Bab V.D Benda gaib

Buku: "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW"

Sebelumnya

Daftar isi

Terbawah

Berikutnya

  

"Kepunyaan Allah-lah, segala apa yang ada di langit dan di bumi.
Dan jika kamu melahirkan (mewujudkan),
apa yang ada di dalam hatimu. atau kamu menyembunyikannya.
Niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu,
tentang perbuatanmu itu.
Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya,
dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya.
Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu."
(QS. AL-BAQARAH:2:284).

"Sesungguhnya, orang-orang yang berdosa kekal (berada)
di dalam azab neraka Jahanam."
"Tidak diringankan azab itu dari mereka,
dan mereka di dalamnya berputus-asa."
"Dan tidaklah Kami menganiaya mereka,
tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri (ketika di dunia)."
(QS. AZ-ZUKHRUF:43:74-76).

 

V.D.

Benda Mati Gaib (termasuk Surga dan Neraka)

Sebagai infrastruktur batiniah dan alat interaksi antar ruh

Istilah atau terminologi "benda mati gaib" ini hampirlah tidak pernah dipakai atau dikenal secara umum. Pada dasarnya segala yang terdapat di dalam benak pikiran tiap manusia, bisa disebutkan sebagai "benda mati gaib", seperti: catatan amalan, memori-ingatan, intuisi-logika, ilmu-pengetahuan, pahala dan dosa, nafsu, hati-nurani, bahasa, perasaan (kecewa, gelisah, sedih, marah, nyeri, bimbang, ragu, takut, berani, senang, gembira, nyaman, cinta, rindu, bahagia), dsb.

Sekali lagi, "benda mati gaib" ini memang bukanlah termasuk jenis-jenis ciptaan-Nya yang berupa 'zat', tetapi justru berupa 'non-zat', namun di sini tetap dianggap sebagai sesuatu jenis ciptaan-Nya, yang melengkapi semua kombinasi jenis-jenis ciptaan-Nya. Tentunya pula, jenis-jenis ciptaan-Nya yang berupa 'non-zat', bukanlah hanya segala yang terdapat di dalam benak pikiran tiap ruh makhluk-Nya.

Berbagai pembahasan pada topik ini memang sengaja dipilih, hanya untuk membahas isi pikiran makhluk-Nya (terutama manusia), karena topiknya dianggap terlalu luas. Sedang 'non-zat' ciptaan-Nya lainnya, seperti misalnya: 'sunatullah' dan segala bentuk 'pengajaran dan tuntunan-Nya', sebagai bagian dari ketetapan-Nya, justru dibahas pada bab ataupun sub-bab yang terpisah, yang masing-masingnya juga relatif amat luas cakupannya. Walaupun pada dasarnya, keduanya juga termasuk "benda mati gaib".

"Benda mati gaib" inipun merupakan infrastruktur atau sarana batiniah pada tiap ruh, dengan kelengkapan yang relatif berbeda-beda pada tiap jenis ruhnya. Ruh manusia yang justru paling lengkap alat-sarananya, kemudian diikuti oleh ruh para makhluk gaib, sampai ruh sel yang relatif paling sederhana sarananya.

Pada ruh hewan ada pula sebagian dari infrastruktur batiniah, walaupun dalam bentuk yang lebih sederhana daripada ruh manusia. Di mana pada hewan, semuanya disebutkan ringkas sebagai 'insting' atau 'naluri'. Maka pada pemahaman di sini, tiap 'zat' ruh dianggap memiliki sifat dan kemampuan masing-masing yang berbeda-beda.

Namun ada pula pemahaman lain, yang beranggapan bahwa segala 'zat' ruh pada segala jenis makhluk-Nya pada dasarnya 'sama'. Hal yang menjadikan berbagai jenis makhluk-Nya bisa memiliki sifat yang berbeda-beda, justru hanya karena perbedaan segala alat-sarana pada tubuh wadahnya. Perbedaan tubuh wadah ini akhirnya membuat tiap zat ruh menjadi berbeda pula kemampuannya, dalam berkehendak dan berbuat (sesuai dengan kemampuan tubuh wadahnya).

Sehingga bagi pemahaman ini, justru ruh para makhluk gaib, ruh manusia, ruh hewan, ruh tumbuhan, dan segala ruh makhluk-Nya lainnya memiliki segala sifat dan kemampuan dasar yang sama pada 'zat' ruhnya. Hal yang berbeda justru hanyalah perwujudan 'lahiriah' dari segala kehendak 'batiniah' tiap ruhnya.

Interaksi lahiriah, hanya perwujudan dari interaksi batiniah

Seluruh atau sebagian dari "benda mati gaib" itulah yang justru dipakai sebagai alat-sarana pada proses berinteraksi di alam batiniah ruh, antar berbagai jenis zat makhluk, seperti: antar para makhluk gaib dan tiap manusianya; antar manusia dan hewan piaraannya; antar ibu dan anak bayinya (manusia dan manusia lainnya); dsb.

Adapun segala interaksi fisik-lahiriah hanya perwujudan dari segala interaksi batiniahnya tersebut. Lebih lanjutnya lagi, tubuh fisik hanya alat-sarana pemenuhan kebutuhan ruhnya, dan mengikuti segala kemauannya, pada aktifitas fisik tubuh secara eksternal dan internal. Tetapi tentunya, seringkali aktifitas fisik-lahiriah dari tiap zat makhluk terkadang ditanggapi keliru oleh makhluk lainnya (tidak sesuai dengan kehendak batiniah yang sebenarnya). 35)

Aktifitas internal tubuh relatif tidak terlihat prosesnya, karena hanya berupa impuls syaraf dan reaksi kimiawi di dalam tubuh, tetapi hasilnyapun bisa terlihat, misalnya: timbulnya berbagai penyakit fisik akibat berbagai masalah batiniahnya, termasuk pula penyembuhannya secara batiniah; keluarnya air-mata, jika sedih ataupun gembira; degup jantung yang makin kencang dan merah padamnya muka, jika marah; tenaga dalam; dsb.

Sedang aktifitas eksternal tubuh relatif amatlah mudah terlihat dari pergerakan otot-otot anggota badan (badan, tangan, kaki, kepala, jari, muka, dsb), setelah diperintahkan oleh pikiran manusianya. Dan segala aktifitas eksternal tubuh pada dasarnya segala aktifitas internal tubuh yang mengarah kepada pengendalian otot-otot.

Aktifitas eksternal tubuh umumnya diketahui memiliki urutan proses, dari pikiran sampai ke otot, yaitu: kehendak batiniah ruh pada pikiran, sirkulasi uap-uap etheral, otak, sistem syaraf, pembuluh atau arteri, vena, otot dan pergerakan anggota badan.

Proses interaksi batiniah, juga diatur dalam sunatullah

Sejalan dengan itu, segala proses interaksi pada alam batiniah ruh, termasuk hal yang telah diatur pula pada aturan-Nya (sunatullah). Secara sederhananya, interaksi batiniah pasti mengikuti rumus-rumus proses tertentu pula (atau populernya juga mengikuti hukum kausalitas sebab-akibat), bahkan termasuk proses batiniah pada orang gila, walau memang relatif sangat sulit untuk dijelaskan dengan logika akal biasa.

Contoh pada keadaan normal, misalnya: tiap manusia pastilah bersedih hati, jika ada anggota keluarganya yang meninggal dunia; cara pria dan wanita pastilah berbeda dalam mengungkapkan segala perasaannya; orang pastilah marah kalau dihina, tetapi tidak akan ada orang yang marah, tanpa sesuatu sebab sama-sekali; dsb.

Sebagai informasi batiniah ruh yang permanen

Lebih pentingnya lagi "benda mati gaib" itulah yang akan tetap terrekam dan terbawa dalam ruh manusia, ketika kembali ke hadapan-Nya di Hari Kiamat. Karena "benda mati gaib" adalah informasi yang justru tercatat atau tersimpan dalam ruh, sebagai gambaran dari segala keadaan batiniah ruh itu sendiri, yang sering disebutkan pula sebagai "catatan amalan" (memori-ingatan yang bersifat permanen, atas segala amal-perbuatan tiap manusianya selama hidupnya di dunia).

Segala informasi itupun tercatat pula pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya (lihat pula pada Tabel 17), maka mustahil bisa sengaja dibohongi ataupun dilupakan oleh manusia. Bahkan tidak bisa melalui cuci otak, yang merupakan usaha untuk mengabaikan dan melupakan sesuatu hal, dengan cara mendominasi isi memori-ingatan manusia dengan menanamkan berbagai hal tertentu, yang berlawanan dengan hal-hal lainnya yang tidak diharapkan untuk diingat lagi.

Ibaratnya, cuci otak itu hanyalah berupa suatu usaha untuk bisa mengacaukan data memori-ingatan 'sementara' pada otak. Sedangkan memori-ingatan 'permanen' pada zat ruh, tidaklah bisa diubah ataupun dihapus sama-sekali, tetapi justru hanya sekali tulis dan bisa ditambah saja. Memori permanen ini pasti sesuai dengan segala amal-perbuatan tiap manusianya tiap saatnya sepanjang hidupnya di dunia.

Bahkan para makhluk gaib justru pasti bisa mengetahui segala keadaan batiniah ruh tiap manusia (seperti: pengetahuan, pengalaman, pikiran dan perasaan, dsb). Hal inilah yang biasa dikenal oleh umat tentang keberadaan malaikat Rakid dan 'Atid, yang bertugas mencatat tiap amal-perbuatan baik dan buruk manusia. Kemudian para malaikat ini juga akan menunjukkan atau membukakan buku catatan amalan itu pada proses penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat (saat manusia mesti mempertanggung-jawabkan tiap amal-perbuatannya di kehidupan dunianya).

Hal ini telah pula menunjukkan sifat-sifat Allah, Yang Maha mengetahui, Maha mendengar atau Maha melihat. Tidak ada sesuatu halpun yang bisa disembunyikan oleh segala makhluk-Nya dari Allah, karena segala makhluk-Nya ataupun seluruh alam semesta dan segala isinya hanyalah milik Allah, Yang Maha pencipta dan Maha kuasa. 36)

Meliputi pula pahala, dosa dan hati-nurani

Di dalam uraian pada topik "Makhluk hidup nyata", tentang proses penciptaan Adam diperoleh kesimpulan, bahwa "alam akhirat adalah alam batiniah ruh manusia", sedang "Surga dan Neraka adalah keadaan-keadaan batiniah ruh". Adam terusir dari Surga, karena telah berbuat dosa pertamanya (ruhnya mengandung dosa). Serta akhirnya, alam akhirat itu (Surga dan Neraka) justru telah ada, sejak diciptakan-Nya tak-terhitung jumlah zat ruh pada awal penciptaan alam semesta.

'Pahala' dan 'beban dosa' pada dasarnya juga berada di dalam kelompok "benda mati gaib" itu (informasi keadaan batiniah tiap ruh manusia), karena tiap amal-perbuatan manusia pada akhirnya pastilah akan tercermin pula pada alam batiniah ruhnya, yang biasanya disebut sebagai 'pahala-Nya' dan 'beban dosanya' tersebut.

Begitu pula halnya 'hati-nurani', sebagai informasi tuntunan-Nya yang paling mendasar atas kebenaran-Nya, yang ditanamkan-Nya ke dalam kalbu tiap ruh manusia, ketika awal diciptakan-Nya zat ruh. Dari berusaha mengikuti segala pengajaran dan tuntunan-Nya dalam ajaran-ajaran agama-Nya, maka jumlah informasi pada hati-nurani itu makin bertambah pula, sepanjang hidup manusianya sendiri.

Dan tuntunan-Nya pada 'hati-nurani' ini amat penting bagi tiap manusia, dalam menjalani kehidupannya di dunia, agar ia mendapat keselamatan dan kemuliaan di kehidupan akhiratnya (atau kehidupan batiniah ruhnya), yang juga tetap kekal setelah Hari Kiamat.

Surga dan Neraka, rangkuman informasi batiniah ruh

Surga dan neraka adalah 'nilai rangkuman' dari suatu statistik tertentu atas segala informasi keadaan batiniah ruh tiap manusia (yang berupa pahala dan beban dosa), yang menunjukkan kinerja utamanya sebagai khalifah-Nya. Rangkuman itu yang akan disusun-Nya dengan sangat obyektif dan adil pada Hari Penghisaban (atau Hari Kiamat).

Tentunya rangkuman itu hanya menurut ukuran dan penilaian-Nya (biasanya disebut telah disempurnakan-Nya), dan bukan menurut segala ukuran dan penilaian 'relatif' manusia.

Disebut 'disempurnakan-Nya', karena justru tidak ada seorang manusiapun (termasuk para nabi-Nya), yang bisa mengetahui dengan sangat pasti dan jelas, pengaruh dari tiap amal-perbuatannya bagi alam batiniah ruhnya (alam akhiratnya). Begitu pula manusia relatif sangat sulit bisa mengetahui alam batiniah ruh orang-lainnya. Segala ukuran dan penilaian manusia pastilah tetap bersifat 'relatif'.

Apalagi manusia mustahil bisa jelas mengetahui nilai pengaruh tiap amalan itu, menurut ukuran dan penilaian-Nya (nilai amalan yang sebenarnya), termasuk pula bagi tiap amalan yang hanya sebesar "biji zarrah" (atau amat sangat sederhana), yang juga pasti memiliki nilai di mata Allah.

Baca pula topik "Usaha dan jalan hidup makhluk ciptaan-Nya", tentang makna absolut tiap usaha manusia, yang hanya sebesar biji zarrah sekalipun, atau nilai amalan yang absolut menurut penilaian Allah. Serta uraian di bawah, tentang definisi Surga dan Neraka.

Nilai hasil rangkuman itu sering pula dikenal sebagai 'tingkat keimanan', tentunya dalam hal ini telah berupa tingkat keimanan yang sebenarnya menurut Allah (bukanlah menurut penilaian subyektif dan relatif oleh manusia). Pada Hari Kiamat itu, tiap manusia yang berada di atas batas tingkat keimanan tertentu, dengan atas ijin-Nya, maka ia akan bisa tinggal kekal di Surga (mendapat segala jenis kemuliaan), dan jika sebaliknya, ia akan bisa tinggal di Neraka (mendapat segala jenis kehinaan).

Mengukur tingkat keimanan dan penemuan jati diri

Tetapi dalam kehidupannya di dunia ini, tiap manusia bisa pula berusaha memakai segala pengetahuannya, untuk menghitung-hitung 'perkiraan' tingkat keimanannya. Hal ini hanyalah bisa dilakukan oleh manusianya sendiri, karena hanya ia sendiri yang paling mengetahui segala keadaan batiniah ruhnya. Namun demikian haruslah diusahakan pula secara maksimal, agar tetap bisa seobyektif mungkin.

Perkiraan itu dilakukan melalui segala usaha perenungan atau bertafakur, agar tiap manusia bisa makin mengenal jati-dirinya yang sebenarnya, ataupun bisa mengingat-ingat tiap pikiran, perkataan dan perbuatannya selama hidupnya, kemudian dikaitkan dengan berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya (dari hati-nurani, kitab-Nya, para nabi-Nya, para alim-ulama, dsb), yang telah ataupun belum diikutinya.

Dari hasil usaha berintrospeksi seperti itu, tiap umat manusia bisa memahami berbagai kelebihan, sekaligus kekurangannya masing-masing. Keberhasilan di kehidupan dunia ini pada dasarnya bukanlah diukur dari segala 'hasil' lahiriah ataupun batiniahnya. Serta bukanlah diukur dari kesempurnaan yang dimiliki tiap umat, di dalam menjalani hidupnya, karena memang relatif amatlah sangat jarang ada manusia yang sempuna, seperti halnya para nabi-Nya.

Keberhasilan hidup semestinya justru diukur dari tiap 'proses perjuangannya', ketika berusaha memperbaiki diri dan keimanannya. Bahkan usaha ini mesti terus menerus dilakukan sepanjang hidupnya, karena sampai akhir hidupnya, memang tidak ada seorang manusiapun yang bisa mengetahui keadaannya yang sebenarnya di mata Allah.

Hasil dari berintrospeksi itu justru bukan suatu hal yang perlu diungkapkan, ataupun disampaikan kepada orang-lainnya, tetapi justru hanyalah diperlukan dan disimpan oleh tiap umat manusia itu sendiri, agar iapun memiliki berbagai informasi yang lebih jelas, dalam rangka berusaha memperbaiki berbagai keadaan batiniah ruhnya selanjutnya.

Usaha pengenalan jati-diri oleh tiap manusia (introspeksi) yang dilakukan relatif amat mendalam, justru akan cenderung berupa suatu tafakur, yang akan bisa mengarahkannya secara tidak langsung kepada pemahaman tentang hakekat dari wujud Zat Allah (sifat-sifat Allah), Yang telah menciptakannya. Karena dari berintrospeksi, tiap manusia akan bisa semakin memahami tujuan hidupnya, dan tujuan diciptakan-Nya kehidupan seluruh umat manusia, bahkan tujuan diciptakan-Nya seluruh alam semesta, serta memahami bagaimana Allah berkehendak dan bertindak.di alam semesta ini.

