Bab VII.D Pemahaman atas agama dan kitab-Nya

Buku: "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW"

Sebelumnya

Daftar isi

Terbawah

Berikutnya

  

"Hai orang-orang yang beriman,
apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis".
Lapangkanlah!, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah (shalat).
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu,
dan orang-orang yang diberi ilmu-pengetahuan beberapa derajat.
Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS. AL-MUJAADILAH:58:11).

"Tidak wajar bagi seseorang manusia, yang Allah berikan kepadanya
Al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:
'Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah'.
Akan tetapi hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab, dan
disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(QS. ALI-IMRAN:3:79).

 

VII.D.

Pemahaman atas Agama dan Kitab-Nya di Jaman Modern

Bagaimana ajaran Islam menjawab persoalan manusia modern?

Telah diketahui dari uraian di atas bahwa nabi Muhammad saw adalah nabi yang terakhir yang diutus-Nya bagi seluruh umat manusia, dan juga bahwa suatu kemustahilan tentang kedatangan nabi-nabi baru setelah Nabi. Maka bisa timbul pertanyaan "bagaimana ajaran-ajaran Nabi terutama dalam kitab suci Al-Qur'an, bisa menjawab kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia modern sampai akhir jaman?".

Padahal di lain pihak, kitab-kitab-Nya (terutama kitab suci Al-Qur'an) telah relatif lengkap menjelaskan tentang persoalan umat pada jamannya, ketika kitab-kitab-Nya diturunkan-Nya kepada setiap nabi-Nya yang terkait, sebagai kitab-kitab tuntunan-Nya yang lengkap bagi umat kaumnya masing-masing, dan bahkan bagi seluruh umat manusia (terutama Al-Qur'an sebagai kitab-Nya yang terakhir). 110)

Perkembangan aspek moral-spiritual dan fisik-material

Penting diketahui pula, bahwa segala keadaan 'batiniah-moral-spiritual' umat pada jaman nabi Muhammad saw, pada dasarnya telah mewakili segala keadaan umat manusia modern secara keseluruhan, karena hampir seluruh bentuk persoalan batiniah yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia, pada hakekatnya serupa, serta tidak banyak mengalami perkembangan dan perubahan.

Bahkan lebih khususnya lagi, pada kitab-kitab-Nya justru amat terfokus kepada segala persoalan batiniah-moral-spiritual tersebut, dan kalaupun ada disebut segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya atas hal-hal yang bersifat lahiriah (berbagai amal-ibadah), umumnya tidak lebih hanya semata untuk bisa mencapai hal-hal batiniah terkait atau terkandung di dalamnya.

Kitab suci Al-Qur'an telah diturunkan-Nya selama sekitar 23 tahun, ataupun diperoleh dalam hampir seluruh usia kematangan Nabi sebagai manusia biasa (sejak usia sekitar 40 tahun sampai amat dekat menjelang wafatnya), maka bisa amat mudah diketahui, bahwa hampir seluruh persoalan batiniah yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia, telah relatif lengkap dalam Al-Qur'an.

Contoh sederhananya, 'mencuri' (mengambil hak-milik orang-lain) pada jaman Nabi Muhammad saw, masih berbentuk sederhana, namun pada saat ini justru memiliki banyak bentuk, seperti: penipuan; penjambretan; perampokan; penyerobotan lahan; pemalakan liar atas hutan; korupsi dan segala kejahatan kerah putih lainnya; dsb.

Maka 'hikmah dan hakekat' bentuk hukuman bagi 'pencuri' yang disebut dalam Al-Qur'an bagi umat-umat pada jaman Nabi, pada dasarnya semestinya bisa ditafsirkan penerapan aktualnya bagi segala bentuk baru pencurian seperti yang disebut di atas, sesuai dengan 'rasa keadilan' yang berlaku dalam masyarakat pada setiap jamannya (bisa relatif berbeda-beda menurut umat pada setiap jamannya).

Padahal aspek 'keadilan' adalah aspek yang paling utama dan universal dari segala jenis bentuk hukuman lahiriah (sebab-akibatnya sebanding), sedang aspek bentuk hukuman yang disebut dalam setiap ajaran agama, semestinya bersifat relatif, temporer dan aktual sesuai dengan 'rasa keadilan' di dalam masyarakat terkait. Sehingga 'bentuk' hukuman justru semestinya bisa berubah-ubah dan tidak harus terpaku pada isi dari teks-teks ajaran agama, yang semestinya memang hanya sesuai bagi umat pada jaman saat disampaikannya ajaran-ajaran itu.

Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang cara-cara penerapan hukum syariat.

Hanya aspek lahiriah-fisik-material yang mengalami berbagai perubahan dan perkembangan yang relatif amat signifikan, dari jaman ke jamannya, bahkan banyak aspek lahiriah-fisik-material yang justru belum pernah ada pada jaman nabi Muhammad saw, seperti: mobil; penjelajahan manusia ke bulan atau planet lain; internet; komputer; bom nuklir; sepeda; dsb.

Sekali lagi, di balik segala hal-hal lahiriah, segala persoalan batiniahnya relatif tetap serupa, bahkan sejak awal adanya kehidupan manusia, lebih khususnya lagi, sejak diutus-Nya nabi Muhammad saw sampai akhir jaman. Tertinggal pada tugas-amanat amat penting bagi umat Islam pada setiap jamannya, untuk mencermati dan memahami setiap persoalan batiniahnya sendiri, lalu bisa merumuskan penerapan aktual lahiriahnya, berdasar setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur'an (bukan makna tekstual-harfiahnya)

Contoh persoalan umat Islam modern

Beberapa contoh persoalan pada umat manusia modern, seperti misalnya:

Globalisasi, materialisme dan kapitalisme;
HAM, demokrasi dan sekulerisasi;
Kristenisasi;
Aliran-mazhab-golongan, termasuk pada kemunculan nabi-nabi baru;
Kemunduran ilmu-pengetahuan dan teknologi di kalangan umat Islam;
Transplantasi organ babi ke manusia;
Hukum cloning manusia dan hewan;
Persoalan Palestina dan Zionis Israel;
Cara dan waktu shalat di kapal ruang angkasa atau planet;

 

Di samping itu, juga terdapat beberapa isu aktual yang paling sering dipakai untuk menyerang kaum Muslim oleh berbagai kalangan non-Muslim ataupun para orientalis barat, tetapi belum teratasi secara amat memadai oleh umat Islam sendiri, seperti misalnya:

Isu jihad, terorisme dan phobia terhadap Islam;
Isu negara Islam, serta sistem pemerintah dan hukumnya;
Isu pengekangan terhadap wanita;
Isu poligami;
Isu hukum syariat yang tidak populer dan tidak aplikatif;

Solusi para nabi bagi kelangsungan ajarannya di masa depan

Telah diketahui pula, bahwa pada berbagai ajaran agama-Nya sebelum ada kedatangan nabi Muhammad saw (khususnya pada kitab Taurat dan Injil), tantangan dan persoalan umat manusia pada masa-masa mendatang, berusaha dijawab melalui ramalan atas kedatangan para nabi-Nya berikutnya, demi terjaganya kelangsungan ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus. 100)

Sejalan dengan hal itu, justru nabi Muhammad saw telah pula memberi solusi yang relatif berbeda dibandingkan dari para nabi-Nya sebelumnya atas kelangsungan ataupun aktualitas ajaran-ajaran agama Islam yang disampaikannya, dalam menghadapi dan menjawab segala tantangan dan persoalan umat manusia pada masa mendatang. Padahal di lain pihak telah diketahui, bahwa nabi Muhammad saw dan kitab suci Al-Qur'an adalah nabi dan kitab tauhid yang terakhir.

Setelah kitab suci Al-Qur'an sebagai dasar paling tinggi ajaran agama Islam, di bawahnya disediakan pula dasar-dasar ajaran lainnya, secara berturut-turut, yaitu: Sunnah Nabi (Hadits), dan Ijtihad para ulama (Ijma', Qiyas, Istihsan, dsb), untuk menjawab hal di atas. 111)

Ijtihad, solusi Nabi bagi aktualisasi ajaran agama Islam

Dengan berdasar Ijtihad para ulama itulah, maka ajaran-ajaran agama Islam jauh lebih memungkinkan dan amat terbuka, untuk bisa menjawab segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan pada kehidupan umat manusia modern, sampai akhir jaman.

Sementara Sunnah Nabi (Hadits) telah tidak berkembang sejak wafatnya nabi Muhammad saw sendiri, yang memang hampir seluruh aspek kehidupannya disebut sebagai "tafsiran hidup atas kitab suci Al-Qur'an" atau "contoh hidup Al-Qur'an", sehingga secara historis dan budaya, Sunnah Nabi juga memiliki keterbatasan. Banyak hal saat ini tidak ada pada jaman Nabi ataupun tidak cukup hanya dijawab melalui Sunnah-sunnah Nabi (Hadits-hadits Nabi).

Bahwa Ijtihad merupakan suatu penafsiran yang amat hati-hati atas Al-Qur'an dan Sunnah Nabi di dalam konteks kekinian, termasuk penafsiran bagi penerapan aktual atas setiap persoalan yang belum ada pada jaman Nabi. Hal inipun dihasilkan oleh sekelompok atau majelis ulama ahli ijtihad ataupun ahli tafsir, yang bisa dipilih oleh umat Islam pada setiap jamannya. Perlunya peran Majelis ulama itu karena pada dasarnya setiap ijtihad justru langsung menyangkut pengamalan umat, atas ajaran-ajaran agamanya dalam kehidupannya sehari-hari.

Selain itu, para ulama terkemuka dalam majelis itu semestinya relatif amat menguasai ilmu-ilmu agama, dan juga masing-masingnya semestinya bisa menguasai satu atau lebih dari berbagai bidang ilmu-ilmu non-agama yang telah berkembang, disesuaikan dengan berbagai persoalan lahiriah dan terutama batiniah, yang justru sedang dihadapi oleh 'seluruh' umat manusia pada setiap jamannya. 112)

Ijtihad di atas ijtihad terdahulu

Perlu diketahui pada buku ini, bahwa setiap ijtihad adalah hasil pengungkapan secara bersifat praktis-aplikatif dan aktual, berdasarkan rangkuman dari keseluruhan bangunan pemahaman berupa Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), guna menjawab setiap keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat pada setiap jamannya. Maka setiap ijtihad diharapkan bisa relatif mudah dipahami dan diamalkan oleh setiap umat. Hasil ijtihad dari Majelis alim-ulama itu sering pula disebut sebagai 'fatwa'.

Namun mungkin relatif jarang diungkap, bahwa sesuai dengan sifat ijtihad itu sendiri, yang semestinya sesuai dengan perkembangan keadaan umat ketika disampaikan, maka setiap ijtihad semestinya bisa berada 'di atas' ijtihad terdahulu yang terkait (atau ijtihad semestinya bisa memperbaiki ataupun menggantikan ijtihad terkait lainnya).

Relatif jarang terjadinya hal ini (tepatnya jarang diketahui oleh masyarakat umum), diduga karena Majelis alim-ulama lebih banyak melahirkan berbagai ijtihad atau fatwa baru. Lebih utama lagi, karena seluruh ijtihad atau fatwa terdahulu dari para alim-ulama, mungkin memang dianggap masih tetap aktual dan sesuai, bagi segala keadaan umat saat ini (belum ada perubahan keadaan umat yang cukup berarti).

Hal-hal ini dirasakan perlu diungkap, untuk mencegah adanya anggapan bahwa ijtihad atau fatwa adalah sesuatu hal yang tidak bisa diganti, diubah, diperbaiki ataupun dihapus. Kredibilitas Majelis alim-ulama bukanlah hal yang akan dipertaruhkan dalam perubahan seperti ini. Justru tujuan yang paling penting adalah agar keadaan kehidupan beragama umat terus-menerus bisa makin baik.

Walaupun tentunya Majelis alim-ulama semestinya melahirkan setiap ijtihad atau fatwanya dengan relatif amat hati-hati dan sekaligus pula selalu sesuai dengan segala perkembangan keadaan umat.

Hikmah dan hakekat Al-Qur'an, untuk atasi tantangan jaman

Tetapi penting diketahui pula, bahwa fleksibilitas ajaran agama Islam dalam menghadapi tantangan jamannya, hanyalah bisa tercapai jika seluruh pemahaman tentang Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits), dilakukan pada tataran pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), dalam kandungan isinya atau di balik teks-teksnya.

Karena hanya pada tataran Al-Hikmah itulah bentuk Al-Qur'an ketika diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad saw (Al-Qur'an sama sekali tidaklah diturunkan-Nya dalam bentuk teks tertulis, ataupun Al-Kitab), bahkan seluruh wahyu pada para nabi-Nya justru diturunkan-Nya berupa Al-Hikmah. Sedang 'Sunnah Nabi' sebagai bentuk contoh pengamalan nyata dan langsung atas Al-Qur'an, pada dasarnya secara umum juga termasuk suatu Al-Kitab (Al-Hikmah yang terungkap).

Ringkasnya, Al-Kitab adalah berbagai hasil pengungkapan atas segala pemahaman berupa Al-Hikmah di dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya, melalui berbagai lisan, tulisan, sikap dan contoh perbuatan dari para nabi-Nya. Walau kitab-Nya paling tepat disebut Al-Kitab.

Maka mestinya dihindari pemahaman secara tekstual-harfiah; mestinya dipisahkan antara perumpamaan dan hal yang sebenarnya; mestinya bisa dihilangkan batasan ruang, waktu dan konteks budaya; mestinya dijelaskan sesuai perkembangan ilmu-pengetahuan (kecuali atas hal-hal gaib tertentu); mestinya dikurangi ketergantungan kepada pemikiran umat-umat terdahulu (kecuali telah terbukti nyata dan jelas kebenaran kandungan isi dari hal-hal yang dibawanya); dsb.

Metode-metode pencapaian hikmah dan hakekat Al-Qur'an

Penjelasan lebih lengkapnya atas cara atau metode untuk bisa memahami tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam kandungan isi teks-teks Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits), antara-lain:

a. Menguasai bahasa Arab.
b. Kumpulkan segala keterangan dan penjelasan terkait.
c. Berpengetahuan dan berwawasan amat luas.
d. Pisahkan hal-hal gaib dan bukan.
e. Hindari pemahaman secara tekstual-harfiah.
f. Pisahkan hal-hal sebenarnya dan contoh simbolik.
g. Hilangkan konteks ruang, waktu dan budaya.
h. Berdasar ilmu-pengetahuan yang obyektif.
i. Hindari penafsiran agama dengan ilmu filsafat.
j. Kurangi mengacu dari pemikiran orang terdahulu.
k. Hilangkan segala bentuk dogma.
l. Pisahkan pemahaman atas para nabi-Nya terdahulu.
m. Pahami perbedaan Sunnah Nabi dan Hadits Nabi.
n. Harus utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan.
o. Berdiskusi dengan orang berilmu agama tinggi.
p. Banyak mempelajari pemahaman yang berbeda-beda.
q. Memiliki bangunan pemahaman atas ajaran agama.
r. Persiapkan sikap-sikap mental tertentu sebelumnya.

 

Uraian-uraian selengkapnya, yaitu:

Tabel 19: Metode-metode untuk mencapai hikmah dan hakekat

Berbagai metode untuk mencapai pemahaman hikmah dan
hakekat, atas ajaran-ajaran agama-Nya

a.

Menguasai bahasa Arab.

»

Harus menguasai betul bahasa Arab.

Seperti halnya kitab-kitab suci agama lainnya, Al-Qur'an relatif amat banyak mengandung nilai-nilai batiniah yang relatif 'amat sensitif', terutama hal-hal yang menyangkut keyakinan tiap umat manusia. Sehingga Al-Qur'an mestinya bisa dipahami betul-betul makna dan sejarah pemakaian dari 'tiap kata' pada ayat-ayatnya (sesuai konteks keadaan saat disampaikannya).

Hal ini untungnya amat didukung dari otentisitas kitab suci Al-Qur'an, yang terus tetap terjaga sejak awal dibukukannya sampai saat ini (teks ayat-ayatnya tidak pernah berubah-ubah).

Sehingga umat hanya perlu bisa mempelajari sejarah bahasa dan budaya Arab pada jaman Nabi. Lebih khusus lagi, mempelajari segala konteks keadaan ketika Nabi menyampaikan ayat-ayat itu (Asbabun Nuzul), serta tiap hadits terkait yang menjelaskannya. Tentunya umat Islam justru sama sekali tidak perlu mempelajari sejarah tiap adanya perubahan atas kitab sucinya (beserta segala konteks keadaannya), seperti pada kitab suci agama lainnya.

Penguasaan bahasa Arab itupun amat diperlukan, karena bahasa dalam Al-Qur'an juga amat kaya dengan tata bahasa dan makna, terutama karena bahasa Al-Qur'an berasal dari hasil percampuran bahasa-bahasa yang umumnya digunakan oleh berbagai suku di jazirah Arab, pada jaman Nabi.

Sedangkan diketahui pula, nabi Muhammad saw adalah seorang pedagang yang biasa berkeliling ke berbagai daerah atau negeri, serta Nabi juga banyak bergaul dengan berbagai suku tersebut.

Namun tentunya, bagi sebagian umat Islam yang belum sempat menguasai bahasa Arab (hanya sekedar bisa membaca ayat-ayat Al-Qur'an), juga tidak ada halangan sama sekali untuk bisa ikut memahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur'an.

Umat semacam ini bisa memilih berbagai terjemahan Al-Qur'an, yang dianggapnya relatif paling baik dan cocok terjemahannya, yang memang telah diterjemahkan oleh para alim-ulama, yang relatif amat ahli dalam menguasai bahasa Arab.

b.

Kumpulkan segala keterangan dan penjelasan terkait.

»

Harus sebanyak mungkin bisa mengumpulkan segala bahan yang terkait (segala keterangan dan penjelasan), makin banyak justru relatif makin baik.

Segala keterangan dan penjelasan yang dimaksudkan, tentunya segala risalah yang telah ditinggalkan oleh Nabi, beserta segala risalah, catatan, keterangan dan penjelasan yang terkait lainnya, seperti:

~ Kitab suci Al-Qur'an (beserta tafsir ataupun terjemahannya);
~ Kitab-kitab hadits (catatan atas sunnah-sunnah Nabi);
~ Segala hasil ijtihad para alim-ulama dari jaman dulu sampai saat sekarang (Ijma', Qiyas, Istihsan, fatwa, dsb);
~ Segala catatan atas turunnya wahyu-Nya di dalam Al-Qur'an atau Asbabun Nuzul;
~ Segala catatan sejarah atas umat-umat pada jaman Nabi, yang terutama tentang budaya dan bahasanya;
~ Segala kisah para nabi-Nya dan umat-umat terdahulu;
~ Dsb.

 

Hal yang justru amat penting pula, adalah tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini (atau ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis), yang berupa segala sesuatu hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya di alam semesta ini.

Bahkan sebagian besar dari pengetahuan dan wawasan para nabi-Nya, justru diperoleh dari mengamati dan mempelajari langsung tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Maka segala ilmu-pengetahuan tentang segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta, juga amat perlu dimiliki.

Baca pula poin c di bawah.

c.

Berpengetahuan dan berwawasan amat luas.

»

Harus berpengetahuan atau berwawasan yang relatif amat luas, atas berbagai halnya (lahiriah dan batiniah).

Hal ini bisa diperoleh dengan melalui segala bentuk pengetahuan dan pengalaman terhadap topik atau hal yang ditinjau, dari hasil mempelajari ayat-ayat-Nya yang tertulis (atau kitab-kitab-Nya), ataupun ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis yang ada di seluruh alam semesta ini (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya).

Tentunya sebagian terbesar dari pengetahuan tentang ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis itu, yang bersifat lahiriah atau non-agama, telah terwujud di dalam berbagai bidang ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia yang diperoleh secara 'amat obyektif', dari hasil usaha mengamati, mempelajari dan memahami berbagai kejadian lahiriah di alam semesta.

Segala sifat perbuatan-Nya di alam semesta yang disebut sebagai sunatullah (Sunnah Allah), pada dasarnya bersifat 'mutlak' dan 'kekal'. Dan disebutkan pula sebagai aturan dan ilmu-Nya, karena sunatullah justru mengatur segala proses kejadian atas segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini, serta berupa segala aturan atau rumus proses kejadiannya.

Sedang ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis adalah hasil perwujudan dari segala kehendak dan tindakan Allah di seluruh alam semesta ini (melalui sunatullah).

Tentunya satu-satunya cara, agar umat manusia bisa memahami ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), dengan cara berusaha seluas-luasnya menguasai segala bidang ilmu-pengetahuanya (ilmu agama dan non-agama, batiniah-moral-spiritual dan lahiriah-fisik-material), yang bersifat relatif 'amat obyektif'.

Pada dasarnya hal ini justru juga dilakukan oleh para nabi-Nya, sehingga mereka bisa memperoleh berbagai wahyu-Nya, melalui 'akalnya' (satu-satunya alat-sarana pada tiap ruh manusia, untuk bisa menilai, memilih dan memutus segala sesuatu halnya).

Tiap ilmu-pengetahuan yang bersifat amat obyektif, semata-mata hanya milik dan berasal dari Allah (hanya hasil pengungkapan atas berbagai sunatullah ataupun ilmu-Nya di alam semesta).

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara dari para makhluk gaib (termasuk malaikat mulia Jibril), dalam memberi pengajaran dan ujian-Nya. Serta baca pula topik "Sunatullah".

Selain itu pula, pengetahuan tentang hal-hal batiniah justru hanya bisa dipahami dengan dimilikinya berbagai pengalaman batiniah-rohani-spiritual secara langsung. Karena itulah, di dalam ajaran-ajaran agama-Nya amat banyak diajarkan bermacam praktek atau ritual amal-ibadah, yang justru berbentuk relatif amat sederhana, agar relatif mudah diikuti atau diamalkan oleh seluruh umat.

Segala bentuk amal-ibadah itu pada dasarnya diajarkan, agar bisa membentuk berbagai budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif, serta membentuk pemahaman atas hal-hal batiniah 'di balik' tiap amalan lahiriahnya. Hal ini tidak cukup hanya semata dijelaskan melalui intuisi-nalar-logika akal-pikiran, dari pendidikan teoretis, tanpa melalui segala pengalaman batiniah-rohani-spiritual secara langsung dan terus-menerus.

Dengan banyak beramal-ibadah itu, maka umat diharapkan bisa memahami segala tujuan batiniah yang paling penting, mendasar dan hakiki di balik kehidupan dunia-lahiriah-fisik dan memahami kehidupan akhirat yang kekal (kehidupan batiniah ruh).

d.

Pisahkan hal-hal gaib dan bukan.

»

Harus dipisahkan dengan sejelas-jelasnya antar hal-hal yang gaib dan yang bukan, termasuk pula pemisahan jelas atas hal-hal gaib itu sendiri (ada yang masih bisa dinalar ataupun tidak).

Pemisahan amat perlu dilakukan, agar pemikiran untuk mencapai pemahaman yang benar tentang segala sesuatu halnya, tidak amat mudah bisa terkungkung atau dibatasi begitu saja oleh kata 'gaib' tersebut.

Hal inipun biasanya dibatasi dengan ayat, seperti "Dan pada sisi-Nya-lah, kunci-kunci semua yang gaib. Tidak ada yang mengetahuinya, kecuali Dia sendiri, dan …." – (QS.6:59).

Padahal di lain pihak, justru ada 'sebagian' dari hal-hal gaib itu yang dibukakan-Nya kepada umat-umat yang 'dikehendaki-Nya' (seperti pada QS.3:179, QS.72:27 dan QS.81:24).

Pemahaman atas istilah "umat yang dikehendaki, diutus ataupun dipilih-Nya" itu belum benar-benar dipahami oleh sebagian besar umat Islam. Juga secara umum tentunya, kurangnya pemahaman atas segala tindakan atau perbuatan-Nya di alam semesta.

Maka mereka lebih cenderung berpendapat, bahwa pengetahuan atas hal-hal gaib itu hanya bisa dimiliki oleh para nabi-Nya (atas sebagian 'amat sedikit' dari pengetahuan-Nya). Bahkan ada pula yang berpendapat, bahwa hal-hal gaib itupun bukan berupa suatu pengetahuan para nabi-Nya yang diperolehnya dengan berusaha amat keras menggunakan akal mereka tetapi berupa pengetahuan yang diberikan atau diturunkan-Nya dengan 'begitu saja' kepada umat-umat tertentu yang memang telah dikehendaki, diutus atau dipilih-Nya tersebut.

Hal-hal gaib yang diketahui, misalnya: wujud zat Allah; ruh atau jiwa; para makhluk gaib; alam akhirat (alam batiniah ruh); alam kubur; Surga dan Neraka; Hari Kiamat; tujuan dan hakekat dari penciptaan alam semesta ini dan segala isinya, dan juga berbagai macam hakekat lainnya.

Pada dasarnya terdapat dua kelompok hal-hal gaib, yaitu gaib 'zat' ('esensi' zat-zat gaib itu sendiri) dan gaib 'tindakan' (segala tindakan dari zat-zat gaib). Gaib 'zat' meliputi: 'ruh' Zat Allah dan 'ruh-ruh' zat makhluk-Nya.

Manusia mustahil bisa menjelaskan hakekat dari gaib 'zat' itu, khususnya Zat Allah Yang Maha gaib. Sedangkan sebagian dari hakekat zat ruh para makhluk gaib, telah terungkap bagi sebagian para nabi-Nya (mengetahui 'wujud asli' para makhluk gaib).

Tetapi dengan amat cermat dan hati-hati, tiap manusia justru bisa berusaha untuk menjelaskan gaib 'tindakan' melalui segala ilmu-pengetahuan yang dimilikinya. Serupa dengan proses perolehan pemahaman tentang gaib 'tindakan' itu oleh para nabi-Nya.

Karena melalui segala tindakan zat-zat gaib itulah, justru Allah memang berkehendak untuk menunjukkan segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya kepada tiap umat manusia (makhluk-Nya), agar bisa mencari dan mengenal Allah Yang telah menciptakannya.

Tentunya hanya para nabi-Nya yang jelas-jelas diketahui telah bisa memiliki pemahaman yang relatif 'sempurna' atas berbagai tindakan zat-zat gaib itu, di antara umat-umat yang amat berilmu lainnya pada tiap jamannya.

Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)", tentang pembagian kelompok hal-hal gaib, dan poin-poin di bawah.

e.

Hindari pemahaman secara tekstual-harfiah.

»

Harus dihindari pemahaman secara tekstual-harfiah semata.

Seperti disebut dalam Al-Qur'an, bahwa keseluruhan kandungan isinya bisa dikelompokkan menjadi: ayat-ayat yang 'muhkamat' (telah terang dan tegas artinya) dan ayat-ayat yang 'mutasyabihat' (susah ditentukan ataupun banyak artinya, termasuk tentang hal-hal gaib, yang 'hanya' Allah Yang Maha mengetahuinya).

Namun pada ayat muhkamat itupun, pemahaman atas arti-makna yang sebenarnya, belumlah tentu sesuai dengan teks asli ayatnya, khususnya jika ditinjau uraian poin-poin f dan g di bawah.

Karena 'terang dan tegas maksudnya' itupun lebih terkait dengan konteks keadaan kehidupan dan budaya umat, ketika diturunkan-Nya ayat-ayat itu (di sekitar jaman Nabi).

Maka ayat-ayat muhkamat ini mestinya juga tetap dipelajari dan dipahami secara utuh dan mendalam, bagi penerapan aktual pada kehidupan dan budaya umat pada tiap jamannya.

Sedang ayat-ayat mutasyabihat itu bukan suatu 'menara gading' yang tidak boleh disentuh sama-sekali. Mestinya pengelompokan itu lebih ditujukan, agar umat jauh lebih berhati-hati lagi dalam membahasnya, ataupun agar tidak terlalu memaksakan diri untuk menafsirkannya, tanpa memiliki segala dalil-alasan yang kuat.

Karena ayat-ayat mutasyabihat itu memang amat terkait langsung dengan keimanan, dan hanyalah orang-orang dengan tingkat ilmu agamanya relatif amat tinggi yang bisa memahaminya (para nabi dan rasul-Nya, para sahabat nabi, para tabiin, para tabiit-tabiin, para wali, para imam, dsb), terutama tentang hal-hal gaib.

f.

Pisahkan hal-hal sebenarnya dan contoh simbolik.

»

Harus dipisahkan antara hal-hal yang 'sebenarnya', terhadap hal-hal yang hanya berupa 'contoh-perumpamaan simbolik'.

Dalam Al-Qur'an cukup banyak ayat-ayat yang memakai istilah 'perumpamaan' itu, ataupun ayat-ayat lainnya yang mengandung perumpamaan. Seperti dalam penjelasan atas hal-hal gaib, yang hampir semuanya berupa 'contoh-perumpamaan simbolik', agar umat relatif lebih mudah merasakan analogi atau pendekatannya, walau makna yang sebenarnya belum bisa dipahaminya.

