali, tidak dapat dikalahkan," – (QS.56:60).

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , , , , , , | 71 Komentar

Allah dan ‘Arsy-Nya berada dalam hati-nurani tiap makhluk


Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam hati-nurani tiap makhluk

"Dimanakah sebenarnya Allah berada?". Padahal 'esensi' Zat Allah, Yang Maha Gaib dan
Maha Suci, memang tersucikan dari segala sesuatu hal, termasuk mustahil bisa dicapai
atau dijangkau oleh segala alat indera pada tiap makhluk (termasuk para malaikat-Nya
dan para nabi-Nya), di dunia dan di akhirat. Maka berikut ini diungkap, bahwa Allah
dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk. Walau hal ini juga tetap
bukan letak keberadaan Zat Allah, tetapi letak pemahaman tentang Allah.

Daftar isi

Pendahuluan

Adanya berragam keterangan dalam kitab suci Al-Qur'an tentang keberadaan Allah, yang diungkap di bawah, sedikit-banyak justru telah bisa menimbulkan kebingungan pada sebagian kalangan umat Islam, khususnya jika ayat-ayatnya yang terkait dipahami secara 'tekstual-harfiah'. Tetapi jika umat justru telah bisa memahami 'hikmah dan hakekat', yang terkandung 'di balik' teks ayat-ayatnya, maka umat juga mestinya tidak perlu mengalami kebingungan. Bahkan umat sekaligus bisa membenarkan ayat-ayat tersebut.

Maka dalam uraian-uraian di bawah akan diungkap pendapat penulis, bahwa "Allah dan 'Arsy-Nya berada dalam 'hati-nurani' tiap makhluk". Walau hal ini bukan berupa 'letak keberadaan' Zat Allah, namun hanya berupa 'letak pemahaman' tentang Allah. Juga akan diungkap, bahwa pendapat tentang keberadaan Allah seperti ini, bahkan justru telah bisa menghubungkan, mencakup atau mewakili semua ayat tersebut, secara 'sekaligus' (semua ayatnya tetap relatif benar). Selain itu, pendapatnya justru tetap berdasar atas "ke-Esa-an Allah" (tauhid), karena memang sama sekali tidak terkait dengan 'esensi' Zat Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Maha Gaib dan Maha Suci.

Baca pula Metode pencapaian pemahaman hikmah dan hakekat (Al-Hikmah).

Keberadaan Allah dalam kitab suci Al-Qur'an

Berikut inipun diungkap ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, yang menerangkan tentang keberadaan Allah, seperti: "di atas 'Arsy-Nya" (pada QS.7:54, QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4), "di langit" (pada QS.67:16), "Maha Dekat" (pada QS.34:50), "dekat" (pada QS.2:186), "lebih dekat daripada urat leher" (pada QS.50:16), "dekat ke jiwa-ruh-nyawa" (pada QS.56:85) dan "dimana-mana" (pada QS.57:4, QS.58:7, QS.2:115), beserta ayat-ayat lainnya yang terkait.

"Sesungguhnya Rabb-kamu ialah Allah, Yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. …" – (QS.7:54) dan (QS.10:3, QS.13:2, QS.20:5, QS.25:59, QS.32:4, QS.57:4).

"Apakah kamu merasa (aman) terhadap Allah, Yang di langit, bahwa Dia menjungkir-balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang," – (QS.67:16).

"…. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, lagi Maha Dekat." – (QS.34:50).

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. …" – (QS.2:186).

"Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya," – (QS.50:16).

"dan Kami lebih dekat kepadanya (nyawamu), daripada kamu. Tapi kamu tidak melihat," – (QS.56:85).

"…. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat, apa yang kamu kerjakan." – (QS.57:4).

"…. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka, di manapun mereka berada. …" – (QS.58:7).

"Dan kepunyaan-Nya-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah (ada) wajah-Nya. Sesungguhnya, Allah Maha Luas, lagi Maha Mengetahui." – (QS.2:115).

 

"Dan Dia-lah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa dan adalah 'Arsy-Nya di atas air (di langit), …" – (QS.11:7).

"Allah, tiada Ilah Yang disembah, kecuali Dia, Rabb Yang mempunyai 'Arsy yang besar'." – (QS.27:26).

"Katakanlah: 'Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh, dan Yang Empunya 'Arsy yang besar?'. …" – (QS.23:86-87).

"…. Kursi Allah (tempat keberadaan Allah) meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar." – (QS.2:255).

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , , , , , | 96 Komentar

Teori ‘Big Light’ vs teori ‘Big Bang’ (5): Jawab persoalan fisika


Teori 'Big Light' vs teori 'Big Bang' (5): Jawab persoalan ilmu fisika
(yang 'belum terpecahkan')

Dalam Wikipedia disebut sejumlah besar persoalan yang 'belum terpecahkan' di bidang
ilmu fisika, termasuk tentang alam semesta dan penciptaannya. Secara tidak langsung,
hal inipun menunjukkan masih banyaknya kelemahan teori Big Bang dan model alam
semestanya, bahkan termasuk kelemahan 'Model standar' yang dipakai di bidang
ilmu fisika. Berbagai jawaban berikut tentunya bukan untuk bisa menjawab
tuntas semua persoalan itu. Tetapi hanya sekedar menerapkan teori
Big Light dan model alam semestanya, dalam menjawabnya.

Seri artikel "Teori Big Light vs teori Big Bang", yaitu:

Pendahuluan

Sejumlah besar persoalan yang 'belum terpecahkan' di bidang ilmu fisika (unsolved problems in physics) yang disebut dalam Wikipedia, pada dasarnya meliputi cukup banyak bidang kajian, antara lain: kosmologi, astronomi dan astrofisika, fisika nuklir, fisika energi tinggi/fisika partikel, fisika materi terkondensasi, fisika biologi, dsb. Maka tentunya tidak semua persoalan itu bisa dijawab di bawah. Sebagai gambaran, dari 154 jumlah persoalan, relatif hanya 130 yang telah terjawab. Lingkup persoalan yang terjawab, tentunya relatif hanya terkait dengan teori Big Light dan model alam semestanya. Namun semua persoalan itu diterjemahkan dan tetap diungkapkan kembali semuanya di bawah, agar para pembaca bisa ikut mengetahui atau menjawabnya.

Sekali lagi, berbagai jawaban berikut bukan bertujuan untuk menjawab tuntas, atas tiap persoalan terkait. Namun penulis hanya mencoba memberikan solusi alternatif, sesuai dengan teori Big Light dan model alam semestanya, yang telah dikembangkannya berdasar dari kitab suci Al-Qur'an. Khususnya sebagai alternatif bagi teori Big Bang dan model alam semestanya, bahkan juga bagi 'Model standar' yang telah dipakai amat lama di bidang ilmu fisika (sejak tahun 1960), yang justru belum bisa menjawab semua persoalan tersebut, dan bahkan juga belum bisa menjawab tentang asal-muasal kehidupan dan hukum alam.

Berbagai jawaban berikut ini juga masih bersifat konseptual-filosofis, belum berupa rumusan-formula yang detail. Sehingga solusi atau jawabannya lebih berupa tawaran, bagi perubahan kerangka berpikir para ilmuwan/fisikawan, terutama kepada kerangka tentang penciptaan alam semesta oleh Allah. Juga karena 'Model standar' tersebut, sekitas tampak tersusun relatif tanpa konsep yang jelas (penuh tambal-sulam atau carut-marut). Contoh sederhananya, berbagai teori di dalamnya relatif mudah dijadikan standar, hanya karena kepopuleran penemunya; relatif banyak mengandung spekulasi dan persoalan; relatif amat lemah secara konseptual-filosofis; dsb. Sebaliknya dengan konsepnya yang relatif jelas dan sederhana, hampir semua persoalan itu relatif mudah dijawab, melalui teori Big Light.

Di lain pihaknya, artikel/posting sekarang ini sengaja ditulis, agar umat Islam juga bisa makin memahami, bahwa kaitan antara agama dan ilmu-pengetahuan memang relatif amat dekat. Sederhananya, jika para fisikawan lebih terfokus mempelajari sunatullah fisik-lahiriah (hukum alam), maka para nabi-Nya justru lebih terfokus mempelajari sunatullah moral-batiniah. Proses pencapaian pemahamannya juga sama, melalui segala pengalaman empirik yang terkait. Adapun perbedaannya, hal-hal fisik-lahiriah memang mudah diukur atau dideteksi, serta bersifat 'fana', 'semu' dan 'terbatas'. Sedangkan hal-hal moral-batiniah hanya bisa dirasakan atau diyakini, serta bersifat 'kekal', 'hakiki' dan 'relatif tak-terbatas'. Juga melalui pemahaman atas sunatullah, umat Islam justru bisa relatif mudah memahami segala sesuatu kejadian di alam semesta (lahiriah dan batiniah).

Sebelum berbagai persoalan tersebut dijawab, berikut diungkapkan terlebih dahulu rangkuman atas teori Big Light dan model alam semestanya, terutama agar para pembaca bisa memiliki gambaran umum atas jawabannya.