Pembentukan berbagai akhlak positif, dan hikmahnya

Dari segala usaha berintrospeksi itu justru diharapkan pula bisa diperoleh berbagai hikmah dan hidayah-Nya, yang bisa menimbulkan kesadaran atau makna baru bagi kehidupan umat manusia, khususnya kesadaran untuk bisa menata kehidupan akhiratnya, secara relatif lebih terarah (membangun 'surga-surga kecil' di alam batiniah ruhnya).

Sehingga hasil penghitungan perkiraan tingkat keimanan oleh tiap manusianya sendiri di atas, juga bisa menjadi alat pengevaluasian diri, lalu bisa memperbaiki berbagai keadaan batiniah ruhnya, melalui usaha-usaha pembentukan budi pekerti, akhlak dan kebiasaan positif.

Akhlak ini justru amat penting, sehingga disebut "bahwa nabi Muhammad saw diutus-Nya, agar bisa menyempurnakan akhlak umat manusia". Segala amal-ibadah yang dianjurkan dalam ajaran agama-Nya, pada dasarnya justru bertujuan akhir untuk membentuk berbagai budi pekerti, akhlak dan kebiasaan positif, yang justru berupa berbagai usaha pembangunan kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh).

Hal itu justru bukan semata hanya sesuatu pelaksanaan ritual ibadah atau hukum syariat, karena akhlak adalah puncak perwujudan dari keimanan tiap manusia, dengan ataupun tanpa pemahaman yang mendalam sebelumnya atas ajaran-ajaran agama-Nya. Tentunya segala akhlak yang disertai pemahaman yang makin mendalam mestinya jauh lebih baik lagi (atau tingkat keimanan batiniahnya makin tinggi).

Dengan usaha yang terus-menerus dan relatif amat konsisten sepanjang hidupnya, selain diharapkan mendapat 'surga besar' di Hari Kiamat, tiap manusia justru bisa langsung merasakan nikmat 'surga-surga kecil'-nya yang hakiki di kehidupan dunia ini, daripada segala nikmat duniawi yang fana, amat semu dan mudah menyesatkan.

Misalnya tiap manusia bisa merasakan nikmat jika menerapkan akhlak, seperti ketika: mengingat Allah; tidak berbohong; menyayangi sesamanya; membersihkan dirinya dan lingkungannya; menahan hawa nafsu; beramar ma'ruf nahi munkar; tidak riya; berrendah diri ataupun tidak sombong; bersalaman dan menyapa dengan do'a; bersedekah ataupun menolong orang-lainnya; dsb. Dan tentunya dari akhlak yang relatif amat ringan untuk dilakukan, sampai yang relatif amat berat.

Juga bagi tiap manusia yang telah bisa memahami kehidupan akhirat, tiap cobaan atau ujian-Nya bahkan bisa dirasakannya sebagai rahmat dan pengajaran-Nya, karena iapun telah berhasil memperoleh berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, tentang berbagai bentuk cobaan atau ujian-Nya.

Surga dan Neraka, definisi dan catatan ringkas

Definisi dan catatan-catatan ringkas tentang Surga dan Neraka diungkapkan sebagai berikut:

Definisi umum dan khusus tentang Surga dan Neraka

Surga ('keadaan' kemuliaan di alam akhirat dan gaib) 37)

»

Definisi atau pengertian umum ("Surga besar"):

Surga adalah keadaan batiniah ruh setiap makhluk yang secara 'umum' relatif bersih dari dosa. Hal ini khususnya terjadi ketika awal penciptaan segala zat ruh makhluk (awal penciptaan alam semesta), yang semuanya dalam keadaan masih suci-murni dan bersih dari dosa. Khusus pada manusia misalnya, hal inipun berlaku sampai sebelum usia akil-baliqnya, serta keadaannya di Hari Kiamat setelah dibersihkan-Nya dari dosa-dosanya, karena masih bisa dimaafkan-Nya ataupun berbagai taubatnya telah bisa diterima atau dikabulkan-Nya.

Dan Surga secara 'umum' inipun biasa disebut pula pada buku ini sebagai "Surga besar", sedangkan biasa disebut dalam Al-Qur'an, sebagai "pahala, rahmat, karunia, kemenangan atau kenikmatan yang besar", "keuntungan yang terbesar", "balasan yang berlipat-ganda", dsb, yang pasti diberikan-Nya bagi orang-orang yang beriman di Hari Kiamat.

Definisi atau pengertian khusus ("Surga kecil"):

Surga pada hakekat atau pengertiannya yang sebenarnya justru berupa 'setiap' keadaan batiniah ruh atau perasaan, seperti: mulia, suci, senang, bahagia, berharga, terarah, percaya diri atau yakin, bangga, dsb, dari hasil setiap kebaikan manusianya sendiri selama di kehidupan dunia, yang biasa disebut sebagai "pahala atau nikmat-Nya" (bersifat batiniah) dan pada buku ini juga biasa disebut sebagai "Surga kecil". Hal ini tentunya berbeda daripada setiap perasaan dari segala nikmat lahiriah-duniawi.

Catatan tambahan:

Dalam ajaran agama Islam, anak yang belum akil-baliq, dan orang yang gila (hilang ingatan) sejak lahir, lalu meninggal dunia dalam keadaannya itu, atas ijin-Nya, termasuk orang-orang yang telah dijamin-Nya bisa masuk surga, karena segala keadaan ruh mereka juga relatif masih tetap sangat suci-murni dan bersih dari dosa, seperti keadaannya semula pada saat dilahirkan.

Bahkan belum ada tindakan-tindakan mereka yang perlu dipertanggung-jawabkan (belum ada kesadaran atau pengetahuan yang mendasari segala tindakan mereka itu). Ringkasnya, relatif belum ada hal-hal yang telah bisa mengubah berbagai keadaan batiniah ruh mereka, yang terkait dengan nilai segala amalannya.

Juga setiap perbuatan dosa dari seseorang manusia, yang dilakukan sebelum ia benar-benar telah mendapatkan pengajaran dan tuntunan-Nya, serta tidak melampaui batas, maka atas ijin-Nya, perbuatan itu bisa dimaafkan-Nya dosanya. Hal-hal seperti ini biasanya pada berbagai perbuatan dosa tertentu, yang terjadi sebelum ada hukum-hukum syariat yang terkait.

Neraka ('keadaan' kehinaan di alam akhirat dan gaib) 38)

»

Definisi atau pengertian umum ("Neraka besar"):

Neraka adalah keadaan batiniah ruh setiap makhluk yang secara 'umum' relatif banyak mengandung dosa, terutama segala keadaannya di Hari Kiamat ataupun saat ajalnya, yang telah sulit bisa dibersihkan atau dimaafkan-Nya atas berbagai dosa tertentu, serta berbagai taubatnya sulit bisa diterima atau dikabulkan-Nya.

Dan Neraka secara 'umum' ini biasa pula disebut pada buku ini sebagai "Neraka besar", sedangkan biasa disebut dalam Al-Qur'an, sebagai "kehinaan, azab atau api yang besar", "azab atau siksaan yang berlipat-ganda", dsb, yang pasti diberikan-Nya bagi orang-orang yang tidak beriman di Hari Kiamat.

Definisi atau pengertian khusus ("Neraka kecil"):

Neraka pada hakekat atau pengertiannya yang sebenarnya justru berupa 'setiap' keadaan batiniah ruh atau perasaan, seperti: hina, kotor, sedih, sengsara, sia-sia, tersesat, putus-asa atau ragu, sesal atau kecewa, dsb, dari hasil setiap keburukan manusianya sendiri selama di kehidupan dunianya, yang biasa disebut sebagai "beban dosa atau siksaan-Nya" (bersifat batiniah) dan pada buku ini juga biasa disebut sebagai "Neraka kecil". Hal ini tentunya berbeda daripada setiap perasaan dari segala siksaan lahiriah.

Catatan tambahan:

Dalam Al-Qur'an sangat banyak disebut berbagai bentuk perbuatan dosa, seperti misalnya: kemusyrikan (menyekutukan Allah); kemungkaran (berbuat keburukan); kekafiran (melanggar perintah-Nya); kemunafikan (berpaling dari kebenaran-Nya); kezaliman (menganiaya zat ciptaan-Nya secara melampaui batas, seperti: diri sendiri, orang-lain, alam, dsb); fitnah dan kefasikan (berkata tidak benar); kesombongan (merasa lebih baik daripada orang-lainnya); riya (senang dipuji orang-lain); pencurian dan keserakahan (mengambil hak-milik orang-lainnya dan kemudian menganggapnya sebagai hak-miliknya sendiri); dsb.

Dan berbagai perbuatan dosa itu juga memiliki berbagai tingkatan, ada yang masih mungkin dimaafkan-Nya (dosa-dosa kecil), ada pula yang sangat sulit (dosa-dosa besar). Namun dosa kecil itupun bisa pula menjadi dosa besar, jika dilakukan terus-menerus dengan penuh kesadaran (kesengajaan), dan juga tanpa dasar alasan yang bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya.

Pada umumnya dosa-dosa besar itu didasari oleh berbagai pikiran atau tindakan yang melampaui batas (atau hal-hal yang serba 'terlalu'), dan tanpa suatu dasar alasan pembenaran. Secara umum hal-hal seperti itupun paling sering didasari oleh kecintaan yang relatif sangat berlebihan atas kenikmatan duniawi (seperti harta, tahta dan wanita).

 

Lebih jelas lagi, "Surga besar" merupakan suatu 'rangkuman' akhir keadaan batiniah ruh setiap makhluk, berdasar hasil jumlah nilai segala pahala-Nya dan beban dosa, yang berjumlah 'positif' (segala nilai amal-kebaikan masih 'lebih banyak' daripada segala nilai amal-keburukannya), atau biasa diringkas sebagai "nilai amal-kebaikannya 'positif'". Rangkuman inipun justru terkait dengan kejadian dihitung, dijumlah, ditimbang atau dihisab-Nya atas segala amal-perbuatannya di Hari Kiamat, yang juga sebelumnya segala pahala-Nya dan beban dosanyapun telah disempurnakan-Nya (dilipat-gandakan-Nya segala pahala-Nya dan beban dosanya, yang amat sangat kecil atau sederhana sekalipun). Hal yang sebaliknya juatru pada "Neraka besar", karena nilai amal-kebaikannya justru 'negatif' (segala nilai amal-kebaikannya 'lebih sedikit' daripada segala nilai amal-keburukannya).

Dengan kata lain "Surga besar" pada dasarnya 'serupa' dengan "Neraka besar", yaitu terdiri dari tak-terhitung jumlah "Surga kecil" (pahala-Nya) dan tak-terhitung jumlah "neraka kecil" (beban dosa), sebagai hasil dari segala amal-perbuatan setiap manusianya sepanjang hidupnya di dunia ini, sedangkan ia pada dasarnya relatif pasti pernah berbuat kebaikan dan keburukan, yang sekecil apapun bentuknya.

Namun pada "Surga besar" jumlah nilai segala "Surga kecil" menurut penilaian Allah, 'lebih banyak' daripada jumlah nilai segala "Neraka kecil" (nilai amal-kebaikannya 'positif' atau timbangan amal-kebaikannya 'lebih berat'). Hal yang sebaliknya pada "Neraka besar".

Dari bentuknya yang berupa sesuatu 'rangkuman' dan bersifat 'umum', maka "Surga besar" dan "Neraka besar" pada dasarnya suatu perumpamaan 'simbolik' (bukan fakta-kenyataan yang sebenarnya), terutama karena segala keadaan batiniah ruh setiap manusia memang mustahil bisa diwakili hanya oleh suatu keadaan atau istilah saja. Baca pula uraian pada tabel di atas, tentang pengertian Surga dan Neraka yang sebenarnya ("surga kecil" dan "neraka kecil").

Di samping itu, jumlah "Surga besar" dan "Neraka besar" pada dasarnya justru amat sangat banyak (bahkan sesuai jumlah manusia), karena setiap manusia memang memiliki segala keadaan batiniah ruh yang relatif amat berbeda-beda dibanding manusia lainnya. Sehingga berbagai nama sebutan bagi Surga dan Neraka yang disebut dalam Al-Qur'an dan Hadits, pada dasarnya juga suatu perumpamaan 'simbolik', untuk menggambarkan keadaan secara 'umum' di Surga dan Neraka.

Amat penting pula diketahui, bahwa "Surga kecil" (pahala atau nikmat-Nya) dan "Neraka kecil" (beban dosa atau siksaan-Nya) justru bisa langsung dirasakan secara batiniah di kehidupan dunia ini, pada saat 'sedang ataupun setelah' suatu amal-perbuatan dilakukan. Walau setiap manusianya memang relatif berbeda-beda penilaiannya (bersifat relatif dan subyektif), tentang kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya), atau bahkan justru belum bisa memahaminya, khususnya karena relatif terlalu disibukkan oleh kehidupan dunianya.

Namun di Hari Kiamat, keseluruhan "Surga kecil" (pahala atau nikmat-Nya) dan "Neraka kecil" (beban dosa atau siksaan-Nya) pasti akan disempurnakan-Nya atau dilipat-gandakan-Nya, serta pasti terasa lebih jelas dan nyata bagi setiap manusia yang mendapatkannya. Hal ini lebih khususnya karena sejak Hari Kiamat, setiap manusia memang berada pada kehidupan akhiratnya yang sebenarnya (tidak bercampur lagi dengan segala kehidupan fisik-lahiriah-dunianya).

Dengan relatif jelas telah diuraikan di atas, bahwa Surga dan Neraka justru bukan suatu nama tempat pada kehidupan fisik-lahiriah-dunia setelah Hari Kiamat, karena kehidupan umat manusia saat itu memang bukan kehidupan fisik-lahiriah-dunia yang serupa kehidupan dunia saat ini, tetapi justru berupa kehidupan batiniah ruhnya masing-masing (kehidupan akhiratnya).

Sehingga istilah-istilah seperti "berada di …", "tinggal di …", "hidup di …", "kekal di …", "penghuni …", dsb, yang biasa terkait dengan Surga dan Neraka, pada dasarnya bermakna seperti "makhluk terkait yang mendapatkannya 'berada' pada sesuatu keadaan batiniah yang mulia (dimuliakan-Nya) dan yang hina (dihinakan-Nya), masing-masing dari hasil setiap amal-kebaikan dan keburukannya di dunia".

Dan sekali lagi, tentunya setiap nikmat-kemuliaan dan siksaan-kehinaan di Hari Kiamat, bukan diberikan-Nya secara lahiriah, tetapi justru secara batiniah. Segala nikmat dan siksaan batiniah juga bersifat kekal dan adil, serta jauh lebih sempurna daripada segala nikmat dan siksaan lahiriah. Juga proses pemberiannya justru berlangsung sangat alamiah, persis seperti halnya proses serupa selama di dunia ini.

Lebih jelasnya, proses pemberiannya setiap nikmat dan siksaan batiniah berlangsung selama proses berpikir setiap manusia selama di dunia ataupun di Hari Kiamat, pada saat manusianya mengingat!ingat setiap amal-perbuatannya sendiri, yang baik ataupun yang buruk (juga diingat!ingatkan oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, yang membuka, membacakan atau memberitakan isi catatan amalan setiap manusia). Sehingga setiap manusia justru setiap saatnya bisa berpindah-pindah antar "Surga kecil" (pahala atau nikmat-Nya) ataupun "Neraka kecil" (beban dosa atau siksaan-Nya), yang telah diperolehnya di dunia.

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang berbagai pertanyaan ataupun permasalahan yang terkait dengan Neraka dan Surga. Serta tentang wujud kehidupan manusia setelah Hari Kiamat.

Harta, tahta dan wanita, sebagai ilah-ilah selain Allah

Hal-hal yang melampaui batas yang telah dilakukan manusia, hampirlah pasti bisa melalaikan dirinya sendiri, keluarganya, tugasnya sebagai khalifah-Nya, bahkan juga bisa melalaikan Allah, Yang telah menciptakannya. Dalam Al-Qur'an disebut, kecintaan yang berlebihan kepada harta, tahta dan wanita, bahkan juga dianggap sesuatu bentuk kemusyrikan, karena hal-hal itu memang bisa dianggap sebagai ilah-ilah selain Allah.

Sehingga ilah-ilah selain Allah itu tidak hanya berupa patung, berhala, benda keramat, orang atau makhluk-Nya yang dianggap suci, dsb, yang jelas-jelas memang tampak disembah secara lahiriah. Tetapi manusia bahkan bisa 'menyembah' harta, tahta dan wanita misalnya, secara batiniah.