Perumpamaan tentang hal-hal gaib, seperti: para makhluk gaib-Nya terkadang disebut bisa hadir dalam wujud manusia; Surga diibaratkan sebagai taman yang amat indah, dengan mata air dan tanaman kurmanya; Neraka dengan jurang dan apinya; dsb.

Bahkan istilah-istilah yang bersifat simbolik, tentang hal-hal gaib justru diadopsikan dari kitab-kitab agama ke dalam bahasa, yang dipakai umat sehari-harinya, seperti: 'Allah', 'Maha', 'Malaikat' sampai 'Iblis', 'Surga' dan 'Neraka', 'Hari Kiamat', 'Takdir', dsb. Padahal umat sendiri justru memang relatif jauh lebih sulit bisa menjelaskan istilah-istilah itu secara utuh dan lengkap.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa dalam penyampaian wahyu-Nya.

Padahal hal-hal 'gaib' itu semestinya tetap ditempatkan sebagai 'gaib' (mustahil bisa tampak wujud lahiriahnya), dan juga segala perumpamaan semestinya tetap sebagai perumpamaan (mustahil bisa dipakai sebagai fakta-kenyataan yang sebenarnya).

Segala sesuatu halnya semestinya tetap ditempatkan semestinya. Segala perumpamaan semestinya hanya untuk suatu pengajaran yang relatif paling dasar saja, terutama bagi umat yang awam.

g.

Hilangkan konteks ruang, waktu dan budaya.

»

Harus dihilangkan batasan ruang, waktu ataupun konteks budaya.

Sebagian ayat-ayat dalam Al-Qur'an memang memiliki konteks ruang, waktu dan budaya, yaitu: di tanah Arab, pada jaman nabi Muhammad saw, dan terkait budaya Arab.

Karena walaupun nilai-nilai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) pada wahyu-Nya dalam kitab suci Al-Qur'an, justru bersifat 'universal', ketika disampaikan oleh malaikat Jibril ke dalam dada-hati-pikiran nabi Muhammad saw, tetapi ketika Nabi menyampaikan, membacakan ataupun mewahyukannya kembali kepada umat-umatnya, justru Nabi pasti memakai bahasa yang paling mudah dipahami dan diikuti, yang umumnya dikenal atau dipakai oleh umat-umatnya dalam kehidupannya sehari-hari (tiap pengajaran dan tuntunan-Nya dalam Al-Qur'an pasti disampaikan sesuai keadaan dan budaya umat pada jaman Nabi).

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa (lisan dan tulisan) dalam pengungkapan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya.

Sehingga pemahaman 'universal' atas ayat-ayat seperti itu, hanya bisa dicapai dengan mengeliminasi (menghilangkan) tiap batasan ruang, waktu atau konteks budaya tersebut, agar pada akhirnya pemahaman 'universal' ini bisa dipakai dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun.

h.

Berdasar ilmu-pengetahuan yang obyektif.

»

Harus berdasar kepada ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia secara relatif 'amat obyektif' yang sedang berkembang, apabila bisa memungkinkan ataupun sesuai untuk bisa diterapkan. Tetapi tidak perlu dipaksakan, khususnya atas hal-hal gaib (lebih-lebih gaib 'zat'), ataupun hal-hal yang mengandung mistis (metafisika) yang amat terkait dengan keyakinan umat.

Ilmu-pengetahuan hasil temuan manusia yang diperoleh secara 'amat obyektif' (hanya berdasarkan segala fakta, kenyataan atau kebenaran yang bisa ditemukan di alam semesta ini, yang dipakai secara apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi), justru hanya pengungkapan atas sebagian amat sangat sedikit dari ilmu-Nya.

Pengetahuan seperti ini semestinya bisa dipakai pula untuk lebih menjelaskan berbagai ajaran agama-Nya, agar bisa mempertebal atau memperkokoh keyakinan batiniah umat manusia pada tiap jamannya, yang terus-menerus berkembang pula kehidupannya. Keyakinan atau keimanan berdasar ilmu-pengetahuan relatif jauh lebih tinggi dan kokoh (sulit terbantahkan atau tergoyahkan).

Tentunya ilmu-pengetahuan manusia relatif amat terbatas dalam menjelaskan hal-hal yang gaib misalnya, karena memang bukan hal-hal yang mudah diukur dan dibuktikan secara empirik, walau memang bisa dinalar. Pengetahuan yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh umat manusia pada tiap jamannya, tentang hal-hal gaib dan batiniah, adalah pengetahuan yang telah dimiliki oleh para nabi-Nya (terutana nabi Muhammad saw).

Sebaliknya, segala hal yang bersifat lahiriah telah amat luas dan telah mudah bisa dijelaskan dengan memanfaatkan segala bidang ilmu-pengetahuan modern saat ini.

i.

Hindari penafsiran agama dengan ilmu filsafat.

»

Harus dihindari penafsiran atas ajaran-ajaran agama-Nya dengan memakai ilmu filsafat. Karena teori-teori filsafat pada umumnya bisa terarah jauh melewati fakta, kenyataan atau kebenaran yang ada di alam semesta. Dalam ilmu filsafat juga cenderung terlalu memaksakan suatu kesimpulan yang bersifat umum, berdasarkan berbagai fakta yang relatif sederhana.

Sehingga hal ini relatif amat berbeda daripada pemakaian ilmu-pengetahuan, seperti yang dimaksud pada poin h di atas, karena ilmu-pengetahuan yang memang diperoleh secara amat obyektif hanya murni berdasar fakta-kenyataan-kebenaran, yang dipakai secara apa adanya (sama sekali tanpa dikurangi dan ditambah).

Selain itu, karena ilmu filsafatpun memakai bahasa intuisi-nalar-logika manusia semata, ataupun bahasa sehari-harinya di dalam kehidupan nyata-lahiriah manusia, sehingga ilmu filsafat relatif amat terbatas bisa menjelaskan hal-hal yang gaib misalnya, yang berada 'di luar' kehidupan nyata-lahiriah manusia.

Dalam hal-hal lahiriah memang ilmu filsafat relatif bermanfaat, tetapi dalam hal-hal gaib dan batiniah (seperti pada ajaran-ajaran agama), justru amat tidak relevan untuk dipakai. Penerapan ilmu filsafat dalam hal-hal batiniah umumnya melahirkan teori-teori yang bersifat materialistik (pada teori-paham seperti: sosialisme; HAM – hak asasi manusia; demokrasi; kapitalisme; materialisme; feminisme barat; dsb).

Penerapan ilmu filsafat dalam agama pada akhirnya justru akan bisa melahirkan 'analogi' atas zat-zat gaib (zat Allah dan zat ruh makhluk-Nya) ataupun hal-hal gaib lainnya, dengan berbagai hal dalam kehidupan nyata-lahiriah manusia.

Hal seperti ini yang sering dilakukan oleh para penganut agama Nasrani (Kristiani) ataupun agama-agama lainnya, yang berlaku musyrik dan materialistik.

Sedang dalam ajaran agama Islam, hal-hal gaib itu justru hanya dijelaskan dengan segala bentuk contoh-perumpamaan simbolik. Bahkan khususnya tentang 'Zat' Allah, sama sekali tidak dipakai segala contoh-perumpamaan, tetapi hanya dipakai perumpamaan tentang 'perbuatan' dan 'sifat' Allah secara simbolik.

Umat Islam semestinya tidak berfilsafat saat berusaha memahami tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di dalam ajaran-ajaran agama-Nya, tetapi semestinya diungkap memakai berbagai fakta-kenyataan-kebenaran yang bisa ditemukan di alam semesta, yang sering pula disebut "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya" (segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal').

Hal yang paling mudah, aman dan benar bagi umat Islam, adalah diperoleh ataupun diilhami dari segala keterangan pada ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an itu sendiri, di samping ajaran-ajaran agama Islam lainnya (sunnah Nabi dan hasil ijtihad para alim-ulama).

j.

Kurangi mengacu dari pemikiran orang terdahulu.

»

Harus dikurangi ketergantungan kepada hasil dari penafsiran atau pemikiran umat-umat terdahulu, kecuali jika telah terbukti jelas dan nyata kebenaran kandungan isinya (beserta segala dalilnya).

Umat-umat terdahulu yang dimaksudkan di sini, khususnya para alim-ulama yang hidup beberapa abad setelah nabi Muhammad saw. wafat (setelah abad ke-7), yang cukup banyak melahirkan segala penafsiran atas Al-Qur'an dan Hadits (Sunnah Nabi).

Sehingga fokus utama yang semestinya ditekankan di sini, bukan pada 'orangnya', tetapi justru pada 'kebenaran' yang dibawanya, walau orangnya telah dianggap amat terhormat dan terpandang ilmu agamanya sekalipun. 'Isi' jauh lebih penting dari 'kulit'.

Dalam sejarah justru telah tercatat pula, tentang amat banyaknya hadits-hadits 'palsu' dari sejumlah orang yang telah mengatas-namakan nabi Muhammad saw. Hal inipun telah mengakibatkan terpecah belahnya kalangan umat Islam menjadi berbagai aliran-golongan-mazhab.

Tentunya amat mungkin apabila ada pula pemalsuan yang justru mengatas-namakan para alim-ulama terdahulu tersebut dan tanpa mereka sendiri mengetahuinya.

Di mana hal-hal seperti ini relatif amat sulit bisa diperiksa (sulit memeriksa pribadi para perawinya). Tiap pribadi manusia saja relatif amat sulit bisa memeriksa dirinya sendiri, yang memang relatif amat tidak konsisten secara lahiriah dan batiniah, apalagi jika memeriksa satu ataupun lebih orang-lainnya.

Amat tidak pantas jika kelangsungan ajaran-ajaran agama-Nya yang mestinya bersifat 'universal' justru menjadi amat tergantung kepada 'sejarah umat manusia' (misalnya: sejarah para perawi Hadits, sejarah dan pemikiran umat terdahulu dan bahkan sejarah para nabi-Nya).

Seperti kelangsungan dari agama Nasrani yang amat tergantung kepada sejarah penyaliban dan kebangkitan Yesus.

Padahal ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus mestinya memang relatif tetap 'sama', dari nabi ke nabi, dari jaman ke jaman.

Tetapi umat Islam mestinya bisa bersyukur, karena Allah dengan segala cara justru telah melindungi Al-Qur'an dari campur tangan manusia semacam itu, termasuk dengan menjaga keotentikannya. Selain itu, ada pula 'ayat-ayat-Nya tak-tertulis' (Al-Qur'an gaib, yang tercatat pada kitab mulia di sisi 'Arsy-Nya), yang disebut pula tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta, sebagai dasar acuan pembanding utama bagi segala pemahaman atas ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus.

Maka Al-Qur'an menjadi 'dasar acuan' paling aman dan utama, untuk bisa memahami ajaran-ajaran agama Islam lainnya, yaitu: Sunnah Nabi (Hadits) dan Ijtihad para alim-ulama (Ijma', Qiyas, dsb). Dan Al-Qur'an adalah dasar tertinggi ajaran agama Islam

Tujuan di sini, justru bukan agar umat Islam mengabaikan hasil pemikiran para alim-ulama atau cendikiawan Muslim terdahulu, tetapi agar segala sesuatu halnya tetap ditempatkan sebagaimana semestinya, serta tidak berlebihan atau melampaui batas.

Padahal sama sekali tidak ada dasar alasan pembenaran, bahwa para alim-ulama terdahulu lebih sempurna, lebih berkemampuan ataupun lebih pintar daripada para alim-ulama saat ini.

Padahal faktanya pula, bahwa hasil pemikiran dari orang-orang terdahulu itu sendiri amat berragam, dan bahkan tidak ada yang bisa dianggap relatif paling benar.

Maka tindakan yang terbaik bagi umat Islam pada tiap jamannya (khususnya para alim-ulamanya), adalah agar segala bentuk hasil pemikiran dari orang-orang terdahulu itu dijadikan sebagai bahan bacaan dan referensi, pada saat sedang berusaha melahirkan hasil pemikiran dan penafsiran yang lebih baik.

Walau hanya berusaha melengkapi dan memperkuat segala hasil pemikiran dari orang-orang terdahulu tersebut, agar segala dalil-alasannya bisa makin kuat dan kokoh (makin sulit terbantahkan).

Bahkan berbagai usaha semestinya tetap selalu dilakukan, akibat perkembangan jamannya yang selalu berubah-ubah, dan berbagai persoalan dan pengetahuan umat manusia selalu berkembang.

Serta karena ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis tidak cukup ditulis dengan "tinta sebanyak beberapa samudera", maka segala proses pengungkapan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), justru tidak akan pernah selesai tuntas sampai akhir jaman.

Bahkan nabi Muhammad saw telah mewariskan ajaran-ajarannya kepada para alim-ulama pada 'tiap' jamannya. Jadi bukan hanya sekedar kepada umat-umat terdahulu saja, lalu umat pada jaman modern saat ini hanya sekedar mengikutinya saja.

Hal yang lebih pentingnya lagi, agar tiap umat Islam semestinya bisa memahami betul berbagai dalil-alasan dan hakekat 'di balik' semua pemikiran dari umat terdahulu. Hal ini tentunya selain 'di balik' teks ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits (sunnah Nabi).

k.

Hilangkan segala bentuk dogma.

»

Amat perlu dihindari segala dogma yang bersifat taklid buta, dari segala hasil pengajaran para alim-ulama terdahulu dan saat ini, tanpa umat bisa memahami segala dasar dalil-alasannya. Segala dogma secara perlahan-lahan semestinya makin diperbaiki, atau bahkan dihilangkan.

Agar umat ataupun para alim-ulama saat ini tidak hanya sekedar bisa berkata seperti "menurut ulama A …, ulama B …, …… dan ulama C …, maka kita menafsirkan …", melainkan bisa pula berkata seperti "pendapat ulama A memiliki kelebihan … tetapi ada pula kelemahan …, karena …, pendapat ulama B memiliki …, …… dan pendapat ulama C …, sedang menurut pendapat kita sendiri adalah, … dengan alasan-alasan …, maka kita lalu menafsirkan …".

Segala dogma pada dasarnya justru hanya sesuai bagi umat-umat yang relatif awam ilmu-ilmu agamanya, serta untuk hal-hal yang relatif amat sulit bisa dijangkau dan dipahaminya dalam ajaran-ajaran agama Islam (terutama hal-hal yang bersifat gaib ataupun batiniah).

Tetapi sejalan dengan makin berkembang luas dan mendalamnya pengetahuan umat, maka semestinya perlu bagi umat itu sendiri untuk bisa makin memperbaiki atau bahkan menghilangkan satu-persatu atas berbagai dogma yang relatif agak keliru, yang pada awalnya dibuat semata demi pengajaran paling praktis dan aman bagi umat yang awam.

Sesuatu dogma pada dasarnya memang relatif amat sangat sulit bisa dihilangkan, terutama karena umumnya telah tertanam amat kuat dalam alam bawah sadar selama puluhan tahun sejak masa kecil, dari para orang tua ataupun para alim-ulama dahulu, yang memang amat diperlukan pada saat-saat awal umat telah mulai menjalani kehidupan beragama.

Secara perlahan-lahan semua dogma (yang keliru ataupun yang memang benar) semestinya mulai dipelajari kembali secara amat cermat, untuk mencari berbagai dalil-alasan pendukungnya, dari Al-Qur'an dan Sunnah-sunnah Nabi, agar selanjutnya tidak lagi menjadi dogma semata, namun telah menjadi suatu pemahaman yang utuh dan menyakinkan.

Dalam ajaran-ajaran dari agama-agama yang tidak sesuai dengan kebenaran-Nya, justru amat penuh mengandung berbagai dogma, karena kebenaran sebagian dari ajaran-ajarannya memang sama sekali tidak bisa dibuktikan dan juga bersifat relatif menurut para penganutnya saja. Seperti adanya segala rahasia ataupun misteri, yang selamanya tetap menjadi misteri, dari ajaran agama mereka.

Sebaliknya ajaran-ajaran agama Islam justru berdasar berbagai kebenaran-Nya yang bersifat mutlak (pasti terjadi) ataupun kekal (pasti konsisten), yang ada terdapat di seluruh alam semesta ini. Walau memang hanya umat manusia yang berilmu relatif amat tinggi saja, yang telah berhasil membuktikan dengan relatif jelas atas ajaran-ajarannya (para sahabat, para wali, para imam, dsb).

Tetapi bukan berarti, bahwa umat-umat lainnya sama sekali tidak bisa memahaminya pula, apabila pengetahuannya memang telah bertambah secara memadai dan mendalam.

Jika ada suatu pemahaman yang masih berdasar dalil-alasan yang bersumber dari dogma-dogma, maka sebaiknya tidak dipaksakan untuk dibahas lebih lanjut saat mencari Al-Hikmah, sebelum bisa dimiliki pengetahuan yang lebih memadai.

l.

Pisahkan pemahaman atas para nabi-Nya terdahulu.

»

Khusus atas ayat-ayat Al-Qur'an yang memuat kisah-kisah para nabi-Nya terdahulu (sebelum nabi Muhammad saw), dalam hal-hal tertentu agar pemahamannya lebih baik dipisahkan dari ayat-ayat lainnya (tentang ajaran-ajaran langsung dari Nabi). Minimal agar bisa dipahami secara relatif jauh lebih berhati-hati.

Ayat-ayat semacam itu relatif banyak mengandung hal-hal yang amat bersifat mistis-tahayul ataupun berlebihan. Hal ini sesuai dengan umat para nabi terdahulu yang memang relatif jauh lebih 'primitif' (umat manusia sejak dari jaman nabi Adam as, sampai nabi Isa as), daripada umatnya nabi Muhammad saw, dan bahkan terpisah masa waktunya selama berabad-abad.

Bahkan peradaban yang dianggap paling maju di jaman dahulu (Romawi kuno, Yunani kuno, Mesir kuno, Persia kuno, Cina, India, dsb), memang amat banyak mengandung mistis-tahayul di dalam kebudayaannya, di balik berbagai kemajuan lahiriahnya. Masyarakatnya ada menganut paham animisme dan dinamisme, menyembah dewa-dewa, berhala dan benda-benda keramat, dsb.

Dan tentunya hal ini terjadi pula pada bangsa-bangsa Arab, pada jaman sebelum kedatangan agama Islam.

Di lain pihak, justru di tanah Arab yang budaya lahiriahnya agak kurang maju, telah melahirkan hampir semua nabi. Hal ini bisa dipahami karena makin maju budaya sesuatu kaum, makin kecil pula kiprah tiap individunya (seperti halnya para nabi-Nya), yang justru akan membawa sesuatu sistem nilai baru ke tengah-tengah masyarakat (bahkan bisa merombak hampir seluruh budayanya).

Tiap individunya justru cenderung melebur ke dalam pengaruh masyarakat dan budaya kaumnya, yang telah berkembang lama dan maju, apalagi jika berkaitan dengan sistem pemerintahannya, yang telah amat stabil dan kuat.

Kesan 'berlebihan' pada ayat-ayat tentang kisah-kisah para nabi-Nya terdahulu tersebut juga mudah bisa dipahami, karena kisah-kisah itupun telah berkembang dari mulut ke mulut dalam waktu berabad-abad, sebelum diterima pula oleh nabi Muhammad saw. Maka amat kuat kemungkinan terjadinya segala bentuk distorsi atau penyimpangan informasi, dan melahirkan mistis-tahayul.

"Kami tiada mengutus rasul-rasul, sebelum kamu (hai Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki, yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah (kisah-kisah mereka) olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui." – (QS.21:7) dan juga (QS.16:43).

 

Walau saat nabi Muhammad saw menyampaikan kembali kisah-kisah itu ke dalam Al-Qur'an, Nabipun telah berusaha maksimal untuk 'meluruskannya'. Namun sebagai manusia biasa, tentunya Nabi tidak mengetahui persis tiap latar-belakang dan kebenaran di balik kisah-kisah itu.

Apalagi kejadiannya telah terjadi berabad-abad sebelumnya, dan kisah-kisah itu telah berkembang luas di kalangan umat, seperti halnya tentang sebagian mu'jizat para nabi-Nya ataupun kisah yang bersifat mistis-tahayul lainnya.

Hal itu serupa seperti mahasiswa dan ilmuwan sekarang ini yang belum mengetahui persis, bagaimana latar-belakang cara rumus-rumus yang biasa dipakainya, saat dirumuskan oleh penemunya dulu. Biasanya rumus-rumus itupun amat dipercaya dan langsung dipakai saja, karena telah selalu dipakai selama puluhan tahun oleh para ilmuwan sebelumnya.

Maka secara alamiah, Nabi juga amat kesulitan mengatasi kisah-kisah dari para nabi terdahulu yang mengandung mistis-tahayul, padahal kisah-kisah itupun telah menjadi milik rakyat luas (amat sulit bisa diubah). Beberapa dari ayat-ayat seperti itu, misalnya:

"Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang berkata kepada mereka): 'Sesungguhnya aku (Isa) telah datang kepadamu, dengan membawa suatu tanda (mu'jizat) dari Rabb-mu, yaitu aku dapat membuat untuk kamu tanah berbentuk burung. Kemudian aku meniupnya. Maka ia menjadi seekor burung dengan seijin-Nya. Dan … . Dan aku dapat menghidupkan orang mati, dengan seijin-Nya. Dan …'." – (QS.3:49).

 

"Lalu Kami berfirman: 'Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu (hai Musa)!'. Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya, agar kamu mengerti." – (QS.2:73).

 

"(pada kisah Ibrahim) … . Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, dan kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: 'Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?'. Ia menjawab: 'Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari'. Allah berfirman: 'Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah. Dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang). …'." – (QS.2:259).

 

Hal yang penting pula tentang pemisahan di atas, secara alamiah sesuai perkembangan jaman tingkat pengetahuan para nabi-Nya relatif berbeda (makin lama, relatif makin sempurna pula tingkat kelengkapan, kedalaman, konsistensi dan keutuhan pengetahuan mereka, atas berbagai kebenaran-Nya).

Maka Amat mudah dimengerti, jika ajaran-ajaran para nabi yang muncul ratusan tahun sebelum kehadiran nabi Muhammad saw, bisa kurang sempurna pula dalam penyampaiannya, walau tujuan para nabi-Nya pada dasarnya sama, untuk mengajarkan tentang tauhid dan agama-Nya yang lurus.

m.

Pahami perbedaan Sunnah Nabi dan Hadits Nabi.

»

Harus dipahami tentang adanya sedikit perbedaan antara Sunnah Nabi dan Hadits Nabi, walaupun hakekat makna atau pengertian secara umum memang sama, namun justru berbeda pada hakekat perwujudannya.

Makna atau pengertian Sunnah dan Hadits Nabi pada dasarnya sama, yaitu berupa segala amal-perbuatan nabi Muhammad saw (lisan, tulisan, sikap dan perbuatannya), yang telah bisa dijadikan sebagai contoh pengamalan langsung atas ajaran-ajaran di dalam kitab suci Al-Qur'an. Bahkan Nabi disebut pula sebagai "contoh hidup Al-Qur'an".

Namun ada perbedaan dalam hal bentuk perwujudannya, antara Sunnah dan Hadits Nabi. Karena Hadits merupakan catatan dan keterangan tentang Sunnah Nabi, dari orang-orang yang terkait amat dekat dengan nabi Muhammad saw (istri, keluarga, sahabat Nabi, dsb), dan amat jauh (hanya pernah bertemu, atau bahkan hanya pernah mendengar tentang Nabi).

Perlu diketahui, bahwa tidak ada sesuatupun Hadits yang berasal langsung dari nabi Muhammad saw, karena tidak ada sesuatupun Sunnah Nabi yang dicatat ketika Nabi masih hidup.

Salah-satu faktor penting yang menjadi penyebab terjadinya hal ini, yaitu adanya larangan nabi Muhammad saw untuk mencatat Sunnah-sunnah Nabi.

Hal ini khususnya disebabkan oleh alasan teknis atas Al-Qur'an sendiri yang justru belum selesai dicatat, atau baru selesai turun menjelang Nabi wafat. Sehingga dikuatirkan oleh Nabi, bahwa segala catatan atas ayat-ayat Al-Qur'an amat mungkin akan bisa bercampur-baur dengan catatan atas Sunnah-sunnah Nabi (pada saat ini biasanya disebut sebagai 'Hadits-hadits Nabi').

Baca pula topik "Kitab-kitab tuntunan-Nya (kitab-kitab tauhid)", tentang pembukuan kitab suci Al-Qur'an dan kitab Hadits.

Hal ini dianggap perlu pula diungkap, karena perbedaan antara Sunnah dan Hadits Nabi, sedikit-banyak telah memiliki pengaruh besar bagi pemahaman umat Islam atas ajaran-ajaran agamanya. Pada kasus yang ekstrim, bahkan ada sebagian umat yang amat mudah mengkafirkan umat lainnya dengan tuduhan telah 'ingkar' kepada Sunnah Nabi.

Padahal umat-umat yang telah dituduh itu, misalnya hanya tidak mau mengikuti hadits-hadits tertentu, yang masih diragukannya, sedang mereka tetap membenarkan segala Sunnah Nabi.

Begitu pula timbulnya berbagai perselisihan di kalangan umat dari berbagai aliran-mazhab-golongan, hanya akibat ada berbagai perbedaan penafsiran atas hadits-hadits Nabi.

Sejalan dengan adanya perbedaan perwujudan Sunnah Nabi dan Hadits Nabi, maka langkah paling aman adalah 'kembali' kepada pemahaman atas kitab suci Al-Qur'an, sebagai dasar paling tinggi ajaran agama Islam, secara relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan juga tidak saling bertentangan, dan bahkan pemahaman secara utuh pula atas seluruh Hadits Nabi (Sunnah Nabi).

Maka beberapa ayat Al-Qur'an dan Hadits saja tidak cukup, dan semestinya tidak mudah dipakai sebagai dasar dalil-alasan, untuk membantah dan menuduh pihak lainnya (tanpa dasar alasan yang utuh dan lengkap, berdasar hikmah dan hakekat kebenaran-Nya pada kandungan isi ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits Nabi).

n.

Harus utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan.

»

Hal yang amat penting, juga semestinya amat utuh, konsisten dan tidak saling bertentangannya keseluruhan pemahaman yang telah dimiliki, minimal atas sekelompok pemahaman yang paling jelas diketahui, khususnya harus tidak saling bertentangan antar semua ayat Al-Qur'an dan Hadits yang terkait.

Juga harus tidak saling bertentangan terhadap dasar-dasar ajaran agama di atasnya, khususnya kitab suci Al-Qur'an sebagai dasar acuan utama dan tertinggi (bagi pemahaman atas ajaran lainnya).

Pemahaman yang 'utuh' diperoleh dengan mengumpulkan semua hal yang terkait dengan suatu topik tertentu dalam Al-Qur'an dan Hadits. Lalu ditarik suatu "benang merah" yang menghubungkan semua hal itu, atau diambil suatu 'kesimpulan akhir' yang paling cocok atas topik tersebut (dianggap relatif paling tepat, baik dan benar, serta juga relatif sesuai bisa mewakili semua halnya).

Namun pemahaman itupun tidak perlu dipaksakan, jika tiap dalil-alasan pendukungnya masih kurang ataupun lemah, ataupun jika tidak didukung pula oleh berbagai pemahaman yang telah teruji (relatif sulit terbantahkan), yang telah diperoleh sebelumnya.

Kalau perlu pembahasan atas topik semacam ini ditunda dulu dan pindah ke topik-topik lain, yang dalil-alasannya telah jauh lebih lengkap dan menyakinkan.

Namun bersamaan pula, proses pengambilan 'kesimpulan akhir' (beserta hikmah dan hakekatnya), tetap amat perlu sesuai dengan poin-poin a s/d m di atas.

o.

Berdiskusi dengan orang berilmu agama tinggi.

»

Sering bertukar-pikiran dengan pihak lain atas tiap pemahaman yang telah diperoleh, terutama orang-orang yang berilmu agama relatif lebih tinggi (para alim-ulama, guru, orang-orang seiman, keluarga, teman, dsb).

Seluruh ajaran agama-Nya (khususnya pada tataran hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), pada dasarnya mengandung nilai-nilai yang bersifat 'universal', yang mestinya bisa diterima pula oleh sesama umat lainnya. Walau "penerimaan" itu bukan sesuatu hal yang harus mutlak diperlukan.

Karena keyakinan atau keimanan seseorang hanya milik pribadi, dan tidak selamanya harus sesuai dengan hal-hal yang diyakini oleh orang-orang di sekitar, dan bahkan oleh orang kebanyakan.

Namun tujuan utamanya adalah, setelah melalui proses bertukar-pikiran, maka bisa diperoleh sejumlah argumen dari pihak-pihak lainnya, yang mungkin bisa memperkuat pemahaman sementara yang diperoleh, dan bahkan sebaliknya, justru bisa menunjukkan berbagai kelemahan dasar argumen pemahaman itu sendiri.