Rangkuman atas teori Big Light dan model alam semestanya

  • Jumlah alam semesta hanya 'satu', namun di dalamnya ada berragam alam (alam benda dan makhluk; alam nyata dan gaib; alam fisik-lahiriah dan moril-batiniah; alam dunia dan akhirat; alam ruh, rahim dan kubur; alam pria dan wanita; dsb).
  • Penciptaan seluruh alam semesta mulai dilakukan 'langsung' oleh Allah, Yang Maha Pencipta, hanya dari 3 elemen yang "paling dasar", yaitu: "Ruh" (zat penyusun dan pengendali kehidupan bagi tiap makhluk), "Materi terkecil" (zat penyusun terkecil bagi tiap benda mati) dan "Energi" (potensi atau kemampuan bagi tiap zat).
    Bahkan ketiganya juga sebagai satu-kesatuan pada sesuatu hal yang sama, karena tiap "Materi terkecil" pasti ditempati oleh suatu "Ruh" ("ditiupkan-Nya ruh"), yang mengendalikan atau menggerakkan materinya dengan "Energi", pada materinya.
  • Seluruh elemen yang "paling dasar" itu tak-terhitung jumlahnya (mengisi seluruh alam semesta), serta telah diciptakan-Nya secara 'sekaligus' dan 'bersamaan', pada saat penciptaan yang paling awal itu. Pada tiap zat ruh sekaligus ditanamkan-Nya segala "keadaan, sifat atau fitrah dasar", yang sama-sama suci-murni dan bersih dari dosa, sebagai bentuk paling awal ke-Maha Adil-an Allah kepada tiap makhluk. Di samping, umur segala makhluk juga sama (sama saat penciptaan tiap zat ruhnya).
  • Hakekat yang sebenarnya dari tiap makhluk, berada pada "ruh"-nya. Tubuh wadah fisik-lahiriahnya hanya tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah "ruh"-nya. Juga tiap makhluk bisa hidup, walau hanya berupa "ruh" (kehidupan para makhluk gaib, manusia sebelum dan setelah hidup di alam dunia, dsb).
  • Tiap perbuatan makhluk pasti mengubah berbagai "keadaan batiniah" ruhnya, dan keadaan inipun 'kekal' bersama zat ruhnya, sampai kapanpun. Tiap taubat misalnya hanya bisa 'menutupi' atau 'memperringan' beban dosa terkait (kerusakan keadaan batiniahnya), tetapi justru bukan 'menghapus' atau 'menghilangkannya' sama sekali.
    Namun Allah, Yang Maha Pengasih dan Penyayang, juga memberikan segala bentuk pertolongan dan kesempatan bagi tiap makhluk, untuk bisa 'membersihkan' ruhnya.
  • Tiap makhluk diciptakan-Nya berjenis kelamin (bersifat 'feminin' atau 'maskulin'), yang justru telah membentuk segala dinamika, simetrisitas, ketidak-sempurnaan, ketidak-lengkapan dan keseimbangan pada segala zat ciptaan-Nya di alam semesta.
  • Benda mati adalah makhluk yang paling terbatas segala kebebasan dan kemampuan fisik-lahiriahnya, serta makhluknya biasa disebut "para malaikat", yang justru telah bisa menimbulkan terjadinya segala hukum alam (termasuk gaya gravitasi).
    Di lain pihaknya, manusia adalah makhluk yang paling sempurna, termasuk karena berada pada hierarki tertinggi, dalam mengendalikan atau mengatur tak-terhitung jumlah benda / makhluk, yang menyusun tubuh wadahnya (dari "materi terkecil", sel, jaringan, organ sampai anggota badannya), secara sadar ataupun tidak.
  • "Fitrah dasar" yang telah ditanamkan-Nya itu juga disebut "Fitrah Allah" (sifat-sifat terpuji dan mulia Allah), yang menjadi dasar dari penciptaan seluruh umat manusia dan penciptaan "agama-Nya yang lurus" (pada QS.30:30). Lebih umum lagi, menjadi dasar dari perwujudan pelaksanaan sunatullah (lahiriah dan batiniah).
  • "Fitrah dasar" adalah bentuk segala perintah-Nya yang sebenarnya, kepada segala makhluk (terutama kepada tak-terhitung jumlah para malaikat), bagi perwujudan pelaksanaan sunatullah ('bukan langsung' dilakukan oleh Allah sendiri), serta hanya diberikan atau diperintah-Nya 'sekali' saja (saat awal penciptaan tiap zat ruhnya).
  • Seperti halnya "fitrah dasar" atau "Fitrah Allah", tentunya sunatullah (lahiriah dan batiniah) juga bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah), sejak saat awal penciptaan alam semesta, sampai akhir jaman.
  • Sunatullah pada aspek lahiriah juga biasa disebut "hukum alam" (laws of nature).
  • Sunatullah pasti berlaku setimpal atau adil, sesuai dengan segala keadaan lahiriah dan batiniah, 'tiap saatnya', pada tiap zat ciptaan-Nya (termasuk pada lingkungan terkait di sekitar zat itu). Sederhananya, sunatullah berupa 'respon dasar' lahiriah dan batiniah, dari segala zat terkait di sekitar, atas sikap, perbuatan atau perubahan keadaan pada suatu zat (termasuk pula 'respon dasar'-nya sendiri), 'tiap saatnya'.
  • Sunatullah (Sunnah Allah) bisa disebut "segala kehendak, tindakan atau perbuatan Allah di alam semesta". Walau terkadang juga disebut "aturan, hukum, ketentuan atau ketetapan Allah", karena memang pasti mengatur segala zat ciptaan-Nya.
  • Sunatullah berupa tak-terhitung jumlah aturan atau rumus proses kejadian lahiriah dan batiniah, atas segala zat ciptaan-Nya, yang berlaku 'mutlak', 'kekal', 'alamiah', 'universal', 'seragam', 'adil' (setimpal), 'netral', 'halus' dan juga 'gaib' (tersembunyi).
  • Sunatullah adalah bagian yang paling penting dari ilmu-pengetahuan 'mutlak' Allah. Sedangkan segala bentuk ilmu-pengetahuan 'relatif' manusia, pada dasarnya hanya hasil usaha pengungkapan, atas sebagian amat sangat sedikit dari ilmu-pengetahuan Allah, dengan amat berragam tingkat kebenaran, kedalaman dan kesempurnaannya.
  • Tiap pengetahuan manusia makin 'benar', jika makin mendekati atau sesuai dengan hal-hal yang berlaku 'mutlak' dan 'kekal' (seperti pengetahuan para nabi-Nya, pada tataran hikmah dan hakekatnya, bukan pada tataran tekstual-harfiahnya).
  • 'Benar' yang 'mutlak' dan 'kekal', adalah 'satu-satunya' ukuran ('tidak ada' ukuran lainnya), bahwa sesuatu hal memang berasal dari Allah, Yang Maha Benar (Haq).
    Namun sesuatu yang 'benar' justru juga bersifat 'netral' (bisa menguntungkan atau merugikan tiap makhluk). 'Benar' yang bisa menguntungkan tiap makhluk, biasanya disebut "keredhaan-Nya", yang banyak diungkap dalam ajaran-ajaran agama-Nya.
  • Penciptaan alam semesta dimulai dari suatu "sinar alam semesta" ('Big Light'), yang amat sangat putih, terang dan panas di seluruh tempat, akibat dari diciptakan-Nya "energi alam semesta" (energi panas bagi penciptaan dan berjalannya alam semesta dan segala isinya, sampai akhir jaman).
  • "Sinar alam semesta" tentunya memang belum 'tampak' pada saat paling awalnya, karena hanya berupa emisi tak-terhitung jumlah "materi terkecil". Sinarnya makin tampak, setelah terbentuk segala materi yang lebih besar (terutama berupa partikel sub-atomik), serta puncak paling terangnya saat paling banyak terbentuk photon.
  • "Energi alam semesta" yang pada awalnya seluruhnya berupa energi panas (energi kinetik dari "materi terkecil"), perlahan-lahan berubah bentuk menjadi segala jenis energi lainnya. Juga alam semesta tentunya makin lama, makin mendingin.
  • Setelah terbentuk segala jenis atom, molekul dan butir benda, lalu alam semesta berwujud berupa "gas, asap atau kabut" yang amat terang, juga di seluruh tempat.
    Pada saat ini tentunya Bumi dan segala benda langit lainnya belum terbentuk (masih menyatu, bercampur-baur atau bersatu-padu), atau masih berupa segala partikel-materi-benda yang amat sangat kecil, dan sekaligus bergerak amat sangat cepat.
  • Pada teori Big Light, selain diperkenalkan konsep "materi terkecil", sebagai partikel yang 'paling dasar' (paling kecil, ringan dan sederhana), yang tentunya juga menjadi partikel penyusun terkecil bagi segala partikel-materi-benda di alam semesta.
    Juga diperkenalkan konsep "pusat alam semesta", sebagai suatu benda langit berupa lubam hitam, yang berukuran 'terbesar' dibanding seluruh benda langit lainnya di alam semesta, juga sekaligus melingkupi seluruhnya (sebagai pusat orbit relatif bagi seluruh benda langit lainnya, pada hierarki yang tertinggi).
  • Tiap "materi terkecil" pasti selalu bermuatan 'positif' ataupun 'negatif', karena suatu ruh makhluk yang menempati, mengendalikan atau menggerakkannya, memang pasti selalu bersifat 'feminin' ataupun 'maskulin', sehingga berupa magnet monopol yang sebenarnya (satu kutub) dan sekaligus materi supersimetri yang sebenarnya. Segala materi yang berukuran lebih besar, pasti berupa magnet dipol (dua kutub).
  • Tiap "materi terkecil" adalah pembawa unit energi yang terkecil (berupa 'kekuatan' tarikan ataupun tolakannya terhadap segala "materi terkecil" lainnya di sekitarnya).
  • Semua gaya dasar yang dikenal oleh manusia, yaitu: gaya elektromagnetik 'normal', gaya gravitasi, gaya interaksi kuat (gaya nuklir kuat) dan gaya interaksi lemah (gaya nuklir lemah), justru hanya tersusun dari gaya elektromagnetik yang "paling dasar", yang dimediasi oleh "materi terkecil" (gaya interaksi antar "materi terkecil").
  • Teori Big Light tidak dikembangkan berdasar semua partikel pembawa gaya dasar, pada 'Model standar', yaitu: "photon" (gaya elektromagnetik normal), "graviton" (gaya gravitasi), "gluon" (gaya nuklir kuat) dan "W & Z boson" (gaya nuklir lemah).
  • Teori Big Light juga tidak dikembangkan berdasar partikel dasar dan komposit, pada 'Model standar', seperti: fermion, lepton, quark, muon, hadron, barion, meson, gluon, boson, graviton, pion, kaon dan magnon, juga bukan materi gelap dan antipartikel / antimateri (hanya materi tertentu yang bersifat transisional dan amat tidak stabil).
  • Segala partikel dasar yang telah terbukti (dengan amat berragam komposisi muatan, massa, ukuran, sifat, dsb), hanya tersusun dari sejumlah besar "materi terkecil".

Baca pula uraian yang lebih lengkapnya pada artikel/posting terdahulu "Sunatullah sebagai wujud perbuatan Allah", seri artikel "Teori Big Light vs teori Big Bang" lainnya dan juga artikel-artikel terkait lainnya pada blog ini.

Baca lebih lengkapnya: persoalan ilmu fisika, yang belum terpecahkan

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , , | 14 Komentar

Sunatullah sebagai wujud perbuatan Allah


Lebih lengkap, sunatullah (Sunnah Allah) sebagai wujud perbuatan Allah

Segala perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini (secara lahiriah dan batiniah), justru
terwujud 'melalui' sunatullah (Sunnah Allah). Walaupun perwujudan atau pelaksanaan
sunatullah memang dilakukan 'bukan langsung' oleh Allah sendiri. Namun terutama
dilakukan oleh tak-terhitung jumlah para malaikat-Nya di seluruh alam semesta,
dengan segala macam tugasnya masing-masing, dalam "mengatur segala
urusan-Nya". Berikut ini diungkap lebih lengkap tentang sunatullah.

Di dalam artikel/posting terdahulu "bagaimana cara Allah berbuat di alam semesta ini", telah diungkap hubungan secara langsung antara sunatullah (Sunnah Allah) dan segala perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini, bahwa segala perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini terwujudkan 'melalui' sunatullah (Sunnah Allah). Sekaligus telah diungkap pula peran dari para malaikat-Nya, dalam mewujudkan atau mengawal pelaksanaan sunatullah, yang memang dilakukan 'bukan langsung' oleh Allah sendiri.

Di dalam kitab suci Al-Qur'an, peran dari para malaikat-Nya seperti inipun disebut "membagi-bagi dan mengatur segala urusan-Nya di seluruh alam semesta ini, serta selalu mengerjakan segala perintah-Nya" (QS.51:4, QS.79:5, QS.97:4, QS.77:1, QS.77:3, QS.16:2, QS.13:11 dan QS.66:6).