Hakekat kedua bentuk penyembahan itupun juga serupa, setiap manusia justru bisa menghabiskan relatif sangat banyak waktu, tenaga dan pikirannya kepada ilah-ilah itu, bahkan sampai berakibat relatif sangat melupakan Allah, Yang telah menciptakannya.

Juga setiap manusia telah menjadikan ilah-ilah selain Allah itu, sebagai penuntun yang mengatur kehidupannya (secara sadar ataupun tidak), dan bukanlah Allah semata, Yang Maha Esa dan Maha kuasa.

"Maka pernahkah kamu melihat, seseorang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya, dan lalu Allah membiarkannya tersesat berdasarkan ilmu-Nya, dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya, dan meletakkan tutupan pada penglihatannya. Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk, setelah Allah (membiarkannya tersesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran." – (QS.45:23).

"Dan Kami tidaklah menganiaya mereka itu, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. Karena itu tiadalah bermanfaat sedikitpun bagi mereka, sembahan-sembahan yang mereka seru selain Allah itu, di waktu azab Rabb-mu datang. Dan sembahan-sembahan itu tidaklah menambah kepada mereka, kecuali kebinasaan belaka." – (QS.11:101).

Dosa-dosa besar, yang sulit dihapus

Dosa-dosa besar yang relatif sulit dihapuskan dosanya, seperti: menyekutukan Allah (kemusyrikan); durhaka kepada kedua orang tua; memakan harta anak yatim; memfitnah wanita baik-baik telah berzina; membunuh jiwa, tanpa dasar alasan yang bisa dibenarkan; melarikan diri dari berperang membela agama Allah (berjihad); dsb.

Pada setiap manusia yang telah melakukan dosa-dosa besar itu, tertanam keadaan batiniah tertentu (kotoran batin) yang justru cukup mendasar pada kalbu ruhnya, yang relatif sulit untuk diperbaiki atau dihapuskan. Ia telah buta, bisu, tuli atau pekak mata batiniah ruhnya atas berbagai kebenaran-Nya (telah relatif jauh tersesatkan), sehingga ruhnya pasti akan terus mengingat atau dihantui oleh dosa-dosanya.

Dan selanjutnya juga relatif sulit baginya untuk bisa bertaubat, apalagi untuk bisa meningkatkan keimanannya. Bahkan hal sebaliknya ia cenderung akan mengulang-ulang kembali berbuat dosa-dosa serupa itu, ataupun melahirkan dosa-dosa jenis lainnya.

Contoh sederhananya, suatu kebohongan sekecil apapun yang sengaja dilakukan, justru cenderung melahirkan berbagai kebohongan lainnya, bahkan dosa-dosa jenis lainnya. Tentunya kebohongan yang umumnya dilakukan oleh para wanita untuk menjaga kehormatannya misalnya, bukanlah termasuk sesuatu dosa.

"Mereka tuli, bisu, dan buta (mata hatinya), maka tidaklah mereka akan bisa kembali (ke jalan-Nya yang benar)," – (QS.2:18).

"Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tidak ada orang (suatu) yang bisa memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatannya." – (QS.7:186).

Menghindari dosa besar dan mengurangi dosa kecil

Secara manusiawi, keadaan batiniah ruhnya yang bisa benar-benar bersih dari dosa, adalah hal yang hampir mustahil bisa dicapai oleh setiap manusia, khususnya setelah dewasa atau berusia akil-baliq, karena hampir tidak ada manusia dewasa yang terhindar dari berbuat dosa, yang sekecil atau sesederhana apapun bentuknya.

Lebih memungkinkan bagi setiap manusia, untuk bisa sejauh mungkin berusaha menghindari dosa-dosa besar, apalagi yang paling dilaknat-Nya, ataupun tidak akan bisa dimaafkan-Nya. Juga banyak mengurangi ataupun tidak terus-menerus melakukan dosa-dosa kecil, secara disengaja dan tanpa dasar alasan pembenaran, sehingga relatif selalu terbuka pintu maaf atau taubat-Nya, atas dosa-dosanya itu. 39)

Metode-metode untuk makin membersihkan ruh

Dalam ajaran agama-Nya diajarkan berbagai macam cara, agar bisa dicapai keadaan batiniah ruh yang lebih bersih, ataupun agar bisa mencegah berbagai perbuatan dosa, antara-lain:

a. Sebanyak mungkin bertafakur.
b. Banyak beribadah dan menyembah Allah.
c. Banyak berzikir (mengingat Allah).
d. Terbiasa berbuat dan berakhlak positif.
e. Terbiasa berkumpul dengan orang-orang seiman.
f. Makin memperdalam ilmu-pengetahuan.
g. Banyak mengingat kematian.
h. Urusan duniawi melihat ke bawah, akhirat ke atas.
i. Banyak bertaubat atas berbagai amal-keburukan.

 

Uraian-uraian selengkapnya, yaitu:

Tabel 9: Metode-metode untuk membersihkan ruh

Berbagai metode atau cara, untuk membersihkan ruh

a.

Sebanyak mungkin bertafakur.

»

Sebanyak mungkin bertafakur (berusaha mencari atau menyusun pemahaman tentang setiap kebenaran-Nya).

Bertafakur adalah usaha batiniah dengan cara melakukan pengembaraan kesadaran akal-pikiran, agar bisa lebih memahami tentang setiap kebenaran-Nya, sehingga bisa makin terbuka dan terungkap dengan makin luas, atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), misalnya: hakekat wujud zat Allah (sifat-sifat Allah); hakekat dan tujuan penciptaan seluruh alam semesta dan segala isinya ini; hakekat semua zat ciptaan-Nya; hakekat kehidupan manusia itu sendiri; dsb.

Termasuk bertafakur agar makin dipahami alam batiniah ruh manusia (alam akhirat), yang akan tetap kekal setelah selesai kehidupan dunia fana ini. Serta agar setiap umat manusianya bisa makin membersihkan keadaan batiniah ruhnya sendiri.

Pada jaman para nabi-Nya dahulunya, khususnya dalam usaha bertafakur atas hal-hal yang sangat serius dan mendalam, biasanya dilakukan dengan cara mengasingkan diri (atau 'uzlah) untuk sementara waktu, dari keramaian kehidupan umat manusia dan segala persoalannya, agar makin bisa dicapai pula pemikiran yang jauh lebih jernih ataupun terkonsentrasi. Seperti misalnya dengan pergi bertafakur ke tempat-tempat terpencil, ke gua-gua, ke puncak gunung; dsb.

Misalnya nabi Muhammad saw sering pergi ke gua Hira; nabi Musa as sering pergi ke puncak gunung Sinai; dan hal-hal yang serupa pula para nabi-Nya lainnya.

Hal ini bisa mudah dipahami, karena pada jaman dahulu budaya tulis-menulis belum cukup canggih, seperti halnya pada jaman komputer sekarang ini, sehingga hampirlah sebagian besar pengetahuan tentang segala sesuatu hal, hanyalah bisa bertumpuk ataupun tersimpan dalam pikiran saja. Pada akhirnya untuk bisa mengingat kembali sesuatu halnya secara utuh, diperlukan waktu yang relatif sangat lama untuk bisa berkonsentrasi.

Baca pula topik "Pengajaran dan tuntunan-Nya", tentang Wahyu-Nya sebagai pengetahuan dan pemahaman para nabi-Nya atas berbagai tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Namun bertafakur sangatlah berbeda daripada melamun, karena saat bertafakur justru sangat diperlukan kesadaran penuh, berdasar setiap pengetahuan atau pemahaman yang telah dimiliki atas berbagai kebenaran-Nya. Sedangkan melamun adalah suatu pengembaraan pikiran tanpa arah dan tujuan, terutama berdasar keinginan ataupun angan kesenangan lahiriah-duniawi.

Juga 'uzlah itu justru bukan tujuan akhir, karena setelah relatif jelas dipahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), para nabi-Nya justru kembali ke lingkungan kaumnya, untuk memberi pengajaran dan tuntunan-Nya. Dan ada pula sebagian dari para nabi-Nya yang menyusun kitab tuntunan yang lengkap bagi kehidupan umat manusia (kitab-kitab tauhid), dari berbagai pemahamannya itu.

Pada akhirnya keberadaan kitab-kitab tauhid itupun telah sangat memudahkan pencapaian pengetahuan atau pemahaman atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), bagi seluruh umat manusia lainnya. Tetapi lebih pentingnya lagi, pemahaman semestinya disertai dengan pengamalannya (seperti budi pekerti, suri-teladan, akhlak dan kebiasaan positif para nabi-Nya), agar tidak menjadi sesuatu bentuk kemunafikan (berbeda antara pikiran-kesadaran, perkataan dan perbuatannya).

Tentu saja cara bertafakur bagi umat saat ini, tidak terlalu perlu lagi ber-'uzlah seperti pada para nabi-Nya, selain karena pemahamannya telah relatif dipermudah melalui adanya wahyu-wahyu-Nya dalam Al-Qur'an, juga isi pemikiran bisa ditampung pada komputer dan buku, sehingga makin mudah mengingatnya. Usaha bertafakur saat ini, bahkan bisa dilakukan sambil berdiri, duduk dan berbaring (hampir kapanpun dan dimanapun).

"(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): 'Ya Rabb-kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan neraka." – (QS.3:191).

 

Setelah bisa diketahui sangat pentingnya usaha bertafakur itu, lalu mungkin timbul pertanyaan, seperti "bagaimana berbagai pengetahuan atau pemahaman tentang berbagai kebenaran-Nya dari hasil usaha bertafakur, justru bisa mensucikan ruh?".

Telah diketahui, pada zat ruh setiap manusia ada terdapat 'hati nurani', yang menjadi cahaya penuntun bagi segala langkah manusianya di dalam kehidupannya sehari-harinya. Karena pada 'hati nurani' itu terdapat segala informasi 'kebenaran' yang telah dipahami oleh manusianya, walau 'kebenaran' ini memang juga bersifat sangat relatif dan subyektif menurut manusianya sendiri. Dan tentunya segala informasi 'kebenaran' pada hati nurani itu juga pasti hanya dibangun dan disusun oleh manusianya sendiri, dari mempelajari segala pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah disampaikan oleh para nabi-Nya, juga dari mempelajari langsung tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini.

Melalui pengetahuan atau pemahaman baru tentang setiap kebenaran-Nya dari hasil bertafakur, semestinya menambah dan memperbaiki segala informasi pada hati nurani menjadi semakin obyektif, sempurna atau semakin benar, bahkan paling idealnya diharapkan bisa mendekati tingkat pemahamannya Nabi. Sedang usaha menyempurnakan isi hati nurani dan juga pemanfaatannya secara maksimal, pada dasarnya usaha untuk "mensucikan ruh".

b.

Banyak beribadah dan menyembah Allah.

»

Sebanyak mungkin beribadah dan menyembah Allah.

Minimalnya melaksanakan segala amal-ibadah yang diwajibkan dalam ajaran agama-Nya, agar bisa terbentuk sesuatu 'disiplin' pribadi untuk bisa selalu mengingat-Nya, serta mengingat makna dan tujuan dari diciptakan-Nya kehidupan manusia itu sendiri.

Lebih lanjutnya, juga sangat diharapkan agar setiap amal-perbuatan sehari-hari bisa diwarnai oleh pemahaman atas makna kehidupan itu sendiri, serta agar bisa mengisi kehidupan dunia dengan berbuat segala amal-kebaikan, sebagai bentuk keredhaan-Nya demi keselamatan dan kemuliaan setiap manusianya sendiri.

Pada akhirnya, segala amal-ibadah itu sangat diharapkan bisa pula bermuara kepada 'bertafakur' (ruh segala amal-ibadah adalah 'tafakur'), dengan pemicu awalnya adalah bacaan-bacaan ayat Al-Qur'an pada saat beribadah. Sehingga diharapkan makin terungkap luas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), di balik ayat-ayat itu.

Hal ini juga bisa mencegah tindakan beramal-ibadah itu hanyalah dianggap sebagai ritual rutin semata-mata, yang cukup membosankan, karena bertafakur itulah perwujudan kekhusu'an yang sebenarnya dalam beramal-ibadah. Serta setiap amal-ibadah semestinya tidak dilakukan tanpa sesuatu kesadaran sama sekali.

c.

Banyak berzikir (mengingat Allah).

»

Sebanyak mungkin berzikir (atau mengingat Allah), dimanapun dan kapanpun berada, agar setiap amal-perbuatan bisa jauh lebih terjaga dan tidak dilakukan secara melampaui batas, khususnya dari segala godaan nikmat kehidupan duniawi yang fana, sangat semu dan mudah menyesatkan (seperti: harta, tahta dan wanita).

Selain itu, berzikir adalah alat-sarana agar setiap manusia makin lebih terpancing, untuk mengenal hakekat wujud zat Allah (sifat-sifat Allah), Yang menciptakan seluruh alam semesta dan kehidupan manusia di dalamnya, khususnya dengan memahami sifat-sifat-Nya yang tergambar pada berbagai nama terbaik Allah (Asmaul Husna). Dengan begitu, setiap manusia diharapkan bisa menemukan makna kehidupan yang lebih hakiki.

Pengenalan atas wujud zat Allah ini juga termasuk suatu tafakur. Namun bukanlah 'jumlah' bacaan zikir yang terpenting, melainkan justru pada pencapaian pemahaman atas 'kandungan isi' bacaannya. 4)

Baca pula topik "Hakekat penciptaan alam semesta", dan topik "Sifat-sifat ciptaan-Nya", tentang Asmaul Husna atau sifat-sifat-Nya.

d.

Terbiasa berbuat dan berakhlak positif.

»

Membiasakan diri melakukan segala amal-kebaikan dan akhlak positif yang diajarkan di dalam ajaran agama-Nya, sekaligus pula biasa menghindari ataupun mengurangi segala amal-keburukan dan akhlak negatif, sekecil atau sesederhana apapun bentuknya.

Contoh yang sangat dikenal, yaitu: perbuatan dan akhlak nabi Muhammad saw yang tidaklah suka berbohong, sehingga Nabi telah mendapat gelar "Al-Amin" (sangat dipercaya), sejak masa mudanya. Hal inilah yang telah menjadi salah-satu pondasi penting, yang sangat mendukung perolehan kenabiannya.

Baca pula uraian di bawah, tentang berbagai pengaruh lanjutan dari akhlak, yang berupa kejujuran ini.

Semakin rutin dan konsisten dalam melakukan kebiasaan dan akhlak positif, justru semakin baik, akhirnya diharapkan juga bisa memahami tujuan pelaksanaannya. Sehingga setiap manusia bisa menjawab, mengapa perlu melakukannya?, apakah berbagai keuntungannya (lahiriah dan batiniahnya)?. Pemahaman hikmah dan hidayah-Nya yang terbentuk justru bisa tertanam pada alam batiniah ruh, sebagai keyakinan atas tindakan kebiasaan itu.

Akhirnya kebiasaan itu menjadi semakin ringan ataupun tanpa beban pada saat dilakukan, bahkan bisa terasa memberikan kebahagiaan atau keuntungan (secara lahiriah dan batiniah), bagi pelakunya, termasuk terasakan kurang sempurna, jika tidak bisa mengerjakannya, karena tidak mengamalkan sesuatu keyakinan yang telah diperoleh.

Kebiasaan itu juga suatu latihan bagi setiap manusia, agar menyiapkan segala pondasi spiritual (keadaan batiniah ruhnya), yang lebih memungkinkan untuk bisa lebih memahami berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya lainnya. Hal ini tidak cukup hanya dengan menggunakan nalar-logika akal pikiran saja, yang justru relatif sangat terbatas. Namun sangat perlu didukung pula dengan berbagai latihan ataupun praktek yang terus-menerus dan konsisten (perlunya dimiliki berbagai pengalaman spiritual).

Sebaliknya jika tidak pernah dilakukan praktek spiritual langsung (tanpa pondasi spiritual), juga akan sulit bisa diperoleh pemahaman yang utuh tentang berbagai kebenaran-Nya. Bahkan pencapaian pemahamannya bisa terhambat oleh berbagai asumsi dan logika yang telah tertanam sebelumnya, namun sama sekali belum pernah terbukti. Maka perlu dimiliki pengalaman spiritual langsung, agar bisa mengurangi berbagai asumsi dan logika yang kurang berdasar itu, khususnya lagi dalam hal-hal batiniah.

Secara sadar ataupun tidak, kebiasaan itu juga akan bisa membentuk benteng yang semakin kokoh-kuat secara batiniah atas berbagai gangguan, khususnya yang terkait langsung dengan kebiasaan itu sendiri. Serta bisa merasa terganggu bila kebiasaan itu terhentikan. Kebiasaan yang tampak sederhana sekalipun bisa menjadi pondasi yang melahirkan serangkaian kebiasaan lainnya (perbuatan dan akhlak positif).