Amat penting pula pada kemampuan menyampaikannya, beserta kekuatan berbagai dalil-alasan yang melandasinya, karena hal ini menunjukkan tingkat keyakinan atau keimanan atas kebenaran pemahaman 'sementara' itu (harus selalu diperbaiki tanpa akhir).

Bagi semua argumen yang makin memperkuat tentunya tidak ada masalah, dan hanya perlu dicatat tiap perbedaannya. Begitu pula halnya bagi semua argumen yang memperlemahnya, tetapi justru dianggap telah relatif memuaskan bisa dibantah atau dijawab.

Sedang bagi argumen-argumen lainnya, mestinya bisa dijadikan bahan-bahan pertimbangan baru yang justru makin memperkaya penentuan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang sebenarnya dicari. Lalu poin-poin a s/d n di atas bisa dipertimbangkan atau diulangi kembali.

p.

Banyak mempelajari pemahaman yang berbeda-beda.

»

Selain banyak mempelajari tiap pemahaman yang serupa, untuk bisa memperkuat seluruh dalil-alasan yang telah ada, juga amat perlu untuk memahami dengan cermat dan teliti tiap pemahaman yang berbeda (dan bahkan bertentangan), untuk mencari tiap titik kelemahan dan garis pemisahya, agar bisa mencari solusi terbaik dan garis penghubungnya ("benang merahnya").

Padahal tiap pertentangan dan perselisihan antar kalangan umat, umumnya disebabkan oleh pengetahuan yang kurang cermat dan utuh tentang sesuatu halnya, bahkan bukan karena kesengajaan untuk berada dalam keadaan kesesatan, ataupun hanya untuk bisa berseberangan pendapat, khususnya jika terjadi di kalangan umat Islam sendiri.

Walau memang ada pula sebagiannya yang justru timbul karena pemenuhan kepentingan pribadi dan kelompok, keadaan politik, pengaruh penjajahan oleh bangsa lain, dsb.

Tiap umat memiliki keterbatasan masing-masing dalam mencari pengetahuan; karena "di atas langit pastilah ada langit lagi" dan kebenaran mutlak hanyalah milik Allah, maka mestinya dihindari pemaksaan pengetahuan atau pemahaman dari seorang umat atas umat lainnya (justru suatu bentuk kezaliman atau tindakan yang berlebihan secara batiniah), serta mestinya dihindari sikap ingin menunjukkan diri paling berilmu dan paling benar.

Jauh lebih penting bagi umat Islam, untuk saling mengingatkan dan memberitahu tentang kebenaran-Nya secara arif-bijaksana. Dan umat yang mengingatkan mestinya tidak merasa lebih tahu, dan sebaliknya umat yang diingatkan mestinya juga tidak merasa lebih tidak tahu;

Akhirnya, pengetahuan atau pemahaman yang terbentuk tidaklah semata hanya sesuai dengan kepentingan pribadi-kelompok saja, tetapi diharapkan bisa menjawab dengan tuntas seluruh keraguan dan pertanyaan dari semua kalangan umat Islam, atas sesuatu hal. Bahkan idealnya, mestinya juga bisa menjawab pertanyaan dari seluruh kalangan dan golongan umat manusia.

q.

Memiliki bangunan pemahaman atas ajaran agama.

»

Untuk mendukung tercapainya tujuan-tujuan dari poin n di atas, yang ruang lingkupnya masih 'per topik', maka akan jauh lebih sempurna jika umat Islam bisa bersedia serius membangun atau memiliki suatu 'bangunan pemahaman' atas ajaran-ajaran agama Islam. Bukan hanya bisa menghapal 'teks-teks' ajarannya, tetapi juga memiliki pemahaman yang saling terkait secara utuh (tidak terpisah-pisah, sepotong-sepotong atau parsial).

Bangunan pemahaman tersebut agar mulai dibangun dari hal-hal yang mendasar dan relatif sederhana lebih dahulu, dari berbagai ajaran yang telah sering dibaca ataupun dihapal. Khususnya pada berbagai topik yang paling lengkap dibahas, agar pemahamannya juga bisa memiliki berbagai dalil-alasan yang relatif lebih banyak dan kuat. Proses selanjutnya, lalu mengikuti pertimbangan pada poin a s/d n di atas.

Sehingga hikmah dan hakekat dari topik-topik mendasar itu bisa membentuk suatu pondasi yang jauh lebih mudah bisa dipahami, kokoh, kuat dan sulit tergoyahkan. Bangunan pemahaman itupun makin lama juga disusun dari hal-hal yang makin kompleks dan rumit, sesuai batas kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki oleh tiap umat.

Selanjutnya, bangunan pemahaman yang telah terbentuk relatif mudah dipakai untuk memperoleh tiap pemahaman berikutnya.

Bangunan pemahaman 'seperti' ini yang telah dimiliki para nabi-Nya, sehingga segala pengetahuan atau pemahaman mereka (Al-Hikmah, atau hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), bisa disebut sebagai 'wahyu-Nya' (seluruh bangunannya relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan).

Bahkan bangunan mereka itupun telah terbentuk amat kuat atas hampir semua persoalan umat yang paling penting, mendasar dan hakiki, sebelum memproklamirkan dirinya sebagai utusan-Nya.

Hakekat dari segala wahyu-Nya, adalah kesempurnaan bangunan pemahaman para nabi-Nya atas berbagai kebenaran-Nya. Jika tidak, maka hal itu justru serupa dengan tiap Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), pada manusia biasa lainnya.

Perolehan pemahaman bagi umat pada saat ini justru telah amat dipermudah oleh wahyu-Nya dari para nabi-Nya, sehingga umat tinggal mengungkap segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks-teks wahyu-Nya dalam Al-Qur'an.

Sedang para nabi-Nya memperolehnya dari mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta, sepanjang hidupnya (sambil dituntun oleh malaikat Jibril).

Dan pondasi paling mendasar dari bangunan pemahaman yang dimiliki oleh para nabi-Nya pada dasarnya juga sama, yaitu pada tauhid "Tiada ilah selain Allah, Yang Maha Esa".

Tentunya pemahaman mendasar ini juga diawali melalui segala pemahaman terkait lainnya, untuk bisa mencapainya.

Seluruh pembahasan pada buku ini pada dasarnya sesuatu usaha, untuk bisa membentuk bangunan pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur'an. Khususnya dimulai dari ayat-ayat yang terkait dengan Fitrah Allah dalam penciptaan manusia (dan alam semesta), serta dalam turunnya agama-Nya yang lurus (surat Ar-Ruum ayat 30).

Ternyata bangunan pemahaman di sini telah berkembang relatif amat luas (tidak hanya tentang proses penciptaan), dan juga telah meliputi sekitar 2900 ayat-ayat Al-Qur'an.

Suatu bangunan pemahaman amat perlu dimiliki oleh tiap umat, walaupun amat sulit mencapai kesempurnaan, seperti milik para nabi-Nya, dengan tingkat keimanannya amat tinggi. Pengetahuan atau pemahaman yang kokoh atas segala kebenaran-Nya, adalah salah-satu pondasi paling utama dari keimanan (ilmu dan amal).

Maka keimanan bisa makin kuat, jika disertai pengamalan yang konsisten melalui sikap, perkataan dan perbuatan sehari-harinya, berdasar atas segala pemahaman terkait (terutama berupa segala budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan positif).

Sebaliknya, pengamalan tanpa adanya sesuatu pemahaman yang memadai, juga amat pincang atau mudah tergoyahkan.

Juga tanpa dibentuknya bangunan pemahaman seperti itu, segala pemahaman atas ajaran-ajaran agama menjadi terpisah-pisah atau sepotong-sepotong (bersifat parsial), atas berbagai topiknya.

Syukur-syukur jika tiap potongan pemahaman itu 'benar'. Tetapi jika ada salah-satu saja dari potongan yang tidak sesuai, ataupun bahkan justru bertentangan dengan potongan lainnya, maka amat mungkin terjadi, semua potongan terkait lainnya harus diperbaiki kembali.

Dan celakanya, perbaikan inipun bisa berakibat kegoyahan iman yang relatif luar biasa, jika sebelumnya umat terlalu fanatik atau yakin atas semua potongan pemahaman yang sedang diperbaiki. Segala hal yang relatif belum diyakini betul hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, semestinya hanya dipertahankan sewajarnya saja (tidak secara mati-matian, ataupun tidak taklid buta).

Seperti diketahui, agama Islam adalah milik seluruh umat Islam (dari umat yang relatif amat tinggi ilmu agamanya sampai relatif amat awam). Maka dengan tingkat pengetahuan dan pemahaman masing-masing yang berbeda-beda atas ajaran-ajaran agamanya, umat justru tetap bisa menjalaninya dengan relatif 'benar', walau dengan tingkat keimanan yang berbeda-beda pula.

Masalah yang justru sering terjadi, adalah saat berbagai golongan umat yang pemahamannya berbeda-beda, justru saling mengaku-aku dan mengklaim bahwa segala pemahaman yang dimiliki oleh golongannya adalah pemahaman yang paling benar. Sedang hal seperti ini hanya hak milik Allah, sama sekali bukan hak manusia untuk menilai pemahaman yang paling benar ataupun siapa yang paling beriman.

Wujud dari 'milik Allah' tersebut adalah suatu pemahaman yang sesuai atau mendekati hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang telah dipahami oleh nabi Muhammad saw. Tentunya disertai pula dengan pengamalan yang konsisten atas pemahaman itu, seperti halnya yang telah dicontohkan oleh Nabi (Sunnah Nabi), sebagai perwujudan dari keimanan Nabi yang telah amat utuh dan tinggi (amat konsisten pemahaman dan pengamalannya).

Sebelum suatu golongan bisa mencapai pemahaman pada tingkat hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, secara relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya, maka pemahamannya relatif belum 'benar'.

Baca pula uraian-uraian di bawah, tentang cara lengkapnya untuk menyusun bangunan pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur'an.

r.

Persiapkan sikap-sikap mental tertentu sebelumnya.

»

Di luar hal-hal yang terkait langsung dengan pencapaian segala pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya pada poin-poin di atas, semestinya perlu pula agar tiap umat Islam bisa memiliki berbagai sikap mental tertentu, yang telah dipersiapkan sebelum memulai mengungkap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya.

Khususnya karena usaha pengungkapan atas sesuatu hikmah dan hakekat kebenaran-Nya adalah usaha yang relatif berbahaya, dan terkait langsung dengan keyakinan batiniah umat itu sendiri atas berbagai kebenaran-Nya, di samping umat lain yang mengetahui pula hasil pengungkapannya.

Sehingga dengan persiapan berbagai sikap mental itu diharapkan umat bisa relatif terhindar dari berbagai kegoncangan keimanan ataupun efek-efek samping lainnya, yang amat mungkin terjadi.

Apabila proses pengungkapan ataupun berbagai sikap mental itu telah relatif benar dilakukan, mestinya justru bisa pula terbentuk keimanan atau keyakinan yang makin tinggi.

Adapun berbagai sikap mental atau sikap batiniah itu, misalnya:

Tidak merasa benar sendiri;

Karena hanya hak milik Allah, Yang Maha mengetahui suatu pemahaman yang paling benar.

Tidak sombong;

Karena di atas langit masih ada lagi langit lainnya. Ilmu-Nya Maha tinggi dan luas, juga mustahil bisa diungkap semuanya oleh manusia sampai Hari Kiamat.

Maka telah dijanjikan-Nya pula, bagi dibukakan-Nya segala kebenaran-Nya di Hari Kiamat, agar bisa menuntaskan segala ketidak-tahuan, keraguan, perselisihan dan perdebatan antar umat manusia.

Tidak berlebihan atau tidak berbuat zalim;

Selain secara fisik, kezaliman justru bisa pula terjadi secara batiniah, melalui pemaksaan sesuatu pemahaman atas ajaran agama-Nya (diperoleh dan disampaikan secara berlebihan).

Kebaikan sekalipun pasti akan berakibat negatif jika terlalu berlebihan, karena justru bisa merusak keseimbangan alam.

Tiap pemahaman yang 'benar' pasti mustahil akan merusak pemahaman yang 'benar' atas segala hal lainnya, dan bahkan semestinya justru saling memperkuat bangunan pemahaman keseluruhannya.

Tidak berdusta atau tidak berbuat fasik;

Tindakan dusta atau kefasikan ini umumnya dilakukan untuk menyembunyikan tiap kebenaran-Nya, yang justru dianggap bisa merugikan kepentingan pribadi dan kelompok.

Hal ini mestinya justru bisa dihindari, agar pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya bisa menjadi utuh dan konsisten.

Tidak mengada-ada;

Terutama agar tidak menambah dan mengurangi sesuatu hal pada pemahaman atas berbagai kebenaran-Nya, tanpa disertai segala dalil-alasan yang kuat. Hal seperti ini biasanya terjadi demi nafsu-kepentingan pribadi dan kelompok semata.

Tidak ragu ketika menerima dan menyampaikan kebenaran-Nya, yang telah memiliki dalil-alasan yang relatif amat kuat dan menyakinkan, sekecil apapun bentuknya;

Kebenaran 'mutlak' pada dasarnya hanya hak milik Allah, sedangkan kebenaran yang dipahami oleh tiap manusia pasti bersifat 'relatif'. Maka bukan tiap pemahaman yang 'paling benar' yang mestinya dicari, namun mestinya terus-menerus dicari pemahaman yang 'makin benar'.

Bahkan pengungkapan atas berbagai kebenaran-Nya, justru terus-menerus pasti makin berkembang dan mendalam sesuai tiap perubahan keadaan jamannya dan juga tidak akan pernah tuntas sampai akhir jaman.

Seperti halnya pengungkapan dan penyampaian kebenaran-Nya oleh para nabi-Nya (dari nabi ke nabi, dan dari jaman ke jaman). Setelah jaman para nabi-Nya, tugas pengungkapan dan penyampaian itu justru telah diwariskan kepada Majelis alim-ulama, pada tiap negeri dan jamannya.

Maka dalam agama Islam, amatlah dianjurkan bagi umat agar selalu saling mengingatkan atas tiap kebenaran-Nya.

Dan tentunya penyampaian tiap kebenaran-Nya itu mestinya dilakukan secara amat arif-bijaksana, agar tidak melahirkan berbagai kemudharatan.

Khususnya karena telah menjadi fitrah dasar manusia, bahwa tiap manusia relatif sulit mau diperbaiki oleh orang-lain, dan bahkan juga relatif sulit mau memperbaiki dirinya sendiri.

Manusia cenderung selalu berusaha mempertahankan sesuatu kestabilan yang telah dijalaninya sejak lama, meskipun justru kestabilan itu mengandung kekeliruan. Serupa halnya dengan tiap pemahaman yang dimilikinya, relatif sulit bisa berubah.

Tidak ragu dan takut dalam memperbaiki dogma yang keliru;

Dalam hal pengetahuan umat tentang ilmu agama yang masih terbatas (awam), maka umumnya tiap dogma dari para alim-ulama terdahulu yang bersifat 'taklid', memang relatif amat diperlukan, karena pada awalnya memang diajarkan, sekedar hanya untuk penerapan paling sederhana, praktis dan aman, bagi umat-umat yang awam.

Namun sejalan dengan telah semakin berkembang mendalam dan luas pengetahuan tiap umat, maka semestinya perlu bagi umat itu sendiri untuk bisa memperbaiki dogma-dogma yang pada dasarnya 'agak keliru'.

Dogma-dogma semacam ini amat tidak sesuai, bagi tiap umat yang relatif telah cukup berilmu.

Di lain pihak, bagi dogma-dogma masih bisa dianggap benar, semestinya mulai dipelajari kembali, untuk bisa mencari tiap dalil-alasan pendukungnya, agar pada saat selanjutnya tidak lagi menjadi dogma semata, tetapi telah menjadi pemahaman yang utuh.

Tidak lalai, tidak terburu-buru dan tidak ada keraguan;

Agar tidak terlalu menyakini suatu pemahaman, yang belum memiliki dalil-alasan yang relatif cukup kuat (belum berdasar Al-Qur'an, Sunnah Nabi, Ijtihad para alim-ulama dan segala ilmu-pengetahuan yang amat obyektif).

Segala pemahaman yang masih cukup meragukan semacam ini semestinya disimpan dahulu secara pribadi saja, dan tidak terburu-buru disampaikan kepada umat-umat lainnya, sampai telah bisa diperoleh pemahaman yang relatif utuh dan kuat.

Penyusunan suatu pemahaman semestinya dilakukan dengan amat cermat, hati-hati dan obyektif, dari hasil memahami atas ayat-ayat-Nya yang tertulis, ataupun ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di seluruh alam semesta (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), agar semaksimal mungkin tidak ada sesuatu fakta, kenyataan dan kebenaran yang amat penting, yang bisa terlewatkan atau terabaikan.

Tekad untuk makin konsisten mengamalkan tiap kebenaran-Nya;

Usaha mengungkap tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) oleh tiap umat, pada dasarnya bertujuan untuk semakin meningkatkan keyakinan atau keimanan batiniahnya atas ajaran-ajaran agama-Nya, sehingga segala pengetahuan atau pemahaman yang diperoleh justru akan menjadi kurang utuh dan lengkap, jika tidak disertai pula dengan keyakinan lahiriahnya yang semakin konsisten (pengamalannya).

Bahkan tanpa adanya pengamalan, hasil usaha itu justru sama halnya dengan melahirkan suatu bentuk kemunafikan 'kecil'. Dan sebaliknya, justru pemahaman yang diperoleh memang belum memadai, mantap ataupun belum sempurna.

Pemahaman utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan

Terdapat berbagai aspek dalam pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits, yang semestinya semaksimal mungkin diusahakan bisa terpenuhi, yaitu: utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan, secara keseluruhan dari segala hal yang telah dipahami oleh tiap umat. Juga tentunya agar bisa lengkap dan mendalam pemahamannya.

Walaupun aspek kelengkapan dan kedalaman pemahaman ini tidak terlalu perlu dipaksakan, namun secara alamiah pasti mengikuti kebutuhan, kemampuan dan pengetahuan tiap umat. Betapapun bentuk pemahaman yang dimilikinya, tiap umat pastilah tetap bisa mengikuti agama-Nya dengan relatif 'benar'. Hanya saja tentunya, ada perbedaan tingkat keimanan pada masing-masing umat.

Minimal telah cukup, jika umat bisa mengikuti terlebih dahulu ajaran yang disampaikan Nabi, secara tekstual-harfiah, namun makin lama juga sambil makin mendalaminya, untuk bisa mencapai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), di balik teks-teksnya.

Berbagai aspek pemahaman itu diungkap ringkas pada Gambar 39 berikut.

Berbagai aspek pemahaman itu amat perlu ditekankan kembali (terutama agar relatif utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan), untuk lebih diperhatikan oleh tiap umat Islam. Karena hampir semua kutipan ayat-ayat Al-Qur'an dalam berbagai buku, makalah, artikel, tulisan, dsb, termasuk ayat-ayat yang digunakan oleh berbagai aliran, untuk bisa memperkuat dalil-alasannya, pada umumnya hanya dikutip secara sporadis (relatif asal-asalan). Seolah-olah hanya dikutip secara seadanya saja dari ayat-ayat yang telah dihapal ataupun biasa dipakai.

Syukur-syukur jika kandungan isi ayat-ayatnya itu tepat sesuai dengan makna sebenarnya (hikmah dan hakekatnya). Namun hal yang sering terjadi umumnya, kesesuaian makna itupun hanya pada tingkat 'tekstual-harfiah'. Bahkan jauh lebih buruk lagi, jika teksnya kurang dicermati betul (makna tekstualnya juga tidak tepat sesuai).

Semestinya atau idealnya, jika sesuatu ayat yang akan dikutip itu bisa dipilih dengan amat cermat dari sejumlah besar ayat-ayat yang terkait (kalau perlu dari seluruh ayat yang terkait), yang paling tepat sesuai maknanya. Hal ini memang kurang efektif (banyak memakan waktu dan pikiran), walaupun telah amat dipermudah dengan bantuan teknologi komputer.

Namun jika dipahami atau dipertimbangkan, bahwa kesesuaian makna tersebut justru amatlah penting, karena menyangkut keyakinan dan kehidupan beragama umat Islam. Serta atas ijin-Nya, usaha yang amat keras seperti itu memiliki nilai amalan yang besar dan setimpal.

Gambar 38: Diagram aspek pemahaman ajaran agama-Nya

 

Keterangan gambar (garis putus-putus = pemahaman yang 'amat' ideal)

a.

Pemahaman yang utuh.

Keutuhan pemahaman ini bisa terdiri dari 2 hal, yaitu: seluruh pemahamannya relatif 'benar', dan seluruh pemahamannya 'saling terkait' secara utuh.

Tiap pemahaman umat semestinya relatif 'benar', secara keseluruhan (utuh), terutama agar sesuai dengan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) di balik teks-teks wahyu-Nya.

Jika belum utuh, maka pemahaman yang belum diyakini betul kebenarannya, juga mestinya jelas dipisah (tidak bercampur-baur), dan diperlakukan berbeda.

Seperti diketahui, bahwa pemahaman bisa dari bentuk yang amat sederhana (tingkat tekstual-harfiah), sampai yang amat mendalam (tingkat hikmah dan hakekat). Kedua tingkatan inipun amat luas cakupan kedalamannya.

Bahwa bahasa lisan dan tulisan ada memiliki berbagai keterbatasan (seperti: jumlah halaman tulisan; perbedaan keyakinan batiniah dengan pengungkapan lahiriahnya melalui tulisan, lisan dan contoh perbuatan; kekayaan kosa-kata bahasa yang dipakai; hanya sesuai dengan keadaan umat, saat disampaikan; adanya perumpamaan, terutama untuk hal-hal gaib; dsb).

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa dalam pengungkapan wahyu-Nya.

Maka semestinya dipahami, jika pengungkapan nabi Muhammad saw atas tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (wahyu-Nya) melalui teks ayat-ayat Al-Qur'an, pasti menghadapi berbagai keterbatasan bahasa tersebut.

Bahkan teks ayat-ayat Al-Qur'an justru telah sengaja disusun dengan 'bahasa pertengahan', agar mudah dipahami dan diamalkan bagi umat yang awam dan sekaligus pula 'cukup memadai' bagi umat yang berilmu tinggi.

Maka semestinya dipahami pula, jika makna yang sebenarnya dari tiap ayat Al-Qur'an 'belum tentu' sesuai betul dengan makna tekstual-harfiahnya.

Bahkan secara tekstual-harfiah, sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an seolah-olah ada tampak saling bertentangan dan juga tidak sesuai perkembangan jaman.

Padahal makna yang sebenarnya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) dari seluruh ayat-ayat Al-Qur'an, justru mustahil bisa saling bertentangan, bersifat 'universal' dan berlaku untuk seluruh umat manusia sampai akhir jaman.

Hal penting lain dari keutuhan ini, adalah antar tiap pemahamannya agar bisa saling terkait secara utuh. Sedang kandungan isi Al-Qur'an justru menyangkut hampir seluruh aspek kehidupan umat manusia, karena Al-Qur'an memang bertujuan utama untuk menjawab segala kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manusia secara relatif amat lengkap, terutama dalam hal-hal yang paling penting, mendasar dan hakiki.

Tentunya seluruh pemahaman yang amat lengkap tentang sesuatu hal (dalam hal ini tentang seluruh aspek kehidupan umat manusia), juga semestinya amat utuh, seperti halnya 'rangkuman' seluruh pemahaman nabi Muhammad saw, yang terungkap melalui kitab suci Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi (Hadits).

Karena semestinya justru tidak ada hal-hal yang bisa terlewatkan, atau seluruh pemahaman dan segala aspeknya semestinya bisa saling terkait, sebagai satu kesatuan yang utuh.

Dan tentunya keutuhan dalam hal ini belum ditinjau dari segi kelengkapannya, namun sementara cukup ditinjau dari segi 'saling keterkaitannya'.

Baca pula uraian pada poin d di bawah, tentang aspek kelengkapannya.

b.

Pemahaman yang tidak saling bertentangan.

Keseluruhan pemahaman umat yang tidak saling bertentangan, adalah salah-satu tolak ukur yang penting, bahwa tiap pemahamannya telah relatif 'benar' (seperti yang telah diuraikan pada poin a di atas).

Walaupun hal ini belum tentu menunjukkan, bahwa tiap pemahamannya telah amat mendalam dan amat tinggi tingkat kebenarannya.

Hampir bisa dipastikan, bahwa hal ini mustahil bisa terpenuhi melalui segala pemahaman yang bersifat tekstual-harfiah semata, karena adanya berbagai keterbatasan bahasa tulisan seperti disebut pada poin a di atas. Termasuk jika makna tekstual-harfiahnya telah tidak aktual, atau telah bertentangan dengan kebutuhan umat pada suatu jaman, dalam mengatasi berbagai persoalannya.

Sedangkan hal ini justru hanya bisa terpenuhi melalui pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), 'di balik' teks ayat-ayat Al-Qur'an, yang bersifat 'universal' (bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya), dari pemahaman yang cukup memadai sampai yang amat mendalam.

Karena segala Al-Hikmah memang berupa pemahaman dari hasil mengamati dan mempelajari berbagai kebenaran-Nya atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ('universe'). Selama alam semesta ini masih tetap tegak-kokoh, maka Al-Hikmah tentang sesuatu hal tertentu semestinya tetap sama pula, dari nabi ke nabi, dari jaman ke jaman.

Keseluruhan wahyu-Nya dalam Al-Qur'an yang tidak saling bertentangan ini, telah dijamin langsung oleh Allah sendiri, pada surat AN NISAA' ayat 82, yaitu

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an?. Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." – (QS.4:82).

 

Tetapi justru cukup menarik dicermati, bahwa hampir semua alim-ulama jelas-jelas mengakui ataupun menyakini, bahwa tidak ada saling pertentangan antar seluruh ayat Al-Qur'an.

Tetapi ironisnya, ada sebagian dari mereka yang berusaha amat keras, agar mempertahankan pemahaman tekstual-harfiahnya, umumnya dengan alasan, seperti "tidak ada seorangpun yang bisa memahami dengan pasti kehendak-Nya melalui tiap wahyu-Nya, maka kita ikuti saja apa adanya sesuai dengan teks ayat-ayatnya".

Padahal jika hanya dipahami secara tekstual-harfiah, justru sebagian dari ayat-ayat Al-Qur'an secara sekilas seolah-olah tampak saling pertentangan, seperti:

~

Allah bersifat Maha kuasa dan Maha berkehendak.

Sedang di lain pihak, Allah bersifat Maha adil dan Maha memelihara.

Apakah kekuasaan-Nya dibatasi oleh keadilan-Nya? dan kapankah Allah pernah berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini?

~

Allah menentukan takdr-Nya bagi tiap makhluk.

Sedang di lain pihak, tiap manusia justru diberikan-Nya kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, untuk mengubah-ubah keadaan atau nasibnya.

Apakah takdr-Nya memang bisa diubah-ubah-Nya, ataukah hanya karena takdr-Nya memang bisa dipilih-pilih oleh tiap manusia, dari sejumlah 'amat besar' takdr-Nya, yang tersedia baginya tiap saatnya?

~

Surga digambarkan sebagai taman yang indah, dengan pohon kurma dan mata air di dalamnya.

Sedang di lain pihak, Surga adalah alam akhirat yang gaib.

Apakah Surga adalah alam lahiriah-nyata, yang juga seperti kehidupan di dunia saat ini?

~

Malaikat Jibril digambarkan berwujud seorang pria, yang berkunjung ke rumah sebagian dari para nabi-Nya.

Sedang di lain pihak, para malaikat adalah makhluk gaib.

Apakah sesekali para makhluk gaib itu bisa terlihat dengan mata lahiriah, dan di lain waktu tetap gaib (tidak terlihat)?

~

Nabi Isa as, nabi Yahya as dan bahkan juga seluruh manusia lainnya pasti dihidupkan-Nya kembali pada Hari Kiamat, untuk tinggal di Surga ataupun di Neraka.

Sedang di lain pihak, kehidupan lahiriah-fisik seperti selama di dunia ini justru penuh dengan segala keterbatasan, kekurangan dan kehinaan.

Apakah di Hari Kiamat, manusia dihidupkan-Nya kembali beserta segala tubuh fisik-lahiriahnya? dan apakah mungkin kehidupan fisik-lahiriah yang bisa amat sempurna, seperti halnya kehidupan di Surga?

~

Para malaikat diperintahkan-Nya untuk bersujud kepada Adam.

Sedang di lain pihak, segala zat makhluk-Nya semestinya hanya bersujud kepada Allah semata, bukan kepada zat-zat ciptaan-Nya (kemusyrikan).

Apakah para malaikat-Nya memang benar-benar diperintahkan-Nya untuk bersujud kepada Adam?

~

Para malaikat (terutama malaikat Jibril) disebut amat cerdas akalnya.

Sedang di lain pihak, para malaikat tidak bisa menyebutkan nama-nama benda, ketika Adam masih di Surga. Padahal sebagian dari para malaikat justru tiap saatnya pasti selalu mengikuti manusia (juga termasuk Adam). Dan para malaikat juga selalu hidup kekal sejak diciptakan-Nya (sebelum penciptaan Adam).