Agar umat Islam bisa memperoleh gambaran yang makin jelas tentang sunatullah, sebagai bentuk perwujudan dari segala kehendak, tindakan atau perbuatan-Nya di seluruh alam semesta ini, maka berikut inipun diungkap berbagai keterangan dan penjelasan amat penting tentang sunatullah, secara lebih lengkap, yang secara garis besarnya meliputi:

a. Sunatullah, bagian terpenting dari ilmu-pengetahuan-Nya.
b. Ilmu-pengetahuan manusia, wujud sunatullah.
c. Allah berbuat di alam semesta, melalui sunatullah.
d. Sunatullah berupa tak-terhitung aturan / rumus proses.
e. Sunatullah berlaku sesuai segala keadaan zat ciptaan-Nya
f. Sunatullah berlaku secara terselubung
g. Perkiraan kejadian, dengan memahami sunatullah.
h. Sunatullah tidak pernah berubah, sampai akhir jaman.
i. Seluruh proses pada sunatullah tidak saling bertentangan.
j. Sunatullah mengatur segala proses lahiriah & batiniah.
k. Sunatullah mengatur proses pemberian balasan-Nya
l. Alam semesta diciptakan-Nya, melalui sunatullah.
m. Sunatullah memiliki unsur pemaksaan (pasti berlaku).
n. Alam semesta tetap tegak-kokoh, karena berjalannya sunatullah.
o. Sunatullah menjaga keseimbangan alam semesta.
p. Tiap manusia bebas memanfaatkan sunatullah.
q. Allah mengutus para nabi-Nya, melalui sunatullah.
r. Allah menurunkan berbagai hal, melalui sunatullah.
s. Pengetahuan dan pengalaman, wujud sunatullah.
t. Do'a, usaha batiniah yang diatur oleh sunatullah.
u. Pelaksanaan sunatullah dikawal oleh tak-terhitung malaikat.

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , , , , , | 4 Komentar

Keadaan dan kesempurnaan aqidah tiap umat


Bagaimana keadaan dan kesempurnaan aqidah tiap umat Islam?

Aqidah adalah pondasi yang paling pokok atau utama dalam keyakinan beragama.
Namun apakah tiap umat Islam telah memiliki pemahaman yang relatif mendalam,
konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, atas dasar-dasar pokok aqidah
dalam agama Islam?. Berikut ini diungkap daftar berbagai pertanyaan yang
terkait aqidah, minimal agar tiap umat sendiri bisa memiliki gambaran,
apakah dasar-dasar aqidahnya telah relatif lengkap dan sempurna?.

Pemahaman atau pengetahuan atas dasar-dasar pokok aqidah dalam agama Islam, yang telah terkandung secara lengkap dan sempurna di dalam kitab suci Al-Qur'an, pada dasarnya berada dalam lingkup pembahasan ilmu kalam, ilmu tauhid atau ilmu ushuluddin. Berbagai sebutan ilmu ini pada dasarnya relatif sama lingkupnya, serta relatif bisa saling dipertukarkan pemakaiaannya, walaupun memang ada sedikit perbedaan pada definisinya masing-masing. Sejak jaman dahulu sampai saat sekarang ini, di kalangan umat Islam telah berkembang cukup banyak aliran-aliran ilmu kalam, seperti misalnya: Asy'ariah, Athariah, Imamiah, Maturidiah, Murji'ah, Mu'tazilah, Jabariyah, Qadariyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Khawarij, dsb. Serta tentunya ada yang masih hidup dan ada pula yang telah ditinggalkan.

Pembahasan atas tiap aliran ilmu kalam tersebut secara lengkapnya, beserta segala pemahamannya masing-masing, berada di luar lingkup cakupan pembahasan pada blog ini dan buku "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW", serta sebaiknya diperoleh dari sumber-sumber lainnya. Namun dalam Lampiran D pada blog dan buku ini, telah diungkap perbandingan pemahaman tentang berbagai topik, antara sebagian dari aliran-aliran ilmu kalam di atas (terutama aliran Asy'ariah, Maturidiah Samarkand, Maturidiah Buchara dan Mu'tazilah), sekaligus dibandingkan dengan pemahaman terkait menurut penulis sendiri.

Dalam artikel/posting ini hanya semata diungkap daftar berbagai pertanyaan yang terkait aqidah, yang sekaligus merupakan lingkup pembahasan yang mestinya bisa dijawab melalui ilmu kalam. Seluruh jawabannya mestinya relatif telah dimiliki atau dipahami oleh tiap umat Islam, bagi keyakinan beragamanya, dan juga agar benar-benar bisa memahami kitab suci Al-Qur'an dan dasar ajaran agama Islam lainnya (Sunnah / Hadits Nabi dan hasil ijtihad dari para alim-ulama).

Apabila tiap umat Islam relatif belum bisa menjawab berbagai pertanyaan berikut (beserta segala dalil-alasan dan penjelasannya), minimal daftar inipun bisa dipakai sebagai bahan bagi tiap umat, agar bisa makin melengkapi atau menyempurnakan pemahamannya atas dasar-dasar pokok aqidah dalam agama Islam (bisa makin relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhan).

Adapun daftar berbagai pertanyaan yang terkait aqidah, antara lain:

~ Bagaimana cara bagi tiap manusia dan makhluk-Nya lainnya, untuk bisa mencari dan mengenal Allah, Tuhan Pencipta alam semesta ini?.
Apakah 'esensi' dari Zat Allah bisa dijangkau oleh alat-alat indera lahiriah dan batiniah pada tiap makhluk-Nya, di dunia dan di akhirat?.
~ Bagaimana cara memahami sifat-sifat Allah?, serta apa saja persoalan dalam memahaminya (termasuk yang telah menimbulkan segala bentuk kemusyrikan)?.
~ Jika ada, apa kaitan antara perbuatan, kehendak, keredhaan, sifat dan fitrah Allah?.
~ Bagaimana cara Allah berkehendak, bertindak atau berbuat di alam semesta ini?.
Apa sifat atau ciri khas dari segala perbuatan Allah di alam semesta ini?, serta jika ada, apa perbedaannya dengan segala perbuatan makhluk-Nya?.
~ Jika ada, apa kaitan antara segala perbuatan Allah di alam semesta ini, dengan 'sunatullah' (Sunnah Allah) dan segala perbuatan para malaikat-Nya?.
~ Apa hakekat dari kebebasan, kehendak, perbuatan dan daya tiap manusia?, serta jika ada, apa kaitannya dengan kehendak, perbuatan dan daya Allah?.
~ Dimana letak hakekat dari tiap makhluk-Nya?, serta letak hakekat dari 'nilai' tiap makhluk-Nya di hadapan Allah?.
~ Bagaimana cara proses dari tiap amal-perbuatan manusia (yang baik dan buruk)?.
Bagaimana cara proses pemberian balasan-Nya secara adil atau setimpal, termasuk cara penilaian Allah, atas tiap amalan itu?.
~ Jika ada, apa kaitan antara amal-perbuatan tiap manusia dan keadaan batiniah ruhnya (keadaan alam pikirannya)?.
~ Bagaimana cara Allah berlaku adil kepada segala makhluk-Nya (dengan segala: jenis, tugas-amanat dari-Nya, amal-perbuatan, lama hidup di dunia, tingkat pengetahuan & kesadaran, beban tanggung-jawab, kedudukan & keadaan lahiriah, dsb)?.
~ Apa hakekat dari Qadla dan Qadar-Nya (takdir-Nya)?.
Bagaimana cara Allah menentukan takdir-Nya (nasib) bagi tiap makhluk-Nya?.
Apakah takdir-Nya baginya, bisa berusaha 'dipilih-pilih' ataupun 'diubah-ubah' oleh tiap manusia?, serta jika bisa, bagaimana caranya?.
~ Bagaimana cara Allah berkehendak menurunkan mu'jizat-Nya bagi para nabi-Nya, serta memberikan rejeki-Nya, menimpakan azab-Nya, dan menentukan kematian bagi tiap makhluk-Nya?.
~ Apa hakekat dari agama dan kitab-Nya (agama dan kitab tauhid)?, serta jika ada, apa kaitannya dengan Fitrah Allah (sifat-sifat terpuji dan mulia Allah)?.
~ Apa hakekat dari ilmu-pengetahuan, wahyu-Nya, kenabian, Al-Hikmah dan Al-Kitab (kitab-Nya / kitab tauhid)?.
~ Apa hakekat dari Sunnah dan Hadits dari para nabi-Nya?, serta jika ada, apa perbedaan antara keduanya?.
~ Jika ada, apa kaitan antara ilmu-pengetahuan, wahyu-Nya, kenabian, Al-Hikmah, Al-Kitab, dan Sunnah / Hadits dari para nabi-Nya?.
~ Jika ada, apa perbedaan antara nabi-Nya dan rasul-Nya?.
~ Bagaimana cara Allah bertindak menurunkan wahyu, kitab dan agama-Nya?.
~ Jika ada, bagaimana transformasi perubahan bentuk kitab dan wahyu-Nya, dari bentuknya langsung dari Allah, sampai bentuknya yang biasa dikenal saat ini oleh umat Islam (kitab suci Al-Qur'an dan ayat-ayatnya)?.
~ Bagaimana cara Allah memelihara kitab suci Al-Qur'an?.
~ Jika ada, apa kaitan antara alam semesta ini, ilmu-pengetahuan, wahyu-Nya, akal dan hati-nurani pada para nabi-Nya?, serta jika ada, apa kaitannya dengan para makhluk gaib (terutama malaikat mulia Jibril)?.
~ Apa hakekat dari 'hijab-tabir-pembatas' antara Allah dan tiap makhluk-Nya?, serta jika ada, apa kaitannya dengan pengetahuan 'mutlak' Allah di alam semesta ini dan pengetahuan 'relatif' manusia?.
~ Apa hakekat dari 'Arsy-Nya, yang amat mulia dan agung?, serta jika ada, apa kaitannya dengan pengetahuan Allah dan pengetahuan manusia?.
~ Apa hakekat dari kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya?, serta apa saja yang tercatat di dalamnya?.
~ Apa hakekat dari 'kembali' ke hadapan 'Arsy-Nya?, serta jika ada, apa kaitannya dengan Hari Kiamat dan peristiwa 'Isra Mi'raj yang dialami oleh Nabi?.
~ Apa hakekat dari keimanan (lahiriah dan batiniah)?, serta bagaimana cara mencapai tingkat keimanan yang utuh dan tinggi?.
~ Apa hakekat dari 'sunatullah' (Sunnah Allah, lahiriah dan batiniah)?, serta jika ada, apa kaitannya dengan hukum alam dan segala bentuk pengetahuan pada manusia?.
~ Jika ada, apa kaitan antara sunatullah dan segala zat ruh makhluk-Nya (terutama zat ruh para malaikat-Nya)?.
Jika ada, apa kaitan antara zat ruh makhluk-Nya dan materi-benda mati?.
~ Bagaimana cara Allah bertindak memilih, menunjuk atau mengutus para utusan-Nya (para nabi-Nya dan para malaikat-Nya)?, serta jika ada, apa kelebihan atau keistimewaan para nabi-Nya, dibanding seluruh umat manusia lainnya?.
~ Apa hakekat dari 'kenabian terakhir' pada nabi Muhammad saw?, serta hakekat dari agama Islam dan kitab suci Al-Qur'an sebagai agama dan kitab tauhid yang terakhir?.
~ Apakah ada 'nabi-nabi baru' setelah nabi Muhammad saw?, serta jika tidak ada, bagaimana kemustahilan atas turunnya 'nabi-nabi baru' itu?.
~ Apakah ada Imam Mahdi?, serta bagaimana kemungkinan ataupun kemustahilan keberadaannya?.
~ Apa hakekat dari kebangkitan 'hidup kembali' nabi Isa as, nabi Yahya as dan seluruh umat manusia lainnya?, serta kapan terjadinya ('sebelum' Hari Kiamat, 'pada' Hari Kiamat, 'sebelum' akhir jaman, 'pada' akhir jaman atau di waktu lainnya)?.
Jika ada, apa perbedaan antara kebangkitan 'hidup kembali' nabi Isa as, nabi Yahya as dan seluruh umat manusia lainnya?
~ Apa hakekat dari ruh, fitrah dan hati-nurani manusia?.
~ Apa sifat-sifat dari zat ruh makhluk-Nya?, serta apa sifat, fungsi dan definisi dari elemen-elemen ruh (akal, nafsu, hati/kalbu, hati-nurani, catatan amalan, dsb)?.
Apa saja elemen pengendali pada tiap zat ruh makhluk-Nya?, serta bagaimana cara proses pengendaliannya?.
~ Bagaimana cara proses berpikir manusia, termasuk cara proses perolehan tiap pengetahuannya?.
Jika ada, apa kaitan antara akal dengan hati-nurani dan elemen-elemen ruh lainnya?.
~ Apa hakekat dari perbuatan dosa (kecil dan besar), dengan berbagai bentuknya kemusyrikan, kemungkaran, kekafiran, kemunafikan, kezaliman, kefasikan, dsb?, serta bagaimana pengaruhnya bagi pelakunya sendiri, orang lain dan alam sekitar?.
~ Apa hakekat dari taubat?, serta bagaimana cara-cara melakukannya?.
Jika ada, apakah ada penebusan atau penghapusan dosa dalam ajaran agama Islam, oleh tiap manusianya sendiri ataupun oleh orang lainnya?.
~ Bagaimana cara melayani, membersihkan atau mensucikan ruh?.
~ Jika ada, apa kekeliruan atau kesalahan pada konsep 'inkarnasi' dan 'reinkarnasi'?.
~ Apa hakekat dan tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini dan kehidupan fisik-lahiriah-nyata makhluk-Nya di dunia?.
~ Bagaimana pengabdian segala makhluk-Nya kepada-Nya?, serta jika ada, apa hambatan atas pengabdian itu, dari diciptakan-Nya kehidupan dunia fana ini?.
~ Apa hakekat dari penunjukan umat manusia sebagai 'khalifah-Nya' (penguasa) di muka Bumi (di dunia)?, serta apa kelebihan dan kekurangan manusia dibanding segala makhluk-Nya lainnya?.
~ Apa hakekat dari Surga dan Neraka?, serta jika ada, apa kaitannya dengan segala pahala-Nya dan beban dosa yang diperoleh tiap makhluk-Nya, dari segala bentuk amal-perbuatannya (baik dan buruk)?.
~ Apa hakekat dan tujuan dari diciptakan-Nya kehidupan akhirat (termasuk kehidupan di Surga dan di Neraka sejak Hari Kiamat)?, serta jika ada, apa kaitannya dengan kehidupan batiniah ruh atau pikiran tiap manusia di dunia?.
~ Apa hakekat dari Hari Kiamat, dan kejadian-kejadian di sekitarnya (kebangkitan; pertemuan, pengumpulan; penyaksian; penghisaban; pengadilan, pemutusan dan pembalasan)?, serta jika ada, apa kaitannya dengan kematian atas tiap makhluk-Nya (termasuk tiap manusia)?.
Jika ada, apa perbedaan antara Hari Kiamat dan akhir jaman?
~ Bagaimana wujud kehidupan manusia di akhirat, setelah Hari Kiamat?
~ Apa hakekat dari 'syafaat'?, serta jika ada, apa kaitannya dengan amal-perbuatan tiap manusia, pengajaran-Nya dari para nabi-Nya, dan proses penyaksian pada Hari Kiamat?.
~ Apa hakekat dari 'mau dan tidak mau' bersujudnya para makhluk gaib kepada nabi Adam as (khususnya para malaikat dan iblis), ketika awal penciptaan nabi Adam as?.
~ Bagaimana cara proses penciptaan para makhluk gaib (dari api dan cahaya)?.
~ Bagaimana 'wujud atau rupa asli' dari para makhluk gaib?.
Bagaimana kecerdasan mereka, termasuk jika dibanding dengan manusia?.
Apa saja tugas-amanat yang diberikan-Nya kepada mereka?.
~ Apa hakekat dari pengelompokan para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis)?, serta jika ada, apa kaitannya dengan keseimbangan segala pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah bagi tiap manusia?.
~ Apa hakekat dari kekafiran para syaitan dan iblis, serta ketundukan, kepatuhan dan ketaatan para malaikat, kepada perintah-Nya?.
~ Apa hakekat dari 'ilham', 'bisikan' atau 'godaan' dari para makhluk gaib, kepada tiap manusia?.
~ Bagaimana cara berinteraksi antara para makhluk gaib dan manusia (terutama melalui 'bisikan suara' dari para makhluk gaib)?, serta apa alat-sarana interaksinya?.
~ Apa saja elemen yang paling dasar bagi penyusunan atau penciptaan alam semesta ini?, serta jika ada, apa kaitan antara 'Ruh', 'Atom'/'materi terkecil' dan 'Energi'.
~ Bagaimana cara proses awal penciptaan alam semesta ini, sampai proses akhirnya di akhir jaman, sesuai konsep kosmogoni dan kosmologi dalam ajaran agama Islam?.
Jika ada, apa kekeliruan atau kesalahan teori 'Big Bang'?
~ Jika ada, apa kekeliruan atau kesalahan teori ilmuwan barat, tentang asal-muasal kehidupan makhluk di Bumi, teori 'evolusi' ataupun teori 'anti-materi'?.
~ Bagaimana cara proses dan siklus penciptaan tiap makhluk nyata (termasuk manusia), dari benih dasar tubuh wadahnya (tanah liat kering dari lumpur berwarna hitam, dan air mani), hidup, lahir, tumbuh, mati, sampai menjadi tanah kembali?.
~ Bagaimana cara proses penciptaan nabi Adam as, Hawa, nabi Isa as, dan manusia pada umumnya?, serta jika ada, apa saja keadaan khusus dalam penciptaannya?.
~ Apa hakekat dan tujuan dari syariat dan aturan-hukum-ketentuannya?.
Bagaimana cara proses ditentukan-Nya syariat, bagi tiap-tiap umat?.
Jika ada, apa kaitan antara syariat, pengalaman rohani-moral-spiritual, akhlak dan keadaan kehidupan akhirat?.
~ Apa hakekat dari 'jalan hidup' tiap manusia dan 'jalan-Nya yang lurus'?.
~ Apa hakekat dan tujuan dari 'ujian-Nya' (lahiriah dan batiniah)?.
Bagaimana cara proses pemberian segala bentuk ujian-Nya?.
Bagaimana batas dan kemampuan manusia dalam menghadapi ujian-Nya?.
Jika ada, apa kaitan antara ujian-Nya dan tiap amal-perbuatan manusia, yang dilakukan saat sedang menghadapi ujian-Nya itu?.

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , | 1 Komentar

Bagaimana cara Allah berbuat di alam semesta ini


Bagaimana cara Allah berbuat di alam semesta ini

Berapa jumlah umat Islam yang masih menganggap, bahwa Allah bisa berbuat, misalnya:
tidak baik, tidak adil, pilih-kasih, sekehendak, sewenang-wenang, semena-mena, zalim,
aniaya, dsb?. Subhaanallah, 'masih banyak', yang terutama diketahui dari sejumlah
pemahaman pada sebagian aliran-mazhab-golongan di kalangan umat Islam.
Hal ini menunjukkan, bahwa umat Islam ataupun umat manusia belum
benar-benar memahami, bagaimana cara Allah berbuat di alam
semesta ini, melalui 'Sunatullah' (Sunnah Allah).

Sesuatu zat bisa dikenal atau diketahui oleh zat lainnya, jika zat itu memiliki 'esensi' dan 'perbuatan'. Jika salah-satu darinya ('esensi' atau 'perbuatan'), tidak bisa diungkapkan, diterangkan atau ditunjukkan oleh zat lainnya, maka zat itu memang 'tidak ada' (tidak ada wujudnya). Dalam berusaha mengamati dan menelaah alam semesta ini, terutama tentang Allah, Tuhan Yang telah menciptakannya, Yang menjadikannya tetap tegak-kokoh sampai sekarang ini, dan Yang tiap saatnya pasti selalu mengatur segala sesuatu hal di dalamnya, tentunya umat manusia justru sama sekali tidak bisa melihat atau mengetahui 'esensi' dari Zat Allah, Yang bersifat Maha Gaib.

Bahkan Zat Allah juga bersifat Maha Suci dan tersucikan dari segala sesuatu halnya, termasuk mustahil bisa dijangkau oleh alat-alat indera lahiriah dan batiniah pada tiap umat manusia (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, hati / kalbu, dsb), di dunia ataupun di akhirat. Alat-alat indera pada tiap makhluk-Nya justru hanya semata bisa menjangkau segala hal, yang terdapat di alam semesta ini, berupa segala zat ciptaan-Nya (nyata dan gaib, hidup dan mati), dan segala kejadiannya (lahiriah dan batiniah). Bahkan akal tiap makhluk-Nya, yang bisa menjangkau segala hal 'di luar' alam semesta ini ('di luar' informasi dari alat-alat inderanya), juga mustahil bisa menjangkau Zat Allah. Bahkan tidak ada satupun ayat kitab suci Al-Qur'an, yang menyebutkan 'langsung' tentang Zat Allah (hanya ada disebut tentang berbagai perbuatan, kehendak dan sifat Allah).

Namun umat manusia justru masih bisa mengenal atau mengetahui 'perbuatan' dari Zat Allah di alam semesta ini, yang berupa segala proses kejadian (lahiriah dan batiniah), yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah). Karena kedua sifat ini adalah ukuran yang paling mendasar dan utama, yang justru membedakan antara perbuatan Allah dan perbuatan segala makhluk-Nya di alam semesta ini. Sebaliknya perbuatan makhluk-Nya bersifat 'relatif' (tidak pasti terjadi / berlaku) dan 'fana' (tidak konsisten / berubah-ubah). Kedua sifat mendasar ini, lalu lebih umum dikenal sebagai sifat-sifat "Maha Kuasa" dan "Maha Kekal" pada Zat Allah.