Misalnya, jika seseorang telah terbiasa menikmati sikap tidak suka berbohong, bahkan tidak suka menfitnah kepada orang-lain, dan jauh lebih pentingnya lagi kepada dirinya sendiri (tidak menentang isi hati-nuraninya), selain membentuk benteng yang bisa menutup diri terhadap berbagai kebohongan lainnya, justru bisa pula menutup diri terhadap hal-hal, seperti misalnya:

Kemusyrikan (menyekutukan Allah)

Membohongi dirinya, bahwa Allah Yang Maha Kuasa, Maha Sempurna dan Maha Esa, Yang kemuliaan dan kekuasaan-Nya justru mustahil bisa dibandingkan dengan ilah-ilah selain Allah, yang sedang disembahnya (lahiriah dan batiniah).

Kezaliman (menganiaya setiap zat ciptaan-Nya)

Membohongi dirinya, bahwa ia sendiri pasti tidak suka pula, jika dianiaya oleh orang-lain.

Kekafiran (melanggar perintah-Nya)

Membohongi dirinya, bahwa Allah Yang Maha Terpuji pasti memiliki suatu keredhaan tertentu atas setiap amal-perbuatan manusia (yang diperintah ataupun dilarang-Nya), yang justru sebenarnya demi kemuliaan manusia itu sendiri.

Kemungkaran (melakukan keburukan)

Membohongi dirinya, bahwa hal itupun pasti merusak dirinya sendiri (secara lahiriah dan batiniah). Padahal ia pasti akan menyukai segala kebaikan, khususnya bagi dirinya sendiri.

Kemunafikan (berpaling dari kebenaran-Nya)

Membohongi dirinya, bahwa pasti mustahil ada sesuatu jalan yang lebih sempurna daripada 'jalan-Nya yang lurus (benar)'.

Kesombongan (merasa lebih baik daripada orang-lain) dan Riya (senang dipuji oleh orang-lain)

Membohongi dirinya, bahwa pasti tidak ada sesuatu hal yang bisa disombongkannya di hadapan Allah, dan ia sendiri juga pasti memiliki berbagai kekurangan dan keterbatasan.

Keserakahan dan Mencuri (mengambil hak-milik orang-lain)

Membohongi dirinya, bahwa ia pasti seorang pemalas, yang justru belum pantas diberikan rejeki-Nya yang lebih baik.

dsb.

 

Hal-hal di atas bisa dicapai, jika manusia juga bisa makin membersihkan atau mensucikan hati-nuraninya (ruhnya), dengan terus-menerus berusaha meningkatkan keimanannya, yaitu makin mendalam pemahamannya dan makin konsisten pengamalannya terhadap berbagai kebenaran-Nya dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan keadaan dan kemampuannya masing-masing.

Kenabian adalah tingkat keimanan atau keyakinan yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seseorang manusia, bahkan kepada para nabi-Nya itu telah dibukakan-Nya berbagai hakekat atau rahasia alam nyata dan gaib, setelah mereka terpelihara dari setiap perbuatan dan akhlak yang tercela. Sebaliknya kehidupan mereka penuh dengan perbuatan dan akhlak terpuji, karena hal ini justru wujud nyata dari pengamalan keimanan pada para nabi-Nya yang sangat tinggi dan utuh (secara lahiriah dan batiniah).

Selain untuk meningkatkan keimanan, ada pula berbagai kebiasaan pada ajaran-ajaran agama-Nya, yang berupa berbagai cara langsung, untuk membentuk kehidupan manusia yang lebih bermakna dan lebih selamat di dunia. Walaupun setiap ajaran itu belum sepenuhnya bisa dipahami hakekatnya oleh setiap umat.

Hakekat utama dari keimanan paling tinggi, adalah pada pemahaman yang relatif sangat mendalam atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (bukan taklid buta). Dan semestinya juga disertai dengan pengamalan yang relatif sangat konsisten dan utuh berdasar segala pemahaman itu, yang tata-caranya telah diajarkan-Nya melalui ajaran-ajaran agama-Nya.

e.

Terbiasa berkumpul dengan orang-orang seiman.

»

Perbuatan dan akhlak positif akan makin mudah terbangun, jika terbiasa berkumpul atau selingkungan dengan orang-orang yang seiman dan seaqidah, agar terbina suasana "ber-amar ma'ruf nahi munkar" yang terasa lebih kental, ataupun terdapat suasana yang saling mengembangkan diri dalam hal beramal-ibadah. 40)

Sebaliknya banyak menghindar berkumpul dengan orang-orang yang banyak berbuat segala kemungkaran, keburukan dan segala tindakan tercela lainnya.

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." – (QS.9:119).

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang, yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." – (QS.4:69).

"Sesungguhnya, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan, yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.", "Kecuali orang-orang yang taubat dan mengadakan perbaikan, dan berpegang teguh pada (agama) Allah, dan tulus ikhlas (dalam mengikuti) agama mereka, karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman, dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman, pahala yang besar." – (QS.4:145-146).

"Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat-Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu. setelah teringat (akan larangan itu).", "Dan tidak ada pertanggungan-jawab sedikitpun atas orang-orang yang bertaqwa terhadap dosa mereka. Akan tetapi (hanya berkewajiban) mengingatkan, agar mereka bertaqwa." – (QS.6:68-69).

 

Dalam Al-Qur'an banyak disebutkan, tentang pentingnya membangun lingkungan kemasyarakatan yang Islami seperti itu, bahkan juga sampai kepada tingkat kehidupan bernegara. Seperti keharusan bagi umat untuk memilih pemimpinnya dari kalangan orang yang beriman, agar bisa makin mendukung terlaksananya pembangunan kehidupan kemasyarakatan yang Islami itu.

Tetapi bukan sesuatu keharusan untuk membentuk negara Islam, karena 'hakekatnya' (isinya) jauh lebih penting daripada 'penampilannya' (kulitnya), juga karena tidak ada sesuatu bentuk perwujudan fisik-lahiriah hasil perbuatan manusia yang memiliki kesempurnaan. Pembentukan negara Islam bukan suatu hal yang wajib, khususnya jika umat Islam sendiri belum siap, serta jika tidak ada jaminan, bahwa hal ini tidak akan menimbulkan segala kemudharatan, dan pasti tercapai keadaan yang diharapkan.

Bahkan keimanan umat itu bukanlah hal yang bisa diatur-atur, dan mestinya timbul dari kesadaran setiap umat itu sendiri. Apakah pada saat sekarang ada manusia sempurna, yang paling mengetahui keimanan setiap umat, sekaligus bisa mengajarinya?. Tidak ada, setelah wafatnya nabi Muhammad saw, sebagai nabi-Nya yang terakhir.

f.

Makin memperdalam ilmu-pengetahuan.

»

Makin mendalami segala bidang ilmu-pengetahuan, agar pondasi keyakinan (keimanan) bisa lebih kokoh, karena setiap keyakinan yang terbentuk berdasar ilmu, jauh lebih sulit tergoyahkan, jika dibanding dengan keyakinan yang justru bersifat dogmatis atau taklid buta.

Di dalam Al-Qur'an sangat banyak disebut anjuran-Nya bagi setiap umat Islam, agar berilmu-pengetahuan, berakal atau berpikir, termasuk disebut pula berbagai keutamaannya. Hal ini sangat berguna untuk menghilangkan segala bentuk prasangka ataupun tahayul dalam beragama, tanpa sesuatu dalil-alasan yang jelas dan benar.

Bahkan kata "bacalah", sebagai kata pertama dari surat yang telah pertama kali diturunkan-Nya kepada nabi Muhammad saw (surat Al-'Alaq), pada dasarnya bukanlah bermakna sesuatu anjuran-Nya, agar Nabi bisa membaca atau menuliskan bahasa tulisan (Nabi ketika itu memang masih buta huruf atau 'ummi').

Konteks pemakaian kata anjuran "bacalah" justru kurang tepat, jika dimaknai secara harfiah. Padahal anjuran ini langsung terarah untuk membaca sesuatu, sedang tidak jelas disebut kitab yang harus dibaca oleh Nabi. Bahkan lebih tepat kata "tulislah", untuk bisa mengatasi buta hurufnya Nabi, dan sekaligus pula bisa menuliskan wahyu-wahyu-Nya.

Kata "bacalah" lebih tepat bermakna suatu anjuran-Nya, agar Nabi dan umat manusia mau 'membaca' atau 'mempelajari' tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta, karena sangat jelas dalam surat Al-'Alaq itu, Allah (melalui perantaraan kalam dan malaikat Jibril), bertindak sebagai guru yang mengajari manusia.

Padahal Allah mustahil bisa menurunkan pengajaran dan tuntunan-Nya (kalam atau wahyu-Nya), berbentuk berupa segala 'tulisan' yang harus dibaca oleh Nabi. Dan tentunya tanda-tanda kekuasaan-Nya (lahiriah dan batiniah) juga hanya bisa dipelajari, jika umat manusia telah berilmu-pengetahuan.

Bahkan seorang ilmuwan terkenal dunia Albert Einstein, telah menyatakan seperti "bahwa ilmu tanpa agama adalah buta, dan agama tanpa ilmu adalah pincang".

Kata "bacalah" itu agar umat makin banyak mengungkap pula setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya di balik teks-teks ajaran agama-Nya yang lurus, dengan cara memanfaatkan segala bidang ilmu-pengetahuan yang diperoleh secara sangat obyektif, seperti yang telah dilakukan oleh sebagian umat-umat terdahulu.

Di dalam Al-Qur'an, justru sangat banyak pula ayat-ayat yang menganjurkan umat, agar bisa mempelajari dan memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini.

Baca pula topik "Sunatullah (sifat proses)".

g.

Banyak mengingat kematian.

»

Lebih banyak mengingat kematian ataupun siksaan-Nya di Hari Kiamat, sekaligus mengingat kehidupan dunia sekarang ini, yang relatif masih panjang. Kombinasi pemahaman yang unik ini bisa berakibat kepada fokus hidup yang makin terarah, untuk banyak melakukan hal-hal yang justru sangat diperlukan bagi kehidupan akhiratnya, terutama dengan banyak beramal-ibadah.

Bahkan sekaligus pula tetap akan bisa bersemangat dalam menjalani dan mencapai kehidupan dunia ini, yang bisa dipakai sebagai alat-sarana untuk bisa memperbanyak peluang beramal-ibadah, dan bisa menjadikan kehidupan dunia fana ini yang pada dasarnya suatu ujian-Nya menjadi rahmat-Nya ('nafsu-keinginan duniawi yang telah dirahmati-Nya').

Betul, bahwa kehidupan dunia ini hanyalah sekitar 60-70 tahun, bagi sebagian manusia pada umumnya. Tetapi lama waktu ini justru lebih dari cukup bagi manusia, untuk bisa memahami hikmah dan hakekat diciptakan-Nya kehidupan dunia, dan masih cukup banyak waktu pula baginya untuk bisa bertaubat menebus dosa-dosanya, serta makin mengabdi kepada-Nya. Bahkan Allah Maha adil kepada setiap manusia berapapun usia hidupnya.

Cakupan amal-ibadah sendiri sangat luas, bukanlah hanya hal-hal yang disyariatkan dalam ajaran agama-Nya, akan tetapi berbagai perbuatan yang perlu dilakukan dengan baik dan benar (berakhlak dan beramal shaleh), justru ibadah dalam pengertian secara luasnya, karena semuanya merupakan wujud pengabdian atau ibadah kepada Allah. Bahkan hasil dari segala ibadah itupun mestinya memang berupa akhlak dan amal shaleh, sebagai wujud akhir pembangunan kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh).

h.

Urusan duniawi melihat ke bawah, akhirat ke atas.

»

Dalam urusan dunia, agar jauh lebih banyak melihat 'ke bawah', sedang dalam urusan akhirat, jauh lebih banyak melihat 'ke atas'. Seperti misalnya agar sebanyak mungkin mengingat orang-orang yang berkekurangan materi duniawinya. Namun di lain pihaknya, sebanyak mungkin mengikuti dan mencontohi orang-orang yang tingkat pencapaian rohani-spiritual atau tingkat keimanan relatif sangat tinggi (para nabi-Nya, para wali, para alim-ulama, dsb).

Kehidupan dunia adalah sarana yang disediakan-Nya bagi umat manusia, untuk bisa hidup dan menjalani kehidupannya. Paling utama lagi, agar manusia sambil menyiapkan diri dalam menjalani kehidupan akhiratnya yang kekal. Maka tidaklah pada tempatnya bagi setiap umat manusia untuk terlalu menghabiskan waktu, tenaga dan pikiran, dalam meraih segala pencapaian fisik-lahiriah-duniawi (bersifat fana, semu dan mudah menyesatkan).

Bahkan kehidupan dunia ini sebagai sesuatu bentuk ujian-Nya secara lahiriah, sedang jin, syaitan dan iblis sebagai bentuk ujian-Nya secara batiniah. Setiap umat manusia dalam menjalani kehidupan dunia, mestinya justru sambil membangun kehidupan akhiratnya (kehidupan batiniah ruhnya).

Jika pencapaian fisik-lahiriah dianggap terpenting, maka Allah justru berlaku "tidak adil", karena setiap manusia terlahir dengan segala keadaan lahiriah yang justru sangat berbeda-beda, seperti: kaya dan miskin, cacat dan nornal (fisik ataupun mental), anak yang yatim-piatu dan lengkap orang-tuanya, dsb.

Dari berbagai uraian di atas, justru ke-Maha adil-an-Nya jelas tampak dari keadaan batiniah ruh setiap bayi manusia, yang 'sama' (sangat suci-murni dan tanpa dosa). Hal ini menunjukkan sangat pentingnya untuk bisa mensucikan atau melayani ruhnya (alam batiniahnya), dengan cara sebanyak-banyaknya mengikuti berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya. Di mana setiap manusia pasti memiliki kesempatan yang sama pula, untuk bisa menyusun segala kemuliaan dalam kehidupan batiniah ruhnya sendiri.

Hal ini juga tampak dari tidak dikenalnya konsep "orang suci" dalam agama Islam, yang memiliki otoritas atas kehidupan batiniah para pengikutnya, seperti halnya pada lembaga, seperti: kerahiban, kerabbian, kependetaan, kepastoran, dsb. Sedangkan kehidupan batiniah ruh itu hanya milik manusianya sendiri, tidak ada manusia lainnya yang bisa mengetahui dan mengaturnya.

Semestinya tidak perlu ada seorang perantara (manusia) bagi manusia lainnya, untuk bisa berhubungan dengan Tuhannya. Serta setiap manusia justru bisa membaca dan memahami kitab-kitab-Nya (bukan hanya hak para rahib, pendeta, dsb).

Bahkan semestinya tidak ada sesuatu kedudukan lahiriah dalam beragama (seperti: pastor, uskup, kardinal ataupun paus). Kedudukan tinggi para nabi-Nya hanyalah pada aspek batiniah, sedangkan secara lahiriah, mereka persis serupa dengan manusia biasa umumnya (hidup, berjalan, makan, ke pasar, dsb). Bahkan semestinya tidak ada kelembagaan dalam hal keimanan.

Faktor kelembagaan itupun sangat ditolak atau dihindari di dalam agama Islam, karena hal ini dipastikan justru cenderung lebih mementingkan aspek lahiriahnya (orang, tahta, politik dan kultus individu, dsb), bukan aspek batiniahnya (segala nilai yang diajarkannya). Padahal nilai setiap umat manusia justru bukanlah pada aspek lahiriahnya (sosok, gelar, jabatan, dsb), namun pada aspek batiniahnya (segala nilai amal-perbuatannya).

Kelembagaanpun biasanya disertai adanya sekolah agama penghasil para pastor, pendeta, rahib ataupun rabbi. Bahkan para lulusan sekolah agama itu biasanya akan mendapat gelar "orang beriman", "orang bersih" ataupun "orang suci", yang telah pantas diikuti dan diteladani.

Nilai-nilai batiniah dalam agama yang relatif sangat luas, tidak cukup sekedar dipahami selama di bangku sekolah agama. Segala pengalaman dan nilai moral-spiritual (keimanan), tidaklah cukup hanya dicapai melalui suatu kurikulum pelajaran. Bahkan bisa dipastikan hasil dari sekolah agama itupun justru hanya para penghapal bahan pelajaran keagamaan.

Dalam agama Islam hanya ada dikenal konsep "pengajar agama" (ustadz), atau lebih umumnya "setiap umat harus saling memberitahu dan mengingatkan tentang kebenaran-Nya". Tidak ada sesuatupun justifikasi resmi, bahwa orang yang memberitahu ataupun mengajari (ustadz, kyai, haji, dsb), juga pasti orang yang lebih beriman ataupun lebih baik. Hanya hak Allah, Yang Maha mengetahui siapa yang paling beriman di antara umat manusia.

i.

Banyak bertaubat atas berbagai amal-keburukan.