Apakah pada saat Adam masih di Surga, para malaikat memang benar-benar tidak bisa menyebutkan nama-nama benda?

~

Iblis dan syaitan disebut-sebut dilaknat-Nya sampai Hari Kiamat.

Sedang di lain pihak, hal-hal yang dibawa oleh iblis dan syaitan, justru agar bisa diketahui-Nya "siapa yang beriman dan yang tidak".

Apakah iblis dan syaitan benar-benar dilaknat-Nya? dan apakah iblis dan syaitan justru memang ditugaskan-Nya, untuk bisa menguji keimanan tiap manusia? dan apakah ujian-Nya bisa berjalan tanpa iblis dan syaitan?

~

Dan masih banyak lagi lainnya.

 

Maka pada dasarnya umat semestinya bisa memahami hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks ayat-ayat Al-Qur'an secara relatif mendalam, agar semua pemahamannya benar-benar tidak saling bertentangan.

Sekaligus agar umat bisa menjawab segala pertanyaan seperti di atas, secara relatif lebih tepat dan benar.

Lebih utamanya, agar umat bisa lebih tegas memisahkan antara tiap contoh-perumpamaan simbolik semata terhadap tiap hal yang sebenarnya, terutama yang terkait dengan hal-hal yang gaib dan batiniah.

Termasuk agar umat bisa memahami berbagai keterbatasan bahasa manusia (bahasa lisan, tulisan dan gerak tubuh), dalam menjelaskan segala sesuatu hal (termasuk bahasa dalam Al-Qur'an).

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang keterbatasan bahasa dalam pengungkapan wahyu-Nya.

c.

Pemahaman yang konsisten.

Hal ini lebih terkait dengan kokoh-kuatnya tiap pemahaman yang dimiliki, yang semestinya tidak terus 'bergoyang' (tetap konsisten), jika berhadapan dengan segala pemahaman terkait lainnya yang relatif berbeda.

Hal ini tentunya juga bisa terkait dengan konsistensi atau kesesuaian antara pemahaman (keyakinan batiniah) dan pengamalan (keyakinan lahiriah), Walau konsistensi terakhir ini memang tidak terkait langsung dengan tingkat kebenaran dan bentuk pemahaman itu sendiri.

Sesuatu pemahaman bisa kokoh-kuat tentunya jika didukung oleh segala dalil-alasan yang kokoh-kuat pula, sehingga pemahaman itu semestinya bisa tetap konsisten atau tidak berubah-ubah.

Salah-satu ukuran yang sederhana dan mudah dilihat, adalah amat banyaknya jumlah ayat-ayat Al-Qur'an yang mendukung atau memperkuat berbagai dalil-alasan bagi pemahaman itu. Serupa halnya, jumlah hadits, ijtihad para alim-ulama, ataupun segala bidang ilmu-pengetahuan yang 'amat obyektif'.

Selain itu pula, umumnya pemahaman seperti itu telah diterima secara relatif luas di kalangan umat islam, walau juga tetap bisa lemah jika berupa sesuatu pemahaman yang bersifat tekstual-harfiah.

Dan umumnya pemahaman yang kokoh-kuat justru menyangkut hal-hal yang relatif amat sederhana, namun juga amat mendasar bagi aqidah umat.

Di lain pihaknya, jika makin konsisten pengamalan berdasar pemahaman yang 'benar', maka tingkat keyakinan atau keimanan juga disebut makin tinggi.

Tentunya pengamalan yang amat konsisten berdasar seluruh pemahamannya yang 'benar' dan relatif 'sempurna' (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), adalah perwujudan dari tingkat keimanan yang paling tinggi dan utuh.

Seperti halnya yang dimiliki para nabi-Nya, sehingga mereka menjadi contoh suri-teladan dan panutan bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman.

Tanpa ada pengamalan, maka pemahaman umat atas tiap ajaran agama bisa dikatakan masih relatif dangkal, kurang memadai ataupun belum sempurna.

Bahkan masih lebih baik pengamalan, walau tanpa pemahaman yang cukup memadai. Misalnya umat hanya sekedar memahami, bahwa amalan itu telah dianjurkan oleh orang-orang yang diyakininya amat lurus dan benar (seperti para nabi-Nya).

Hanya umat dengan keyakinan batiniah yang relatif amat kuat dengan ataupun tanpa pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), yang bisa mewujudkan pemahamannya menjadi berbagai amal-kebaikan (terutama yang bernilai amalan amat tinggi atau berat dilakukan).

Dan tentunya hanyalah hak Allah, Yang Maha mengetahui siapa yang paling beriman (termasuk dari adanya gabungan pemahaman dan pengamalannya).

d.

Pemahaman yang lengkap.

Kelengkapan pemahaman ini adalah hal yang paling penting daripada tingkat pemahaman kenabian, sesuai perkembangan kehidupan umat atau kaum dari masing-masing para nabi-Nya.

Khususnya pemahamannya telah amat lengkap bisa menjawab tiap persoalan kehidupan umat manusia, yang paling penting, mendasar dan hakiki (seperti mengenai: tuhan, tujuan kehidupan makhluk, alam gaib, baik dan buruk, dsb).

Kelengkapan inipun tergantung kepada perkembangan jaman dan kehidupan umat manusia, dengan sendirinya ajaran nabi Muhammad saw juga relatif paling sempurna dan lengkap, jika dibandingkan ajaran para nabi-Nya lainnya.

Kehidupan umat pada jaman Nabi memang relatif cukup sederhana (dibanding umat manusia modern saat ini), dan jumlahnyapun relatif sedikit.

Maka pada saat itu, seorang manusia masih cukup memiliki kemampuan dan kapasitas, untuk relatif lengkap bisa memahami segala aspek kehidupan umat kaumnya (aspek lahiriah dan terutama lagi aspek batiniahnya).

Namun tiap manusia saat ini hampir mustahil bisa memahami secara lengkap segala aspek dalam kehidupan umat manusia pada tiap jamannya masing-masing, dengan sendirinya mustahil pula bisa munculnya nabi-nabi baru.

Sedang saat ini, pemahaman yang lengkap seperti itu semestinya hanya bisa dicapai oleh sekumpulan atau majelis para alim-ulama dan cendikiawan Muslim, dari berbagai bidang keilmuan (ilmu agama dan non-agama).

Baca pula topik "Nabi Terakhir, untuk Seluruh Umat Manusia", tentang kelengkapan ajaran Nabi.

Dalam beragama, kelengkapan pemahaman memang bukan hal yang mesti dimiliki oleh 'tiap' umat. Pemahamannya telah memadai jika telah cukup bisa menjawab dan mengatasi berbagai persoalan dirinya dan keluarganya, dalam kehidupannya sehari-hari. Kelengkapan pemahaman bisa bertambah secara alamiah, sejalan dengan bertambahnya pengetahuan dan kemampuan umat, terutama tentunya dalam berusaha meningkatkan keimanannya.

Sedang bagi tiap umat yang banyak berinteraksi dengan berragam manusia lainnya (seperti halnya para alim-ulama), tentunya amat ideal jika wawasan pemahaman yang dimilikinya juga bisa selengkap ataupun seluas kandungan isi Al-Qur'an.

Dari uraian di atas juga 'seolah-olah' tampak, bahwa Al-Qur'an telah dianggap kurang lengkap pada saat ini. Hal inipun tentunya tidak benar, karena segala aspek batiniah dalam kehidupan umat manusia (sebagai aspek paling penting, mendasar dan hakiki dari keseluruhan persoalan kehidupan umat manusia), justru telah relatif lengkap terungkap dalam Al-Qur'an. Persoalan batiniah manusia justru relatif sama, sejak jaman nabi Adam as sampai saat ini.

Walau aspek batiniah diakui relatif lebih sulit dijelaskan dan dipahami daripada aspek lahiriah, kecuali melalui banyak pengalaman batiniah-rohani-spiritual.

Tentunya fokus di sini lebih kepada kelengkapan pemahaman pada tiap umat sendiri, bukan kepada kelengkapan pemahaman nabi Muhammad saw, atas wahyu-wahyu-Nya yang diperolehnya. Begitu pula poin-poin lain tabel ini.

e.

Pemahaman yang mendalam.

Kedalaman pemahaman inipun juga suatu hal yang paling penting dari tingkat pemahaman kenabian, yang berupa pemahaman pada tataran hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah, lahiriah dan terutama batiniah).

Hal yang amat mudah diketahui tentang amat mendalamnya pemahaman para nabi-Nya, adalah pemahaman mereka tentang hal-hal yang gaib ('esensi' dan 'perbuatan' dari zat-zat gaib).

Amat sangat sedikit yang bisa diketahui dari 'esensi' zat-zat gaib (ruh zat Allah dan ruh-ruh zat makhluk-Nya), karena memang tidak terlihat oleh mata lahiriah dan bahkan juga tidak terjangkau oleh mata batiniah (hati atau kalbu).

Dengan mata batiniahnya (hati atau kalbu), justru tiap manusia pada dasarnya semestinya bisa memahami berbagai 'perbuatan' zat-zat gaib, karena Allah dan para makhluk gaib-Nya memang hendak menunjukkan segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya kepada umat manusia dan segala makhluk-Nya lainnya, agar bisa mengenal Allah Tuhan alam semesta yang sebenarnya, melalui tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta.

Tanda-tanda kekuasaan-Nya hanya bisa diketahui atau dicapai melalui mata batiniah yang amat peka. Kepekaan ini perlu makin ditingkatkan, dengan cara terus-menerus berusaha bisa membersihkan cermin batiniah atau mensucikan ruhnya, seperti yang diajarkan pada berbagai ajaran agama-Nya.

Bahkan mata batiniah yang peka, juga amat diperlukan untuk bisa memahami sebagian besar dari ajaran-ajaran agama-Nya, yang memang amat banyak mengandung nilai-nilai batiniah.

Segala aspek dan persoalan batiniah tiap umat manusia, pada dasarnya sejak dahulu sampai sekarang tidak banyak mengalami perubahan, dan telah relatif lengkap dan mendalam terungkap dalam Al-Qur'an.

Sedang aspek lahiriahnya, tentunya amat tidak relevan untuk membandingkan kedalaman pengetahuan para nabi-Nya terhadap umat manusia modern saat ini, yang memang telah berkembang pesat segala bidang ilmu lahiriahnya.

Namun demikian, dengan mata batiniah yang amat peka pada para nabi-Nya, justru mereka bisa 'memperkirakan' berbagai kejadian lahiriah penting di alam semesta ini, bahkan termasuk berbagai kejadian pada saat awal penciptaan alam semesta dan pada saat berakhirnya (akhir jaman), yang relatif amat sulit ataupun terlambat bisa dipahami oleh para ilmuwan modern saat ini, yang paling pintar sekalipun.

Hal inipun bisa dimaklumi, karena segala kejadian lahiriah dan batiniah di alam semesta ini, yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten), memang justru hanya hasil dari segala perbuatan atau tindakan-Nya (melalui sunatullah), sedang para nabi-Nya justru telah amat memahami sunatullah itu.

Di lain pihaknya, tentunya pemahaman yang amat mendalam seperti itu relatif amat sulit bisa dicapai pula oleh manusia biasa umumnya.

Hal ini sama sekali bukan alasan yang bisa menghalangi seluruh umat manusia dalam beragama (berbeda-beda kedalaman pemahamannya). Agama-Nya justru bukan hanya milik para alim-ulama dan orang yang berilmu tinggi saja.

Namun pemahaman yang makin mendalam tentunya justru bisa pula makin meningkatkan keimanan tiap umat itu sendiri. Juga tiap amal-kebaikan yang dilakukan berdasarkan dari pemahaman yang telah makin mendalam, atas ijin-Nya, nilai amalannya bisa makin dilipat-gandakan-Nya.

Pembentukan 'bangunan pemahaman' atas ayat Al-Qur'an

Seperti telah diuraikan di bagian-bagian awal buku ini, bahwa hampir semua pembahasan pada buku ini, adalah sesuatu usaha untuk menyusun 'bangunan pemahaman' atas ayat-ayat Al-Qur'an. Tujuan utama penyusunan suatu bangunan pemahaman seperti ini, khususnya agar seluruh pemahaman yang telah dimiliki oleh setiap umat, menjadi relatif lebih konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, antar setiap pemahaman itu sendiri, seperti yang telah diuraikan di atas.

Di mana pembangunan diawali dari sesuatu ayat tertentu yang dianggap paling mendasar dan paling kokoh, sebagai 'batu pertama' dari pondasi bangunannya. Tentunya, setiap umat bisa bebas memilih 'batu pertama'-nya tersebut, sesuai dengan keyakinan dan luas ilmu-pengetahuan yang telah dimilikinya, yang terkait dengan kandungan isi ayat tersebut.

Ketika 'ayat atau batu pertama' itupun berusaha dibahas atau ditafsirkan segala makna yang sebenarnya di balik teksnya (idealnya bisa mendekati hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw), justru dengan sendirinya amat perlu berbagai dalil-alasan, agar mendukung dan memperkuat hasil penafsiran baru yang dibuat. Tentunya setiap dalil-alasan itu mestinya masing-masing mengacu pada ayat-ayat lainnya yang terkait, ataupun mengacu pada teori-teori ilmu-pengetahuan yang amat obyektif (telah berabad-abad teruji dan diakui oleh umat manusia).

Bisa pula sebaliknya agar bisa lebih cepat, dalil-alasan beserta ayat-ayatnya telah diketahui atau dipersiapkan lebih dahulu, sebelum dimulai proses pembahasan penafsirannya, karena tidak perlu mencari lagi berbagai dalil-alasannya, yang juga belum tentu bisa ditemukan.

Dalil-alasan itu bisa makin diperkaya pula dari bahan lainnya, seperti: Hadits, Ijma', Qiyas, dsb, walau bukan menjadi dasar utama dalilnya (hanya sebagai bahan perbandingan saja). Karena dalam hal ini, 'kekuatan pembuktian' segala dalil-alasan itu sendiri justru paling diperlukan, bukanlah hanya semata jumlah dalil-alasannya. Selain itu, pembuktian shahih/tidaknya suatu Hadits misalnya, relatif amat rumit dan amat tergantung riwayat dan kredibilitas pribadi para perawinya.

Ayat-ayat yang terkait dengan setiap dalil-alasan itu, sebaiknya diusahakan mewakili semua aspeknya. Pada setiap aspeknya, juga bisa ada berbagai versi ayatnya (dengan cara pengungkapan yang berbeda-beda). Dan setiap versi itu juga diusahakan agar bisa terwakili oleh 1 s/d 5 ayat yang tersedia (makin banyak makin baik).

Sehingga 'ayat-ayat terkait' yang terpilih dengan cara seperti ini, diharapkan cukup memadai sebagai dasar pembenaran atas setiap dalil-alasannya. Dan cara yang sama juga dilakukan pada semua dalil-alasan lainnya.

Contoh misalnya, pada ayat-ayat tentang kisah nabi Musa as, bisa meliputi aspek-aspek: keimanan dan kenabiannya, mu'jizat dan pengetahuannya, keluarganya, musuh-musuhnya, kekafiran kaumnya, akhlak dan budi-pekertinya, perjalanan kehidupan kaumnya, ujian atau cobaannya, dsb. Sedangkan setiap aspek inipun bisa terungkap dengan cara atau versi yang berbeda-beda, pada setiap ayat-ayatnya.

Ayat-ayat terkait yang baru terpilih itupun dijadikan sebagai pondasi tahap berikut dari bangunan pemahamannya (setiap dalil dan ayat-ayatnya sebagai setiap batu pondasinya). Lalu seluruh ayat baru ini juga dibahas berbagai hal baru yang bisa ditemukan di dalamnya. Proses yang amat sederhana pada setiap tahap pondasi, terus-menerus diulang-ulang sesuai dengan hasil pembahasan yang berkembang (atau sesuai pertambahan jumlah ayat-ayat terkait), serta sesuai kemampuan dan pengetahuan setiap umat penyusun bangunannya.

Akhirnya akan terbentuk sesuatu bangunan pemahaman berupa 'piramida atau kerucut terbalik' (pada Gambar 39). Hal paling ideal tentunya jika telah bisa lengkap dan meliputi seluruh ayat Al-Qur'an, semacam bangunan pemahaman yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw, atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), yang terungkap dan berwujud menjadi ayat-ayat Al-Qur'an (Al-Kitab).

Selain 'kelengkapan' dan 'kedalaman' pemahamannya, tujuan penting dari penyusunan bangunan pemahaman, terutama agar segala pemahaman atas ayat-ayat terkait di dalamnya, bisa 'konsisten', 'utuh' dan 'tidak saling bertentangan' secara keseluruhannya. Gabungan dari aspek-aspek amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan itulah yang justru telah mengantarkan nabi Muhammad saw dan para nabi-Nya lainnya kepada 'kenabian' dan 'pemahaman kenabiannya' (tingkat pemahaman tertinggi atas berbagai kebenaran-Nya). Hal ini tentunya juga disertai pengamalan amat konsisten oleh para nabi-Nya sepanjang hidupnya (terutama dalam melayani umat).

Lihat pula pada "Gambar 38: Diagram aspek pemahaman ajaran agama-Nya".

Gambar 39: Skema bangunan pemahaman atas Al-Qur'an

Tetapi tentunya pada pengungkapan oleh nabi Muhammad saw atas setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang bisa dipahaminya melalui teks ayat-ayat Al-Qur'an, pasti tetap menghadapi keterbatasan bahasa (jumlah halaman tulisan, perbedaan keyakinan batiniah dengan pengungkapan lahiriahnya, kekayaan kosa-kata bahasa yang dipakai, dsb). Maka pencarian kembali atas hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang berada di balik teks ayat-ayat Al-Qur'an (ungkap Al-Hikmah dari Al-Kitab), mestinya terus dilakukan oleh setiap umat Islam, lebih utama lagi oleh para alim-ulama dan cendikiawan Muslim, yang telah mewarisi ajaran-ajaran para nabi-Nya.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang berbagai keterbatasan bahasa tulisan, untuk mengungkapkan berbagai pemahaman batiniah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya atau wahyu-Nya).

Catatan tentang 'bangunan pemahaman' atas ayat Al-Qur'an

Berbagai hal penting lainnya untuk diketahui, tentang sesuatu bangunan pemahaman yang disusun seperti di atas, antara-lain:

Catatan penting tentang penyusunan bangunan pemahaman,
atas ajaran-ajaran agama-Nya

Bahwa bangunan pemahaman milik nabi Muhammad saw, yang tersusun relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh ataupun tidak saling bertentangan, atas seluruh petunjuk-Nya yang telah diperolehnya (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang justru telah mengantarkan Nabi ke tingkat pemahaman kenabiannya.

Hal yang amat penting lainnya, pemahaman Nabi amat konsisten dengan pengamalannya pada kehidupannya sehari-hari (terutama dalam melayani umat).

Gabungan pemahaman yang relatif amat mendalam (keyakinan batiniah) dan pengamalan yang relatif amat konsisten (keyakinan lahiriah), adalah wujud keimanan yang paling tinggi dan utuh.

Bahwa jumlah ayat-ayat yang disertakan, sama sekali belum bisa menunjukkan kedalaman setiap pemahamannya.

Karena tingkat kedalaman pemahaman atas ayat-ayat Al-Qur'an relatif berbeda-beda, dari yang amat sederhana (tingkat tekstual-harfiah) pada umat yang awam, sampai amat mendalam (tingkat hikmah dan hakekatnya) pada para nabi-Nya. Pada kedua tingkat inipun (harfiah dan hakekat), juga masing-masingnya masih amat luas cakupan kedalamannya.

Bahwa sama sekali tidak ada sesuatu pertentangan di antara ayat-ayat Al-Qur'an. Jika 'seolah-olah' ada terjadi ditemukan sesuatu pertentangan menurut seorang umat, maka hal ini justru karena pemahaman dan penafsiran dari umat itu sendiri yang sebenarnya belum memadai atas ayat-ayatnya.

Sebaiknya setiap umat amat berhati-hati jika menghadapi hal-hal semacam ini, karena keimanan (keyakinan batiniah) akan bisa terguncang cukup kuat. Khususnya jika setiap umat sebelumnya terlalu fanatik dengan setiap pemahaman yang telah dimilikinya. Akhirnya umat itu sendiri bisa menjadi ragu-ragu atas bangunan pemahamannya.

Hal yang paling aman bagi setiap umat Islam, agar tidak terlalu fanatik atas suatu pemahaman, jika memang belum dimiliki dasar pengetahuan yang memadai terkait pemahamannya itu.

Bahkan bukan kefanatikan (keyakinan tanpa pemahaman), yang amat menentukan nilai suatu amal-kebaikan, tetapi justru tingkat pemahaman atau kesadaran dalam berbuat.

Agar tidak memaksa menyertakan suatu ayat ke dalam bangunan pemahamannya, jika ayat itu sendiri sama-sekali tidak dipahami betul (belum dimiliki pengetahuan terkait yang cukup memadai).

Setiap ayat yang menyusun bangunan pemahamannya, sebaiknya bisa dipahami lebih dahulu hikmah dan hakekatnya, minimal dari tingkat secukupnya sampai amat mendalam.

Bahwa jika pondasi bangunan pemahaman tidak tersusun dari ayat-ayat yang cukup memadai dipahami, maka pondasinya tidak akan kokoh, ataupun penuh dengan keraguan.

Pada suatu saat, bangunan semacam itu akan mudah terhentikan (tidak berkembang ataupun rubuh), jika telah sulit ditemukan lagi ayat-ayat terkaitnya. Terlebih lagi jika telah banyak ditemukan ayat-ayat yang seolah-olah tampak saling bertentangan.

Bahwa jika pondasi bangunan pemahaman itu telah cukup kokoh dan benar, atas ijin Allah, setiap pembahasan atau pengungkapan atas ayat-ayat selanjutnya menjadi makin lancar dan mudah.

Tentunya hal ini kurang berlaku atas hal-hal gaib (seperti: ruh zat Allah; ruh zat makhluk-Nya; alam kubur; alam akhirat, dengan surga dan neraka; kehendak, perbuatan, aturan dan ketentuan-Nya; dsb), yang memang relatif amat sulit bisa dicapai oleh umat pada umumnya.

Pemahaman atas hal-hal gaib itu bisa menjadi relatif lebih mudah jika umat telah memahami tentang ruh dan keadaan batiniah ruh.

Bisa saja disusun beberapa bangunan pemahaman yang diawali dari ayat atau topik pembahasan yang berbeda-beda.

Tetapi usaha seperti ini amat memerlukan energi dan konsentrasi pikiran. Lebih penting lagi, setiap bangunan mudah hancur sia-sia, jika bertentangan dengan bangunan lainnya. Hal ini relatif tidak terjadi jika pondasi setiap bangunannya telah kokoh-kuat.

Bahwa bangunan pemahaman ini amat penting dimiliki oleh para alim-ulama ahli tafsir atau ahli ijtihad.

Karena mereka amat berkepentingan agar bisa menguasai seluruh ayat Al-Qur'an dan Hadits, secara lengkap dan utuh.

Bagi umat pada umumnya, bangunan pemahaman ini juga tetap perlu dimiliki, agar bisa meningkatkan keimanannya.

Sedang keimanan atau keyakinan memiliki 2 unsur utama, yaitu: keyakinan 'batiniah' (atau pemahaman) dan keyakinan 'lahiriah' (atau pengamalan).

Bahwa setiap ayat Al-Qur'an bisa dipakai untuk mendukung lebih dari satu dalil-alasan. Maka ayat-ayat seperti ini bisa hadir pada berbagai 'tahapan' atau 'batu' pondasi bangunan pemahamannya (bisa dipakai terus-menerus dimana saja).

Dengan sendirinya, jika semakin banyak ayat seperti ini dipakai, maka relatif semakin kokoh-kuat pula berbagai dalil-alasan yang berdasarkan kepada ayat ini.

Bahwa adanya pembatasan jumlah ayat-ayat yang dipakai untuk mendukung sesuatu dalil-alasan (seperti '5 ayat' yang disebut di atas), lebih bertujuan praktis untuk membatasi jumlah halaman penulisannya (seperti jumlah halaman buku ini, yang sebagian ayat-ayat bagi bangunan pemahamannya, berada di Lampiran E).

Sebaiknya, selain ke 5 ayat itu (yang terbaik sebagai dasar setiap dalil-alasan), juga bisa disertakan ayat-ayat lainnya yang terkait dengan dalil tersebut. Bisa seluruh teks ayatnya, jika tidak ada pembatasan penulisannya, sebaliknya bisa hanya dicatat nomor surat dan ayatnya.

Penyertaan seluruh ayat terkait ini amat diperlukan, untuk bisa mengetahui aspek 'kelengkapan' bangunan pemahamannya.

Jika telah meliputi seluruh ayat Al-Qur'an, maka bangunan juga telah lengkap tersusun, dan tinggal membahas ayat-ayat terakhir yang disertakan (atau ayat-ayat lain yang belum sempat dibahas), tentunya jika masih ditemukan topik-topik baru di dalamnya.

Bahwa dalam penerapan praktis-aplikatifnya (termasuk bangunan pemahaman pada buku ini), tentunya tidak persis berbentuk suatu 'piramida atau kerucut terbalik' (pada Gambar 39), dimana ayat-ayatnya tidak ditambah 'per tahap' pondasinya, tetapi 'per batu' pondasinya.

Setiap batu pondasi (atau setiap pembahasan atas sesuatu dalil-alasan beserta ayat-ayat penguatnya), juga tidak mesti mengikuti setiap tahap pondasinya, tetapi bisa bebas ditambahkan kapanpun dan dimanapun sesuai keinginan dan kemampuan umat.

Sehingga serupa seperti saat mengisi papan permainan 'puzzle', karena umat bisa mengisi di mana saja, namun hanya di sekitar gambar 'puzzle' yang telah terisi.

Dan setiap potongan 'puzzle' atau setiap batu 'pondasi' itu bisa mengambarkan sesuatu 'topik' pengetahuan di dalam Al-Qur'an, terutama bagi hal-hal yang perlu ditafsirkan, ataupun bagi hal-hal 'pendukung' penafsirannya.

Bahwa apabila setiap umat telah bisa memiliki pondasi bangunan pemahamannya yang kokoh-kuat (segala hujjah-dalil-alasannya telah kokoh-kuat), maka bangunan pemahaman inipun telah siap untuk dipakai dalam menghadapi perdebatan, ataupun membuat tulisan, tentang agama Islam dan ajaran-ajarannya.

Sebagian dari para alim-ulama dan cendikiawan Muslim pada saat ini, relatif tidak memiliki pemahaman yang utuh atas hal-hal tertentu. Bahkan setiap dalil-alasan mereka seolah-olah disusun secara serabutan, ataupun ayat-ayat Al-Qur'an dipilihnya secara asal-asalan dan sekenanya saja, padahal tidak persis sesuai antara makna yang diinginkannya dan makna yang sebenarnya.

Karena tujuan utamanya memang hanya semata agar pihak lawan debatnya bisa kalah secepat mungkin, juga pembaca tulisannya bisa langsung tergiring untuk mengikuti berbagai keinginannya.

Tentunya hal ini bukan suatu cara untuk mencari kebenaran-Nya, ataupun mencari pemahaman yang makin baik, yang justru perlu dimiliki segala hujjah-dalil-alasan yang makin kokoh-kuat.

Satu-satunya bukti atas kebenaran suatu pemahaman, semestinya didukung oleh segala hujjah-dalil-alasan yang kokoh-kuat, meski sebagian dari dalil-alasan itu justru diletakkan pada pundak para nabi-Nya, yang menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya.

Sedangkan para nabi-Nya memang pasti menjadi saksi-saksi bagi umatnya masing-masing pada Hari Kiamat, yang telah menerima segala pengajaran dan tuntunan-Nya dari mereka.

Sekaligus para nabi-Nya pasti menerima beban tanggung-jawab yang besar atas hal-hal yang mereka sampaikan, di samping atas ijin-Nya, juga bisa menerima segala kemuliaan dari Allah.

Hal serupa pula tentunya bagi para penyampai atau para pengajar ajaran agama-Nya yang lurus lainnya, dengan beban tanggung-jawabnya masing-masing. Mereka juga menjadi saksi-saksi pada Hari Kiamat, langsung di hadapan Allah.

Hikmah dan hakekat Al-Qur'an yang universal, dan aplikasinya

Dengan berbagai cara dan metode di atas diharapkan akan bisa dicapai pula setiap pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang terkandung dalam Al-Qur'an ataupun Hadits. Dan hanya dengan pemahaman seperti inilah, maka pemahamannya akan bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya (bisa dipakai 'dimanapun', 'kapanpun' dan oleh 'siapapun' juga), atau penerapannya bisa dipakai dimanapun umat berada di seluruh alam semesta, pada jaman apapun umat hidup dan pada bangsa manapun umat berasal.