Sekali lagi, hanya semata dari sifat-sifat 'mutlak' dan 'kekal' ini, umat manusia bisa mengenal berbagai perbuatan Allah di alam semesta ini. Dari segala perbuatan Allah yang telah dikenal, lalu bisa dikenal berbagai kehendak Allah. Serta dari segala kehendak Allah yang telah dikenal, lalu bisa dikenal berbagai sifat Allah. Seluruh perbuatan, kehendak dan sifat-Nya tentunya juga pasti bersifat 'mutlak' dan 'kekal'. Dan sekali lagi, seluruh sifat-Nya ini sama sekali bukan tentang 'esensi' Zat Allah, namun tentang 'perbuatan' Zat Allah.

Usaha dan proses pengenalan seperti ini juga telah dilakukan oleh nabi Muhammad saw, yang lalu mengungkap keseluruhan sifat-Nya yang bisa diketahuinya, melalui Asmaul Husna (nama-nama terbaik yang hanya milik Allah). Bahkan proses pengenalan yang amat dikenal oleh umat Islam, dan disebut langsung di dalam kitab suci Al-Qur'an, adalah proses yang dialami oleh nabi Ibrahim as, ketika mencari dan mengenal Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta alam semesta ini (pada QS.6:74-83).

Segala perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini (pada aspek lahiriah dan aspek batiniah), pada dasarnya telah umum dikenal oleh umat Islam sebagai 'sunatullah' (Sunnah Allah). Sedangkan 'hukum alam' (law of nature) yang telah umum dikenal oleh masyarakat dunia, biasanya lebih dikaitkan dengan sunatullah pada aspek lahiriah.

Namun amat ironisnya, sebagian dari umat Islam justru memisahkan, membedakan atau bahkan saling mempertentangkan, antara 'perbuatan Allah' dan 'sunatullah'. Misalnya pada pemahaman mereka, seperti "sunatullah atau hukum alam justru telah mengurangi atau membatasi kekuasaan Allah". Padahal sunatullah itu sendiri memang bukti kekuasaan Allah. Padahal makna istilahnya cukup jelas, 'Sunatullah' (Sunnah Allah) adalah perbuatan Allah. Serupa dengan 'Sunnah Nabi' adalah perbuatan nabi Muhammad saw (berupa lisan, sikap dan perbuatannya, di luar kandungan isi kitab suci Al-Qur'an).

"Sebagai suatu sunatullah (sunnah Allah) yang telah berlaku, sejak dahulu, kamu sekali-kali tiada akan menemukan perubahan dan penyimpangan bagi sunatullah itu." – (QS.48:23) dan (QS.33:62, QS.35:43).

"… dan sesungguhnya, telah berlalu sunatullah (sunnah Allah), terhadap orang-orang yang terdahulu." – (QS.15:13) dan (QS.40:85, QS.3:137, QS.8:38).

"…Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.", "Tidak ada suatu keberatanpun atas Nabi, tentang apa yang telah ditetapkan-Nya baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunatullah (sunnah Allah) pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku," – (QS.33:37-38) dan (QS.77:7, QS.78:39).

Namun penting diketahui, bahwa pembedaan antara sifat-sifat perbuatan Allah dan perbuatan segala makhluk-Nya di atas, pada dasarnya bersifat umum. Karena perwujudan atas segala perbuatan Allah di alam semesta ini (pelaksanaan sunatullah), justru dilakukan 'bukan langsung' oleh Allah sendiri, tetapi oleh segala makhluk-Nya (bahkan termasuk oleh iblis dan manusia yang paling kafir sekalipun). Maka dalam blog ini, segala perbuatan Allah di alam semesta ini, sering disebut "'melalui' sunatullah" (bukan langsung oleh Allah).

Lebih jelasnya lagi, segala bentuk perbuatan tiap makhluk-Nya tiap saatnya, pada dasarnya bisa terdiri dari: perbuatan 'bebas' dan perbuatan 'tak-bebas'. Perbuatan 'bebas' berasal dari segala 'kebebasan', yang telah diberikan-Nya bagi tiap makhluk-Nya (dengan diciptakan-Nya 'akal' dan 'nafsu-keinginan'). Sedangkan perbuatan 'tak-bebas' berasal dari segala 'fitrah dasar', yang telah ditanamkan-Nya pada zat ruh tiap makhluk-Nya, pada saat awal penciptaan zat ruhnya itu sendiri. Ringkasnya, ada berbagai perbuatan yang 'bebas' dilakukan oleh tiap makhluk-Nya, serta ada pula berbagai perbuatan yang 'tak-bebas' dan 'pasti' dilakukannya, dalam berbagai keadaan tertentu (secara sadar ataupun tidak). Maka segala bentuk perbuatan yang 'tak-bebas' dan 'pasti' dilakukan oleh segala makhluk-Nya di alam semesta ini, yang justru mewujudkan segala perbuatan Allah.

Namun untuk bisa 'meringkas' dan 'menyederhanakan' penjelasan atas hal itu, maka di dalam kitab suci Al-Qur'an biasanya disebut, bahwa perwujudan atas segala perbuatan Allah di alam semesta ini (pelaksanaan sunatullah), justru dilakukan ataupun dikawal oleh tak-terhitung jumlah para malaikat-Nya, dalam "mengatur segala sesuatu urusan Allah di alam semesta ini". Termasuk karena para malaikat-Nya memang pasti tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah-Nya. Serta jumlah para malaikat-Nya memang tak-terhitung kali jumlah makhluk nyata, termasuk seluruh umat manusia (peranan para malaikat-Nya dalam pelaksanaan sunatullah jauh lebih dominan, dan meliputi seluruh alam semesta ini).

Lebih lanjutnya lagi, segala perintah-Nya kepada para malaikat-Nya, justru hanya diberikan-Nya 'sekali' saja (pada saat awal penciptaan zat ruhnya masing-masing), dengan ditanamkan-Nya segala 'fitrah dasar' pada tiap zat ruhnya itu. Dan baca pula pelaksanaan sunatullah dikawal oleh tak-terhitung jumlah malaikat, untuk penjelasan atau uraian yang lebih lengkapnya.

"dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi atau mengatur urusan(-Nya)," – (QS.51:4) dan (QS.79:5).

"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril, dengan ijin Rabb-nya untuk mengatur segala urusan(-Nya)." – (QS.97:4).

"Demi malaikat-malaikat yang diutus(-Nya) untuk membawa kebaikan dan menyebarkan (segala rahmat-Nya) dengan seluas-luasnya," – (QS.77:1) dan (QS.77:3).

"Dia menurunkan para malaikat dengan (membawa) wahyu, dengan perintah-Nya, kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, …" – (QS.16:2).

"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah-Nya. …" – (QS.13:11).

"… (Neraka) Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." – (QS.66:6).

Sebagai sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', tentunya sunatullah juga bisa disebut 'aturan, hukum, ketentuan atau ketetapan-Nya'. Karena sunatullah memang pasti tiap saatnya selalu mengatur segala proses kejadian, atas segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini, sesuai dengan segala keadaan lahiriah dan batiniahnya masing-masing, tiap saatnya. Maka sunatullah justru bersifat 'alamiah' (sesuai segala keadaan tiap saatnya pada tiap zat ciptaan-Nya) dan 'universal' (pasti berlaku sama sejak awal penciptaan alam semesta sampai akhir jaman), di samping itu juga bersifat amat sangat teratur, halus, tidak kentara dan seolah-olah terjadi begitu saja. Serta sunatullah berupa tak-terhitung jumlah aturan atau rumus proses kejadian (lahiriah dan batiniah) di seluruh alam semesta ini.

Pemahaman atas sunatullah justru amat penting, agar bisa mengenal tiap kehendak dan sifat-Nya, serta bisa memahami ajaran-ajaran agama-Nya secara utuh dan mendalam. Bahkan pemahaman atas sunatullah relatif paling dikuasai oleh para nabi-Nya, dibanding seluruh umat manusia lainnya di tiap jamannya, terutama karena mereka memang relatif amat sering mengamati dan mempelajari tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta ini (lahiriah dan batiniah).

Sunatullah sebagai aturan atau hukum-Nya, untuk mengatur seluruh alam semesta ini, tentunya berbeda daripada 'aturan atau hukum syariat', untuk mengatur umat-umat yang beriman kepada ajaran-ajaran agama-Nya. Termasuk sunatullah bersifat 'memaksa' atau 'mutlak' (pasti terjadi / berlaku). Sedangkan aturan atau hukum syariat bersifat 'tidak memaksa' (berupa anjuran atau keredhaan-Nya untuk diikuti oleh tiap umat manusia, bagi keselamatan, kebahagiaan dan kemuliaannya sendiri, bukan demi kepentingan Allah). Juga sunatullah bersifat 'netral' (bisa menguntungkan atau merugikan bagi tiap makhluk-Nya). Sedangkan aturan atau hukum syariat bersifat 'menguntungkan' bagi tiap umat manusia.

Adapun pola pelaksanaan sunatullah ditunjukkan secara amat umum dan sederhana pada gambar berikut. Input-masukan bagi rumus proses dalam sunatullah, berupa segala keadaan lahiriah dan batiniah 'tiap saatnya', yang sedang dialami oleh tiap zat ciptaan-Nya, baik segala keadaan pada dirinya sendiri, maupun pada lingkungan di sekitarnya. Berbagai keadaan awal ini bisa diusahakan untuk diubah-ubah oleh tiap makhluk-Nya, hanya 'sesaat sebelum' mulai berlakunya sunatullah 'tiap saatnya', atas zat itu.

Serta hanya 'sesaat setelah' berlakunya sunatullah, maka zat itupun lalu mengalami segala keadaan yang baru (keadaan akhir), sebagai hasil atau output-keluaran dari rumus proses dalam sunatullah. Hasil atau keadaan akhir ini tentunya juga ikut mengubah segala keadaan terkait pada lingkungan di sekitarnya. Hasil atau keadaan akhir ini, adalah bentuk balasan-Nya secara setimpal 'tiap saatnya', atas tiap perubahan keadaan awal pada zat itu. Dan balasan-Nya 'tiap saatnya' ini juga telah biasa dikenal sebagai 'qadla-Nya' bagi zat itu.

Gambar diagram sederhana fungsi sunatullah

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , , , , , | 2 Komentar

Tahapan umum kejadian manusia


Tahapan umum kejadian manusia, sejak awal sampai akhir jaman

Sejak saat paling awal penciptaan alam semesta ini, sampai saat paling akhirnya (akhir jaman), tiap manusia melewati atau mengalami berbagai alam (alam ruh / arwah, alam
rahim, alam dunia, alam kubur, alam akhirat, dsb). Sehingga tiap manusia tentunya
juga menghadapi berbagai tahapan kejadian atau pembentukan. Berikut ini
diungkap secara umum, tentang berbagai tahapan kejadian tersebut.