»

Berbagai hal pada poin-poin di atas, secara umum masih sebatas "mensucikan ruh", namun belumlah benar-benar "membersihkan ruh", karena setiap amal-keburukan pasti bisa mengotori keadaan batiniah ruh setiap manusia pelakunya. Satu-satunya cara-metode yang diajarkan di dalam agama Islam untuk bisa "membersihkan ruh", hanyalah dengan sebenar-benarnya bertaubat kepada Allah.

Tentunya semakin banyak amal-keburukan yang telah dilakukan, mestinya semakin banyak taubatnya, karena setiap taubat justru relatif hanya terkait dengan berbagai amal-keburukan tertentu.

Baca pula uraian-uraian pada topik-topik di bawah, tentang taubat dan syafaat.

Dalam agama Islam tidaklah dikenal adanya penghapusan dosa umat, selain hanya oleh umat itu sendiri (dengan bertaubat). Bahkan para nabi-Nya dan para wali sekalipun sama sekali tidak bisa ikut membantu 'menghapuskannya', karena segala keadaan batiniah ruh manusia memang sepenuhnya hanya berada dalam kehendak dan kekuasaan manusianya sendiri.

Namun para nabi-Nya dan para wali pada dasarnya hanya bisa mengajarkan kepada umat, agar ia bisa lebih mengendalikan setiap kehendak dan perbuatannya, sehingga pada akhirnya umat itu sendiri kemudian bisa bertaubat.

Bahkan syafaatpun dari para nabi-Nya justru sama sekali tidak diterima-Nya di Hari Kiamat, jika berbagai pengajaran dari para nabi-Nya justru belum diamalkan oleh umat, menjadi segala amal-kebaikan (termasuk salah-satu bagian dari usaha bertaubat).

Segala amal-keburukan (perbuatan dosa) pada dasarnya menimbulkan berbagai ketidak-seimbangan dan kerusakan pada berbagai keadaan batiniah ruh setiap manusia pelakunya. Sedang usaha bertaubat oleh manusianya sendiri adalah satu-satunya cara untuk relatif mengembalikan keseimbangan tersebut, meski juga mustahil bisa benar-benar kembali pada keadaan keseimbangan sebelumnya (pasti ada bekasnya sekecil atau sesederhana apapun bentuknya).

Akan tetapi setiap usaha bertaubat yang telah dilakukan dengan sebenar-benarnya (bisa diterima-Nya), atas ijin-Nya, di samping relatif bisa mengembalikan keseimbangan batiniah ruh pelakunya, juga relatif meredam setiap pengaruh kerusakan yang lebih lanjut dan parah pada alam batiniah ruhnya. Hal inilah yang dimaksud dengan "dimaafkan-Nya suatu dosa manusia".

Tentunya tidaklah semua perbuatan dosa bisa dimaafkan-Nya, terutama bagi 'dosa-dosa besar' yang disebut-sebut dalam ajaran-ajaran agama-Nya. Karena dosa-dosa besar ini justru telah menimbulkan berbagai kerusakan yang relatif sangat parah pada alam batiniah ruh pelakunya, sehingga hampir mustahil keadaan batiniah ruhnya bisa diperbaiki ataupun dibersihkan.

Serta dosa-dosa besar ini telah membuat setiap pelakunya menjadi 'buta, tuli, bisu atau pekak', atas berbagai kebenaran-Nya, sehingga pelakunya telah tersesat relatif sangat jauh (atau relatif sangat sulit untuk bisa kembali ke jalan-Nya yang lurus).

Di lain pihak, perbuatan dosa yang masih bisa dimaafkan-Nya (taubatnya masih bisa diterima-Nya), misalnya pada: dosa-dosa kecil; dosa-dosa yang tidak disengaja ataupun tidak disadari betul; dosa-dosa yang belum ada ketentuan syariatnya; dsb.

Namun dosa-dosa kecil yang dilakukan dengan sengaja, dan terus-menerus diulangi, secara perlahan-lahan pengaruhnya bagi alam batiniah ruh pelakunya justru bisa serupa seperti pada dosa-dosa besar.

Kehidupan akhirat, kehidupan batiniah ruh

Segala persoalan pada setiap umat manusia tidak akan pernah selesai, sampai akhir jaman, maka telah dijanjikan-Nya pula kepada seluruh umat manusia, bahwa Allah pastilah akan membukakan segala kebenaran-Nya di Hari Kiamat, untuk menyelesaikan segala ketidak-tahuan, keraguan, persoalan dan perselisihan antar umat manusia (atau Allah pastilah memberi segala jawaban atau solusi yang sebenarnya).

Maka hal yang paling penting justru bagaimana menghadapi segala sesuatu hal dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan ajaran-ajaran agama-Nya, tetapi bukan untuk menuntaskan atau menghilangkannya. Sedang tujuan utama dari agama-Nya, adalah agar setiap manusia bisa menghadapi segala persoalannya yang paling penting, mendasar dan hakiki dalam kehidupannya sehari-hari (segala persoalan batiniahnya).

Karena itulah dalam ajaran agama-Nya yang lurus, justru hal yang menjadi tujuan yang paling penting ataupun tujuan yang terakhir dari kehidupan dunia yang fana ini, adalah pada kehidupan akhiratnya yang bersifat gaib dan kekal (kehidupan batiniah ruh setiap manusia).

Namun hal yang justru sangat ironis terjadi pada pemahaman sebagian kalangan umat Islam, antara-lain seperti "kehidupan akhirat adalah urusan setiap manusia setelah menjelang usia tuanya (belumlah menjadi urusan para pemuda ataupun anak-anak)", "kehidupan akhirat adalah kelanjutan semata dari kehidupan dunia", ataupun "kehidupan akhirat tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dunia".

Khususnya dari pernyataan di atas, "kehidupan akhirat adalah kelanjutan semata dari kehidupan dunia", seolah-olah memang tampak benar. Namun pernyataan itu justru kurang tepat, karena disebut dalam Al-Qur'an, antara-lain seperti:

~ "Ada kehidupan akhirat selama di kehidupan dunia" (QS.30:7).
~ "Ada orang-orang yang menukar kehidupan dunia dan kehidupan akhiratnya " (QS.4:74, QS.2:86, QS.16:107, QS.9:38, QS.75:20-21, QS.2:200, QS.14:3, QS.13:26, QS.87:16-17).
~ "Setelah kematiannya ataupun setelah Hari Kiamat, segala amalan setiap manusia telah terputus atau tidak diterima-Nya (kehidupan akhirat hanya bisa dibangun selama di dunia)" (QS.4:18, QS.2:48, QS.2:123, QS.5:36, QS.6:70, QS.57:15, QS.70:14-15, QS.59:18).
~ "Amalan di dunia dan di akhirat" (QS.2:217, QS.9:69, QS.3:22).

 

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang kehidupan akhirat menurut Al-Qur'an

Walau memang kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh setiap manusia selama di dunia, juga terus berlanjut (bahkan kekal dan telah pula disempurnakan-Nya), setelah Hari Kiamat (lebih tepat lagi setelah zat ruh setiap manusia telah diangkat-Nya dari tubuhnya untuk kembali ke hadapan−Nya, atau meninggalkan kehidupan dunia ini).

Maka "kehidupan akhirat justru 'telah ada' selama manusia berada pada kehidupan dunianya", karena manusia mustahil akan bisa membangun suatu hal yang belum ada wujudnya. Serta pernyataan di atas justru lebih tepat lagi maknanya, jika diubah menjadi "kehidupan akhirat bagi setiap manusia pada Hari Kiamat, adalah kelanjutan dari kehidupan akhirat yang telah dibangunnya selama di dunia, sekaligus telah pula disempurnakan-Nya".

Dengan sendirinya kehidupan akhirat setiap manusia itu telah 'selalu' ada, pada saat ia berusia bayi, anak-anak, dewasa dan tua. Dan bahkan Adam sebelum diturunkan-Nya ke dunia, justru pernah tinggal di Surga. Tentunya kehidupan akhirat sangat erat pula hubungannya dengan kehidupan dunia, dan bahkan dengan zat ruh setiap manusia.

Timbullah pertanyaan lanjutan, "apakah wujud dari alam atau kehidupan akhirat?". Justru masih sangat banyak umat Islam sendiri yang belum memahami hal ini. Padahal di lain pihaknya, kehidupan akhirat itu sangat penting, serta kepercayaan kepada kehidupan akhirat dan Hari Kiamat, justru salah-satu 'rukun iman' dalam agama Islam.

Hal paling mudah diketahui dengan pasti, bahwa kehidupan setiap manusia, sejak dari alam arwah, alam rahim, alam dunia, alam kubur, sampai alam akhirat, justru pastilah selalu melibatkan 'ruhnya'. Dan hakekat dari setiap makhluk-Nya memang terletak pada 'ruhnya'.

Sehingga pertanyaan di atas itu bisa diubah menjadi, "apakah sesuatu hal pada ruh setiap manusia, yang merupakan wujud dari alam atau kehidupan akhiratnya?".

Menurut pemahaman pada buku ini, "alam atau kehidupan akhirat setiap manusia, adalah alam, kehidupan atau keadaan batiniah ruhnya". Hal inipun sangat sesuai dengan tujuan akhir dan utama dari segala amal-ibadah yang diajarkan melalui ajaran-ajaran agama-Nya, yaitu untuk bisa membentuk segala akhlak dan budi-pekerti terpuji.

Pembentukan segala akhlak terpuji itu justru usaha untuk bisa membersihkan, mensucikan, memuliakan ataupun melayani ruh setiap manusianya. Pembentukan itu sendiri dilakukan dengan cara banyak menghindari perbuatan dosa (amal-keburukan), banyak bertaubat atas setiap perbuatan dosa yang telah dilakukan, dan juga banyak berbuat amal-kebaikan, yang semuanya agar diperoleh banyak pahala-Nya.

Padahal semua hal dalam pembentukan akhlak itupun, berupa hal-hal yang hakekat dan tujuannya, justru bersifat 'batiniah' (akhlak, taubat, beban dosa, pahala-Nya, dsb). Maka "kehidupan akhirat setiap manusia adalah kehidupan atau perubahan keadaan batiniah ruhnya".

Baca pula topik "Makhluk hidup nyata", tentang berbagai kesimpulan atas proses penciptaan nabi Adam as, saat ia masih tinggal di Surga (terutama kehidupan akhirat adalah kehidupan batiniah ruh).

Kehidupan akhirat, menurut Al-Qur'an

Sangat banyak ayat-ayat Al-Qur'an yang menjelaskan tentang alam akhirat (kehidupan, kampung atau negeri akhirat), dan tentang Hari akhirat (Hari Kiamat), seperti diungkap pada tabel berikut.

Definisi dan berbagai keterangan tentang alam akhirat
(kehidupan, kampung atau negeri akhirat), dalam Al-Qur'an

No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Kehidupan akhirat adalah kehidupan batiniah ruh tiap makhluk-Nya (di dunia dan di Hari Kiamat).

"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat (atau kehidupan batiniah ruh) adalah lalai." – (QS.30:7).

2.

Kehidupan akhirat hanya bisa dibangun selama di kehidupan dunia ini.

"Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan, apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." – (QS.59:18).

3.

Keimanan ataupun kedustaan terhadap Hari Kiamat (Hari Akhirat).

"dan sesungguhnya, orang-orang yang tidak beriman kepada Hari Akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih," – (QS.17:10).

"Ilah kamu adalah Ilah Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada Hari Akhirat, hati mereka mengingkari (keesaan Allah), sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong." – (QS.16:22)
dan juga (QS.2:228, QS.7:147, QS.23:33, QS.24:2, QS.30:16, QS.58:22, QS.65:2).

4.

Keraguan, kekafiran, kedustaan, keingkaran, kepercayaan, keyakinan ataupun keimanan terhadap kehidupan akhirat.

"Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk. …" – (QS.16:60).

"…Orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat, tentu beriman kepadanya (Al-Qur'an), dan mereka selalu memelihara shalatnya." – (QS.6:92).

"Sebenarnya pengetahuan mereka tentang akhirat tidak sampai (ke sana), malahan mereka ragu-ragu tentang akhirat itu, lebih-lebih lagi mereka buta darinya (tidak dapat memahaminya)." – (QS.27:66)
dan juga (QS.2:4, QS.6:113, QS.6:150, QS.7:45, QS.11:19, QS.17:45, QS.23:74, QS.27:3-4, QS.28:83, QS.31:4, QS.34:8, QS.34:21, QS.39:45, QS.41:7, QS.53:27, QS.74:53).

5.

Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah awal dari kehidupan akhirat yang seutuhnya dan sebenarnya.

Atau Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah akhir dari kehidupan dunia.

"…Allah berkehendak tidak akan memberi sesuatu bagian (dari pahala) kepada mereka di Hari Akhirat, dan bagi mereka azab-Nya yang besar." – (QS.3:176).

"…Barangsiapa yang kafir. setelah beriman. Maka hapuslah amalannya, dan ia di Hari Akhirat termasuk orang-orang merugi." – (QS.5:5).

"Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia, dan mereka tidak mempedulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (Hari Akhirat)." – (QS.76:27).

6.

Kehidupan dunia bersifat semu, menipu, fana (sementara) dan sebagai tempat pelaksanaan segala ujian-Nya.

Sedang kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sebenarnya, kekal dan tempat kembali.

"Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda-gurau dan main-main. Dan sesungguhnya, akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui." – (QS.29:64).

"Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan ini hanyalah kesenangan (sementara), dan sesungguhnya, akhirat itulah negeri yang kekal." – (QS.40:39).

"… Allah berfirman: 'Dan kepada orang kafirpun, Aku beri kesenangan sementara (di dunia, namun) kemudian Aku paksa ia menjalani siksaan neraka (di akhirat), dan itulah seburuk-buruk tempat kembali'." − (QS.2:126)
dan juga (QS.3:14, QS.4:77, QS.24:57).

7.

Kehidupan akhirat adalah lebih besar keutamaannya, lebih tinggi tingkatannya dan lebih kekal.

"Dan sesungguhnya, pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui." – (QS.16:41).

"Dan pasti kehidupan akhirat lebih tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya." – (QS.17:21).

"Dan sesungguhnya, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal." – (QS.20:127).

8.

Kehidupan akhirat adalah lebih baik, bagi orang-orang yang bertaqwa.

"Dan sesungguhnya, pahala di akhirat itu lebih baik, bagi orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa." – (QS.12:57)
dan juga (QS.6:32, QS.7:169, QS.12:109, QS.16:30, QS.28:83).

9.

Kerugian, siksaan, kehinaan, azab, laknat, kesesatan, bagian, pertolongan, ampunan, perlindungan, karunia, rahmat, kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kebaikan, pahala dan pujian di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat.

"… Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." – (QS.22:11)
dan juga (QS.2:102, QS.2:114, QS.3:56, QS.3:77, QS.3:85, QS.3:148, QS.4:134, QS.5:33, QS.5:41, QS.7:156, QS.9:74, QS.10:64, QS.11:21-22, QS.11:58, QS.11:103, QS.12:101, QS.13:34, QS.16:41, QS.16:109, QS.17:72, QS.20:127, QS.22:15, QS.24:14, QS.24:19, QS.24:23, QS.27:5, QS.32:21, QS.33:57, QS.37:59, QS.39:9, QS.39:26, QS.41:16, QS.41:31, QS.43:35, QS.54:47, QS.57:20, QS.59:3, QS.68:33, QS.79:25).

10.

Orang-orang yang menukar, mengganti, memilih, menghendaki, menyenangi, menyukai, mencintai ataupun mencari kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

"orang-orang yang menukar kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat" – (QS.4:74)
dan juga (QS.9:38, QS.2:86, QS.2:200, QS.3:152, QS.8:67, QS.13:26, QS.14:3, QS.16:107, QS.17:19, QS.28:77, QS.42:20, QS.3:145, QS.33:29, QS.75:20-21, QS.76:27, QS.87:16-17).

11.

Orang-orang yang berpikir untuk bisa memahami kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.

"… Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, supaya kamu berpikir,", "tentang dunia dan akhirat." – (QS.2:219-220).

12.

Orang-orang yang mencari kebaikan di kehidupan dunia dan di kehidupan akhiratnya.

"Dan di antara mereka ada orang yang berdo'a: 'Ya Rabb-kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksaan neraka'." – (QS.2:201).

13.

Orang-orang yang selalu mengingat tentang kehidupan akhiratnya.

"Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka, dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi, yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat." – (QS.38:46).

14.

Orang-orang yang bernasib baik di kehidupan akhiratnya.

"Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, kecuali orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh Kami telah memilihnya (sebagai utusan Kami) di dunia, dan sesungguhnya, dia di akhirat benar-benar termasuk orang yang shaleh." – (QS.2:130).

"…Namanya Al-Masih 'Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat. Dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada-Nya)," – (QS.3:45)
dan juga (QS.16:122, QS.29:27).

15.

Orang-orang yang sia-sia amalannya di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat.

"mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat." – (QS.2:217)
Dan juga (QS.3:22, QS.9:69, QS.11:16).