Tentunya juga diharapkan tidak hanya berbentuk berupa setiap pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang terpisah-pisah atau sepotong-sepotong (parsial), tetapi justru berbentuk berupa suatu bangunan pemahaman yang bisa amat konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhannya, dan bahkan lebih baik lagi, apabila bisa amat lengkap dan mendalam. 82)

Akhirnya berdasar pemahaman yang amat ideal, sempurna dan universal itu, para alim-ulama di dalam Majelis alim-ulama lalu bisa menyusun penafsiran atas kandungan isi Al-Qur'an dan Hadits (usaha berijtihad), yang bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual sesuai dengan keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia pada setiap tempat dan jamannya masing-masing.

Mendekati bangunan pemahamannya nabi Muhammad saw?

Dalam berbagai uraian di atas, ada sejumlah pernyataan "agar umat bisa memiliki pemahaman yang mendekati pemahamannya nabi Muhammad saw, atas 'setiap' wahyu-Nya", atau idealnya. "agar umat bisa memiliki bangunan pemahaman yang makin mendekati bangunan pemahamannya nabi Muhammad saw, atas 'seluruh' wahyu-Nya".

Tentunya ukuran 'kedekatan' inipun pada dasarnya 'tidak ada', karena seluruh pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), hanya tersimpan dalam dada-hati-pikiran nabi Muhammad saw. Sedang penyampaiannya secara tertulis (Al-Qur'an), lisan, sikap dan perbuatan (Sunnah Nabi), hanya hasil pengungkapannya, sebagai bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya yang bersifat sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual bagi umat di jaman Nabi (berupa Al-Kitab).

"Dan sesungguhnya, telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?." – (QS.54:17) dan (QS.54:22, QS.54:32, QS.54:40).

"Sesungguhnya Kami mudahkan Al-Qur'an itu, dengan bahasamu (hai Muhammad), supaya mereka (umat manusia) mendapat pelajaran." – (QS.44:58) dan (QS.19:97).

"…. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. …." – (QS.2:185).

"… . Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya." – (QS.65:4).

"… . Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. Dia mengetahui, bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia-Nya. Dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan-Nya, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. …" – (QS.73:20).

 

Walau Sunnah Nabi itu sendiri suatu penjelasan lanjut atas Al-Qur'an, namun secara alamiah atau berdasar konteks jamannya justru pasti Sunnah Nabi memiliki keterbatasan. Begitu pula pasti ada jarak antara pemahaman dan hasil pengungkapannya. Apalagi Hadits Nabi sebagai wujud tertulis dari Sunnah Nabi, amat banyak terkait atau ada campur tangan para perawi Hadits, dengan segala sifat, karakter dan kedekatan hubungannya terhadap Nabi. Padahal menilai diri sendiri dan orang-lain adalah sesuatu hal yang amat sulit dilakukan, apalagi jika menilai sederet para perawi Hadits.

Sunnah Nabi (Hadits Nabi) seperti halnya Al-Qur'an sendiri, pasti tetap tergantung kepada ruang, waktu dan konteks budaya umat ketika disampaikan. Padahal makna-makna sebenarnya di balik setiap ajaran agama-Nya mestinya bersifat universal dan bisa dipakai sampai akhir jaman oleh seluruh umat manusia.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang suatu keterbatasan bahasa tulisan dalam penyampaian wahyu-Nya.

Pada akhirnya, penilaian atas 'kebenaran' kandungan isi teks-teks ajaran agama itu justru jauh lebih penting daripada sosok ataupun pribadi penyampainya (bahkan termasuk pula sosok para nabi-Nya). Karena segala kebenaran pasti hanya hak-milik Allah, walau siapapun penyampainya, bagaimanapun cara penyampaiannya, dan pada kitab manapun tertulis. Satu-satunya bukti bahwa segala sesuatu hal berasal dari Allah, justru karena hal itu 'benar' (haq), ataupun hal itu bersifat 'mutlak' dan 'kekal', serta tentunya juga bersifat 'universal'.

Agar umat Islam bisa memperoleh kembali setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, yang pada dasarnya bersifat 'universal' (bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya), maka setiap umat semestinya mengungkap makna-makna sebenarnya di balik teks kitab suci Al-Qur'an dan teks kitab-kitab Hadits. Misalnya dengan memakai metode-metode yang telah diuraikan di atas.

"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya, tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka." – (QS.38:27).

"Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah," − (QS.36:2) dan (QS.43:4, QS.3:58, QS.44:4, QS.31:2, QS.10:1).

"Itulah sebagian hikmah yang diwahyukan Rabb kepadamu. …." – (QS.17:39).

"Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu, Rasul di antara (kalangan)mu, yang membacakan ayat-ayat-Kami kepadamu dan mensucikanmu, dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Hikmah, serta mengajarkan kepadamu, apa saja yang belum kamu ketahui." – (QS.2:151) dan (QS.2:129, QS.3:48, QS.3:81, QS.3:164, QS.4:54, QS.4:113, QS.5:110, QS.12:22, QS.19:12, QS.21:74, QS.21:79, QS.26:83, QS.62:2, QS.28:14, QS.31:12, QS.38:20, QS.43:63, QS.2:231).

"Mereka itulah orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka kitab, hikmah dan kenabian. …." – (QS.6:89) dan (QS.3:79).

"Allah memberikan hikmah-Nya, kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang diberi hikmah-Nya, sungguh telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tak ada yang dapat mengambil pelajaran, kecuali orang-orang yang berakal." – (QS.2:269).

"(Al-Qur'an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk, serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa." – (QS.3:138) dan (QS.68:52, QS.34:28).

"… . Al-Qur'an ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Rabb-mu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman." – (QS.7:203) dan (QS.4:174, QS.22:54, QS.46:2).

"Kebenaran itu adalah dari Rabb-mu, karena itu janganlah sekali-kali kamu menjadi orang-orang yang ragu." – (QS.2:147) dan (QS.28:75).

 

Walau ukuran 'kedekatan' pemahaman umat dan pemahaman Nabi pada dasarnya 'tidak ada', namun seperti pada uraian-uraian di atas, kedekatan bisa makin diperoleh jika tercapai pemahaman yang lengkap, mendalam, utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan atas keseluruhan pemahaman yang dimiliki oleh umat.

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an?. Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi-Nya, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." – (QS.4:82).

 

Perwujudan dari pemahaman yang utuh dan lengkap itu, secara sederhananya seperti, bisa mencakup seluruh ayat Al-Qur'an dan bisa menghubungkan 'segala aspek' di dalam Al-Qur'an dan Hadits (bisa menghubungkan antara: Allah; sifat-sifat Allah; alam semesta; atom dan ruh; segala zat ciptaan ataupun segala makhluk-Nya; alam nyata-lahiriah-duniawi dan gaib-batiniah-akhirat; alam kubur, Hari kiamat; Surga dan Neraka, perbuatan makhluk; akhlak; syariat dan amal-ibadah; pahala dan dosa; ujian-Nya; dsb).

Apabila tanpa dimilikinya hubungan antar segala aspek seperti di atas (secara langsung ataupun tidak), pada keseluruhan pemahaman setiap umat (terutama para alim-ulamanya), maka pemahamannya itu pada dasarnya justru masih relatif jauh dari seluruh pemahaman yang dimiliki oleh nabi Muhammad saw. Sedang mustahil pemahaman pada Nabi bersifat 'parsial' (terpisah-pisah, sepotong-sepotong atau tidak utuh-menyeluruh), yang justru bisa amat diragukan oleh umatnya.

Tentunya hal-hal di atas belum terkait langsung dengan tingkat 'kedalaman' setiap pemahaman itu sendiri, yang memang relatif lebih sulit diukur. Namun ukuran secara sederhananya, jika seorang umat telah bisa memahami dengan relatif cukup jelas atas hal-hal gaib dan batiniah, maka pemahamannya bisa dianggap telah cukup mendalam. Sedangkan semua ajaran agama-Nya justru amat terkait dengan segala tindakan-Nya di alam semesta ini, padahal Allah justru bersifat Maha gaib. Juga ajaran agama-Nya terkait dengan hal-hal gaib lainnya.

Sekali lagi amat penting bagi umat (terutama para alim-ulama) agar memiliki pemahaman atas ajaran-ajaran agama-Nya, secara amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan atas keseluruhan pemahamannya (minimal agar bisa utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan, seperti pada Gambar 38). agar setiap umat bisa mengikuti ajaran-ajaran yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw, dengan sebenar-benarnya (karena atas ijin-Nya, umat telah bisa makin 'mendekati' pemahamannya Nabi dan sekaligus telah pula amat konsisten pengamalannya).

Perlunya para alim-ulama menguasai ilmu-ilmu terkait

Telah relatif menguatirkan, jika para alim-ulama pada saat ini (termasuk Majelis alim-ulama), belum bisa memiliki pemahaman atas ajaran-ajaran agama-Nya dengan relatif sempurna (utuh dan lengkap), atau relatif makin mendekati pemahaman Nabi. Hal ini justru biasanya terjadi karena para alim-ulama itupun hanya bisa menguasai sebagian saja dari ilmu-ilmu agama dan termasuk pula ilmu-ilmu non-agama.

Padahal dengan pengetahuan yang relatif luas atas segala ilmu itulah, para alim-ulama akan bisa memiliki pemahaman yang relatif makin sempurna atas berbagai ajaran agama-Nya. Segala bidang ilmu yang terkait dengan keagamaan bisa digolongkan, seperti berikut:

(tentunya ada penggolongan dan penamaan ilmu yang lain pula pada sumber-sumber lain)

~

Ilmu bahasa Arab, yang meliputi:

Ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, ilmu bahasa, dsb.

~

Ilmu syariat, yang meliputi:

Ilmu tafsir, ilmu Hadits dan mushthalah Hadits, ilmu fiqh dan ushul fiqh, dsb.

~

Ilmu sejarah.

~

Ilmu hikmah dan filsafat, yang meliputi:

Ilmu manthiq, ilmu alam (ilmu kimia, ilmu fisika, ilmu farmasi, ilmu kedokteran, ilmu hewan, ilmu pertanian, dsb), ilmu pasti (ilmu berhitung, ilmu aljabar, ilmu ukur, ilmu mekanika, ilmu falak, ilmu Bumi atau geografi, dsb), ilmu kalam atau ilmu tauhid (metafisika tentang Pencipta, jiwa atau ruh, para makhluk gaib, alam akhirat, dsb), ilmu batin, ilmu tasawuf, ilmu hakekat atau ilmu makrifat, dsb.

 

Bahkan hal yang amat menguatirkan, ada pertentangan relatif amat keras antara para ahli fiqih dan ushul fiqh (ilmu lahiriah), dengan para ahli kalam dan tauhid (ilmu batiniah). Padahal dalam beragama, kedua bidang ilmu itu (ilmu lahiriah dan ilmu batiniah), beserta segala cabang ilmu di dalamnya, justru semestinya amat saling mendukung, sedang ajaran agama-Nya memang mencakup segala aspek kehidupan umat manusia (nyata-lahiriah-fisik dan gaib-batiniah-rohani).

Definisi dari ilmu 'tauhid' yang diketahui adalah "pengetahuan yang membahas tentang ketuhanan, ke-Esa-an Tuhan dan semua sifat-Nya", tentunya meliputi pula berbagai hal tentang Allah (takdir-Nya, ujian-Nya, dsb), para utusan-Nya (para malaikat-Nya, para nabi-Nya, dsb), ataupun tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta dan kehidupan makhluk-Nya di dalamnya. Ilmu tauhid juga memiliki beberapa nama sebutan lain, seperti: ilmu 'ushuluddin', ilmu 'kalam', dsb.

Padahal tiap hukum fiqih atau syariat yang diajarkan di dalam ajaran-ajaran agama-Nya, bisa dipahami hikmah dan hakekatnya yang sebenarnya (termasuk pula nilai-nilai batiniah dalam tiap syariatnya), justru melalui ilmu kalam dan tauhid. Sedang tiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya hanya bisa sesuai penerapannya dan mudah dipahami oleh umat pada umumnya, justru melalui ilmu fiqih dan ushul fiqh.

Sedangkan di lain pihaknya, nabi Muhammad saw sendiri pasti memiliki pemahaman amat lengkap dan mendalam atas segala wahyu-Nya ataupun pasti menguasai tiap bidang ilmu yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits), sesuai perkembangan jamannya.

Dan padahal Nabi menyampaikan tiap pemahamannya sebagai suatu pengajaran dan tuntunan-Nya, dalam bentuk yang relatif mudah dipahami dan diamalkan oleh umat manusia umumnya. Sederhananya, segala ilmu kalam dan tauhid pada Nabi justru harus disampaikannya melalui ilmu fiqih dan ushul fiqh.

Ringkasnya, Al-Hikmah pada Nabi diungkapkannya melalui Al-Kitab (Al-Qur'an dan contoh pengamalannya sunnah-sunnah Nabi). Sedang Nabi menerima wahyu-Nya dari malaikat Jibril, dalam bentuk berupa Al-Hikmah dalam dada-hati-pikiran Nabi. Begitu pula seluruh para nabi-Nya lainnya (dengan ataupun tanpa Al-Kitab).

Namun dari sifatnya, sunnah-sunnah dari para nabi-Nya justru pada dasarnya juga termasuk Al-Kitab, di dalam pengertiannya secara umum, yaitu "segala bentuk pengungkapan atas Al-Hikmah, melalui tulisan, lisan, sikap dan contoh perbuatan".

Amat kuat dugaan, bahwa munculnya segala pertentangan dan perselisihan pemahaman antar para alim-ulama dalam hal keilmuan di atas, dipicu oleh sikap yang berlebihan atas masing-masing ilmu yang dimiliki, sehingga mereka itu tidak lagi bisa menempatkan ilmunya di tempat kedudukan yang semestinya. Terutama karena masing-masing beranggapan, bahwa ilmunyalah yang paling penting dalam beragama, ataupun yang paling sesuai untuk mengungkap tiap kebenaran-Nya.

Padahal segala kebenaran-Nya justru Maha luas cakupannya, yang mustahil bisa diungkapkan hanya melalui satu ataupun beberapa ilmu saja. Sedang "ayat-ayat-Nya mustahil bisa dituliskan dengan tinta sebanyak beberapa samudera", dan bahkan mustahil bisa diungkapkan semuanya oleh manusia sampai akhir jaman.

Paling ideal tentunya apabila tiap alim-ulama.bisa menguasai banyak bidang ilmu, minimal secukupnya dan langsung terkait dengan segala hal yang didakwahkannya. Karena penyampaian segala sesuatu hal tentang kebenaran-Nya yang tanpa dasar ilmu-pengetahuan, adalah suatu bentuk kezaliman secara batiniah (memaksa menanamkan hal-hal yang tidak benar atau keliru ke dalam pikiran umat).

Para alim-ulama menjadi saksi bagi umatnya di Hari Kiamat

Tentunya setiap materi isi dakwah dari para alim-ulama, akan dianggap sebagai kebenaran-Nya, oleh umat yang menerima dan juga percaya kepada mereka dan hal yang diterimanya. Dan setiap hal yang disebut 'kebenaran-Nya', tentunya termasuk "sesuatu tentang Allah", yang disebut dalam ayat-ayat di bawah.

Sehingga beban tanggung-jawab bagi setiap alim-ulama atas segala hal yang telah disampaikannya justru amat berat. Di samping amat besar pula pahala yang diperolehnya, jika hal-hal itu 'memang' sebagian dari kebenaran-Nya, telah disampaikan secara arif-bijaksana, dan tentunya atas ijin-Nya. Padahal setiap alim-ulama itupun menjadi saksi bagi setiap umatnya di Hari Kiamat, langsung di hadapan Allah, tentang segala hal yang telah disampaikannya.

Beban tanggung-jawab ataupun kesalahan atas segala hal yang disampaikan, justru bisa makin berkurang pula, jika para alim-ulama itu telah makin menguasai berbagai bidang ilmu yang terkait.

Tentunya beban tanggung-jawab yang persis serupa justru juga pasti dihadapi oleh para nabi-Nya. Bahkan mereka itu memiliki beban tanggung-jawab yang amatlah sangat besar atas segala pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah disampaikannya. Padahal di pundak mereka justru nasib dan kehidupan beragama dari seluruh umat manusia telah digantungkan.

Sehingga para nabi-Nya juga pasti menjadi saksi bagi seluruh umatnya masing-masing di Hari Kiamat, langsung di hadapan Allah dan para malaikat-Nya. Tentunya para nabi-Nya juga pasti menjadi saksi-saksi bagi para alim-ulama, yang telah mewarisi seluruh ajaran mereka. Apakah para alim-ulama telah benar-benar mengikutinya?.

Lihat pula pada Gambar 17, tentang hubungan antara proses Penyaksian (simbolik) di Hari Kiamat, dan syafaat.

Para saksi di Hari Kiamat itu pada dasarnya berupa setiap umat manusia yang telah menyampaikan "salah-satu" saja dari seluruh ayat-Nya, secara benar ataupun secara keliru (sesat), kepada satu ataupun beberapa umat manusia lainnya. Para saksi ini bertingkat-tingkat tanpa batas, dari para malaikat, para nabi-Nya, para tabiin, para alim-ulama, bahkan sampai kepada seorang ayah yang telah menyampaikan suatu ayat-Nya kepada anak-anaknya.

Tentunya saksi yang tertinggi dan terakhir justru Allah sendiri, Yang Maha Mengetahui atas segala sesuatu hal, yang telah dilakukan oleh segala zat makhluk-Nya di seluruh alam semesta ini, yang paling sederhana dan kecil sekalipun (sebesar biji 'zarrah'), yang terungkap ataupun yang tersembunyi.

"wajib atasku (Musa, untuk) tidak mengatakan sesuatu tentang Allah, kecuali yang hak. Sesungguhnya aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Rabb-mu. …." – (QS.7:105).

"Maka barangsiapa mengada-adakan dusta tentang Allah, setelah itu, maka merekalah orang-orang yang zalim." – (QS.3:94).

"… Maka siapakah yang lebih zalim dari orang-orang yang membuat-buat dusta tentang Allah, untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan'. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim." – (QS.6:144).

"Katakanlah: 'Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu (mengenai urusan kita). Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil, dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi." – (QS.29:52).

"… Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan'." – (QS.28:28).

"(Mereka tidak mau mengakui Al-Qur'an), tetapi Allah mengakui Al-Qur'an yang diturunkan-Nya kepadamu (Muhammad). Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya. Dan malaikat-malaikatpun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya." – (QS.4:166).

"… supaya Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu (para pengikut Muhammad), dan supaya kamu semua menjadi saksi atau segenap manusia, …" – (QS.22:78).

Segala ilmu bersifat netral, nilainya tergantung manusianya

Hal yang lebih luasnya lagi, setiap ilmu hasil temuan manusia secara 'obyektif' (ilmu agama dan non-agama, lahiriah dan batiniah), hanya semata hasil dari usaha mengungkap ilmu-Nya. Segala macam ilmu pada dasarnya justru bersifat 'netral', tergantung bagaimana cara umat manusia 'memperoleh' (secara obyektif dan subyektif, benar dan sesat, dsb), dan 'memakainya' (bagi tujuan kebaikan dan keburukan).

Jika terkait dengan orang-lainnya maka juga tergantung kepada cara bagaimana menyampaikannya (sesuai maksud-tujuan atau tidak, bisa menambah ilmu pada penerimanya atau tidak). Suatu kebenaran-Nya jika 'tidak' disampaikan secara amat arif-bijaksana, selain orang kafir yang menerimanya tetaplah kafir, maka orang beriman sekalipun tetap tidak senang dengan cara penyampaiannya (syukur-syukur, jika masih tetap bisa menerimanya), bahkan justru juga bisa menyesatkan dan menimbulkan berbagai fitnah di kalangan umat

Sebaliknya jika disampaikan secara amat arif-bijaksana, dan atas ijin-Nya, maka orang kafir bisa kembali ke jalan-Nya yang lurus, sedang orang beriman justru bisa makin meningkat pengetahuan atau keimanannya.

Dan ringkasnya, setiap ilmu hasil temuan manusia hanya suatu bentuk rahmat pemberian-Nya, akibat dari telah diciptakan-Nya 'akal' pada setiap umat manusia. Adapun nilai dari setiap ilmu (kemanfaatan ataupun kemudharatan) justru tergantung kepada bagaimana manusia 'memperoleh', 'memakai' dan 'menyampaikannya'.

Bahkan sama sekali tidak terkait atau tidak tergantung kepada sosok manusia yang menemukan ataupun memakai suatu ilmu. Justru tidak ada dikenal pernyataan, seperti "ilmu-ilmu ini milik umat Islam, jika memakainya mendapat pahala" atau "ilmu-ilmu ini dimiliki atau ditemukan oleh umat non-Muslim, jika memakainya mendapat dosa". Setiap ilmu atau kebenaran yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', justru hanya semata milik Allah, Yang Maha kuasa dan Maha kekal.

Hal ini penting ditekankan kembali, karena ada sebagian umat Islam yang beranggapan seperti "umat Islam tidak boleh mempelajari ilmu-ilmu yang telah ditemukan dan dipakai oleh umat non-Muslim, karena sama halnya dengan berbuat kafir, atau mengikuti keyakinan mereka. Juga karena ilmu-ilmu ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi".

Sekali lagi, setiap ilmu yang diperoleh secara 'amat obyektif', justru bersifat 'netral' dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan keyakinan beragama penemu dan pemakainya. Tentu saja pasti tidak seluruh ilmu telah diajarkan oleh Nabi (khususnya ilmu-ilmu lahiriah), karena segala keadaan lahiriah pada jaman Nabi memang relatif amat banyak berbeda dengan pada jaman saat ini, yang telah maju pesat.

Termasuk karena belum ada klasifikasi atau pemisahan yang jelas atas segala macam ilmu pada jaman Nabi. Padahal di dalam Al-Qur'an justru terkandung amat banyak ilmu (misalnya ilmu: psikologi, sosial, fisika, biologi, kimia, astronomi, geografi, matematika, kalam dan tauhid, filsafat, tasawuf, fiqih, dsb).

Perbedaan pemahaman dan Ijtihad (penafsiran)

Dari uraian-uraian di atas, cukup tampak perbedaan antara tiap hasil pemahaman dan tiap hasil Ijtihad, atas ajaran-ajaran agama-Nya. Karena tiap hasil pemahaman, terutama yang telah berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), adalah hal yang amat kompleks dan amat luas cakupannya tanpa batas. Sehingga tiap pemahaman Al-Hikmah relatif sulit bisa dijelaskan, ataupun relatif sulit bisa dipahami oleh umat pada umumnya.

Khususnya karena tiap pemahaman Al-Hikmah justru bersifat 'universal' (bisa melewati batas ruang, waktu dan konteks budaya); mengandung hal-hal gaib dan batiniah (hal-hal di alam batiniah ruh), yang tidak cukup untuk diungkap dengan puluhan lembar tulisan dan ribuan kata; saling terkait dengan berbagai Al-Hikmah lainnya; dsb.

Sedang tiap hasil Ijtihad adalah suatu bentuk penafsiran aktual dan praktis-aplikatif, berdasarkan dari suatu rangkuman atas berbagai pemahaman Al-Hikmah (termasuk pada para nabi-Nya), sesuai dengan keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manusia pada tiap jamannya.

Sehingga tiap hasil Ijtihad relatif jauh lebih sederhana, ringkas, mudah dijelaskan, dipahami dan diamalkan oleh umat pada umumnya. Tentunya 'ijtihad' yang dimaksud di sini dalam pengertian idealnya, karena ada pula hasil-hasil ijtihad yang tidak berdasarkan atas segala pemahaman Al-Hikmah.

Contoh sederhananya, dari pemahaman yang mendalam pada nabi Muhammad saw, tentang kehidupan alam batiniah ruh manusia, beserta peranan iblis dan syaitan di dalamnya. Maka Nabi telah bisa menyampaikan suatu anjuran ('ijtihad') sederhana, "agar pria dewasa banyak menjaga pandangannya, ketika melihat wanita dewasa. Detik-detik pertama ketika memandang tersebut masih dibolehkan, karena memang tidak disengaja. Tetapi setelahnya, agar segera memalingkan pandangan".

Pada detik-detik pertama itu, syaitan memang belum memiliki kesempatan dan peluang untuk berbuat sesuatu (membisikkan hal-hal yang menyesatkan), dan manusianya memang belum memiliki sesuatu niat, selain ketidak-sengajaan melihatnya. Niat yang timbul setelahnya (termasuk melihatnya kembali), umumnya justru hasil pengaruh dari segala bentuk bisikan-godaan dari syaitan.

Lebih lanjut, perbedaan pemahaman dan Ijtihad (penafsiran)

Pada uraian-uraian di atas, juga istilah-istilah 'penafsiran' dan 'pemahaman' atas ajaran-ajaran agama-Nya tampak seolah-olah saling dipertukarkan pemakaiannya, karena kedua hal ini memang dari hasil meneliti, menelaah atau mempelajari ayat-ayat-Nya yang 'tak-tertulis' dan yang 'tertulis' (teks ajaran-ajaran agama-Nya). Namun ada sedikit perbedaan antara pemakaian 'penafsiran' dan 'pemahaman', terutama dalam hal pengungkapannya.

Istilah 'penafsiran' dimaknai sebagai "pengungkapan kembali melalui tulisan, lisan, sikap dan contoh-perbuatan, berdasar berbagai 'pemahaman' atas teks ajaran-ajaran agama-Nya, ke dalam wujudnya yang bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manisia pada tiap jamannya. Terutama agar relatif amat mudah bisa dipahami dan diamalkan oleh umat.". Pengertian dari 'penafsiran' juga sering disebut sebagai "hasil ijtihad".

Sedang istilah 'pemahaman' dimaknai sebagai "tiap hasil dari usaha mengamati, mencermati, mempelajari dan menelaah teks ajaran-ajaran agama-Nya (ayat-ayat-Nya yang tertulis), terutama untuk bisa mencari berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), di balik teks-teksnya. Hal serupa tentunya atas ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di seluruh alam semesta ini (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya). Juga biasanya bersifat relatif amat rumit, dan hanya tersimpan di dalam dada-hati-pikiran pemilik pengetahuan.".

Secara ringkas dan sederhananya, 'penafsiran' adalah sesuatu rangkuman atas segala pengetahuan, yang lalu telah terungkap secara relatif amat sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, sedangkan 'pemahaman' adalah pengetahuan yang belum terungkap.

Lebih ringkasnya lagi, 'penafsiran' adalah 'pemahaman' yang telah terungkap (dengan berbagai tingkatan kesempurnaannya).

Dengan sendirinya tiap penafsiran hanyalah bisa sama dengan pemahamannya, apabila pemahaman itu sendiri memang telah relatif sederhana, hanyalah bersifat lahiriah semata (tanpa mengandung nilai-nilai batiniah), ataupun tetap aktual pada segala jamannya. Namun tiap ajaran agama-Nya pada dasarnya justru pasti mengandung nilai-nilai batiniah di dalamnya, yang memang relatif amat sulit bisa dijelaskan (termasuk tentunya juga sekaligus mengandung hal-hal gaib).

Tiap 'penafsiran' pada dasarnya relatif amat jarang yang sama dengan 'pemahamannya'. Bahkan tiap ibadah 'wajib' di dalam ajaran agama Islam (yang tetap aktual dilaksanakan sampai akhir jaman), dan memang relatif amat sederhana pelaksanaannya, justru tiap umat bisa memahaminya secara berbeda-beda (misalnya pada pemahaman atas nilai-makna batiniah dari segala hal yang terkait dengan ibadah shalat, seperti: takbiratul ikhram, ruku', i'tidal, sujud, khusu', dsb).

Tiap penafsiran hanya bisa sama dengan pemahamannya, jika pemahamannya hanya semata bersifat tekstual-harfiah atas tiap ajaran agama-Nya, sebagai suatu bentuk pemahaman yang paling sederhana, dan bahkan tidak perlu pemahaman sama sekali (langsung dipahami persis sesuai dengan teks-teksnya).

Sebaliknya atas berbagai pemahaman yang berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), yang memang relatif amat rumit, biasanya justru memerlukan suatu penafsiran ketika diungkapkan dan diterapkan ke dalam kehidupan aktual umat sehari-harinya.

Secara ringkasnya, perbedaan antara istilah 'pemahaman' dan 'penafsiran' itu diungkap pada tabel berikut.

Perbedaan antara pemahaman dan penafsiran
atas ajaran agama-Nya

Penafsiran

~ Pengertian :

Pengungkapan kembali melalui tulisan, lisan, sikap dan contoh-perbuatan kepada umat, berdasar berbagai pemahaman atas teks ajaran-ajaran agama-Nya, dalam wujud yang bersifat amat sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia pada tiap jamannya.

~ Pengertian ringkas :

Suatu rangkuman atas segala pengetahuan, yang terungkap secara sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual.

~ Bentuk :

Tuntunan-Nya.

~ Sifat-sifat :

Relatif amat sederhana, ringkas, terbatas, praktis-aplikatif dan aktual.