Sejak saat paling awal penciptaan keseluruhan alam semesta ini, sampai saat paling akhirnya (akhir jaman, atau saat berakhirnya kehidupan fisik-lahiriah-duniawi bagi segala makhluk ciptaan-Nya), tiap umat manusia pasti melewati atau mengalami berbagai alam (alam ruh / arwah, alam rahim, alam dunia, alam kubur, alam akhirat, dsb). Sehingga tiap umat manusia tentunya sekaligus pula pasti menghadapi berbagai tahapan kejadian atau pembentukan. Adapun urutan penciptaan alam semesta ini sejak saat paling awal, sampai saat paling akhirnya (akhir jaman), telah diungkap cukup lengkap di dalam artikel/posting terdahulu "Urutan penciptaan alam semesta". Termasuk di dalamnya telah diungkap pula elemen-elemen yang paling dasar, bagi penciptaan alam semesta ini (termasuk penciptaan seluruh umat manusia), yaitu: 'Ruh', 'Materi terkecil' dan 'Energi'.

Hakekat dari tiap makhluk ciptaan-Nya justru pada 'ruhnya' masing-masing. Maka dalam berbagai tahapan kejadian atas tiap umat manusia, sejak awal sampai akhir jaman, juga amat terkait dengan kejadian-kejadian atas 'zat ruhnya' itu sendiri, yang secara umum dan sederhana telah ditunjukkan pada gambar berikut ini. Berbagai tahapan kejadian atas segala makhluk nyata lainnya, pada dasarnya relatif serupa dengan kejadian-kejadian atas manusia. Sedangkan segala makhluk gaib yang memang relatif tidak memiliki tubuh wadah fisik-lahiriah, justru selalu hidup di alam ruh / arwah dan alam akhirat.

Penting diketahui dari artikel/posting terdahulu "Jagalah hati-pikiran", bahwa alam akhirat adalah alam batiniah ruh atau alam pikiran tiap makhuk ciptaan-Nya. Maka pada segala makhuk nyata, alam akhiratnya pasti selalu berjalan bersamaan dengan alam-alam lain yang dialaminya (alam ruh / arwah, alam rahim, alam dunia dan alam kubur), namun alam akhirat berada pada aspek batiniahnya. Dengan sendirinya dari kerangka waktunya, alam ruh / arwah, alam rahim, alam dunia dan alam kubur adalah bagian-bagian dari alam akhiratnya. Sedangkan pada segala makhluk gaib, tentunya hanya dialami bersamaan alam ruh / arwah dan alam akhirat.

Dan juga penting diketahui, bahwa pada saat paling awal penciptaan seluruh zat ruh makhuk ciptaan-Nya, ke dalamnya telah ditanamkan-Nya segala keadaan, sifat atau fitrah dasar, yang sama-sama suci-murni dan tanpa dosa (sebagai bentuk paling awal ke-Maha Adil-an Allah). Sehingga seluruh makhuk ciptaan-Nya (bahkan termasuk pula para syaitan dan iblis), pada awalnya justru masih hidup di Surga (di alam akhirat), serta tentunya juga sekaligus hidup di alam ruh / arwah.

Adapun berbagai tahapan kejadian atas manusia, secara garis besarnya, meliputi:

1. Allah, Maha Awal.
2. Awal penciptaan alam semesta, dari tak-terhitung Ruh dan Atom-materi terkecil, sekaligus 'seluruh' manusia mulai hidup di alam ruh / arwah dan alam akhirat.
3. Ditiupkan-Nya 'zat ruh' tiap manusia ke benih dasar tubuh wadahnya, di rahim induk-ibunya, sekaligus ia mulai hidup di alam rahim.
4. Tiap bayi manusia terlahir ke dunia, sekaligus ia mulai hidup di alam dunia.
5. Kematian medis-teknis tiap manusia (Hari kiamat 'kecil' / saat tiupan sangkakala yang pertama), sekaligus ia mulai hidup di alam kubur.
6. Diangkat-Nya 'zat ruh' tiap manusia dari jasad tubuhnya (saat tiupan sangkakala yang kedua), sekaligus ia mulai hidup di alam ruh / arwah dan alam akhirat.
7. Kematian 'seluruh' manusia terakhir (akhir jaman / Hari kiamat 'besar'), sekaligus 'seluruh' manusia terakhir mulai hidup di alam ruh / arwah dan alam akhirat (tentunya setelah melewati alam kuburnya masing-masing).
8. Hancur-musnahnya alam semesta (jika dikehendaki-Nya), sekaligus hancur-musnahnya 'seluruh' zat makhluk ciptaan-Nya.
9. Allah, Maha Akhir.

Dari gambar berikut tampak cukup jelas, ataupun bisa diungkap beberapa catatan penting lainnya, antara-lain:

1. Hanya Zat Allah Yang Maha Kekal, Maha Awal dan Maha Akhir (tanpa awal dan tanpa akhir).
2. Segala 'zat ruh' makhluk ciptaan-Nya bersifat 'kekal' (sebatas kekekalan usia alam semesta). Hakekat dari tiap makhluk ciptaan-Nya pada 'ruh'-nya (zat dan isinya).
3. Tubuh wadah fisik-lahiriah pada tiap manusia, bersifat 'fana-sementara' (sebatas usia hidupnya di alam dunia).
4. Kehidupan dan alam akhirat, adalah kehidupan dan alam batiniah ruh (pikiran). Surga dan Neraka, adalah keadaan batiniah ruh yang positif (bahagia, senang, mulia, dsb) dan yang negatif (merana, sedih, hina, dsb), yang bersifat hakiki dan kekal (bukan bersifat semu, fana dan fisik-lahiriah-duniawi).
5. Pada saat paling awal penciptaan 'zat ruh' makhuk ciptaan-Nya, ke dalamnya telah ditanamkan-Nya segala keadaan dasar, yang suci-murni dan tanpa dosa (bentuk paling awal ke-Maha Adil-an Allah). Maka seluruh makhuk ciptaan-Nya (termasuk para syaitan dan iblis), pada awalnya justru hidup di Surga (di alam akhirat).
6. Nabi Adam as, para syaitan dan iblis lalu 'diusir atau diturunkan-Nya' dari Surga, karena keadaan batiniah ruhnya masing-masing telah 'mulai' mengandung beban dosa, dari hasil perbuatan dosa 'pertama' mereka ('turun' kemuliaan mereka).
Kejadian pada awal penciptaan manusia ini, amat banyak mengandung "contoh-perumpamaan simbolik", maka mestinya dipahami secara amat cermat, hati-hati dan mendalam.
7. Setelah ditiupkan-Nya zat ruh tiap manusia ke tubuh wadahnya, suatu saat zat ruh inipun pasti akan kembali kepada-Nya (dicabut, diangkat atau dibangkitkan-Nya), untuk hidup di alam ruh /arwah dan alam akhirat, yang 'gaib' dan 'kekal'.
8. Setelah kematian tiap manusia, telah selesai segala kehidupan fisik-lahiriahnya, dan memulai kehidupan akhirat di Surga & di Neraka (kehidupan batiniah ruhnya).
9. Alam akhirat bagi tiap manusia (alam batiniah ruhnya), terjadi sepanjang usia zat ruhnya sendiri. Sehingga dari kerangka waktunya, alam ruh / arwah, alam rahim, alam dunia dan alam kuburnya adalah bagian-bagian dari alam akhiratnya.
10. Alam akhirat bagi tiap manusia, pada saat awal penciptaan alam semesta (tahapan B pada gambar), dan pada saat akhirnya (tahapan F & G), adalah alam akhiratnya yang murni dan sebenarnya (tidak bercampur dengan alam-alam fisik-lahiriah).
11. Pembangunan kehidupan akhirat tiap manusia, hanya semata bisa dilakukan selama di alam dunia, melalui segala bentuk amal-perbuatannya, yang pasti mengubah segala keadaan batiniah ruhnya (terutama berupa pahala-Nya dan beban dosa).
Setelah Hari Kiamat atau saat kematiannya, segala amalannya telah terputus.
12. Hari Kiamat ada 2 macam, yaitu: Hari Kiamat 'kecil' (saat kematian atas 'tiap' manusia) dan Hari Kiamat 'besar' (saat kematian atas 'seluruh' manusia terakhir / akhir jaman). Tiap manusia memiliki Hari Kiamatnya masing-masing.
13. Tiap manusia memiliki kehidupan dan alam akhiratnya masing-masing (kehidupan dan alam batiniah ruhnya). Dan tentunya tiap manusia juga memiliki Surga dan Nerakanya masing-masing (segala keadaan batiniah ruhnya).
14. Surga dan Neraka secara 'umum' (Surga 'besar' dan Neraka 'besar'), adalah 'rangkuman simbolik' atas tak-terhitung jumlah Surga 'kecil' dan Neraka 'kecil', yang telah diperoleh melalui segala amal-perbuatan di alam dunia.
Dimana Surga 'kecil' adalah pahala-Nya dari tiap amal-kebaikan. Serta Neraka 'kecil' adalah beban dosa dari tiap amal-keburukan.
15. Surga dan Neraka secara 'khusus', yang dijanjikan-Nya bagi tiap manusia, yang telah melakukan berbagai amal-perbuatan tertentu, adalah Surga 'kecil' dan Neraka 'kecil', yang nilainya memang relatif amat tinggi (pahala-Nya dan beban dosanya).
16. Surga (Surga 'besar') adalah 'rangkuman simbolik' atas segala keadaan batiniah ruh tiap manusia di Hari Kiamat, yang jumlah nilai amal-kebaikan (seluruh pahala-Nya) lebih besar daripada jumlah nilai amal-keburukannya (seluruh beban dosanya).
Hal yang sebaliknya dengan Neraka (Neraka 'besar').
17. Pahala-Nya (Surga 'kecil') dan beban dosa (Neraka 'kecil') justru bersifat 'kekal', sejak diperoleh melalui tiap amal-kebaikan dan keburukan di alam dunia.
Namun tiap beban dosa bisa relatif 'tertutupi' (sama sekali bukan terhapus atau hilang), oleh segala pahala-Nya terkait (termasuk dari hasil bertaubat). Sebaliknya, tiap pahala-Nya juga bisa relatif 'tertutupi' oleh segala beban dosa terkait.
18. Secara alamiah, tiap saatnya tiap manusia bisa 'berpindah-pindah' (berubah-ubah keadaan batiniah ruhnya), dari Surga 'kecil' ke Neraka 'kecil' (ataupun sebaliknya), tergantung 'catatan' tiap amal-perbuatannya yang 'sedang' dibukakan, diberitakan atau dibacakan, oleh para malaikat pencatat amal-kebaikan dan keburukannya (Rakid dan 'Atid).

Gambar skema umum tahapan kejadian manusia

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , | 13 Komentar

Otentisitas teks kitab suci Al-Qur’an, tak-ternilai harganya


Otentisitas teks kitab suci Al-Qur’an, tak-ternilai harganya

Wacana untuk melakukan 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi' atas kitab suci Al-Qur'an, yang
mulai berkembang di kalangan para cendikiawan Muslim, pada dasarnya sama halnya dengan berusaha mengulangi kesalahan sejarah, yang telah dilakukan oleh umat
Nasrani, yang menyusun banyak versi kitab Injil, dan bahkan bukan disusun
langsung oleh Yesus sendiri (nabi Isa as). Maka umat Islam tentunya
mestinya tidak melakukan kesalahan yang serupa pula.