16.

Orang-orang yang menyombongkan diri ataupun tidak memahami tentang kehidupan akhirat.

"Katakanlah: 'Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu, khusus untukmu dari sisi-Nya, bukan untuk orang-lain, maka inginilah kematian(mu, agar kamu dapat segera kembali kepada Allah), jika kamu memang benar'." − (QS.2:94).

17.

Orang-orang yang berputus-asa tentang kehidupan akhiratnya.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu, kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus-asa terhadap negeri akhirat, sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur, berputus-asa." – (QS.60:13).

18.

Orang-orang yang menyesal di kehidupan akhiratnya.

"Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang muslim." – (QS.15:2).

19.

Segala pujian bagi Allah di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat.

"Dan Dia-lah Allah, tidak ada Ilah (yang berhak disembah), melainkan Dia, bagi-Nya-lah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan." – (QS.28:70)
dan juga (QS.34:1).

20.

Hanyalah Allah Yang berkuasa di kehidupan dunia dan di kehidupan akhirat, dan sama sekali bukanlah ilahilah selain Alah.

"(Tidak), maka hanya bagi Allah, kehidupan akhirat dan kehidupan dunia." – (QS.53:25).

"dan sesungguhnya, kepunyaan Kami-lah akhirat dan dunia." – (QS.92:13)
dan juga (QS.40:43).

 

Relatif cukup jelas bisa disimpulkan secara langsung ataupun tidak dari tabel di atas, antara-lain:

Berbagai kesimpulan pemahaman tentang
alam & kehidupan akhirat

Kehidupan akhirat lebih utama, tinggi, hakiki dan kekal daripada kehidupan dunia yang fana, semu dan mudah menyesatkan.

Kehidupan akhirat adalah kehidupan batiniah ruh tiap makhluk-Nya.

Kehidupan dunia adalah kehidupan saat zat ruh masih menyatu bersama tubuh wadah fisik-nyata-lahiriahnya. Kehidupan dunia berupa kehidupan lahiriah tiap makhluk-Nya, yang bersifat nyata dan fana.

Sedang kehidupan akhirat adalah kehidupan dalam benak-pikiran tiap ruh itu sendiri. Kehidupan akhirat berupa kehidupan batiniah tiap makhluk-Nya, yang bersifat gaib dan kekal.

Kehidupan akhirat telah ada ataupun telah berlangsung selama di kehidupan dunia, karena kehidupan akhirat dari tiap makhluk-Nya memang selalu ada bersama dengan zat ruhnya sendiri.

Pada "Gambar 16: Skema umum tahapan kejadian manusia" bisa ditunjukkan, bahwa alam akhirat berada di dalam wilayah B G, yang justru berupa keseluruhan wilayah kehidupan setiap zat ruh makhluk-Nya (sejak diciptakan-Nya zat ruh, sampai berakhirnya alam semesta). Sedang alam-alam lainnya justru menjadi bagian dari alam akhirat, seperti: alam arwah (B), alam rahim (C), alam dunia (D), alam kubur (E) dan alam akhirat setelah Hari Kiamat (F – G). Pada Gambar 16 itupun hanyalah bersifat umum, karena setiap zat makhluk-Nya memiliki wilayah kehidupannya masing-masing, yang relatif berbeda-beda waktunya.

Dan istilah 'alam akhirat' bukan bermakna 'alam yang terakhir', tetapi justru "alam yang menjadi tujuan yang utama, terakhir dan benar-benar sangatlah penting untuk diperhatikan oleh setiap zat makhluk-Nya", serta "alam akhirat setelah Hari Kiamat adalah alam akhirat yang sebenar-benarnya atau murni" (alam akhirat di dunia justru masih bercampur dengan alam-alam lainnya, yaitu: alam rahim, alam dunia dan alam kubur).

Penekanan ini diperlukan, karena sebagian besar dari umat Islam beranggapan keliru, "bahwa alam akhirat hanya ada setelah Hari Kiamat".

Kehidupan akhirat serupa dengan kehidupan dunia, di dalam hal-hal: kerugian, kehinaan, siksaan, azab, laknat, kesesatan, bagian, pertolongan, ampunan, perlindungan, kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kebaikan, karunia, rahmat, pahala ataupun pujian dari Allah, karena hal-hal itu memang memiliki aspek lahiriah (di kehidupan dunia) dan aspek batiniah (di kehidupan akhirat).

Hal-hal itu juga bisa dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu: nikmat-Nya dan hukuman-Nya.

Namun pada kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat, hal-hal itu telah berkali-lipat daripada perolehan serupa di kehidupan dunia, karena hal-hal itupun memang pasti disempurnakan-Nya di Hari Kiamat (nikmat dan hukuman-Nya pasti dilipat-gandakan-Nya, sekecil apapun bentuknya atau 'sebesar biji zarrah' sekalipun).

Kehidupan akhirat hanyalah bisa dibangun selama di kehidupan dunia, karena kematian tiap manusia (ruhnya terpisah dari tubuh wadahnya), adalah saat terakhir dari segala usaha pembangunan kehidupan akhiratnya (saat segala amalannya telah terputus).

Kehidupan akhirat dibangun melalui pembentukan segala budi-pekerti, akhlak dan kebiasaan terpuji, yang menjadi tujuan utama dari segala amal-ibadah dalam ajaran-ajaran agama-Nya.

Pembangunan kehidupan akhirat ini biasanya disebutkan sebagai membersihkan, mensucikan, memuliakan ataupun melayani ruh.

Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah awal dari kehidupan akhirat yang sebenarnya dan bersifat kekal, sebagai awal kelanjutan dari wujud kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh tiap manusia selama di kehidupan dunia, serta telah pula disempurnakan-Nya.

Juga Hari Kiamat (Hari Akhirat) adalah akhir dari kehidupan tiap makhluk-Nya di dunia (Hari Kiamat 'besar' dan 'kecil').

Keimanan dan pemahaman terhadap kehidupan akhirat dan Hari Kiamat (Hari akhirat), semestinya dimiliki oleh tiap umat Islam.

Dsb.

Membangun kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh)

Keadaan batiniah ruh atau kehidupan akhirat setiap manusia, adalah perwujudan segala pahala dan beban dosa yang telah berhasil dibangun atau diperolehnya, secara sadar ataupun tidak. Disebut 'tidak sadar', karena tidaklah setiap manusia bisa memahami bangunan pada alam batiniah ruhnya itu, yang memang sangatlah sulit bisa dijelaskan, penuh subyektifitas dan berwujud gaib. Para nabi-Nya bahkan 'relatif terbatas' pula ilmunya atas hal-hal gaib ini.

Bahkan tidak sedikit umat manusia yang justru mengabaikan tiap keadaan batiniah ruhnya (mengabaikan pembangunan kehidupan akhiratnya), juga secara sadar ataupun tidak. Umumnya karena setiap manusia hanyalah memperhatikan kesenangan dan kenikmatan hal-hal duniawi, yang memang mudah tampak. Padahal kenikmatan duniawi amat mudah menyesatkan, semu dan hanya bersifat sementara (fana).

Dan padahal setiap ajaran agama-Nya pada dasarnya berupa cara-cara untuk membangun kehidupan batiniah ruh setiap manusia (kehidupan akhirat), secara benar. 41)

Sangatlah banyak aspek pada pembangunan keadaan batiniah ruh setiap manusia, termasuk misalnya, dengan haruslah bisa menjaga keseimbangan batiniahnya terhadap lingkungan sekitar, tidaklah hanya kepentingan pribadi. Sementara pemenuhan kepentingan pribadi yang justru terlalu berlebihan, juga pasti akan bisa merusak keseimbangan lingkungan, secara langsung ataupun tidak, di samping tentunya juga pasti akan merusak keseimbangan pribadi manusianya sendiri.

Setiap perbuatan yang justru dilakukan secara berlebihan atau melampaui batas, ataupun yang justru merusak keseimbangan di alam semesta (lahiriah dan batiniah, pada diri sendiri, keluarga, orang-lain, alam, dsb), yang lebih umum dikenal sebagai "perbuatan dosa".

Setiap perbuatan dosa berbentuk suatu hukuman-Nya di alam batiniah ruh setiap manusia, semacam terjadi suatu pertentangan batin antara kesadaran di dalam berbuat dosa, melawan kesadaran dari hati-nuraninya, serta dari berbagai kebenaran-Nya yang telah diketahuinya. Tetapi setiap perbuatan dosa berikut hukuman-Nya, biasanya hanyalah bisa dipahami secara sangat subyektif pula oleh setiap manusia.

Dan perbuatan dosa membuat keroposnya keadaan bangunan pada alam batiniah ruh setiap manusia. Bangunan itu adalah bangunan keimanannya (kehidupan akhiratnya di dunia ini), yang pada akhirnya mencerminkan kehidupan akhiratnya, yang bersifat kekal dan telah disempurnakan-Nya di Hari Kiamat. Hanyalah di dunia ini, waktu dan kesempatan untuk membangun kehidupan akhirat setiap manusia.

Segala amal-ibadah adalah sarana yang diajarkan-Nya dalam agama-Nya, agar setiap manusia bisa membuat bangunan kehidupan batiniah ruhnya, yang kokoh, kuat dan mendapatkan keredhaan-Nya, agar bisa lebih memahami setiap kebenaran-Nya dalam meningkatkan keimanannya, agar bisa mengenal-Nya dan lalu bisa kembali dekat ke hadapan 'Arsy-Nya dengan cara menempuh jalan-Nya yang lurus.

Juga agar tiap manusia bisa menjalani kehidupannya di dunia fana ini, dengan jauh lebih bermakna, bersih, sehat, teratur, seimbang, harmonis, tentram dan bahagia. 42)

"Jumlah" pahala-Nya tidak perlu dikejar

Di dalam membangun kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh), bukanlah tiap perbuatan dengan 'jumlah' pahala-Nya besar, yang semestinya dicari, dipilih dan dikejar. Tetapi semestinya berusaha agar tiap perbuatan (sekecil atau sesederhana apapun) semaksimal mungkin diusahakan, agar selalu bisa mendapat keredhaan-Nya (minimal sekali dimulai dengan bacaan basmalah dan niat yang benar).

Karena mustahil ada seseorang manusiapun (bahkan termasuk para nabi-Nya), yang bisa memastikan nilai amalan dari satu ataupun seluruh amal-perbuatannya di dunia, sedang hal ini hanya hak Allah, Yang Maha mengetahui dan Maha menentukannya.

Juga karena setiap manusia (bagaimanapun segala keadaan dan kemampuannya) memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan "pahala-Nya yang paling baik" (Surga), tentunya kecuali bagi orang-orang yang telah melakukan berbagai dosa besar yang justru dilaknat-Nya (sangat sulit dimaafkan-Nya), seperti kemusyrikan. Bahkan tidak ada seseorangpun yang bisa memastikan, bahwa seseorang pastilah pendapat Surga, dan seseorang-lainnya pastilah mendapat Neraka.

Terutama jika dipahami, bahwa ada dikenal 'taubat' di dalam beragama, dan bahwa belum seluruh manusia (yang beragama Islam ataupun tidak), telah bisa memperoleh hikmah dan hidayah-Nya yang sebenarnya. Tiap manusia masih bisa sempat untuk memperolehnya, asalkan bisa tercapai cukup jauh menjelang akhir hidupnya (yang juga tidak bisa dipastikan waktunya).

Tindakan menghitung-hitung jumlah pahala-Nya justru bukan hal yang berarti, terutama jika memilih amalan-amalan tertentu, tetapi meninggalkan amalan-amalan lain yang juga telah diperintahkan-Nya. Suatu amal-kebaikan justru relatif berkurang nilainya, jika ada amal-kebaikan lainnya yang dikorbankan dengan sengaja. Juga suatu amal-kebaikan semestinya tidak akan menimbulkan berbagai keburukan.

Beberapa contoh hadits Nabi yang menunjukkan jumlah relatif pahala-Nya, atas sesuatu amal-perbuatan tertentu, misalnya:

Sekali shalat di Masjidil-Haram sama nilainya dengan seratus ribu-kali shalat di tempat lainnya (di masjid biasa). Sekali shalat di masjid Madinah sama dengan sepuluh ribu-kali shalat di tempat lainnya. Sekali shalat di masjid Al-Aqsha sama dengan seribu-kali shalat di tempat lainnya.
Satu hari berpuasa di bulan Ramadhan, lebih utama daripada tiga puluh hari berpuasa di bulan-bulan lainnya. Sementara satu hari berpuasa di bulan Muharam, lebih utama daripada tiga puluh hari berpuasa di bulan lainnya. Barangsiapa berpuasa di hari Kamis, Jum'at dan Sabtu di bulan-bulan Haram, niscaya Allah menuliskan baginya (pahala) ibadah tujuh ratus tahun.
Orang-orang fakir-miskin akan memasuki surga lima ratus tahun sebelum orang-orang kaya memasukinya.
Bersedekah pahalanya sepuluh, memberi hutang tanpa mengambil bunga pahalanya delapan belas, bersilaturrahmi (menghubungkan diri) dengan kawan-kawan pahalanya dua puluh, bersilaturrahmi dengan sanak keluarga pahalanya dua puluh empat.
Pahala sesuatu amalan sama dengan 10x, 100x, 1000x, dsb, dari pahala shalat wajib 5 waktu dalam seharinya.

 

Sekali lagi, jumlah pahala bukanlah hal untuk dihitung-hitung, tetapi hanyalah untuk menunjukkan 'tingkat keutamaan' sesuatu amal-perbuatan. Sederhananya, apakah seorang Arab yang memiliki rumah di dekat Masjidil-Haram, dan ia bisa shalat wajib 5 waktu di sana tiap harinya, pasti shalatnya jauh lebih afdol daripada orang-orang-lainnya, yang bertempat-tinggal di belahan-belahan Bumi lainnya?.

Jawabannya semestinya 'tidak', karena kandungan isi hadits di atas lebih dimaksud, seperti "setelah mampu pergi menunaikan ibadah haji, umat diwajibkan untuk melakukan thawaf dan shalat di Masjidil-Haram. Jika masih mampu, agar bisa berkunjung dan shalat di masjid Madinah, dan jika juga masih mampu, agar bisa berkunjung dan shalat di masjid Al-Aqsha.".

Selain hal itu pula, agar bisa makin mengingatkan umat Islam, atas kewajibannya untuk bisa pergi menunaikan ibadah haji ke Mekah, jika telah mampu dan cukup sekali seumur hidup. Serta juga mestinya diusahakan agar ibadah hajinya bisa 'mabrur', sebagai cerminan dari puncak keutuhan segala amal-ibadahnya sebelum berhaji. Dan setelah berhaji, agar bisa tetap menjaga ataupun makin memperbaiki keutuhan segala amal-ibadahnya sampai akhir hidupnya.

Kehidupan akhirat, kehidupan dan urusan pribadi

Dalam ungkapan "di atas langit masih ada langit", tampak jelas mengandung makna, bahwa manusia memang tidak perlu, atau bahkan pasti akan sia-sia untuk bisa mencapai langit, karena dengan berbagai artinya, "langit" memang tidak berujung. Ke-Maha Luas-an segala zat ciptaan-Nya dan segala aspeknya, termasuk umat manusia dan segala aspek kehidupannya, juga menunjukkan relatif amat terbatasnya umat manusia dalam segala halnya.

Selain itu pula, bahwa tiap manusia justru pasti hanya diminta pertanggung-jawabannya atas segala amal-perbuatannya sendiri dan ia tidak dianiaya-Nya (tidak ikut menanggung segala beban dosa orang-lain). Maka fokus paling penting dari kehidupan di dunia yang relatif amat sangat luas aspeknya ini, justru agar tiap manusia bisa semakin mensucikan atau membersihkan ruhnya masing-masing (membangun kehidupan akhiratnya).

Hal ini amat berbeda dengan sikap "egois" pada tiap manusia, atau tidak mau memperhatikan lingkungan sekitar. Justru sebaliknya, segala amal-kebaikan kepada lingkungannya, adalah bagian dari usaha pembangunan kehidupan akhirat pribadinya (atau kehidupan batiniah ruhnya), serta wujud dari pengamalan keimanannya.

Seperti misalnya: menjaga kebersihan lingkungan, menyayangi sesama; bersedekah atau menolong orang-lain; beramar ma'ruf nahi munkar; menyapa dengan do'a; dsb, maka pahala-Nya justru pastilah hanya bagi pelakunya sendiri.

Juga keseimbangan batiniah pribadi relatif jauh makin mudah tercapai, jika tiap manusia menjaga dan memperbaiki keseimbangan lingkungan sekitarnya. Hal inilah maksud dari anjuran-Nya, agar umat Islam membina atau membangun kehidupan masyarakat yang Islami, karena keseimbangan itupun jauh makin mudah tercapai, jika keadaan lingkungan sekitarnya memang mendukung.