Sehingga relatif amat mudah bisa dipahami dan langsung diamalkan oleh umat. Juga relatif hanya sesuai keadaan kehidupan umat manusia pada saat disampaikannya.

~ Penempatan :

Telah terungkap kepada umat, melalui tulisan, lisan, sikap dan contoh-perbuatan.

Pemahaman

~ Pengertian :

Tiap hasil dari usaha mencermati, menelaah atau mempelajari teks ajaran-ajaran agama-Nya, terutama untuk bisa mencari pengetahuan berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), 'di balik' teks-teks itu.

~ Pengertian ringkas :

Pengetahuan atas berbagai kebenaran-Nya dan belum terungkap.

~ Bentuk :

Pengajaran-Nya.

~ Sifat-sifat :

Relatif amat rumit, lengkap, luas dan saling terkait.

Idealnya juga bersifat 'universal' (bisa melewati batas ruang, waktu, konteks budaya, dsb), sehingga bisa dipakai dimanapun, kapanpun dan oleh siapapun. .

~ Penempatan :

Belum terungkap kepada umat, atau hanya tersimpan saja di dalam dada-hati-pikiran pemilik pengetahuannya.

Gambaran umum proses pengajaran-Nya sepanjang masa

Dari berbagai uraian di atas, bahwa tiap proses pengajaran dan tuntunan-Nya melalui segala bentuk ajaran agama-Nya (seperti: Al-Qur'an, Sunnah atau Hadits Nabi, Ijtihad para alim-ulama, dsb), pada dasarnya berupa proses yang bersifat relatif amat alamiah, dan serupa dari jaman ke jamannya, yang dirangkum pada tabel berikut.

Berbagai komponen pada proses pengajaran-Nya
sepanjang masa

Pengajaran-Nya

»

Segala bahan pengajaran-Nya yang 'paling dasar', adalah segala hal yang ada tersedia di seluruh alam semesta ini (pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian, lahiriah dan batiniah). Memang hanya dari segala hal inilah seluruh umat manusia (termasuk para nabi-Nya), justru bisa mengenal Allah dan sifat-sifat Allah, juga termasuk bisa mengenal agama atau jalan-Nya yang lurus.

Wujud 'tabir-pembatas-hijab' antara Allah dan tiap zat makhluk-Nya memang hanya berupa 'tingkat' pengetahuan pada makhluk-Nya itu, atas berbagai kebenaran-Nya di alam semesta ini.

Sedangkan segala sesuatu hal di alam semesta ini, yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', pasti hasil dari perbuatan Allah. Hal yang selain dari itu, pasti hasil dari perbuatan segala makhluk-Nya.

Segala hasil perbuatan Allah (bersifat 'mutlak' dan 'kekal') biasa disebut pula sebagai: tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya; ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis; Al-Qur'an (gaib) yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya; kalam atau wahyu-Nya sebenarnya; wajah-Nya; atau segala kebenaran-Nya.

Para 'pengajar' yang paling utama, yang menjadi perantara bagi segala bentuk penyampaian pengajaran-Nya bagi seluruh umat manusia, adalah para makhluk gaib.

Sedang segala bahan pengajaran-Nya yang telah bisa ditangkap, oleh alat-alat indera lahiriah, justru pasti terkirim pula ke indera batiniah tiap manusianya (hati atau kalbu). Padahal para makhluk gaib itu tiap saatnya pasti selalu mengikuti tiap manusia di alam batiniah ruhnya, terutama dalam memberikan segala jenis ilham yang 'positif-baik-benar' (dari para malaikat), dan yang 'negatif-buruk-sesat' (dari iblis, syaitan dan jin).

Dan ilham atau segala informasi batiniah dari para makhluk gaib, umum disebut pula 'bisikan' atau 'godaan'. Sebagian dari ilham itu memang sesuai dengan tiap informasi batiniah, yang 'murni' dari hasil tangkapan alat-alat indera manusia. Namun ilham lebih umumnya diartikan sebagai informasi batiniah 'tambahan' atau tidak 'murni' (positif dan negatif), dari para makhluk gaib.

Sehingga selain bertugas sebagai 'penyuplai' informasi batiniah (pemberi ilham), para makhluk gaib justru juga bertugas sebagai 'penyalur' segala jenis informasi batiniah, di dalam alam batiniah ruh tiap manusia (alam pikiran atau alam akhiratnya).

Hakekatnya, para makhluk gaib justru ikut 'memperkaya' segala jenis informasi batiniah, di dalam alam batiniah ruh tiap manusia, sebelum bisa dipilih, diolah, dinilai dan diputuskan oleh akalnya, untuk bisa dianggap sebagai suatu 'pengetahuan baru' (lihat pula Gambar 26).

Bahkan orang yang sedang malas berpikir sekalipun justru alam pikirannya tetap bisa jalan, akibat pikirannya selalu 'diperkaya' oleh para makhluk gaib (pada saat melongo, melamun, mimpi, mengantuk, dsb).

Tentunya alat-alat indera lahiriah dan batiniah manusianya itulah yang mengamati, mencermati atau merasakan segala sesuatu hal di alam semesta ini (segala bahan pengajaran-Nya).

Selanjutnya setelah bisa memahami tanda-tanda kekuasaan-Nya (melalui perantaraan malaikat Jibril), kemudian para nabi-Nya menyampaikan tiap pengajaran dan tuntunan-Nya, melalui kitab-kitab-Nya (tulisan) dan juga sunnah-sunnah para nabi-Nya (lisan, sikap dan contoh-perbuatan), agar seluruh umat manusia lainnya juga bisa memahaminya dengan relatif lebih mudah.

Proses yang serupa pula pada dasarnya terjadi pada seluruh umat manusia biasa lainnya, dari generasi ke generasi, dari jaman ke jaman. Walau pada tiap generasi atau jamannya memang hanya para nabi-Nya yang diketahui memiliki pemahaman yang relatif 'sempurna' (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), atas berbagai kebenaran-Nya.

Penerima pengajaran-Nya

»

Penerima pengajaran-Nya pada dasarnya seluruh umat manusia di alam semsta ini, karena ajaran agama-Nya yang lurus memang diturunkan-Nya bagi seluruh umat manusia, melalui pengajaran-Nya yang paling dasar, berupa ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya).

Tiap umat manusia tiap saatnya pasti menerima berbagai bentuk pengajaran-Nya, tentang berbagai kebenaran-Nya, dari kisah-kisah umat terdahulu, para makhluk gaib, para nabi-Nya (lewat kitab-kitab-Nya), para alim-ulama, semua manusia lainnya, alam di sekitar, dan bahkan dari tiap diri manusianya sendiri.

Sehingga mustahil ada seorangpun umat manusia yang berjalan di muka Bumi, tanpa bisa memperoleh suatupun pengajaran-Nya, bahkan juga bagi orang yang paling kafir dan ateis sekalipun.

Terutama dari memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya, atau segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' di seluruh alam semesta ini (atau ayat-ayat-Nya tak-tertulis). Juga secara batiniah, melalui segala bentuk ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib (positif dan negatif), yang tiap saatnya justru pasti selalu mengikuti tiap manusia di alam batiniah ruhnya.

Pemahaman universal

»

Pemahaman yang 'benar' mestinya bersifat 'universal' (melewati batas waktu, ruang dan budaya), sehingga bisa dipakai kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun. Pemahamannyapun mestinya bisa bersifat relatif amat utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan secara keseluruhan. Hal ini hanya bisa dicapai pada pemahaman yang berupa hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah).

Dan sebaliknya hal ini bukan berupa pemahaman secara tekstual-harfiah atas ayat-ayat-Nya yang tertulis, terucap dan terungkap (Al-Qur'an, Sunnah atau Hadits Nabi, Ijtihad para alim-ulama, dsb). Sedang suatu hal yang tertulis, terucap dan terungkap, pasti hanya sesuai keadaan tertentu saat ditulis, diucap dan diungkap.

Dan bahasa lisan, tulisan dan bahasa tubuh yang dipakai memang hanya sesuai dengan keadaan tertentu (konteks waktu, ruang dan budaya), pada saat umat menerima ayat-ayat-Nya itu.

Suatu pemahaman secara tekstual-harfiah hanya disebut 'benar', jika keadaan umat penerimanya masih sesuai keadaan umat saat ayat-ayat-Nya sedang ditulis, diucap atau diungkap (pemahaman tekstual-harfiah hanya bersifat aktual, tidak bersifat universal).

Dari segala hasil pengungkapan oleh para umat terdahulu atas tiap kebenaran-Nya (terutama para nabi-Nya), misalnya melalui kitab suci Al-Qur'an, kitab-kitab Hadits (sunnah Nabi) dan segala risalah atau keterangan lainnya, mestinya dipelajari kembali agar bisa mencari makna-makna yang sebenarnya yang terkandung di dalamnya, seperti halnya yang dimaksudkan di dalam dada-hati-pikiran para penyampainya.

Tentunya hasil pemahaman yang diperoleh justru pasti mustahil bisa persis sama, dengan isi pikiran para penyampai risalahnya, tetapi minimal bisa berusaha dicari pemahaman yang bisa relatif 'mendekatinya', sesuai teks risalah yang telah disampaikannya.

Bahkan tiap umat manusia pada tiap jamannya justru bisa pula membandingkan antara tiap hasil pemahamannya dari teks-teks tertulis itu, dengan tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini (berupa segala sesuatu hal yang bersifat mutlak, kekal ataupun universal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian di alam semesta, lahiriah dan batiniah).

Sekali lagi, segala hasil pemahaman yang bersifat universal, bisa disebut sebagai pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), seperti yang telah dimiliki oleh seluruh para nabi-Nya, terutama tentang hal-hal yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah).

Solusi persoalan aktual

»

Berdasar segala pemahaman Al-Hikmah yang bersifat 'universal', lalu dirangkum atas berbagai hal tertentu bagi usaha penerapan aktualnya, dan diungkap secara amat arif dan bijaksana, melalui: lisan, tulisan, sikap dan contoh-perbuatan.

Tentunya sebagai suatu bahan pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat manusia, penyampaiannya juga semestinya bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat di tiap jamannya. Agar sebagian terbesar umat (khususnya umat yang awam atau kurang berilmu), relatif mudah bisa memahami dan mengamalkannya.

Hal ini tentunya berkebalikan dari pemahaman Al-Hikmah, yang justru bersifat 'universal' (bisa melewati batas waktu, ruang dan budaya), amat rumit, tidak praktis-aplikatif dan tidak aktual (bisa dipakai kapanpun, di manapun dan oleh siapapun).

Tiap hasil pengungkapan pemahaman (sebagai bahan pengajaran dan tuntunan-Nya), justru terkait nasib dan kehidupan beragama seluruh umat, maka mestinya hanya dilahirkan oleh Majelis alim-ulama, dan sering disebut sebagai hasil 'Ijtihad' atau 'Fatwa' (di jaman dahulu juga disebut Ijma', Qiyas, Istihsan, dsb).

Hasil pengungkapan oleh para nabi-Nya umumnya disebut Al-Kitab dan Sunnah-sunnah para nabi-Nya. Kedua hal inipun pada dasarnya sama (hanya berbeda bentuknya saja), dan berupa hasil pengungkapan berdasar segala pemahaman Al-Hikmah pada para nabi-Nya. Al-Kitab biasanya berisi dasar-dasar pokok ajarannya.

Al-Kitab dan Sunnah-sunnah para nabi-Nya pada dasarnya suatu bentuk hasil Ijtihad dari para nabi-Nya, untuk bisa menjawab dan mengatasi segala persoalan umatnya, yang mendasar dan hakiki.

Baca pula uraian pada topik di bawah.

Sebagian pemahaman pada para nabi-Nya, relatif ada pula yang telah diilhami oleh berbagai risalah atau hasil pengungkapan oleh para nabi-Nya terdahulu (sebelumnya).

Pada umat manusia biasa lainnya dari jaman ke jaman, juga pada dasarnya melakukan hal yang serupa. Tetapi pemahaman mereka justru jauh lebih banyak diilhami dari segala risalah, yang telah disampaikan oleh para nabi-Nya. Karena pemahaman para nabi-Nya memang diyakini relatif paling sempurna, dibanding seluruh umat manusia lainnya, terutama pada jamannya masing-masing.

Selain itu, ada pula pemahaman umat yang diilhami dari segala risalah yang telah disampaikan oleh para alim-ulama terdahulu.

Tetapi ironisnya, segala pengungkapan oleh umat Islam pada saat ini, hampir kebanyakannya justru hanya berupa kutipan-kutipan, atas berbagai risalah dari para nabi-Nya dan dari para alim-ulama terdahulu, sehingga tidak lebih dari suatu kumpulan, rangkuman ataupun penulisan kembali atas risalah-risalah itu.

Sedangkan hampir tidak ada sesuatu usaha secara komprehensif, agar bisa memahami secara amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, atas seluruh kandungan isi 'di balik' teks risalah-risalah itu, agar umat manusia modern saat ini (khususnya melalui Majelis alim-ulama), bisa membuat berbagai risalah dan buku yang berdasarkan seluruh pemahamannya, yang telah 'makin baik', dan bahkan idealnya telah 'makin mendekati' pemahaman para nabi-Nya (terutama nabi Muhammad saw).

Persoalan umat

»

Usaha pengamalan atas ajaran-ajaran agama-Nya oleh tiap umat manusia, dalam kehidupannya sehari-harinya, khususnya dalam berusaha menjawab atau mengatasi segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupannya sehari-hari di dunia, yang paling penting, mendasar dan hakiki.

Bahkan jika masih ada persoalan umat yang belum terjawab dan tertangani, maka umat bisa pula meminta lagi petunjuk dari para nabi-Nya, sedang pada jaman modern saat ini bisa dari para alim-ulama secara perseorangan, ataupun dari Majelis alim-ulama.

Tentunya untuk tujuan yang sama, Majelis alim-ulama mestinya justru bertindak 'aktif', untuk mengumpulkan seluruh persoalan aktual di kalangan umat, dan mencarikan segala solusinya sesuai ajaran-ajaran agama-Nya, sebaliknya tidak berlaku 'pasif', hanya menunggu adanya laporan, pengaduan dan permintaan dari umat.

 

Hal-hal ini bisa ditunjukkan secara sederhana dan umum pada Gambar 40 berikut.

Gambar 40: Diagram umum proses pengajaran-Nya sepanjang masa

Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, bentuk 'ijtihad' dari Nabi

Hal penting dari Gambar 40 di atas adalah, bahwa kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits) juga pada dasarnya suatu bentuk 'ijtihad' dari Nabi, atas hampir semua persoalan yang paling penting, mendasar dan hakiki pada umat kaumnya (bahkan juga seluruh umat manusia) berdasar segala pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) yang telah diperolehnya melalui perantaraan Jibril.

Konteks keadaan 'aktualnya' (waktu, ruang dan budaya), yang terkait dengan penyampaian 'ijtihad' dari Nabi, tentunya berupa "pada jaman Nabi sendiri, di jazirah Arab dan sesuai budaya Arab".

Namun justru karena amat tinggi dan sempurnanya nilai-nilai kebenaran dari seluruh pemahaman Al-Hikmah pada nabi Muhammad saw ataupun para nabi-Nya lainnya (relatif amat lengkap, mendalam, utuh, konsisten dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya), yang membuat tiap pemahaman Al-Hikmah di dalam dada-hati-pikiran mereka, bisa disebut sebagai 'wahyu-Nya' (Al-Hikmah).

Di samping itu, berbagai 'rangkuman' pemahaman Al-Hikmah tentang berbagai hal tertentu, yang telah ditulis, diucap dan diungkap oleh para nabi-Nya, juga disebut 'wahyu-Nya' (Al-Kitab). Wahyu-Nya jenis terakhir inilah yang dianggap suatu bentuk 'ijtihad' dari Nabi di atas, karena memang sengaja disampaikan untuk bisa menjawab atau mengatasi segala persoalan 'aktual' di kalangan umat.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang empat macam jenis atau bentuk wahyu-Nya.

Namun Al-Hikmah pada manusia biasa umumnya justru tidak bisa disebut 'wahyu-Nya' (tetap hanya bisa disebut 'Al-Hikmah' saja), karena 'seluruh' Al-Hikmah yang dimilikinya memang biasanya juga bersifat relatif amat tidak lengkap, tidak mendalam, tidak konsisten, tidak utuh dan saling bertentangan.

Sedang umat manusia pada tiap jamannya (khususnya melalui Majelis alim-ulama), semestinya juga melakukan hal-hal yang serupa (melahirkan segala 'ijtihad'), yang semestinya dengan berdasar atas segala pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), terutama diilhami dari kitab suci Al-Qur'an dan kitab Hadits (Sunnah Nabi). Juga bisa diilhami dari berbagai hasil 'ijtihad' dari para alim-ulama terdahulu (Ijma', Qiyas, Istihsan, dsb).

Bahkan bagi para alim-ulama yang berilmu relatif amat tinggi, bisa terilhami dari mempelajari langsung tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta (segala hal lahiriah dan batiniah yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', hasil dari segala perbuatan-Nya).

Tentunya, proses pemahaman atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya itu jauh lebih sempurna, jika mulai terilhami berdasar wahyu-Nya dari para nabi-Nya, yang memang telah relatif sempurna. Hal inipun biasanya dilakukan dengan cara mengungkap kembali tiap 'rahasia' di balik teks-teks wahyu-Nya (mengungkap Al-Hikmah-nya). Dengan harapan utama, agar seluruh Al-Hikmah pada tiap umat relatif bisa mendekati seluruh Al-Hikmah dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya (terutama nabi Muhammad saw), dan agar tiap umat bisa sebenar-benarnya memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama-Nya.

Pembentukan pemahaman bersama pada Majelis alim-ulama

Bahwa ajaran "agama-Nya yang lurus" telah diwariskan oleh para nabi-Nya kepada seluruh para alim-ulama. Pewarisan inipun pada dasarnya bersifat amat alamiah dan kepada suatu 'Majelis alim-ulama' ('bukan' kepada seseorang ataupun sekelompok terbatas alim-ulama saja). Karena sejak jaman Nabi, pemahaman tiap umat manusia atas segala persoalan kehidupannya (termasuk tiap alim-ulama itu sendiri), justru secara alamiah makin lama makin terbatas, sedangkan keadaan jamannya makin berkembang pesat dan kompleks.

Sehingga Majelis alim-ulama semestinya terdiri dari para alim-ulama, dari segala bidang keilmuan (ilmu-ilmu agama dan non-agama, lahiriah dan batiniah), untuk makin bisa diperoleh pemahaman yang relatif amat utuh dan lengkap atas ajaran-ajaran agama-Nya. Sedang pada jaman dahulu, pemahaman yang sempurna seperti ini masih bisa dicapai hanya oleh seorang nabi-Nya. Dan justru pada jaman saat ini, hal serupa relatif hanya bisa dilakukan secara kolektif atau bersama-sama oleh para alim-ulama dalam sesuatu 'Majelis alim-ulama'.

Hal ini tentunya bisa dilakukan melalui sesuatu penelitian yang amat intensif dan lama, atas seluruh teks ajaran-ajaran agama Islam, tentunya didukung pula oleh segala keterangan dan penjelasan yang terkait dan bisa ditemukan. Hal yang lebih penting lagi, sekaligus pula sambil mengamati, mencermati, meneliti dan mempelajari tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta (ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis, lahiriah dan batiniah).

Juga hal ini tentunya relatif lebih mudah, jika dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok besar para alim-ulama dalam Majelis alim-ulama, yang disertai dukungan dari sejumlah kalangan umat yang terkait (para cendikiawan Muslim), agar diharapkan bisa melahirkan pemahaman 'bersama' antar para alim-ulama tersebut.

Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", tentang metode untuk pencapaian pemahaman Al-Hikmah.

Berdasar dari rangkuman seluruh 'pemahaman bersama' yang disusun oleh Majelis alim-ulama, yang berbentuk berupa pemahaman hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), lalu Majelis alim-ulama bisa melahirkan segala solusi, ijtihad atau fatwa, dalam bentuk yang bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manusia pada tiap jamannya.

Jamannya para nabi-Nya itu memang telah berakhir pada nabi Muhammad saw. Tetapi secara alamiah, 'nabi-nabi' pada saat ini telah berupa 'Majelis-majelis alim-ulama' pada tiap negeri dan jamannya, sebagai pewaris 'tugas' dan 'ajaran' para nabi-Nya.

Agama-Nya yang lurus justru sama-sekali tidaklah tergantung kepada sejarah umat manusia (bahkan bukan sejarah para nabi-Nya), karena agama-Nya yang lurus bersifat 'universal', atau telah menyatu dengan perjalanan alam semesta itu sendiri ('universe'), dari nabi ke nabi, dari jaman ke jaman.

Bahkan segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya justru juga berkembang secara alamiah, dari nabi ke nabi, karena perkembangan jamannya ikut pula menyempurnakan segala kemampuan pemahaman umat manusia atas berbagai kebenaran-Nya.

Persoalannya tertinggal kepada para alim-ulamanya pada tiap jamannya (terutama melalui Majelis alim-ulama), apakah ingin tetap selalu menyempurnakan segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya, dari hasil memahami ayat-ayat-Nya yang tertulis (segala risalah para nabi-Nya), dan ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta)?.

Dan apakah pemahaman manusia modern saat ini atas ajaran agama-Nya yang lurus, telah 'terputus ataupun berakhir', hanya cukup sampai pada tingkat kesempurnaan pemahaman pada nabi Muhammad saw saja?. Padahal di lain pihak, tingkat pemahaman manusia modern saat ini juga 'belum tentu' telah sesuai dengan pemahaman pada Nabi.

Mungkinkah "kitab Al-Hikmah" bisa disusun?

Pada akhirnya, Majelis alim-ulama barangkali semestinya bisa melahirkan sesuatu "kitab Al-Hikmah", dari keseluruhan pemahaman bersamanya, sebagai referensi ataupun bahan bacaan acuan dasar bagi para alim-ulama itu sendiri, untuk perlu dipelajari sebelum bisa ikut melahirkan suatu 'ijtihad' ataupun 'fatwa', Juga tentunya bagi seluruh umat Islam pada umumnya yang telah cukup berilmu, agar makin bisa meningkatkan keimanannya.

Walau harus diakui pula, "kitab Al-Hikmah" ini memang relatif amat sulit bisa terwujud, dari adanya berbagai hambatan, seperti:

Berbagai hambatan bagi penerbitan "kitab Al-Hikmah"

Kandungan isinya bersifat relatif amat rumit dan universal, maka relatif kurang sesuai sebagai pengajaran dan tuntunan-Nya yang bersifat praktis-aplikatif dan aktual, yang justru lebih dibutuhkan oleh umat pada umumnya. Sedang tiap Al-Hikmah relatif hanya sesuai dan dibutuhkan oleh umat yang berilmu cukup tinggi saja.
Cukup banyaknya bentuk pemahaman yang berkembang luas di kalangan umat, dengan adanya banyak aliran-mazhab-golongan. Sedang sesuatu Al-Hikmah bisa mudah ditolak, jika bertentangan dengan pemahaman pada berbagai aliran dari para alim-ulama di dalam Majelis alim-ulama.
Kandungan isinya bisa relatif berbeda daripada hal-hal diketahui oleh umat pada umumnya dari teks ajaran agama-Nya, walaupun pada tingkat pemahaman hikmah dan hakekatnya pada dasarnya justru tetap sama.
Kitabnya sendiri bisa amat tebal, atau terdiri dari beberapa buku, karena kandungan isinya memang bersifat amat 'ilmiah' (banyak mengandung segala dalil-alasan dan penjelasan), juga 'universal' (melewati batas waktu, ruang dan budaya).
Penyusunan kitabnya bisa amat lama, karena memerlukan segala riset dan penelitian ilmiah.
Tiap Al-Hikmah relatif amat sulit bisa dijelaskan melalui tulisan, lisan, sikap dan contoh-perbuatan, karena memang relatif tidak cukup hanya diungkap melalui beberapa puluh kalimat lisan dan tulisan, dalam menerangkan sesuatu hal saja, terutama bagi hal-hal yang bersifat gaib dan batiniah.
Dsb.

 

Tetapi tentunya, "kitab Al-Hikmah" itupun justru menimbulkan amat banyak keuntungan bagi para alim-ulama itu sendiri, dan bahkan bagi seluruh umat manusia, seperti misalnya:

Berbagai keuntungan dari penerbitan "kitab Al-Hikmah"

Makin bisa menjawab berbagai kekuatiran nabi Muhammad saw atas kelangsungan ajaran agama-Nya yang lurus, karena segala pemahaman dan keinginan dalam dada-hati-pikiran Nabi sendiri, memang telah relatif makin terungkap pula.
Segala kebenaran-Nya di dalam kitab suci Al-Qur'an bisa makin terbukti secara ilmiah dan meyakinkan, sehingga umat juga bisa makin meningkatkan keimanannya, serta makin lurus aqidahnya.
Bisa makin jelas, tentang bagaimana cara Allah berbuat berbagai hal di alam semesta (mengutus para nabi-Nya dan para malaikat, menurunkan wahyu-Nya, menetapkan takdir-Nya, dsb).
Tiap umat tidak butuh waktu yang relatif terlalu lama, untuk bisa memahami ajaran-ajaran agama-Nya secara relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan.
Makin berkurang ketergantungan kepada makna-makna tekstual-harfiah atas kitab suci Al-Qur'an dan kitab Hadits, yang segala keterangan atau penjelasannya memang relatif amat ringkas dan sederhana. Sedang penafsiran umat atas teks-teks ajaran agama-Nya, bahkan justru relatif amat berbeda-beda.
Makin berkurang keresahan pada umat-umat yang berilmu cukup tinggi atas kelangsungan ajaran agama-Nya yang lurus. Padahal amat tidak memadai jika hanya semata dipahami secara tekstual-harfiah saja oleh sebagian besar umat, tanpa disertai pemahaman yang cukup mendalam.
Bisa makin menghilangkan segala mistis-tahayul pada kehidupan beragama umat, yang memang tanpa berdasar segala dalil-alasan dan penjelasan.
Bisa makin berkurang segala hal yang bersifat 'taklid buta' pada kehidupan beragama umat (pengamalan atas ajaran agama-Nya, sama-sekali tanpa memiliki pemahaman yang cukup memadai).
Jika kandungan isinya benar-benar bersifat universal, maka kitab ini bisa dipakai sampai kapanpun (bahkan sampai akhir jaman). Kalaupun ada berbagai perubahan, kebanyakannya hanya berupa penambahan atas berbagai dalil-alasannya sesuai perkembangan ilmu-pengetahuan. Juga penambahan dari tiap hasil pemahaman bersama yang baru diperoleh pada Majelis alim-ulama.
Para alim-ulama ataupun seluruh umat Islam bisa makin relatif seragam pemahamannya tentang berbagai halnya, demikian pula halnya dalam penyampaiannya. Sedang keseragaman inipun bisa makin berkembang bersamaan dengan makin banyaknya segala pemahaman bersama pada Majelis alim-ulama.
Banyak aliran-mazhab-golongan yang bisa makin saling menyatu atau melebur, karena amat kokoh-kuatnya segala dalil-alasan di dalamnya (sulit dibantah). Jurang perbedaan antar aliranpun bisa relatif makin menipis, termasuk segala polemik dan perselisihan pemahaman antar umat bisa relatif makin berkurang.
Banyak berkurang pula ketergantungan kepada para alim-ulama terdahulu (termasuk para perawi Hadits), sekaligus umat relatif tidak perlu lagi terlalu tergantung kepada kitab-kitab Hadits.
Tugas para alim-ulama dalam mewarisi seluruh ajaran para nabi-Nya menjadi relatif makin sempurna, karena segala pemahaman para alim-ulama memang telah makin 'mendekati' pemahaman Nabi atas agama-Nya yang lurus, pada seluruh wahyu-Nya yang telah diperolehnya. Bahkan para alim-ulama dalam Majelis alim-ulama yang melahirkan "kitab Al-Hikmah" justru sekaligus pula mewarisinya kembali kepada berbagai generasi umat berikutnya.
Dsb.

 

Akhirnya terpulang kembali kepada para alim-ulama di dalam Majelis alim-ulama, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti:

Apakah para alim-ulama pada saat ini benar-benar telah mewarisi segala tugas dan ajaran dari nabi Muhammad saw dan para nabi-Nya lainnya, bahkan sekaligus telah bisa mewariskannya kembali kepada berbagai generasi umat berikutnya?.

Padahal Nabi sendiri justru telah mewariskan ajaran agama-Nya yang lurus, dalam bentuk kitab suci Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Nabi. Hal yang serupa pula pada para nabi-Nya lainnya, termasuk para alim-ulama terdahulu yang menuliskan kitab-kitab Hadits.

Apakah para alim-ulama pada saat ini tidak ingin berbuat hal yang serupa seperti yang telah dilakukan oleh para nabi-Nya, terutama yang telah menyampaikan kitab-kitab tauhid?.