Pada sebagian dari para cendikiawan Muslim dan mahasiswa di berbagai perguruan tinggi agama Islam, telah mulai berkembang wacana 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi' atas kitab suci Al-Qur'an. Para cendikiawan seperti ini boleh jadi tidak menyetujui pemahaman secara 'tekstual-harfiah' atas teks ayat-ayatnya. Juga boleh jadi hendak mencari solusi bagi segala persoalan pemahaman umat Islam atas kitab suci Al-Qur'an. Namun justru wacana 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi' itu telah salah kaprah, dan tidak menempatkan 'kitab suci agama' sebagaimana semestinya.

Teks kitab suci Al-Qur'an yang terus-menerus tetap terjaga 'otentisitas'-nya, justru tak-ternilai harganya bagi pembentukan keyakinan beragama seluruh umat Islam ataupun bahkan seluruh umat manusia. Usaha 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi' tersebut justru bisa menghancurkan salah-satu pondasi yang amat mendasar dalam keyakinan beragama. Juga bisa menimbulkan amat banyak persoalan yang menyangkut 'kitab suci', belum lagi segala persoalan lainnya yang menyertainya, yang bahkan barangkali belum diperhitungkan atau dibayangkan oleh para cendikiawan Muslim itu.

Perkembangan atas wacana itu tentunya amat mengecewakan dan mestinya segera dihentikan. Jika tujuan mereka itu memang hendak mencari solusi bagi segala persoalan pemahaman umat Islam atas kitab suci Al-Qur'an, tentunya mestinya bukan dengan usaha 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi' atas kitab suci Al-Qur'an, namun mestinya dengan usaha memperbaiki langsung tiap pemahaman itu sendiri.

Segala bentuk pemahaman atas ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, tidak akan pernah bersifat sakral sampai kapanpun, karena memang hanya semata milik dan berasal dari tiap pribadi-individu dan kelompok umat. Namun di lain pihaknya, kitab suci Al-Qur'an justru mestinya terus-menerus tetap dijaga kesakralannya, karena memang milik seluruh umat Islam ataupun bahkan seluruh umat manusia, dari umat yang paling awam sampai umat yang paling berilmu, serta tentunya langsung berasal dari nabi Muhammad saw sendiri.

Dengan adanya usaha 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi' itu misalnya, tentunya kitab suci Al-Qur'an yang 'baru', yang akan dihasilkanpun, justru sama sekali tidak akan bersifat sakral. Khususnya karena bukan langsung berasal dari seorang nabi-Nya, yang memang memiliki pemahaman yang relatif sempurna tentang kebenaran-Nya (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya). Maka “apakah para cendikiawan Muslim penggagas wacana 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi' itu, memang benar-benar telah memiliki kesempurnaan pemahaman seperti halnya pada para nabi-Nya (terutama nabi Muhammad saw)?. Jika keseluruhan pemahaman mereka belum relatif sempurna, atau bahkan hanya semata diilhami dari berbagai risalah para nabi-Nya (tidak membawa berbagai hal yang baru, dan tidak lebih baik daripada ajaran-ajaran para nabi-Nya), tentunya mereka juga belum pantas untuk menyusun sesuatu 'kitab suci'.

Para cendikiawan Muslim itu justru mestinya belajar dari pengalaman umat Nasrani (Kristiani), yang menyusun banyak versi kitab Injil, dan bahkan bukan disusun langsung oleh Yesus sendiri (nabi Isa as), yang juga sekaligus telah menimbulkan perpecahan dan perselisihan di kalangan umat Nasrani. Hal ini tentunya berbeda daripada perpecahan dan perselisihan di kalangan umat Islam, yang justru hanya berbeda pada tingkat pemahaman, namun tetap memakai kitab suci Al-Qur'an yang 'sama'. Segala perbedaan pemahaman di kalangan umat Islam, tentunya mestinya tidak menimbulkan perpecahan dan perselisihan yang relatif lebih keras dan parah, daripada apabila ada perbedaan kitab suci yang dipakai (mestinya tidak mudah saling mengkafirkan antar umat Islam sendiri).

Para cendikiawan Muslim itu mestinya jauh lebih baik, jika bisa menghasilkan kitab tafsir, kitab hikmah atau buku-buku keagamaan lainnya, untuk bisa makin memperbaiki tingkat pemahaman umat Islam, tentang tiap kebenaran-Nya. Namun sama sekali bukan dengan menyusun berbagai kitab suci Al-Qur'an yang 'baru', yang justru relatif tidak akan pernah selesai tuntas, bahkan sampai akhir jaman, melalui usaha-usaha 'dekonstruksi' dan 'desakralisasi', dari jaman ke jaman. Dan juga lebih baik bagi para cendikiawan Muslim itu, untuk tetap beriman kepada kitab suci Al-Qur'an, walaupun barangkali mereka memang tidak menyetujui pemahaman secara 'tekstual-harfiah' atas ayat-ayatnya.

“Dia-lah Yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur`an) kepadamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi dari Al-Qur`an, dan yang lainnya (ayat-ayat) yang mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat, untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: `Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb-kami`. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya), melainkan orang-orang yang berakal.” – (QS.3:7).

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , | 4 Komentar

Gambaran cara berinteraksi dengan makhluk gaib


Gambaran cara-cara berinteraksi dengan para makhluk gaib

Di dalam berkomunikasi melalui 'suara bisikan'-nya kepada manusia, pada dasarnya ada 2
macam cara berinteraksi dengan para makhluk gaib, yaitu: “interaksi secara terselubung”
dan “interaksi secara terang-terangan”. “Interaksi secara terselubung” pasti dialami oleh
tiap manusia tiap saatnya, sedangkan “interaksi secara terang-terangan” hanya dialami
oleh amat terbatas jumlah manusia, sampai saat ini. Berikut ini diungkap 'gambaran'
tentang kedua macam cara berinteraksi, bukan 'bagaimana' cara berinteraksinya.

Kata pengantar

Ada cukup banyak macam cara berinteraksi antara manusia dan para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang dikemukakan dalam berragam sumber. Tetapi dalam artikel/posting sekarang dan juga buku “Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW“, hanya dikemukakan cara-cara berinteraksi dengan para makhluk gaib, yang melalui 'suara bisikan' mereka kepada manusia. Hal ini amat perlu dikemukakan, terutama karena amat berkaitan dengan proses penyampaian wahyu-Nya, dari para malaikat Jibril kepada para nabi-Nya, yang relatif cukup lengkap telah diuraikan dalam artikel/posting terdahulu “cara proses diturunkan-Nya wahyu kepada para nabi-Nya“.

Berkaitan dengan 'kejelasan' wujud 'suara bisikan' dari para makhluk gaib itu, maka interaksi antara mereka dan manusia, bisa dikelompokkan menjadi 2 macam cara, yaitu: “interaksi secara terselubung” dan “interaksi secara terang-terangan”. Kedua macam cara ini sama-sama hanya berupa interaksi secara batiniah, dimana mereka bisa berbicara atau berkomunikasi dengan tiap manusia, melalui 'suara bisikan' mereka pada alam batiniah ruh manusianya (alam pikirannya). Serta 'suara bisikan' mereka juga sama-sama mengandung hal-hal yang positif-benar-baik (dari para malaikat) dan negatif-sesat-buruk (dari para jin, syaitan dan iblis). Namun dalam “interaksi secara terang-terangan”, suara bisikan mereka 'amat jelas' (relatif sama seperti suara manusia biasa) dan komunikasinya berlangsung 'dua arah' (melalui 'hati-pikiran'-nya, manusia bisa berbicara kepada mereka, secara timbang-balik). Sedangkan dalam “interaksi secara terselubung”, suara bisikan mereka 'tidak jelas' (amat sangat halus) dan komunikasinya berlangsung 'searah' (hanya semata dari mereka, tidak secara timbang-balik).

Dalam “interaksi secara terselubung” khususnya, 'suara bisikan' mereka (bisikan / suara hati / kata hati), lebih tepat disebut 'godaan', 'ilham' atau 'inspirasi', terutama karena memang jauh lebih luas cakupannya, tidak hanya berupa 'suara' yang amat sangat halus, tetapi juga berupa segala 'bentuk informasi' yang terdapat dalam pikiran manusia, seperti: bunyian, gambar, rasa, emosi ataupun perasaan, pahala dan beban dosa, nafsu-keinginan, memori-ingatan, pemahaman atau pengetahuan, pemikiran, intuisi-logika, dsb. Sedangkan dalam “interaksi secara terang-terangan”, 'suara bisikan' mereka juga pada dasarnya lebih luas cakupannya, berupa segala 'bentuk informasi' yang terdengar jelas oleh telinga lahiriah manusia (segala suara dan bunyian). Di dalam interaksi secara batiniah, 'telinga' dan 'mata' tentunya berupa 'hati / kalbu', sebagai alat indera batiniah pada tiap zat ruh makhluk, dan sebagai tempat bagi para makhluk gaib dalam memberikan 'suara bisikan'-nya (ilhamnya).

Tiap ilham itu pada dasarnya berbentuk amat halus, singkat dan sederhana, namun juga bisa terbentuk rangkaian sejumlah ilham terkait (menjadi lebih jelas dan lama, seperti dalam isi khayalan, halusinasi dan mimpi). Juga 'godaan' lebih berkaitan dengan ilham yang bersifat negatif-sesat-buruk (dari para jin, syaitan dan iblis).

Harap baca pula topik “ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib“, di samping lihat pula diagram proses berpikir manusia dan diagram elemen ruh dan fungsinya.

“Interaksi secara terselubung” pasti selalu dialami oleh tiap manusia tiap saatnya, dari sejumlah para makhluk gaib yang memang selalu mengikuti, mengawasi dan menjaga tiap manusianya, terutama dalam memberikan segala bentuk bisikan-godaan-ilham, yang positif-benar-baik dan negatif-sesat-buruk. Sedangkan “interaksi secara terang-terangan” justru hanya dialami oleh amat terbatas jumlah manusia, sejak jaman dahulu sampai saat ini. Bahkan disebut dalam kitab suci Al-Qur'an, bahwa sebagian dari para nabi-Nya justru telah mengalami “interaksi secara terang-terangan” ini, antara lain: nabi Ibrahim as, nabi Musa as, nabi Isa as, nabi Luth as, nabi Sulaiman as, nabi Muhammad saw, dsb.

Keseluruhan penjelasan di bawah ini sama sekali bukan untuk mengungkap, tentang 'bagaimana' cara untuk bisa ber-“interaksi secara terang-terangan” dengan para makhluk gaib. Hal semacam ini berada di luar lingkup pembahasan dalam artikel atau blog ini, serta sebaiknya diperoleh dari berbagai sumber lainnya. Namun artikel/posting sekarang hanya semata bertujuan untuk bisa mengungkap atau memberikan gambaran yang makin jelas, tentang hal-hal yang terjadi dalam kedua macam cara berinteraksi. Sehingga umat Islam diharapkan juga bisa makin jelas mengetahui, tentang berbagai kejadian yang sebenarnya dialami oleh nabi Muhammad saw, ketika menerima wahyu-Nya dari para malaikat Jibril. Sekaligus pula, agar bisa memperjelas uraian terkait dalam artikel/posting terdahulu.