Tujuan yang lebih ditekankan di sini adalah, tiap umat manusia pasti hanya bertanggung-jawab atas segala amal-perbuatannya sendiri. Serta bukanlah hak seorang manusia untuk menilai keimanan manusia lainnya, namun hanyalah hak Allah, Yang Maha mengetahui. Sesama manusia pada dasarnya hanyalah perlu saling 'mengingatkan' tentang tiap kebenaran-Nya, sama sekali bukan saling 'menghakimi'.

Kehidupan akhirat, sangat sulit dipahami

Namun keadaan batiniah ruh (juga tingkat keimanan), adalah hal-hal yang justru amat sulit untuk dinilai oleh manusia, bahkan oleh orang yang banyak beribadah dan hapal dalam membaca kitab suci Al Qur'an. Akhirnya pemahaman tiap manusia atas kondisi atau keadaan batiniah ruh ini cenderung lebih bersifat amat subyektif dan lahiriah.

Misalnya orang yang tampak sering pergi shalat ke Mesjid, memelihara jenggotnya, rajin berjubah, bersorban ataupun berkopiah, telah dikatakan telah beriman. Walau sebenarnya, penampilan lahiriah seperti itu belum tentu betul-betul sesuai dengan keadaan batiniahnya. Bahkan ada banyak aliran pemahaman dalam agama Islam, yang bisa menganggap alirannya yang paling benar dan paling beriman. Padahal hanyalah hak Allah, Yang Maha mengetahui dan menentukan tingkat keimanan seseorang.

Ironisnya, banyak umat Islam yang justru beranggapan, bahwa "kehidupan akhirat adalah urusan setelah Hari Kiamat, ataupun urusan setelah mencapai usia tua". Padahal kehidupan akhirat itu (kehidupan batiniah ruh) telah ada sejak diciptakan-Nya tiap zat ruh, ataupun telah ada pada kehidupan dunia. Dan kehidupan akhirat itu semestinya telah bisa mulai dibangun, sejak seorang anak manusia terlahir ke dunia ini, dan lebih khususnya lagi sejak usia akil-baliqnya (mulai dewasa).

Jika ditinjau pada aspek lahiriah, secara kasat mata seolah-olah tampak ada 'ketidak-adilan' Allah pada kehidupan dunia ini, karena segala pencapaian pada aspek lahiriah adalah acuan yang bisa mudah terlihat, walau amat semu dan mudah menyesatkan. Padahal manusia juga belum dikatakan beriman, jika belum menghadapi dan mengatasi segala bentuk ujian-Nya (kesempitan, kekurangan, kesusahan hidup, dsb). Segala hal fisik-lahiriah-duniawi bukanlah wujud dari keimanan, tetapi keimanan seseorang bisa tampak terwujud pada 'perilaku'-nya sehari-hari. 'Perilaku' sebagai perwujudan dari keadaan batiniah ruh, amatlah berbeda dari 'penampilan' (wujud lahiriah).

Contohnya, orang-orang yang telah banyak berbuat maksiat, dalam kehidupan sehari-harinya bisa tampak amat percaya diri, penuh kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya pada orang-orang beriman seolah-olah bisa tampak kurang percaya diri (tepatnya akibat sikapnya yang berrendah diri), bisa penuh kekurangan dan kesusahan hidup. 43)

Namun begitu, makin beriman seseorang semestinya juga akan makin berusaha untuk menjaga penampilannya sesuai dengan keadaan kemampuan dan tidak secaca berlebihan, karena penampilan itu relatif mendukung ingatannya untuk tetap menjaga perilakunya.

Janji-Nya, kehidupan akhirat yang kekal di Hari Kiamat

Untuk membuktikan sifat Maha Adil-Nya, bahkan Allah telah pula menjanjikan kepada umat manusia atas kedatangan Hari Kiamat. Di mana pada Hari Kiamat itu dibukakan-Nya segala tabir hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, agar bisa memutuskan segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia.

Pada Hari Kiamat itulah saat diputuskan-Nya hasil akhir dari proses penggodokan umat manusia, sebagai tujuan yang paling utama dari penciptaan seluruh alam semesta dan segala isinya ini, termasuk pula saat disempurnakan-Nya segala keadaan batiniah ruh tiap umat manusia (segala pahala dan beban dosanya). 44)

Penyempurnaan segala keadaan batiniah ruh tiap umat manusia itu merupakan penyempurnaan atas kehidupan akhirat yang telah bisa dibangunnya selama menjalani ujian-Nya di kehidupan dunia ini. Hal ini terjadi dengan disempurnakan-Nya segala pahala (nikmat-Nya) dan segala beban dosa (hukuman-Nya) pada tiap manusianya, yang sekecil atau sesederhana apapun bentuknya (sebesar biji zarrah), sesuai segala amal-perbuatannya di dunia (baik dan buruk). 45)

Dengan segala keterbatasannya tiap manusia memang mustahil bisa menilai tiap amal-perbuatannya (baik dan buruk), sesuai dengan penilaian-Nya, sedangkan pada Hari Kiamat semuanya pasti menjadi amat jelas, diikuti terbentuknya keadaan akhir batiniah ruh (keadaan kehidupan akhirat), yang hakiki dan kekal, yang telah berbentuk hasil akhir dari 'timbangan' segala amal-kebaikan dan amal-keburukan tiap manusianya, setelah dihisab-Nya (ditimbang segala nilai amalannya).

Dalam hasil timbangan amalan atau penghisaban itupun, justru dipertimbangkan segala nilai taubatnya yang dikabulkan-Nya, begitu pula berat beban ujian-Nya, ketika tiap amal-perbuatan itu dilakukan di dunia. Namun setelah Hari Kiamat itu ataupun setelah kematiannya, segala bentuk taubat manusia justru tidak diterima-Nya lagi.

Kehidupan batiniah ruh tiap manusia itu (kehidupan akhirat), adalah wujud akhir dari Surga dan Neraka di Hari Kiamat. Terhadap orang-orang yang dimasukkan-Nya ke dalam Surga, ruh-ruh mereka (batin atau jiwa) bisa merasakan kenikmatan hakiki, yang sangat jauh berbeda daripada kenikmatan duniawi yang sangat semu, dan bahkan relatif lebih sempurna daripada segala kebahagiaan batiniah ruh yang telah diperolehnya di dunia, yang cenderung penuh subyektifitas dan keterbatasan. Serta pada kehidupan akhirat di Surga, keadaan batiniah ruh tiap manusia penuh dengan segala kemuliaan.

Sebaliknya di Neraka, tiap manusia bisa merasakan hukuman, siksaan atau azab-Nya yang tidak terperikan 'panas apinya', karena keadaan batiniah ruhnya tersiksa, dan penuh dengan penyesalan yang telah sangat terlambat, sedang tiap manusianya juga telah benar-benar memahami, bahwa berbagai amal-perbuatannya selama di kehidupan dunia, penuh dengan kesia-siaan, dan bahkan telah pula merusak atau menghinakan dirinya sendiri, jatuh ke dalam jurang kenistaan.

"dan sesungguhnya, Hari Kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya. …." – (QS.22:7).

"… . Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang Kiamat itu. …." – (QS.43:61).

Nama-nama sebutan Hari Kiamat

Dalam Al-Qur'an, Hari Kiamat sering disebut pula dengan:

~ Hari Kebangkitan.
~ Hari Pertemuan.
~ Hari Berkumpul.
~ Hari Penyaksian.
~ Hari Penghisaban.
~ Hari Perhitungan.
~ Hari Keputusan,
~ Hari Pembalasan.
~ Hari Ancaman.
~ Hari Kemenangan.
~ Hari Penyesalan.
~ Hari Akhirat.
~ Hari Penghabisan.
~ Akhir jaman.
~ dsb.

 

Daftar dan keterangan yang lebih lengkapnya lagi bisa dilihat pada tabel berikut. Walau pada sumber keterangan lain disebut, bahwa nama sebutan dari Hari Kiamat ada lebih banyak lagi.

Berbagai nama sebutan lain dari Hari Kiamat

No

Nama sebutan

Keterangan

1.

Yaumul Qiyamah

Hari Kiamat.
2.

Yaumul Qaari'ah

Hari Kiamat.
3.

Yaumul Shaakhkhah

Hari yang memekakkan telinga, sebab pada hari itu malaikat Israfil meniup sangkakala.
4.

Yaumul Zilzalah

Hari kegemparan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti bisa mengalami kegemparan, terutama pada jiwa yang telah mengingkari berbagai kebenaran-Nya.
5.

Yaumul Raajifah

Hari gempa besar, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti bisa mengalami kegoncangan besar pada alam batiniahnya, terutama pada jiwa yang belum siap kembali ke hadapan 'Arsy-Nya, atau telah banyak berbuat dosa-dosa besar.
6.

Yaumul Ghasyiyah

Hari pingsan, sebab kehidupan tiap jiwa makhluk-Nya benar-benar terhenti, melalui tiupan sangkakala pertama.
7.

Yaumul Baati

Hari kebangkitan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dibangkitkan-Nya dari alam kuburnya, untuk kembali ke hadapan 'Arsy-Nya, melalui tiupan sangkakala kedua.
8.

Yaumul Khuruj

Hari keluar, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dibangkitkan-Nya keluar dari alam kuburnya.
9.

Yaumut Tanad

Hari pemanggilan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dipanggil-Nya berkumpul ke hadapan 'Arsy-Nya, melalui tiupan sangkakala sangkakala kedua.
10.

Yaumut Talaaq

Hari pertemuan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dipertemukan-Nya di hadapan 'Arsy-Nya (Padang Mahsyar), melalui tiupan sangkakala sangkakala kedua.
11.

Yaumul Jam'i

Hari berkumpul, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti dikumpulkan-Nya di hadapan 'Arsy-Nya (Padang Mahsyar), melalui tiupan sangkakala sangkakala kedua.
12.

Yaumul Haaqqah

Hari kebenaran, sebab pasti dibukakan-Nya segala kebenaran-Nya, untuk menuntaskan segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar makhluk-Nya.
13.

Yaumul Ardh

Hari penyaksian, sebab dipersaksikan-Nya segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya, disaksikan oleh para malaikat ataupun para saksi lainnya.
14.

Yaumut Taghabun

Hari penampakan amalan, sebab segala amal-perbuatan tiap makhluk-Nya pasti dibukakan-Nya kepada dirinya sendiri, oleh para malaikat Rakid dan 'Atid.
15.

Yaumul Thaammah

Hari kesulitan, sebab tiap jiwa makhluk-Nya tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri ataupun orang-lainnya, kecuali diselamatkan oleh segala amal-perbuatannya masing-masing.
16.

Yaumul Waqi'ah

Hari kejatuhan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya yang menyombongkan diri terhadap berbagai kebenaran-Nya, pasti jatuh tertunduk kepalanya dan juga berjatuhan segala kebanggaannya, setelah terbukti segala kekeliruan, kesalahan, keburukan dan kesia-siaannya selama hidup di dunia.
17.

Yaumul Hisab

Hari penghisaban / perhitungan, sebab segala arnal perbuatan tiap jiwa makhluk-Nya pasti dihitung-Nya jumlah nilai amalannya.
18.

Yaumul Fashl

Hari keputusan, sebab pada hari itu pasti diputuskan-Nya, apakah seorang layak hidup kekal di surga atau di neraka, berdasar segala amal-perbuatannya di dunia.
19.

Yaumul Wa'iid

Hari ancaman, sebab tiap ancaman-Nya atas tiap amal-keburukan makhluk-Nya, pasti terlaksana.
20.

Yaumul Jaza

Hari pembalasan, sebab setelah hari itu pasti ditentukan bentuk balasan-Nya yang terakhir dan kekal, atas tiap amal-perbuatan makhluk-Nya.
21.

Yaumud Din

Hari pembalasan, sebab setelah hari itu pasti ditentukan bentuk balasan-Nya yang terakhir dan kekal, atas tiap amal-perbuatan makhluk-Nya.
22.

Yaumul Hasrah

Hari penyesalan, sebab telah tidak ada lagi kesempatan bagi tiap jiwa makhluk-Nya, untuk menebus dosa-dosanya. Sehingga tiap jiwa yang berdosa itu pasti menyesali tiap amal-keburukannya, setelah mengetahui langsung segala bukti kebenaran-Nya.
23.

Yaumul Khulud

Hari kekekalan, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti mulai hidup kekal di surga atau neraka.
24.

Yaumul Akhir

Hari akhirat, sebab tiap-tiap jiwa makhluk-Nya pasti mulai bisa menjalani kehidupan akhirat yang sebenarnya dan kekal di surga atau neraka.
25.

Yaumu yafirrul mar-u min akhiihi wa ummihi wa abiihi wa shaachibatihi wa baniihi

Hari dimana seseorang tidak sempat lagi memperdulikan saudara, ibu, bapak dan istrinya, karena sedemikian beratnya keadaan pada hari itu.
26.

Yauma la yanfa'u maalun walaa banuuna illaa man atallaaha bi qalbin saliim

Hari dimana harta-benda dan anak keturunan tidak dapat menyelamatkan seseorang, kecuali segala amal-perbuatannya masing-masing.

Tanda-tanda kedatangan Hari Kiamat

Pada dasarnya di dalam Al-Qur'an tidak pernah disebut secara pasti, tentang waktu kedatangan Hari Kiamat itu. Karena hal ini juga termasuk sesuatu hal yang justru hanya semata hak Allah Yang Maha mengetahuinya. Para nabi-Nya sekalipun sama sekali tidak memiliki pengetahuan atas hal ini.

Namun justru yang disebut-sebut di dalam Al-Qur'an hanyalah berbagai tanda sebelum kedatangan Hari Kiamat itu, yang juga dibagi lagi menjadi tanda-tanda "kecil" (shughra) dan tanda-tanda "besar" (kubra), yang diungkap pada tabel di bawah.

Walau dipahami di sini, bahwa pada tanda-tanda itu sebagian besarnya bersifat perumpamaan 'simbolik', sebagai peringatan sangat keras bagi umat Islam, agar sangat mewaspadai dan jauh menghindari berbagai kejadian tersebut. Termasuk karena hal-hal itu justru tidak memiliki batasan ukuran yang jelas, sangat sulit diukur, bukan sesuatu yang perlu ditunggu-tunggu, ataupun karena kedatangan Hari Kiamat yang terjadi dengan tiba-tiba. Lebih khususnya lagi pada tanda-tanda "kecil" kedatangan Hari Kiamat, yang telah tampak dan masih sedang terjadi saat ini, ataupun pada tanda-tanda lainnya.

Dan ada pula sebagian dari tanda-tanda itu yang dianggap di sini telah keliru penafsirannya, seperti: kekeliruan penafsiran tentang keberadaan dan kedatangan Imam Mahdi, kekeliruan penafsiran atas turunnya nabi Isa as di akhir jaman, dan berbagai kekeliruan lainnya.

Baca pula topik "Nabi terakhir, untuk seluruh umat manusia", tentang kemustahilan turunnya nabi Isa as ataupun Imam Mahdi di akhir jaman.

Tanda-tanda "kecil" dan "besar" tentang
kedatangan Hari Kiamat

Dirangkum dari buku "Buku pimtar agama Islam", Syamsul Rijal Hamid.

Tanda-tanda "kecil" (shughra) di Hari Kiamat :

(sebagian di antaranya telah tampak pada kehidupan saat ini)

~ Ajaran Islam kurang diperhatikan oleh kaum muslim.
~ Jumlah alim-ulama (ahli agama) yang sesungguhnya semakin sedikit, sebaliknya banyak orang bodoh yang mengaku ulama dan menyesatkan umat.
~ Perzinahan telah menjadi suatu kebiasaan di masyarakat luas. Tidak hanya di kota-kota besar, melainkan juga di kota-kota kecil, bahkan di daerah terpencilpun perbuatan zina telah dianggap sesuatu yang lumrah.
~ Mabuk-mabukan dilakukan secara terang-terangan, seolah bukan perbuatan yang diharamkan.
~ Jumlah wanita semakin lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria, dan mereka telah tidak malu lagi berpakaian setengah telanjang. Sabda Rasulullah saw. "Engkau akan menyaksikan seorang pria akan diikuti empat puluh orang wanita. Para wanita itu berlindung kepadanya, karena sedikitnya jumlah pria dan banyaknya jumlah wanita. " (H.R. Abu Musa).
~ Banyak wanita yang berdandan / berpenampilan seperti pria, begitu juga sebaliknya. Perhatikanlah, betapa kian banyak wanita yang bertingkah seperti laki-laki. Sebaliknya kian bertambah pula jumlah laki-laki yang berperilaku sebagai wanita.
~ Umat manusia berlomba menumpuk harta-kekayaan, dengan jalan yang tidak bisa dibenarkan.
~ Para orang-tua telah menjadi budak dan diperlakukan sewenang-wenang oleh anak-anaknya sendiri.
~ Semakin banyak fitnah yang menimpa umat Islam.
~ Semakin sering terjadi bencana alam, pembunuhan dan peperangan. Dsb.