Walaupun hal ini memang harus dilakukan secara bersama-sama melalui Majelis alim-ulama, misalnya untuk bisa melahirkan suatu "kitab Al-Hikmah", sebagai kitab yang memberi penjelasan relatif jauh lebih sempurna (relatif lebih lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), atas kandungan isi kitab suci Al-Qur'an dan kitab-kitab Hadits, dibanding buku-buku lainnya.

Apakah para alim-ulama pada saat ini telah merasa cukup, hanya dengan berdakwah kepada umat-umatnya?.

Sedang umat-umat itu sendiri yang justru mewariskannya kepada anak-cucunya (hanya jika umat-umat itu sendiri juga telah menjadi alim-ulama), ataupun tetap hanya diwariskan oleh para nabi-Nya.

Apakah selama-lamanya, para alim-ulama pada saat ini hanya bisa berbuat sendiri-sendiri dalam mewariskan ajaran agama-Nya yang lurus (dengan menerbitkan sendiri buku-bukunya)?.

Apakah tingkat pemahaman umat atas ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus telah makin berkembang, hanya berjalan di tempat saja, atau makin memburuk, dari segala buku yang ada saat ini?; Dsb.

Keadaan bagi penyampaian Al-Hikmah

Bentuk hasil 'ijtihad' yang semestinya disampaikan oleh para alim-ulama kepada umat Islam 'pada umumnya' (bukanlah langsung disampaikan berupa Al-Hikmah). Sesuatu pemahaman Al-Hikmah pada dasarnya relatif hanya cocok disimpan saja, di dalam dada-hati-pikiran para alim-ulama itu sendiri (ataupun umat-umat lain yang telah cukup berilmu). Tentunya pada keadaan dan forum tertentu, Al-Hikmah bisa pula disampaikan kepada umat lainnya, yang telah siap menerimanya.

Hal inilah maksud dalam ayat Al-Qur'an, yaitu:

"… Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat, untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya. Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb-kami'. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya), melainkan orang-orang yang berakal." – (QS.3:7).

 

Walau umat-umat yang relatif amat berilmu memang telah bisa memperoleh pemahaman yang relatif cukup mendalam, ataupun telah bisa mengungkap segala rahasia di balik teks ajaran-ajaran agama-Nya (memperoleh Al-Hikmah), namun ia harus tetap menyatakan "beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat (memiliki banyak arti dan susah ditentukan maksudnya, terutama tentang hal-hal gaib)".

Tentunya keimanan atau pengakuan atas teks Al-Qur'an justru tetap diperlukan, walaupun makna tekstual-harfiah dari ayat-ayat yang mutasyabihat itu memang telah dianggap 'relatif tidak sesuai', dengan makna sebenarnya yang dipahami oleh umat-umat yang berilmu.

Sedang teks ajaran-ajaran agama-Nya justru tetap amat sangat diperlukan bagi sebagian besar umat (terutama umat yang awam, atau kurang mendalam ilmunya). Bahkan teks-teks itu mestinya tetap bisa dipertahankan keotentikannya, karena nilai keotentikan dari tiap teks ajaran-ajaran agama-Nya memang amat sangat tak-ternilai harganya, bagi keyakinan tiap umat beragama.

Baca pula topik "Kitab-kitab tuntunan-Nya", tentang otentisitas teks kitab suci yang tak-ternilai harganya.

Selanjutnya, tiap Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) mestinya disampaikan kepada umat secara amat arif-bijaksana. Sekali lagi, bagi umat-umat yang awam atau kebanyakan paling baik disampaikan di dalam bentuk hasil ijtihad-nya (berbentuk sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual). Selain itu tiap pengungkapan Al-Hikmah relatif amat mudah melahirkan berbagai fitnah di kalangan umat, walaupun niat pengungkapannya memang tidak bertujuan untuk menyesatkan umat, seperti yang juga diperingatkan pada ayat di atas

Sedang tiap Al-Hikmah memang relatif berbeda daripada hal-hal yang biasa mudah diketahui dan langsung dibaca oleh umat dalam teks ajaran-ajaran agama-Nya.

Hal yang 'paling aman dan ideal', adalah agar tiap pemahaman Al-Hikmah cukup disimpan di dalam dada-hati-pikiran, bagi keyakinan atau keimanan pribadi saja, jika memang belum ada segala keadaan tertentu yang cukup 'memaksa', untuk perlu menyampaikannya.

Bisa pula disampaikan pada suatu forum terbatas, yang terdiri dari para alim-ulama ataupun umat-umat yang berilmu cukup tinggi, yang memang telah relatif siap menerima tiap Al-Hikmah.

Walau buku ini relatif lebih sesuai bagi para alim-ulama dan umat-umat yang cukup berilmu (bukan bagi umat-umat yang awam), namun adanya usaha pengungkapan atas segala 'hikmah dan hakekat' pada buku ini justru telah dirasakan amat 'diperlukan' dan 'terpaksa' dilakukan.

Terutama karena amat dirasakan keadaan kehidupan beragama umat pada umumnya, termasuk pemahaman dari sebagian besar para alim-ulama, yang telah relatif cukup memprihatinkan dan berlebihan, yang dirasakan telah relatif 'cukup melenceng' dari berbagai dasar pokok ajaran agama-Nya yang sebenarnya.

Berbagai keadaan tertentu yang cukup 'memaksa', yang mesti terpenuhi agar bisa disampaikannya Al-Hikmah, seperti misalnya:

Amat luas berkembang segala macam tahayul di kalangan umat.
Amat kuat berkembang segala pemahaman, yang hanya semata berdasarkan makna tekstual-harfiah dari ajaran-ajaran agama-Nya (bukan berdasarkan Al-Hikmah).
Amat kuat pertentangan dan perselisihan pemahaman di kalangan umat, bahkan umat mudah saling menuduh sesat ataupun kafir.
Amat banyak para alim-ulama yang telah pula melupakan berbagai dasar pokok ajaran agama-Nya.
Amat berkembang segala fanatisme yang tidak pada tempatnya dan berlebihan di kalangan umat.
Amat banyak umat yang berlaku taklid kepada 'sosok' para alim-ulama (bukan 'kebenaran' dari hal-hal yang disampaikannya).
Amat lemah pemahaman para alim-ulama tentang bagaimana cara Allah berbuat berbagai hal di alam semesta (mengutus para nabi-Nya, menurunkan wahyu-Nya, menetapkan takdir-Nya, dsb). dsb.

Pemahaman universal untuk atasi isu-isu umat Islam modern

Segala pemahaman yang bersifat ideal dan universal seperti itu (pemahaman Al-Hikmah) justru amat diperlukan pada saat ini, dalam mengatasi berbagai isu yang amat mendiskreditkan atau merugikan umat Islam oleh kalangan di luar Islam, ataupun tanpa disengaja oleh kalangan umat Islam sendiri, misalnya: isu pendirian negara Islam (dengan sistem pemerintah dan hukumnya); isu hukum syariat yang tidak populer dan aplikatif; isu pengekangan wanita; isu poligami; isu jihad dan terorisme; dsb.

Adanya berbagai isu itupun justru secara tidak langsung bisa merusak keyakinan pada kalangan umat Islam yang awam terhadap agamanya, apabila tidak diatasi dengan sebaik-baiknya oleh para alim-ulama dan para cendikiawan Muslim. Selain itu, isu-isu semacam itu paling sering dipakai oleh kalangan non-Islam ataupun para orientalis barat, untuk menyerang agama ataupun umat Islam secara budaya.

Contoh isu-isu umat Islam modern dan solusi sederhananya

Berikut inipun dibahas pula sejumlah tawaran solusi sederhana atas isu-isu di kalangan umat Islam pada jaman modern saat ini, yaitu:

a. Isu hukum syariat yang tidak populer dan aplikatif.
b. Isu pengekangan terhadap wanita.
c. Isu poligami.
d. Isu pendirian negara Islam.
e. Isu jihad dan terorisme.

 

Uraian-uraian selengkapnya, yaitu:

Beberapa isu umat Islam modern, dan solusi sederhananya

a.

Isu hukum syariat yang tidak populer dan aplikatif.

»

Isu hukum syariat yang tidak populer dan aplikatif.

Pemahaman 'universal' atas Al-Qur'an mestinya melewati batas waktu, ruang dan konteks budaya. Maka penerapan atas berbagai hukum syariat tertentu mestinya disesuaikan pula, dengan jaman, tempat dan budaya umat, tanpa harus mengurangi segala hikmah dan hakekat di balik hukum asalnya.

Perbedaannya hanya pada penerapannya, yang mestinya sesuai konteks jamannya. Kalau perlu sebagian dari hukum syariat bisa terus-menerus dirumuskan kembali pada tiap jamannya, agar bisa tetap aktual penerapannya sampai akhir jaman.

Pada aspek hukum, hakekat paling utama adalah keadilan, seperti halnya sifat Allah sendiri, Yang Maha Adil. Hal utama lainnya adalah agar perbuatan buruk terkait bisa ikut berkurang (adanya efek jera).

Sehingga bukan terfokus pada 'penghukuman', yang belum tentu sesuai dengan rasa keadilan, ataupun pada 'bentuk' hukumannya semata-mata, yang hanya sesuai dengan budaya tertentu.

Kemuliaan kitab suci Al-Qur'an justru sama sekali bukan dijaga dengan cara memelihara tiap hukum yang tercantum dalam teks ayat-ayatnya (kepada bentuk hukumannya), namun dari menjaga hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam kandungan isinya, 'di balik' teks ayat-ayatnya.

Bahkan jika 'hanya' melihat Al-Qur'an dari aspek hukum syariat saja, maka semua nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad saw bisa dianggap orang "kafir", karena mereka tidak melaksanakan hukum syariat, seperti halnya umat-umat Nabi. Padahal mereka semua, justru sebenarnya termasuk orang-orang yang beriman.

Hal ini jelas sesuatu bukti, bahwa hukum syariat pasti mengikuti pula perkembangan jaman. Bahkan di dalam Al-Qur'an disebut pula "bahwa tiap-tiap umat memiliki syariatnya masing-masing" – (QS.22:67). Tentunya hal ini justru tidak bisa diartikan, seperti "syariatnya umat Nabi di tahun 2000, mesti sama dengan umat di tahun 3000" dan "kelompok umat mesti menurut tiap nabi-Nya".

Maksud dan tujuan yang sebenarnya dari penerapan suatu hukum syariat, harus dipahami dan diletakkan pada tempat semestinya. Ada hal-hal yang mestinya tetap dipertahankan (wajib), namun ada pula berbagai hal yang mestinya bisa berubah-ubah, sesuai dengan keadaan umat pada tiap jamannya (sunnah).

Ada sebagian dari umat Islam yang menyatakan, seperti "Ikuti saja segala hal yang diperintah-Nya, melalui ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits, secara apa adanya sesuai dengan bunyi isi teksnya, karena hal-hal itu adalah hukum dan ketentuan Allah".

Sedangkan umat-umat itu sendiri belum memahami, "bagaimana cara Allah memerintah umat manusia melalui para nabi-Nya".

Beberapa hukum syariat yang telah dianggap relatif amat perlu, untuk bisa disesuaikan aplikasi-penerapannya, misalnya:

Hukum gantung atau pemenggalan kepala.

Hakekat dan tujuan utamanya adalah menghilangkan nyawa terhukum, yang pada jaman dahulu hanya paling cepat bisa dilakukan, dengan cara digantung atau dipenggal kepalanya. Maka berbagai cara apapun yang bisa memenuhi tujuan itu mestinya bisa dipakai pula, seperti: ditembak mati, di kursi listrik tegangan tinggi, disuntik racun mematikan, dsb. Makin cepat meninggal dan makin berbudaya mestinya makin baik.

Orang-orang yang telah membunuh orang-lain secara sengaja (langsung ataupun tidak); pembunuhan massal (genocide); sadis atau tanpa berperi-kemanusiaan; dsb, termasuk orang-orang yang memang telah pantas menerima hukuman mati (seperti: penganut kanibalisme, penjahat perang, psikopat dan pembunuh berantai, pengedar narkoba, dsb).

Hak Asasi Manusia (HAM) justru semestinya tidak menolak suatu hukuman mati, dan tidak melindungi hak hidup seorang yang jelas-jelas justru telah menghilangkan hak hidup orang-lainnya secara sengaja dan sadis.

Para pembunuh semacam itu telah tidak memiliki jalan untuk bisa bertaubat, karena keadaan kejiwaan mereka itupun telah 'gila', atau keadaan batiniah ruhnya telah rusak amat parah. Di samping telah kehilangan penghargaannya atas nilai-nilai kehidupan itu sendiri, yang jelas tampak dari kezalimannya.

Bahkan para pembunuh itu telah terus-menerus merugikan banyak orang-lain, terutama keluarga para korbannya (secara lahiriah ataupun batiniah, langsung ataupun tidak).

Hukum pemotongan jari dan tangan.

Dari mempelajari konteks sejarah diturunkan-Nya kitab suci Al-Qur'an, serta hakekat dan tujuan adanya hukuman ini, bisa diketahui seperti: kehidupan umat di jaman Nabi relatif amat keras, sederhana dan primitif. Pencurian sesuatu barang yang relatif sederhana sekalipun (bagi ukuran di jaman sekarang), justru amat mungkin mengubah kehidupan korbannya secara amat drastis di jaman dahulu.

Misalnya penderitaan yang berkepanjangan bagi korbannya setelah untanya dicuri (kendaraan utama di padang pasir). Tanpa unta, kehidupan manusia di daerah padang pasir bisa dikatakan mati untuk sementara, karena ia sama sekali tidak bisa mengembangkan kehidupannya, ataupun berbulan-bulan tidak bisa mencari nafkahnya (lama waktu yang diperlukan, untuk melintasi padang pasir, dari suatu kota ke kota lain). Bahkan bisa membawa kematian pada keseluruhan anggota keluarganya, jika tidak cukup persediaan makanannya selama itu (jika ia hidup nomaden di daerah terpencil), seperti pada kehidupan umat di jaman Nabi, dengan amat banyak suku-suku (satu keluarga besar relatif sama dengan satu suku).

Pemotongan jari dan tangan bagi pencuri, adalah hukuman yang memang adil, dan sekaligus bertujuan untuk 'membuat jera' para pencuri, hanya menurut ukuran pada jaman Nabi. Namun dalam konteks jaman sekarang, pemotongan jari dan tangan amat tidak sesuai dan berlebihan, sedangkan hakekat hukum yang lain adalah 'keadilan'. Nilai kehilangan ternak pada saat ini amat jauh 'lebih kecil' daripada besar pengaruh dari kehilangan jari dan tangan, sebagai alat utama untuk bisa mencari nafkah sehari-harinya selama hidup tiap manusianya (terutama mencari nafkah bagi kehidupan keluarganya).

Bentuk hukuman yang bisa menimbulkan efek jera, mestinya sesuai pula dengan nilai kehilangan dari barang yang dicuri (sesuai rasa keadilan), yang bisa berbeda pada tiap jamannya.

Serupa pula bagi penerapan prinsip keadilan pada berbagai kejahatan lainnya.

Sekali lagi, Hukum Allah memang 'harus' dipakai oleh umat Islam, tetapi bukan pada teks dan bentuk hukumannya, tetapi justru pada hikmah dan hakekatnya (terutama 'keadilan' dan 'efek jera' di atas).

Hukum rajam.

Dalam Al-Qur'an tidak ada ayat yang menyebutkan anjuran atas hukuman rajam itu, justru yang ada hanya ayat-ayat yang mengisahkan tentang kaum terdahulu yang telah menerapkan hukuman rajam itu.

Maka jika ada negara Islam yang menerapkannya, pasti hal itu berasal dari budaya masyarakat setempat, bukan berasal dari ajaran agama Islam.

Minimal hal inipun hanya penafsiran atas penerapan hukum syariat bagi pelaku perzinahan, yang dianggap telah relatif sesuai bagi keadaan dan budaya umat pada jaman dahulu.

Prinsip seperti inipun semestinya diketahui, jika ada budaya masyarakat Arab (tempat diturunkan-Nya Al-Qur'an), atau juga masyarakat negara Islam lain, yang tidak ada pengajaran dan tuntunan-Nya di dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, agar tidak semestinya dianggap bagian dari ajaran agama Islam.

Maka penerapan hukum bagi para pelaku perzinahan pada saat ini perlu disesuaikan dengan perkembangan jaman, dan terutama berdasar pada asas-asas hukum di atas, terutama hukuman yang 'setimpal' dengan efek kerusakan yang telah ditimbulkan (lahiriah ataupun batiniah), bagi para pelakunya sendiri maupun lingkungan sekitarnya (umat, keluarga, dsb).

b.

Isu pengekangan terhadap wanita.

»

Isu pengekangan terhadap wanita.

Prinsip utamanya semestinya tidak ada sesuatu pemaksaan dalam beragama dan berkeyakinan, termasuk pula semestinya tidak ada pemaksaan berbusana muslimah bagi wanita muslimah. Walau berbusana muslimah itu memang diajarkan dalam agama Islam. Juga semestinya tidak ada pemaksaan bagi wanita non-Muslim, walau mereka berada di dalam suatu negara Islam.

Namun seperti yang berlaku pada masyarakat manapun di dunia, termasuk di negara-negara Islam, maka para wanita yang tidak berbusana muslimah semestinya tetap menghormati kehidupan masyarakat setempat, dengan berbusana yang relatif cukup wajar dan tidak provokatif.

Jauh lebih bermanfaat, jika kepada para wanita muslimah itu sebelumnya diajarkan segala hikmah (nilai-nilai positif), di balik anjuran-Nya agar berbusana muslimah tersebut, agar mereka itu secara pribadi bisa makin menyakininya, dan mengamalkannya. Kewajiban seluruh nabi-Nya justru hanya sebatas memberikan 'pengajaran' bagi umatnya (tidak lebih dari itu, tanpa 'paksaan').

Bahkan di negara-negara Arab, anjuran-Nya itu hanya kebetulan didukung pula oleh budaya masyarakatnya, karena lingkungan alamnya yang amat panas dan berdebu di siang hari, sebaliknya amat dingin di malam hari. Bahkan wanita di sana telah banyak berpakaian jilbab, justru sebelum datangnya agama Islam. Maka hal-hal itupun belum tentu murni berasal dari keyakinan, seperti yang diajarkan dalam agama Islam.

Di lain pihak, tuduhan pengekangan itu juga amat tidak relevan, jika diarahkan bagi masyarakatnya yang memang telah memiliki kesadaran, untuk lebih serius melaksanakan ajaran-ajaran agama-Nya. Anjuran pemakaian busana muslimah itupun bukan sesuatu bentuk pengekangan, tetapi justru untuk melindungi kehormatan para wanita itu sendiri.

c.

Isu poligami.

»

Isu poligami.

Isu ini juga hanya muncul, akibat kelemahan pemahaman umat Islam sendiri atas ajaran agamanya, yang biasanya amat berbeda daripada yang diajarkan oleh Nabi. Tujuan utama poligami pada jaman Nabi dahulu, adalah untuk bisa menjaga kehormatan para wanita yang telah kehilangan suaminya, telah kesulitan mencari pasangan hidup, dsb, yang semuanya bukan semata murni karena kebutuhan nafsu-keinginan pribadi si suami.

Juga semestinya berdasar asas 'keadilan' dalam menghadapi atau memperlakukan ke semua istrinya. Jika istri pertama tidak setuju (begitupun istri lainnya), maka asas keadilan itupun telah cacat, karena hati mereka telah terluka. Maka semestinya disertai pula adanya asas 'keikhlasan' dari para istri lama.

Jika asas melindungi dan keadilan itu telah dianggap relatif bisa dilaksanakan, sedang keikhlasan itu belum tercapai, maka suatu kewajiban bagi si suami untuk bisa menyakinkan para istri lama, sampai timbulnya keikhlasan itu. Jika tetap tidak terpenuhi asas keikhlasan itu, maka tidak ada alasan untuk menikah lagi.

Ketiga asas penting itupun justru sering dilupakan pada sebagian dari kalangan umat Islam (melindungi, keadilan dan keikhlasan), terutama pada kalangan umat Islam yang biasa terlalu berlebihan mengartikan "kepemimpinan para suami di dalam berkeluarga". Sehingga si suami terlalu dominan pada saat memutuskan segala sesuatu halnya. Padahal si suami juga mestinya memiliki segala kewajiban untuk dipenuhi (lahiriah dan batiniah), termasuk agar harus berbuat adil.

Batasan dan wujud dari hak dan kewajiban itu, yang justru belum dipahami sepenuhnya oleh sebagian umat, khususnya umat yang awam, apalagi belum jelas dirumuskan oleh para alim-ulama.

"Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil, di antara istri-istri(mu), walaupun kamu amat ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada istri yang paling kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan, dan memelihara diri (dari berlaku tidak adil), maka sesungguhnya, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." – (QS.4:129).

d.

Isu pendirian negara Islam.

»

Isu pendirian negara Islam, dengan sistem-struktur pemerintahan, negara dan hukumnya.

Dari segi struktur pemerintahannya, maka sistem 'republik' yang umumnya dipakai di dunia modern ini, dengan 'Trias-politika'-nya (eksekutif, legislatif dan yudikatif). justru telah relatif sesuai dengan sistem pemerintahan kekhalifahan setelah jaman Nabi.

Perbedaan paling pentingnya justru hanyalah pada 'isinya', yaitu bagaimana seluruh pelaksana Trias-politika melaksanakan tugas-tugasnya. 'Isi' inilah yang mesti diperjuangkan oleh umat Islam, dengan cara-cara yang Islami dan demokratis (tanpa pemaksaan), termasuk melindungi kaum minoritas non-Muslim, seperti yang juga dilakukan oleh nabi Muhammad saw pada jamannya dahulu.

Dengan sendirinya juga amat perlu diperjuangkan pemimpin dan orang-orang yang dianggap mampu melaksanakan semua amanat kaum Muslim.

Akhirnya semuanya itu bermuara pada segala aturan perundang-undangan, dalam usaha mewujudkan kehidupan masyarakat yang Islami, yang memang diidam-idamkan.

Munculnya isu pendirian negara Islam oleh sebagian kecil dari kalangan umat Islam, biasanya justru lebih terfokus pada bentuk lahiriah (struktur-sistem pemerintahannya), tetapi amat ironisnya, konsep sistem nilai yang mestinya dibawa justru telah dilupakan ataupun masih amat sangat meragukan.

Padahal jika hanya langsung mengadopsi sistem hukum syariat dan sistem kenegaraan seperti di jaman Nabi, justru masih amat banyak kekurangan atau kelemahannya jika akan diterapkan di jaman sekarang, seperti diuraikan pada poin-poin di atas.

Bahkan sistem perundang-undangan pada negara-negara modern yang memang cenderung bersifat materialistik dan sekuler, justru memerlukan puluhan ataupun ratusan tahun untuk menyusunnya, bahkan belum ada suatu kesepakatan bentuk terbaiknya. Apalagi pengembangannya yang mestinya mengandung nilai-nilai moral dari ajaran agama Islam, yang relatif sulit dirumuskan penerapan aktualnya (seperti, hanya 'rasul' yang menyampaikan syariat).

Hal ini mudah dilihat dari amat alotnya proses pembuatan dan penerbitan RUU, seperti: pornoaksi dan pornografi, perkawinan, sistem pendidikan, peradilan agama, dsb.

Padahal di jaman Nabi, justru kaum non-Muslim yang bahkan secara sukarela mau diterapkannya Hukum Islam bagi mereka.

Hal paling penting yang menjadi tugas para alim-ulama dan para cendikiawan Muslim, adalah menyusun RUU yang Islami, maju dan cerdas, tentunya pula agar bisa menaungi dan diterima secara sukarela dan aklamasi oleh seluruh golongan dalam masyarakat.

Hal ini bukan hanya sekedar memaksa perubahan struktur-sistem negara, tanpa ada struktur-sistem nilainya yang terencana amat matang (dalam bentuk peraturan perundang-undangan).

Contoh-contoh kasus RUU di atas amat jelas telah menunjukkan masih belum adanya kesiapan dari para pemuka agama Islam.

Bahkan penerapan sistem kekhalifahan di jaman modern saat ini, justru masih amat meragukan, yang ditunjukkan melalui berbagai pertanyaan atau keraguan, seperti:

Pada kekhalifahan negara:

Apakah mungkin bisa menyatukan seluruh aliran-golongan di dalam agama Islam melalui kepemimpinan Sang khalifah?.

Padahal manusia justru cenderung selalu saling berselisih dan sebagian besar dari aliran itupun sering mengaku-aku 'paling benar', sedang aliran-aliran lainnya dianggapnya sesat.

Padahal justru sama sekali tidak ada pemimpin yang mampu menyatukan umat dari berbagai aliran di jaman saat ini.

Padahal kepemimpinan umat di negara Iran misalnya, hanya bisa terjadi karena aliran yang dianut oleh mayoritas umatnya memang relatif sama-seragam-homogen.

Bagaimana bisa menjamin dan menilai tingkat keimanan dan keshalehan Sang khalifah?.

Padahal hanya hak Allah, Yang mengetahui keimanannya.

Padahal hampir tidak ada lagi pribadi saat ini, yang sempurna keimanannya seperti halnya para nabi-Nya.

Padahal hal ini akan bisa menimbulkan pengkultusan kepada diri pribadi Sang khalifah, jika ia terlalu dipaksakan dianggap sebagai orang yang 'paling beriman', bahkan akan menjadi beban yang amat besar bagi Sang khalifah itu sendiri.

Bagaimana cara menjamin proses regenerasi kepemimpinan yang berdasar agama atau keimanan ini?.

Padahal proses pencapaian tingkat kenabian pada para nabi-Nya misalnya, memerlukan waktu puluhan tahun.

Padahal tidak ada sekolah bagi keimanan.

Padahal proses diutus-Nya para nabi-Nya, adalah proses yang amat alamiah atau mengikuti kehendak sejarah; tidak pernah kontinu atau sering terputus; tidak pernah melalui pewarisan dan penunjukan oleh manusia; dsb.

Bagaimana status bagi kaum minoritas non-Muslim di dalam sistem kekhalifahan ini?.

Padahal "masyarakat kelas dua" pada era globalisasi saat ini hampir tidak ada lagi, walaupun mereka memang 'dijanjikan' pasti akan bisa dilindungi.

Serta hampir tidak ada suatu kelompok masyarakat yang mau tunduk kepada kelompok lainnya, tanpa paksaan.

Apakah Sang khalifah sekaligus sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, 'seperti' di jaman Nabi?.

Padahal negara modern saat ini telah begitu amat kompleks, sehingga suatu pemimpin umat dan pemimpin pemerintahan relatif mustahil bisa digabungkan.

Padahal di negara Iran misalnya, pemimpin umatnya justru terpisah dari pemimpin pemerintahannya.

Padahal nabi Muhammad saw sendiri adalah pemimpin umat dan pemerintahan sekaligus (jika ingin sesuai sunnah Nabi).

Apakah usaha mendirikan sistem kekhalifahan, justru bukan usaha mengubah dari suatu keadaan semu, ke keadaan semu lainnya? (walaupun perubahan keadaan inipun memang bisa diperkirakan dan diidamkan akan 'relatif' makin baik).

Padahal segala sesuatu hasil karya ciptaan manusia (termasuk sistem kekhalifahan itu), pada dasarnya pasti bersifat relatif, semu dan tidak ideal-sempurna (pasti ada memiliki berbagai kekurangan dan keterbatasan).

Padahal tidak ada lagi umat manusia saat ini, yang memiliki pribadi dan pengetahuan yang bisa relatif sempurna, tentang berbagai kebenaran-Nya, seperti halnya para nabi-Nya, yang lebih pantas untuk memimpin sesuatu kekhalifahan.

Apakah di dalam ajaran agama Islam, ada diajarkan cara-cara untuk bisa meraih kesempurnaan hidup di dunia? dan Apakah bukan untuk meraih kesempurnaan hidup di akhirat?

Padahal 'tugas utama' tiap umat manusia justru bukan untuk berusaha bisa meraih atau menciptakan kesempurnaan hidup (termasuk bukan pula berusaha membentuk suatu masyarakat Islami yang relatif 'sempurna' melalui kekhalifahan).

Tetapi justru agar tiap umat manusia bisa berusaha maksimal menghadapi segala 'ketidak-sempurnaan' hidup di dunia ini (sebagai bentuk ujian-Nya), dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan cara-cara yang telah diajarkan oleh nabi Muhammad saw, untuk membangun kehidupan akhirat yang makin baik.

Padahal dalam sistem pemerintah dan negara manapun umat berada, selama ia bisa menjalankan ajaran-ajaran agama-Nya dengan relatif tanpa adanya sesuatu hambatan, halangan dan tanpa dizalimi, justru mestinya telah cukup baginya.

Padahal segala hal lainnya, yang berupa usaha pembangunan kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh), justru hanya bisa dilakukan oleh tiap umat itu sendiri, yang sama sekali tanpa ada campur-tangan dari segala sesuatu hal lainnya, termasuk pula Allah dan para nabi-Nya, apalagi Sang khalifah.