Dan sebagai bahan perbandingan, pada bagian bawah artikel/posting sekarang, juga diungkapkan kembali sejumlah keterangan yang berkembang cukup luas di kalangan umat Islam, tentang keadaan dan kejadian 'luar biasa' yang pernah dialami oleh nabi Muhammad saw, ketika menerima wahyu-Nya. Sekaligus disertai pula dengan uraian pembahasannya, yang menurut pemahaman atau penilaian relatif dari penulis sendiri.

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , , , | 61 Komentar

Metode pencapaian pemahaman Al-Hikmah


Metode pencapaian pemahaman Al-Hikmah atas ajaran-ajaran agama-Nya (menggapai kembali Al-Hikmah pada para nabi-Nya, yang TERLUPAKAN)

Terlepas dari berragamnya definisi atas Al-Hikmah, yang berkembang di kalangan
umat Islam, definisi atas Al-Hikmah di sini, adalah pemahaman yang relatif tertinggi
tentang kebenaran-Nya, dengan segala dalil-alasan dan penjelasannya yang relatif
kokoh-kuat dan lengkap. Al-Hikmah dimiliki oleh seluruh para nabi-Nya, walaupun
hanya sebagiannya yang memiliki Al-Kitab. Uraian-uraian berikut mencoba
mengungkap metode-cara untuk mencapai pemahaman Al-Hikmah.

"Allah memberikan hikmah-Nya, kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah-Nya, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal." – (QS.2:269).

"Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabb kepadamu. …" – (QS.17:39).

"… . dan ingatlah nikmat-Nya kepadamu, yaitu Al-Kitab dan Al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu, dengan apa yang diturunkan-Nya itu. …" – (QS.2:231).

"(Para nabi-Nya) Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah dan kenabian. …" – (QS.6:89).

"Dan sesungguhnya, Al-Qur`an itu (tercatat) dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya), dan amat banyak mengandung hikmah." – (QS.43:4).

Ada berbagai definisi-pengertian atas Al-Hikmah yang berkembang luas di kalangan umat Islam, yang berbeda daripada pengertian yang dimaksud di sini. Al-Hikmah misalnya justru dikaitkan ataupun didefinisikan, dengan: Sunnah / Hadits Nabi; ilmu kebatinan, ilmu kanuragan dan ilmu pengobatan; pemahaman pada hanya sebagian kelompok umat Islam (kelompok Sufi, kelompok Syiah – Imamiyah dan Ismailiyah, dsb); kalimat bijaksana, kata mutiara dan petuah; dsb.

Namun definisi atas Al-Hikmah di sini, adalah pengetahuan atau pemahaman yang relatif paling tinggi tentang kebenaran-Nya, dengan segala dalil-alasan dan penjelasannya yang relatif kokoh-kuat dan lengkap, tentunya dengan berbagai tingkat kesempurnaannya. Al-Hikmah bisa dimiliki oleh siapapun (Muslim dan non-Muslim). Bahkan hukum gravitasi dan hukum kekekalan energi / massa, juga merupakan Al-Hikmah. Walaupun khususnya dalam kehidupan beragama, Al-Hikmah memang lebih banyak terkait dengan hal-hal gaib dan batiniah. Al-Hikmah juga biasanya disebut sebagai 'cahaya kebenaran-Nya' (nur ilahi), 'hikmah dan hakekat kebenaran-Nya', 'petunjuk-Nya' atau 'makrifat'.

Al-Hikmah semacam ini bahkan telah dimiliki oleh seluruh para nabi-Nya, namun amat disayangkan, justru telah relatif amat dilupakan oleh umat Islam. Terutama karena umat Islam relatif amat jarang mengungkap kembali nilai-nilai universal, yang terkandung dalam ajaran-ajaran agama Islam (tiap Al-Hikmahnya). Umat Islam pada umumnya hanya 'berhenti' pada keterangan dari ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, yang menyatakan, "Islam, kitab suci Al-Qur'an dan nabi Muhammad saw, adalah agama, kitab dan nabi-Nya untuk seluruh umat manusia" (seperti QS.5:3, QS.2:132, QS.3:19, QS.3:85, QS.68:52, QS.3:138, QS.34:28 dan QS.16:89), dalam menunjukkan aspek universalitas dari ajaran agama Islam. Dan sekaligus pula, umat Islam hanya 'berhenti' pada pemahaman secara 'tekstual-harfiah' semata atas ajarannya (pemahaman yang persis seperti isi atau bunyi teks-teksnya), yang dianggapnya juga bersifat universal (pasti bisa sesuai dipakai bahkan sampai akhir jaman).

"Apakah pemahaman secara 'tekstual-harfiah' ini benar-benar bisa menjawab atau menjelaskan segala sesuatu hal di dalam ajaran-ajaran agama Islam, secara relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh, tidak saling bertentangan dan tuntan?, juga termasuk apakah pemahaman semacam ini benar-benar bersifat universal, dan bagi seluruh umat manusia?.

Maka penulispun lalu amat terpancing untuk menyusun buku "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW" (Al-Hikmah yang terlupakan): Tindakan-Nya pada penciptaan manusia dan alam semesta ini, melalui Sunatullah, untuk mengungkap sebagian nilai-nilai universal yang terkandung di dalam kitab suci Al-Qur'an ('di balik' isi teks ayat-ayatnya), yang sekaligus pula dikembangkan ataupun dijelaskan lebih detail, dengan berbagai bidang ilmu-pengetahuan yang telah berkembang saat ini.

Kebenaran atau pengetahuan milik Allah di alam semesta ini, adalah segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten / tidak berubah-ubah), dengan sendirinya juga bersifat 'universal' (bisa melewati batas waktu, ruang dan budaya), yang justru hanya semata hasil dari perbuatan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Sebaliknya segala kebenaran atau pengetahuan milik manusia, ataupun segala hasil perbuatan makhluk ciptaan-Nya, pasti bersifat 'relatif' dan 'fana'.

Namun apabila telah menggunakan akalnya secara relatif amat obyektif, cermat dan mendalam, maka suatu kebenaran atau pengetahuan 'relatif' milik manusia, pada dasarnya juga bisa 'mendekati' kebenaran atau pengetahuan 'mutlak' milik Allah di alam semesta ini. Kebenaran atau pengetahuan 'relatif' milik manusia seperti ini disebut sebagai 'Al-Hikmah' (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang tentunya mestinya juga bersifat 'universal'. Sehingga tiap Al-Hikmah bisa dipakai dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. Selain itu, Al-Hikmah umumnya juga bersifat relatif amat kompleks, rumit, mendalam, tidak praktis-aplikatif dan tidak aktual (universal).

Dalam kitab suci Al-Qur'an sering disebut bersamaan, antara: 'ilmu-pengetahuan', 'Al-Hikmah', 'Al-Kitab' dan 'kenabian' (pada QS.6:89, QS.3:79, QS.3:48, QS.3:81, QS.29:27, QS.57:26, QS.2:129, QS.2:151, QS.2:231, QS.2:251, QS.3:164, QS.4:54, QS.4:113, QS.5:110 dan QS.62:2). Juga sekaligus disebut, bahwa seluruh para nabi-Nya memiliki Al-Hikmah, walaupun hanya sebagiannya yang memiliki Al-Kitab. Bahkan disebut, bahwa wahyu telah diturunkan-Nya berupa Al-Hikmah, oleh para malaikat Jibril, ke dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya (pada QS.17:39, QS.26:192-194, QS.2:97, QS.25:32 dan QS.29:49). Selain itu juga disebut, bahwa kitab suci Al-Qur'an banyak mengandung hikmah (pada QS.44:2-4, QS.43:4, QS.3:58, QS.36:2, QS.31:2 dan QS.10:1).

Namun begitu, ada persyaratan kesempurnaan tertentu, agar tiap Al-Hikmah bisa disebut 'wahyu'. Dalam pemahaman di sini, persyaratan ini adalah seluruh Al-Hikmahnya mestinya telah tersusun relatif sempurna (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), terutama tentang segala hal yang paling penting, mendasar dan hakiki, bagi kehidupan seluruh umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Karena wahyu memang hadir untuk bisa menjawab secara relatif sempurna, atas segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manusia. Serta penting diketahui, bahwa wahyu dan kenabian telah berakhir secara 'alamiah' pada nabi Muhammad saw. Sehingga tiap Al-Hikmah pada umat manusia setelahnya, bukan disebut 'wahyu', namun tetap hanya disebut 'Al-Hikmah'.

Baca pula artikel/posting terdahulu "cara proses diturunkan-Nya wahyu", dan "pola penyampaian pengajaran-Nya sepanjang masa", tentang hubungan antara malaikat Jibril, akal, pengetahuan, Al-Hikmah, Al-Kitab, wahyu dan kenabian pada para nabi-Nya.

Dalam berusaha mencapai pemahaman Al-Hikmah, tentunya bahan patokan-acuan yang paling utama mestinya kitab suci Al-Qur'an ("ayat-ayat-Nya yang tertulis"), sebagai kitab pengajaran dan tuntunan-Nya yang paling akhir, lengkap dan sempurna, yang masih dimiliki oleh seluruh umat manusia. Di samping itu, tentunya juga bisa sambil mempelajari "ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis" yang ada di alam semesta ini ("tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya").

Sedangkan dalam berusaha mengungkap kembali tiap Al-Hikmah, yang terkandung dalam teks ajaran-ajaran agama Islam (khususnya kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi), diperlukan metode-cara antara lain:

  • Menguasai bahasa Arab.

  • Kumpulkan segala keterangan dan penjelasan terkait.

  • Berpengetahuan dan berwawasan amat luas.

  • Pisahkan hal-hal gaib dan bukan.

  • Hindari pemahaman secara tekstual-harfiah.

  • Pisahkan hal-hal sebenarnya dan contoh-perumpamaan simbolik.

  • Hilangkan konteks ruang, waktu dan budaya.

  • Berdasar ilmu-pengetahuan yang obyektif.

  • Hindari penafsiran agama dengan ilmu filsafat.

  • Kurangi bergantung kepada pemikiran dari umat terdahulu.

  • Hilangkan segala bentuk dogma.

  • Pisahkan pemahaman atas kisah-kisah para nabi-Nya terdahulu.

  • Pahami perbedaan antara Sunnah Nabi dan Hadits Nabi.

  • Harus konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan.

  • Berdiskusi dengan orang yang berilmu agama tinggi.

  • Banyak mempelajari pemahaman yang berbeda-beda.

  • Memiliki bangunan pemahaman atas ajaran agama-Nya.

  • Persiapkan sikap-sikap mental tertentu sebelumnya.

Baca lebih lengkapnya

Dipublikasi di Hikmah, Saduran buku | Tag , , , , , , | Meninggalkan komentar