Apakah sesuatu kekhalifahan ataupun negara Islam, adalah 'satu-satunya' solusi, dan hal yang 'paling penting' untuk bisa dicapai oleh umat Islam?

Padahal segala hal pada kehidupan di dunia ini (termasuk kekhalifahan itu), hanya 'alat-sarana' untuk bisa membangun kehidupan yang sebenarnya (hakiki dan kekal), yang berupa kehidupan akhirat pada tiap umat manusia.

Bukan hal yang penting atas keharusan adanya sesuatu alat-sarana tertentu, karena jumlah alat-sarana untuk bisa dipakai dalam membangun kehidupan akhirat, memang amat sangat banyak macamnya.

Namun hal yang paling penting justru pada 'cara-cara' yang paling tepat dan benar, ketika memanfaatkan tiap alat-sarana itu sesuai dengan keadaan masing-masing umat.

Apakah keimanan tiap umat adalah suatu hal yang bisa diatur dan diorganisasikan melalui sistem kekhalifahan?

Padahal keimanan hanya urusan pribadi tiap umat, sedangkan seluruh umat lainnya semata-mata hanyalah bisa memberinya pengajaran dan mengingatkannya, bahkan sama sekali bukan mengatur-aturnya, apalagi dengan memaksa-maksanya.

Padahal umat-umat yang suka mengatur-atur itu, pasti tidak bisa mengatur-atur, dan juga tidak bisa mengetahui tingkat keimanannya sendiri di mata Allah, Yang Maha Mengetahui.

Padahal nabi Muhammad saw juga tidak bisa mengatur-atur keimanan pamannya sendiri, yang berbuat kekafiran.

Padahal justru sama sekali bukan kewajiban bagi tiap umat, untuk mengurusi keimanan umat lainnya, serta segala halnya pasti kembali tergantung kepada amal-perbuatannya masing-masing dan kepada amanatnya yang diberikan-Nya.

Apakah telah bisa dimiliki gambaran lengkap, tentang segala aspek kehidupan seluruh umat manusia di dunia, berikut tiap solusi persoalannya, terutama sejak saat kekhalifahan telah terbentuk sampai akhir jaman?

Padahal secara 'tekstual-harfiah', ajaran-ajaran agama Islam (terutama Al-Qur'an dan sunnah Nabi), pada dasarnya hanya lengkap dan sesuai bagi umat-umat pada jaman Nabi. Walau secara 'hikmah dan hakekatnya', ajaran-ajarannya memang bersifat universal, dan pasti sesuai bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman.

Padahal Majelis alim-ulama saat ini belum bisa memadai dan tuntas mengungkap seluruh Al-Hikmah di dalam ajaran-ajaran agama-Nya. Juga sekaligus belum cukup melahirkan ijtihad-ijtihad, agar makin memperbaiki dan menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan umat pada jaman sekarang ini.

 

Pada kekhalifahan global:

Jika berupa kekhalifahan global, apakah semua negara Islam telah siap menerimanya?.

Padahal pada level negara saja, masing-masingnya pasti ada memiliki segala permasalahannya sendiri, dan bahkan hampir semua negara Islam justru masih berupa negara berkembang.

Sang khalifah dipilih dari negara mana?.

Bagaimana proses penggiliran kepemimpinannya, agar bisa diterima oleh semua negara Islam?.

Padahal relatif amat sulit dijamin kesamaan kualitas khalifah dari semua negara Islam itu.

Pembentukan kekhalifahan global sama halnya dengan usaha membangun suatu kekuatan 'adi-daya baru', yang akan bisa berpengaruh global amatlah besar, apakah ada sesuatu negara Islam yang memiliki kemampuan sumber daya seperti itu?.

Padahal kemampuan teknologi di kalangan umat Islam, justru masih relatif amat terbatas untuk bisa mengelolanya.

Apakah tiap negara Islam rela, jika sebagian sumber dayanya dipakai secara bersama-sama, untuk menolong negara-negara Islam lain yang berkekurangan?.

Padahal pengaturan sumber-daya itu dalam tiap negara saja, justru telah relatif amat sulit.

Apakah kekuatan adi-daya yang ada, mau merelakan hal ini terjadi, atas berbagai kemungkinan kerugian yang akan bisa dihadapinya, apalagi jika memang ada persaingan?.

Padahal amatlah tampak kentara persaingan global dalam hal ideologi, ekonomi, politik dan kekuasaan, dsb.

 

Selama ini, semua pertanyaan dan keraguan di atas justru relatif belum bisa terjawab secara memadai oleh para penggagas negara Islam, ataupun belum diketahui oleh umat Islam secara umum.

Sehingga isu pendirian negara Islam seolah-olah hanya dipakai oleh sebagian kecil dari politikus Muslim, untuk bisa memenuhi berbagai kepentingan kelompoknya semata.

e.

Isu jihad dan terorisme.

»

Isu jihad dan terorisme.

Jihad adalah segala usaha untuk mewujudkan atau menegakkan kebenaran-Nya. Maka pengertian jihad juga amat luas, termasuk misalnya orang yang rajin menuntut ilmu bagi masa-depannya; seorang suami yang berjuang mencari nafkah bagi anak-istrinya; dsb. Mereka ini justru juga sedang berjihad, bukan hanya orang yang membela agama-Nya di medan perang.

Bahkan hal yang paling penting, justru berjihad melawan segala macam hawa nafsu (sebagai 'jihad yang terbesar'). Karena jihad inilah yang justru pasti dihadapi oleh tiap manusia tiap saatnya sepanjang hidupnya di dunia, karena hawa nafsunya tiap saatnya pasti selalu dipakai oleh iblis dan syaitan, untuk menggodanya, sebagai suatu bentuk ujian-Nya secara batiniah.

Bahkan segala bentuk ujian-Nya secara lahiriah, pada puncaknya pasti akan bermuara kepada segala persoalan batiniah, pada tiap manusia yang mengalaminya. Demikian pula penyelesaian segala bentuk persoalan manusia (lahiriah dan batiniah), pasti bermuara kepada pembentukan berbagai sikap batiniah tertentu, yang juga sering disebut sebagai pembentukan segala akhlak terpuji.

Sedang hasil dari perang jihad, hanya untuk bisa menyelesaikan persoalan tertentu umat, pada sesuatu saat tertentu pula. Bahkan perang jihad yang banyak berkembang di jaman sekarang, justru hanya terkait persoalan pada 'sebagian kecil' kalangan umat saja.

Pada saat ini telah tidak ada perang frontal dengan alasan agama (yang bisa menimbulkan perang dunia, seperti pada perang salib dahulu), ataupun tidak ada sesuatu kezaliman (penganiayaan dan pemusnahan) berdasar keyakinan umat beragama tertentu, secara 'terang-terangan'.

Walaupun terkadang ada penindasan dan genocide (pembunuhan massal) terhadap umat suatu agama tertentu, tetapi dengan alasan yang lebih umum (kekuasaan, wilayah, kesukuan, sejarah, dsb), seperti di Palestina, Bosnia, Afganistan, Moro, Thailand, dsb.

Namun ironisnya, ada perkembangan konsep perang jihad yang telah keluar dari konteks kezaliman itu sendiri (penganiayaan, penindasan, pemusnahan, dsb). Hal inilah yang telah muncul dari sebagian amat kecil dari kalangan umat Islam, yang amat fanatik.

Lebih ironisnya lagi, sebagian besar kalangan umat Islam lainnya justru menentang cara-cara kekerasan, dan tindakan 'terorisme' yang mereka lakukan.

Mereka yang menyebut dirinya 'pejuang jihad' itu juga memakai kekerasan, atas ancaman-ancaman yang berbentuk budaya atau sistem nilai, yang justru amat sulit bisa diterima oleh akal-sehat. Amat ironis jika sesuatu perang budaya atau sistem nilai, harus dihadapi dengan senjata dan bom misalnya.

Walau hal itu muncul pada umumnya sebagai ekses dari adanya berbagai bentuk kezaliman, yang misalnya telah ataupun sedang dilakukan oleh negara-negara barat, kepada kaum Muslimin di berbagai belahan dunia.

Dan kepada para pejuang jihad itu perlu ditanyakan, misalnya:

Apakah yang pernah diajarkan oleh nabi Muhammad saw di dalam mengatasi suatu "perang budaya"?.

Padahal sama sekali bukan tugas dan kewajiban atas seorang nabi-Nya sekalipun, untuk meluruskan seluruh umat manusia dan seluruh sistem nilai di muka Bumi ini. Padahal Nabi juga tidak berkewajiban meluruskan pamannya (seorang musyrik), kecuali sebatas menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya.

Tiap proses berusaha 'menyampaikan' pengajaran-Nya jauh lebih penting daripada tiap bentuk 'hasil' pengamalan atas pengajaran-Nya, karena tiap umat manusia pasti hanya akan bertanggung-jawab atas amal-perbuatannya sendiri (bukanlah amal-perbuatan dan beban dosa orang-lainnya).

Apakah ukurannya sehingga mereka itu beranggapan, bahwa budaya dan sistem nilai tertentu 'pasti' bisa mengancam dan menghilangkan keyakinan umat atas ajaran agamanya?.

Padahal tiap manusia pasti memiliki kebebasan sepenuhnya, untuk bisa menolak dan menghindari budaya dan sistem nilai yang tidak dikehendakinya, atau tidak sesuai dengan ajaran agama-Nya, bahkan termasuk pada saat sama-sekali tidak ada ulama dan umat lainnya yang ikut membantunya.

Padahal pasti selalu ada iblis dan syaitan, yang memang telah mendapat ijin-Nya, untuk menguji keyakinan atau keimanan tiap umat manusia tiap saatnya.

Apakah mereka sendiri telah melakukan tugasnya, agar bisa memperkuat keyakinan umat atau minimal dalam lingkungan keluarganya sendiri, atas ancaman intervensi budaya itu?.

Padahal lebih penting bagi mereka itu untuk berdakwah, agar bisa meningkatkan keyakinan atau keimanan umat, di dalam menghadapi suatu budaya dan sistem nilai yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, daripada berusaha menghapus budaya dan sistem nilai terkait, yang mustahil bisa dilakukan. Sama halnya dengan kemustahilan usaha melenyapkan iblis dan syaitan, agar seluruh manusia bisa beriman.

Apakah 'perang jihad mereka' itu bukan justru bisa merusak keyakinan umat Islam, karena agama Islam tidak seperti yang diyakininya selama ini (tidak mengajarkan kekerasan)?.

Padahal agama Islam adalah rahmat-Nya bagi seluruh alam semesta dan sama sekali bukan untuk menebarkan kebencian, perselisihan dan kekerasan, sebaliknya justru bertujuan untuk menebarkan ketentraman dan kedamaian di muka Bumi.

Apakah hasil 'perang jihad mereka' itu bukan bisa membuat agama dan umat Islam di seluruh dunia, akan bisa menerima akibat buruknya (mendapat cercaan, dimusuhi, dsb)?.

Apakah hal itupun bukan bisa membuat para alim-ulama dan para cendikiawan Muslim di seluruh dunia, tidak bisa tidur nyenyak, untuk meluruskan segala pandangan buruk terhadap agama Islam?.

Padahal berhasil ataupun tidak 'perang jihad mereka' itu bisa mencapai tujuannya, agama dan seluruh umat Islam lainnya pasti menghadapi segala ekses buruk dari perbuatan mereka, yang tidak dilakukan semestinya atau sebenar-benarnya, akan tetapi hanya berdasar pemahaman subyektif mereka sendiri.

Padahal pengaruh yang amat luas dari sesuatu 'perang jihad' itulah (menyangkut seluruh umat Islam), yang menyebabkan 'pernyataan' perang jihad mestinya dikeluarkan oleh otoritas negara dan umat (kepala negara dan majelis ulama). Bukan hanya sekedar 'pernyataan' perang jihad dari beberapa alim-ulama pada sebagian kecil kalangan umat Islam.

Apakah hasil dari perang jihad mereka (misalnya jumlah jiwa musuh yang terbunuh) bisa sebanding dengan kerugian yang dihadapi oleh seluruh umat Islam?.

Bagaimana para pejuang jihad itu bisa menghitung untung-rugi, bagi dirinya sendiri dan bagi seluruh umat Islam?.

Padahal hanyalah hak Allah Yang Maha Mengetahui dengan pasti untung-ruginya bagi tiap manusianya, bahkan para nabi-Nya sekalipun tidak bisa mengetahuinya pula, kecuali hanya sekedar gambaran umum atau garis besarnya saja dari nilai keutamaan mengikuti perang jihad.

Jika misalnya ada korban bom di pihak umat Islam sendiri (meninggal ataupun cacat), apakah tidak akan membuat para korban dan keluarganya justru bisa menjadi murtad, ataupun keyakinan beragamanya menjadi makin rusak?.

Apakah mereka bisa menjawab, kenapa mereka menganggap dirinya mujahid dan pasti akan masuk Surga, sementara itu, merekapun meninggalkan sejumlah besar kemudharatan baru bagi umat Islam dan umat manusia lainnya?.

Apakah tanggung-jawab mereka atas hal ini, serta darimana mereka mendapat hak untuk mengatur nasib orang-lainnya?.

Padahal tiap amal-ibadah yang pada dasarnya bertujuan suci-mulia (termasuk pula berjihad), mestinya mustahil berbentuk berupa kezaliman (langsung ataupun tidak), apalagi jika para korbannya justru termasuk umat Islam sendiri, ataupun umat yang tidak berdosa dan tidak tahu-menahu sama sekali.

Amat sombong, naif dan kekanakan, apabila hal ini misalnya disebutkan sebagai "hanya ekses saja dari suatu perjuangan". Justru tidak pernah ada suatu kemuliaanpun yang bisa dicapai dengan menzalimi atau menganiaya manusia lainnya, tanpa dasar alasan yang amat kuat dan jelas.

Apakah musuh tidak akan berbuat hal yang sama (membalas tindakan kekerasan mereka, secara terselubung atau terang-terangan), kepada kalangan umat Islam di seluruh dunia?.

Padahal akibat tindakan kekerasan mereka yang tanpa dasar alasan kuat dan cara yang benar, justru musuh-musuh umat Islam makin mendapatkan alasan pembenaran secara mudah, untuk bisa makin menzalimi dan menganiaya umat Islam.

Apakah mereka ingin menciptakan suatu perang agama lagi, secara frontal dan luas, seperti halnya yang terjadi di jaman perang salib?.

Padahal telah tidak ada lagi perang terbuka dan global antar agama. Bahkan lebih parah lagi, pada sebagian 'perang jihad' justru saling berhadapan tidak langsung, antar sebagian kaum Muslim dan sebagian kaum Muslim lainnya. Misalnya bisa terjadi antara kaum pendukung fanatik bagi pendirian negara Islam, dan kaum yang tidak fanatik (kaum moderat).

Bahkan paling ironisnya, walaupun tidak dinyatakan secara terang-terangan dan cenderung ditutupi dengan segala dalih-alasan (seperti misalnya untuk melawan: musuh umat Islam, thaghut, dsb), sebagian kalangan umat tertentu dalam perang jihadnya, pada dasarnya justru menghalalkan korban ataupun darah dari kalangan umat Islam lainnya, yang memang justru amat diharamkan dalam ajaran agama Islam.

Apakah mereka tidak tahu, bahwa musuh dalam perang jihad pada jaman Nabi, justru amat jelas sosoknya, langsung saling berhadapan, dan juga memang ingin menghapus agama Islam ataupun membunuh seluruh kaum Muslim?.

Padahal pada jaman Nabi, perang jihad selalu terjadi dalam peperangan terbuka, dan sama sekali tidak ada penganiayaan dan pembunuhan oleh kaum Muslim atas kaum non-Muslim ataupun musuh Islam, yang memaang tidak 'terkait langsung' dengan peperangan tersebut. Apalagi jika korbannya orang-orang yang tidak berdosa, tidak disengaja atau tidak secara langsung sekalipun.

Padahal dalam sejarah, tiap perang jihad pasti selalu disertai oleh perang jihad yang terbuka berikutnya. Misalnya ketika kaum Muslim telah mengalami kekalahan sebelumnya, dan lalu telah berhasil menyusun kembali kekuatannya, ataupun saat diserang oleh musuh. Serta tidak ada perang jihad, tanpa adanya pernyataan perang terbuka, tidak saling berhadapan langsung, ataupun tidak dalam keadaan-situasi perang.

Bagaimana mereka bisa amat yakin menghitung, bahwa nilai keutamaan perang jihad mereka itu persis sama dengan yang telah diterima oleh Nabi dan para pengikutnya, dalam perang jihadnya pada awal kelahiran agama Islam?.

Padahal dalam perang jihad pada jaman Nabi, kelangsungan ajaran agama Islam justru benar-benar sedang dipertaruhkan, bukan hanya sekedar nasib dan kehidupan sebagian dari umat Islam saja yang telah dizalimi.

Padahal keadaan pada jaman sekarang, kelangsungan ajaran 'agama' Islam relatif tidak terancam sama sekali oleh musuh-musuh Islam. Juga hanya menyangkut nasib dan kehidupan sebagian kecil kalangan umat saja. Solidaritas kaum Muslim memang sesuatu keharusan, namun semestinya benar-benar dipahami konteksnya secara amat obyektif dan proporsional.

Bagaimana mereka bisa amat yakin menghitung pula, bahwa perang budaya adalah perang jihad, mereka sebenar-benarnya seorang Mujahid dan termasuk orang yang amat beriman?.

Padahal ada orang-orang yang sama sekali tidak mendapat apa-apa, ketika mengikuti perang jihad yang "tidak dilakukan dengan sebenar-benarnya". Persis seperti penilaian atas suatu bentuk amal-ibadah tertentu, yang nilai amalannya bagi umat pelakunya justru bisa amat berbeda-beda (tidak pasti merata).

Padahal hanyalah hak Allah semata Yang Maha Mengetahui nilai amalan dan keimanan tiap manusia.

Apakah mereka juga telah berhasil berperang melawan dan menenangkan hawa nafsunya sendiri, yang justru hanya bisa dicapai oleh orang-orang yang Mukhlis, yang penuh dengan sifat keikhlasannya?.

Padahal perang inilah perang yang sesungguhnya, yang pasti dihadapi oleh tiap manusia tiap saatnya sepanjang hidupnya, sebagai suatu bentuk ujian-Nya yang paling mendasar (secara batiniah), untuk menguji keimanan tiap umat manusia.

Apakah adanya ketidak-adilan dan hegemoni negara-negara barat, atas sejumlah negara yang warganya beragama Islam, benar-benar suatu alasan yang cukup untuk berperang jihad?.

Padahal perang jihad adalah perang atas nama agama, yang amat berbeda dengan berbagai jenis perang-lainnya (politik, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dsb).

Padahal ada pula pemimpin negara Islam yang berlaku zalim kepada warganya sendiri. Begitu pula adanya banyak ragam faksi perjuangan kaum Muslimin, dengan berbagai motivasi perjuangannya masing-masing yang berbeda-beda.

Apakah dalam sejarah di jaman Nabi, ada perang jihad yang menggunakan cara-cara teror, 'pemboman' bunuh diri, tanpa ataupun dengan sengaja membunuh umat Islam sendiri, dsb?.

Padahal dalam perang jihad di jaman Nabi, justru sama sekali tidak menggunakan cara-cara seperti itu.

Apakah mereka telah mengkaji dan bisa memahami dengan sebenar-benarnya, atas berbagai risalah tentang jihad?. Dan apakah mereka telah memiliki pemahaman sempurna, serupa halnya yang dimiliki oleh para nabi-Nya?.

Padahal mereka biasanya belum bisa menjawab secara tuntas dan memuaskan, atas segala sesuatu hal yang terkait dengan perang jihadnya. Dan juga biasanya hanya berupa semangat dan keyakinan pribadi, yang justru amat subyektif dan penuh asumsi-perkiraan, ataupun sama sekali belum memiliki dalil-alasan yang lengkap dan menyakinkan.

Serta mereka biasanya hanya sekedar memahami Al-Qur'an dan Hadits Nabi, secara tekstual-harfiah, tanpa memahami makna yang sebenarnya 'di balik' teks-teksnya (Al-Hikmah), secara relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan.

Apakah mereka memang benar-benar telah ikut membantu atau menolong perjuangan umat-umat Islam lainnya, yang sedang menjadi korban 'langsung' suatu kezaliman?.

Korban

Beriman

Tidak beriman

Wafat

Atas ijin-Nya, para korban justru bisa masuk Neraka, jika ia lebih banyak nilai segala amal-keburukannya, sebaliknya masih bisa masuk Surga.

Atas ijin-Nya, para korban bisa masuk Neraka.

Relatif tidak perlu dibantu lagi oleh umat negara lainnya.

Relatif tidak perlu dibantu lagi oleh umat negara lainnya.

Hidup

Bertambah amat berat beban ujian-Nya bagi para korban.

Bertambah amat berat beban ujian-Nya bagi para korban.

Relatif kurang perlu dibantu oleh umat negara lainnya, jika para korban relatif bisa atasi ujian-Nya. Juga karena tiap nilai amal-kebaikan mereka, bahkan pasti dilipat-gandakan-Nya, selama ujian-Nya itu.

Sebaliknya amat perlu dibantu, jika para korban relatif kurang bisa atasi ujian-Nya, yang bisa mengancam nyawa dan juga keimanan mereka kepada Allah.

Bantuan bagi para korban lebih bersifat kemanusiaan dan diharapkan hal ini bisa membawa mereka kembali ke jalan-Nya yang lurus (bisa menganut agama Islam), ataupun untuk bisa meningkatkan keimanan mereka kepada Allah.

 

Padahal jihad bertujuan menegakkan kebenaran-Nya.

Padahal dari tabel di atas, justru hal yang paling utama yang bisa dilakukan oleh 'para pejuang jihad', ketika tidak terjun langsung ke medan perang, pada dasarnya hanyalah berusaha ikut meringankan beban penderitaan para korban kezaliman yang masih hidup, agar bisa tetap beriman kepada Allah.

Sedang segala usaha dari pihak lainnya di atas, yang berada di luar medan perang, relatif amat serupa dengan perjuangan dari para sukarelawan pada bencana alam tsunami di Aceh, gempa Bumi di Padang, dsb, dalam ikut meringankan beban ujian-Nya bagi para korban.

Bukan justru berusaha membuka medan perang baru (lebih tepatnya membuat teror-teror balasan di luar wilayah medan perang yang sebenarnya), yang diragukan bisa efektif untuk ikut mengurangi dan menghilangkan kezaliman itu sendiri.

Apakah jihad adalah sesuatu amalan 'pamungkas'? ataupun apakah 'mujahid' adalah gelar seumur hidup?.

Padahal nilai tiap umat manusia di hadapan Allah, pasti tetap hanya tergantung kepada jumlah 'seluruh' nilai amalannya sepanjang hidupnya di dunia.

Padahal berjihad hanya sesuatu amalan, yang bernilai amalan amat tinggi. Atas ijin-Nya, tiap mujahid memang bisa masuk Surga, hanya jika 'seluruh' nilai amal-keburukannya justru memang lebih sedikit daripada 'seluruh' amal-kebaikannya. Hal inipun hanya hak Allah Yang Maha mengetahuinya.

 

Tidak ada suatu alasan yang bisa dibenarkan, untuk menghadapi perang budaya dengan kekerasan, serta masih amat banyak cara lainnya yang jauh lebih baik untuk mengatasinya. Perang budaya (kezaliman secara batiniah) relatif amat ringan bebannya ataupun relatif amat mudah untuk bisa dihindari dan ditolak.

Walau tentunya perang jihad seperti: di Palestina, Bosnia, Moro, Afganistan, dsb, masih bisa dimaklumi. Namun hal inipun bukan sesuatu alasan untuk melebarkan peperangan ke daerah lainnya, yang relatif 'tidak ada kaitannya' sama sekali.

Suatu kezaliman juga tidak bisa dilawan dengan kezaliman baru. Kezaliman itu mestinya langsung dibalas, saat sedang dilakukan oleh musuh kaum Muslim atau saat kaum Muslim telah memiliki kemampuan untuk membalasnya (jelas pula sosok wujud musuh dan memang saling berhadapan).

Padahal ketika Nabi telah menang perang melawan kaum kafir Quraisy dan menguasai kembali kota Mekah, Nabi justru datang membawa ketentraman bagi masyarakat kota Mekah, yang saat sebelumnya telah menjadi musuh ataupun cuma pendukungnya.

Hampir seluruh umat Islam sama-sekali tidak ada yang menolak berjihad. Namun persoalannya, suatu pemahaman atas jihad yang 'sebenar-benarnya' justru perlu diketahui betul sebelumnya.

"Dan berjihadlah kamu di jalan-Nya, dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidaklah menjadikan untuk kamu dalam (ber)agama, sesuatu kesempitan, (yaitu) agama orang tuamu (nenek-moyangmu) Ibrahim. …." – (QS.22:78).

"Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu, agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad, dan bersabar di antara kamu. Dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu." – (QS.47:31).

"Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan (dengan) pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Rabb-mu, Dia-lah Yang lebih mengetahui, tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dia-lah Yang lebih mengetahui, siapa orang-orang yang mendapat petunjuk." – (QS.16:125).

Kembali kepada hikmah dan hakekat ajaran agama-Nya

Akhirnya, segala persoalan di kalangan umat Islam hanya bisa diatasi oleh umat Islam sendiri (khususnya oleh para alim-ulama, para pemuka agama dan para cendikiawan Muslim), dengan terus-menerus dan seluas-luasnya berusaha mengungkap segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), pada kandungan isi ajaran-ajaran agama Islam, khususnya kitab suci Al-Qur'an dan Hadits (Sunnah Nabi).

Selain itu, ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini), memang mustahil bisa tuntas diungkapkan sampai akhir jaman. Serta baru sebagian amat sedikit dari ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis yang berhasil diungkapkan oleh Nabi (melalui perantaraan malaikat Jibril), terutama atas hal-hal yang paling mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah), yang telah disampaikannya melalui Al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Sehingga pengungkapan segala Al-Hikmah menjadi kewajiban tanpa akhir bagi umat Islam sampai akhir jaman nantinya.

Sebagian dari ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis yang belum bisa terungkap pada jaman Nabi, misalnya segala bidang ilmu-pengetahuan lahiriah yang telah dikenal umat manusia pada saat ini. Dan tentunya, juga segala bidang ilmu-pengetahuan yang belumlah dikenal nantinya. Ilmu-pengetahuan yang dimaksudkan adalah ilmu-pengetahuan yang diungkapkan secara amat obyektif oleh manusia, sesuai dengan fakta-kenyataan-kebenaran di alam semesta, yang bersifat mutlak dan kekal.

Lalu berdasar segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah) yang bersifat 'universal', pada tiap perkembangan jamannya bisa disusun berbagai ijtihad oleh Majelis alim-ulama, sesuai dengan keadaan, kebutuhan, tantangan, dan persoalan kehidupan umat Islam khususnya dan seluruh umat manusia pada umumnya, bagi penerapan aplikatif-praktis dan aktual atas ajaran-ajaran agama-Nya.

Lihat pula pada Gambar 40 di atas.

Hal yang lebih penting lagi, agar segala aspek batiniah yang relatif amat sulit dipahami umat Islam umumnya, yang penafsirannya masih amat luas, memiliki pengaruh amat penting, serta menyangkut hajat sebagian besar umat, agar bisa ditafsirkan ke dalam fatwa, aturan perundang-undangan ataupun bahkan ke dalam peradilan agama, agar penerapannya bisa lebih jelas, baku dan seragam, namun juga harus tetap dilakukan secara amat arif dan bijaksana. Seperti halnya hakekat dari diturunkan-Nya agama Islam, sebagai agama-Nya yang lurus dan terakhir, dan sebagai suatu rahmat-Nya bagi seluruh alam semesta.

Seperti misalnya, belum ada pemahaman yang jelas, baku dan seragam di kalangan umat, tentang jihad, penerapan hukum-syariat, negara Islam dan masih banyak lagi lainnya. Walau justru bukan pada keseragaman itu sendiri yang mesti dikejar (sebagai sesuatu kekayaan rahmat-Nya, atas segala pemahaman umat yang berbeda-beda). Tetapi minimal, diharapkan agar seluruh kalangan umat Islam, makin lama juga makin banyak memiliki konsensus-kesepakatan bersama, dengan berbagai dalil-alasan yang makin jelas yang telah berhasil diungkap, tentang tiap aspek tertentu dalam sesuatu halnya. Sehingga kehidupan beragama umat tidak berjalan di tempat atau dibiarkan terus-menerus mengambang tidak jelas (hanya diserahkan kepada pemahaman umat), terutama atas hal-hal yang amat penting dan berpengaruh besar.

  

Sebelumnya

Daftar isi

Teratas

Berikutnya

 

Satu Balasan ke Bab VII.D Pemahaman atas agama dan kitab-Nya

  1. Ping balik: Manusia Dan Agama | saiful runardi

Buat komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.