Tanda-tanda "besar" (kubra) di Hari Kiamat

~ Waktu berputar semakin cepat, sehingga setahun terasa sebulan, sebulan terasa seminggu.
~ Ka'bah roboh.
~ Matahari terbit dari sebelah barat.
~ Keluar binatang aneh dari perut Bumi yang memakai cincin nabi Sulaiman as, yang dapat berbicara dengan manusia dan memberikan tanda "kafir" kepada orang-orang yang tidak beriman.
~ Keluar Dajjal (pembohong yang menutupi kebenaran), sosok yang digambarkan oleh nabi Muhammad saw, sebagai keburukan terbesar sejak kelahiran nabi Adam as.
~ Adanya Ya'juj dan Ma'juj, berupa segolongan umat manusia yang mempunyai kekuatan besar dan berpikiran sesat.
~ Turunnya Imam Mahdi ke dunia untuk meluruskan syari'at Islam dan menghidupkan sunnah-sunnah Rasulullah saw.
~ Turunnya nabi Isa as dari langit yang akan menjadi hakim, untuk memperjuangkan kebenaran bersama Imam Mahdi. Dialah yang menumpas Dajjal, menghancurkan salib serta mengajak umat manusia agar meng-Esa-kan Allah, sekaligus menyembah-Nya.
~ Lenyapnya tulisan-tulisan dalam Al-Quran, dan tiada seorangpun yang hafal bacaannya.
~ Segenap manusia menjadi kafir, dan inilah tanda paling akhir menjelang Hari Kiamat. Dsb.

Dirangkum dari buku "Ensiklopedia Islam Al-Kamil", Syaikh Muhammad.

Tanda-tanda "kecil" (shughra) di Hari Kiamat :

a.

Tanda-tanda yang telah terjadi dan berakhir.

~ Pengutusan dan wafatnya nabi Muhammad saw.
~ Terbelahnya bulan.
~ Ditaklukkannya Baitul Maqdis.
~ Keluarnya api dari Bumi Hijaz (Saudi Arabia). Dsb.
b.

Tanda-tanda yang telah nampak dan masih terjadi.

~ Bermunculannya berbagai kerusakan.
~ Bermunculannya orang-orang yang mengaku nabi.
~ Tercabutnya ilmu syariat dan tersebarnya kebodohan.
~ Banyaknya para penjahat dan antek-antek kezaliman.
~ Tersebarnya minuman arak, pornografi dan perzinahan, serta penghalalannya.
~ Berbangga-bangga dengan masjid dan hiasannya.
~ Tersebarnya atau banyaknya pembunuhan.
~ Perputaran waktu yang cepat.
~ Diangkat dan dihormatinya orang-orang yang berbuat bejat, dan dihinanya orang-orang yang baik.
~ Bermunculannya berbagai kemusyrikan di tengah-tengah umat Islam.
~ Seringnya terjadi gempa.
~ Dikhianatinya orang-orang yang amat dipercaya umat Islam, dan dipercayanya para pengkhianat.
~ Terjadinya jual-beli hukum dan kesaksian palsu. Dsb.
c.

Tanda-tanda yang belum muncul.

~ Tersingkapnya sungai Eufrat dan terlihatnya gunung emas.
~ Ditaklukkannya konstantinopel tanpa senjata.
~ Amat sedikitnya laki-laki dibandingkan perempuan.
~ Kemunculan Imam Mahdi. Dsb.

Tanda-tanda "besar" (kubra) di Hari Kiamat

~ Keluarnya Dajjal.
~ Turunnya nabi Isa as.
~ Munculnya Ya'juj dan Ma'juj.
~ Terjadinya gerhana matahari di jazirah Arab.
~ Kemunculan asap di langit.
~ Matahari terbit dari barat.
~ Keluarnya sejenis binatang melata.
~ Keluarnya api yang menghalau manusia. Dsb.

 

"Maka tidaklah yang mereka tunggu-tunggu, melainkan Hari Kiamat (yaitu) kedatangannya kepada mereka dengan tiba-tiba. Karena sesungguhnya telah datang tanda-tandanya, maka apakah faedahnya bagi mereka kesadaran mereka itu, apabila Hari Kiamat telah datang." – (QS.47:18).

"Sesungguhnya Hari Kiamat itu akan datang, (namun) Aku merahasiakan (waktu kedatangannya), agar supaya tiap-tiap diri (manusia) itu, (akan) dibalas dengan apa yang ia usahakan." – (QS.20:15).

"Mereka menanyakan kepadamu tentang Hari Kiamat: 'Bilakah terjadinya'. Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu adalah pada sisi Rabb-ku. Tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Hari Kiamat itu amat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. Hari Kiamat itu tidak akan datang kepadamu, melainkan dengan tiba-tiba'. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: 'Sesungguhnya pengetahuan tentang Hari Kiamat itu adalah di sisi Rabb, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui'." – (QS.7:187).

Kejadian-kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas

Secara umum dan ringkas pada Hari Kiamat terjadi berbagai hal, sebagai berikut: 46)

Tabel 10: Kejadian-kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas

Berbagai kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas

a. Manusia dibinasakan-Nya dalam suatu kegoncangan yang amat dahsyat (kecuali bagi manusia yang dikehendaki-Nya), melalui tiupan terompet sangkakala pertama.
b. Manusia dibangkitkan-Nya, agar bisa 'hidup kembali' dari alam kuburnya, melalui tiupan terompet sangkakala kedua.
c. Manusia dikumpulkan-Nya, bersama dengan umat-umat manusia lainnya, langsung dekat di hadapan 'Arsy-Nya.
d. Dipanggilkan-Nya para saksi, untuk ikut serta membuktikan tiap amal-perbuatan manusia.
e. Dibukakan-Nya segala tabir-Nya atau segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya, agar bisa menghilangkan segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia.
f. Dihisab-Nya dengan amat teliti dan adil, atas tiap amal-perbuatan manusia (baik ataupun buruk), sesederhana atau sekecil apapun (sebesar 'biji zarrah').
g. Diputuskan-Nya balasan-Nya yang amat setimpal, atas tiap amal-perbuatan manusia.
h. Diberikan-Nya balasan-Nya yang amat setimpal, atas tiap amal-perbuatan manusia, dengan Surga atau Neraka (disempurnakan-Nya segala nikmat atau hukuman-Nya).
i. Manusia hidup kekal tinggal dalam Surga atau Neraka.

 

Baca pula uraian lebih lengkapnya pada topik-topik di bawah, tentang proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu, dalam bentuk simbolik dan bentuk hakekat yang sebenarnya (proses Penyaksian, dibukakan kebenaran-Nya, Penghisaban, Pemutusan dan Pembalasan).

Ada dua macam Hari Kiamat ('besar' dan 'kecil')

Selain pada pengertian umum dalam berbagai uraian di atas, terdapat versi lain yang menyangkut kejadian pada Hari Kiamat itu, yang relatif berbeda daripada pemahaman umat Islam pada umumnya. Pada versi pemahaman inipun dipisahkan antara "Hari Kiamat kecil" (pada kematian tiap manusia) dan "Hari Kiamat besar" (pada kematian seluruh manusia di akhir jaman, atau saat berakhirnya alam semesta).

Pada dasarnya kedua Hari Kiamat itu dianggap relatif serupa, termasuk pula tiap kejadian di sekitarnya. Semua keterangan di dalam Al-Qur'an yang menyangkut Hari Kiamat, juga dianggap berlaku sama bagi "Hari Kiamat kecil" dan "Hari Kiamat besar" tersebut. Lihat pula uraian-uraian selengkapnya di bawah.

Sehingga perbedaan pemahamannya semata-mata hanya pada 'waktu' kejadian Hari Kiamat, dengan sendirinya juga pada 'jumlah' umat manusia yang akan mengalaminya secara bersamaan. Dan 'Hari Kiamat besar' relatif sama dengan 'Hari Kiamat' atau 'akhir jaman' yang biasa dipahami oleh umat Islam pada umumnya.

Tentunya pemisahan definisi tentang Hari Kiamat "besar" dan "kecil" di atas, sangatlah berbeda pula dengan definisi yang biasanya dikenal oleh umat Islam, yaitu tanda-tanda "besar" (kubra) dan "kecil" (shughra), tentang kedatangan Hari Kiamat di atas, sehingga konteks dari pemakaian istilah 'besar' dan 'kecil' memang berbeda.

Pada versi lainnya tentang Hari Kiamat itu, pemakaian istilah 'besar' dan 'kecil' justru berkaitan langsung dengan 'harinya', sedang pada tabel di atas berkaitan dengan 'tanda-tandanya'. Maka menurut versi lain itu, tanda-tanda 'besar' dan 'kecil' di atas dianggap sebagai segala kejadian pada Hari Kiamat 'besar' atau pada akhir jaman (saat berakhirnya alam semesta ini).

Lebih lanjut, Hari Kiamat 'kecil' (kematian tiap makhluk)

Khusus tentang Hari Kiamat 'kecil', yang dianggap sebagai saat kematian dari tiap manusia itu sendiri (atau tiap manusia memiliki Hari Kiamat-nya masing-masing), diungkapkan lebih lengkap beserta berbagai dalil-alasan dan penjelasannya, sebagai berikut:

Berbagai dalil-alasan bagi pemahaman tentang
Hari Kiamat 'kecil'

a.

Hari Kiamat adalah saat kematian tiap manusia itu sendiri (atau tiap manusia memiliki Hari Kiamat-nya masing-masing). Hal ini berkaitan dengan kandungan isi beberapa ayat Al-Qur'an, seperti misalnya:

1.

Dalam surat Az-Zumar ayat 68 terkandung pernyataan, "tidak semua makhluk-Nya dibinasakan-Nya di Hari Kiamat (pada saat tiupan sangkakala pertama)".

"Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah, siapa yang ada di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. …." – (QS.39:68).

 

Hal ini sesuai dengan kematian tiap manusia, sedang manusia lainnya justru memang masih hidup di dunia.

Padahal gambaran umum tentang kehancuran dahsyat dunia atau keseluruhan alam semesta ini di Hari Kiamat (atau Hari Kiamat 'besar'), semestinya membinasakan seluruh manusia, walau zat-zat ruhnya sendiri tidak dibinasakan-Nya.

2.

Dalam beberapa ayat terkandung pernyataan, "Orang-orang yang telah dimasukkan ke neraka dan telah mengetahui bukti kebenaran-Nya, ada yang ingin kembali ke dunia. Merekapun berjanji akan berbuat baik pada kehidupan dunia berikutnya. Tetapi hal ini tidak diijinkan-Nya, dan merekapun tetap kekal hidup di neraka".

(misalnya: QS.2:167, QS.6:27-28, QS.7:53, QS.14:44, QS.23:99, QS.23:107, QS.26:102, QS.32:12, QS.39:58 dan QS.42:44).

Hal ini sesuai dengan kematian tiap manusia, sedang masih ada kehidupan dunia yang justru baru ditinggalkannya.

Padahal seperti di atas, setelah kehancuran dunia ini di Hari Kiamat, semestinya dunia tidak bisa ditinggali lagi dan tidak ada manusia di dalamnya. Juga semestinya mustahil ada lagi permintaan untuk kembali ke dunia, yang telah tidak ada.

3.

Dalam beberapa ayat terkandung pernyataan, "seluruh umat manusia pastilah dikumpulkan-Nya kembali ke hadapan-Nya di Hari Kiamat, tetapi secara bertahap (secara sendiri-sendiri, berbaris-berkelompok, beriringan, tiap umat, dsb)"

(misalnya: QS.19:95, QS.6:94, QS.77:17, QS.78:18, dan QS.18:48).

Hal ini sesuai dengan kematian sejumlah amat besar manusia 'tiap saatnya' secara bertahap sampai akhir jaman.

4.

Hari Kiamat kedatangannya tiba-tiba, tanpa bisa disadari oleh manusia dan tanpa ada yang mengetahuinya selain Allah.

(misalnya: QS.6:31, QS.7:187, QS.22:55, QS.29:53, QS.36:29, QS.36:51, QS.36:53, QS.37:19, QS.39:55, QS.43:66 dan QS.47:18).

Hal ini sesuai dengan kedatangan kematian tiap manusia

Sering disebut pula "bahwa waktu kedatangan Hari Kiamat itu dekat, amat dekat, telah dekat, dsb".

(misalnya: QS.21:97, QS.33:63, QS.40:18, QS.42:17, QS.53:57, QS.67:27, QS.70:7, QS.72:25 dan QS.78:40).

Hal ini sesuai dengan usia rata-rata kematian manusia yang 'hanya' sekitar 60 s/d 70 tahun (amat singkat atau dekat).

Padahal akhir jaman itu sendiri ("Hari Kiamat besar"), seperti saat berakhirnya usia Matahari, justru masih sekitar puluhan ataupun ratusan ribu tahun lagi (masih amat lama atau jauh).

5.

Kematian dan kebangkitan tiap manusia sering terkait dengan ruh (jiwa atau nyawa), juga dengan penciptaan tiap manusia (ditiupkan-Nya ruh).

Kematian sering terkait pula dengan dicabut, diangkat atau dibangkitkan-Nya tiap ruh, dari jasadnya di dalam kubur.

Padahal Hari Kebangkitan itu sebutan lain dari Hari Kiamat. Lihat pula Gambar 16 di bawah.

Juga tidak pernah jelas disebut selisih waktu antara kematian dan kebangkitan (atau selisih waktu antara tiupan sangkakala pertama dan kedua).

"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (diciptakan-Nya ruh), lalu Allah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh), kamu dimatikan (kematian teknis tubuh) dan dihidupkan-Nya kembali (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat). Kemudian kepada Allah-lah kamu dikembalikan (dikumpulkan-Nya ruh)." – (QS.2:28).

"Dan Dia-lah Allah, Yang telah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh), kemudian mematikan kamu (kematian teknis tubuh), kemudian menghidupkan kamu (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat). …" – (QS.22:66).

"Tidaklah Allah menciptakan (hidup di dunia) dan membangkitkan kamu (dari dalam kuburmu) itu (hidup di akhirat pada Hari Kiamat), melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa (ruh) saja. …" – (QS.31:28).

 

"Kesejahteraan atas dirinya (Yahya) pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali." – (QS.19:15).

"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan(-Nya) kepadaku (Isa), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali'." – (QS.19:33).

 

"…. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati (dihidupkan-Nya makhluk dengan ditiupkan-Nya ruh), dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup (dimatikan-Nya makhluk dengan dicabut-Nya ruh). …" − (QS.3:27) dan (QS.6:95, QS.10:31, QS.30:19).

6.

Tidak pernah disebut, bahwa semua umat manusia yang telah wafat terlebih dahulu mesti menunggu sampai wafatnya umat manusia terakhir pada akhir jaman, agar bisa bersama-sama dibangkitkan-Nya.

Apakah siksa kubur atas manusia terdahulu justru lebih lama dan berat?. 'Tidak', Allah Maha adil atai tiap makhluk-Nya.

Padahal tidak banyak pula disebut adanya keterangan tentang kehidupan alam kubur (kecuali siksa kubur), jika alam kubur dianggap amat lama waktunya, sejak dari jaman nabi Adam as sampai saat wafatnya manusia terakhir di akhir jaman.

Padahal amat banyak keterangan tentang alam akhirat di Hari Kiamat, yang juga gaib seperti halnya alam kubur.

Hal ini sesuai dengan kehidupan tiap manusia di alam kubur, yang justru relatif amat singkat (sekitar 40 hari, pada uraian poin d
di bawah), sehingga relatif amat terbatas pula disebut.

7.

Tidak pernah disebut, bahwa zat ruh bisa menetap amat lama (bahkan sampai akhir jaman) pada tubuh wadah tiap makhluk atau pada jasad tubuhnya di dalam kubur.

Padahal ruh hanya bisa menetap pada jasad tubuhnya dalam keadaan tertentu saja (terutama masih ada cukup energinya).

Baca pula topik "Ruh-ruh", tentang sifat-sifat zat ruh.

8.

Kegoncangan amat dahsyat di Hari Kiamat itu disebut, "tidak mengejutkan, tidak menyusahkan ataupun tidak dialami oleh orang-orang yang beriman" – (QS.27:87).

Hal ini sesuai dengan orang-orang beriman yang bisa relatif amat tenang dan bahagia dalam menghadapi kematiannya.

9.

Dalam beberapa ayat terkandung pernyataan, "Orang-orang terdahulu yang tidak beriman, telah ada yang dimasukkan ke neraka"

(misalnya: QS.40:84-85, QS.18:55 dan QS.35:43-44).

Maka Hari Kiamat telah ada terjadi dan terus-menerus terjadi sampai akhir jaman (Hari Kiamat 'besar' atau terakhir).

 

Dari semua uraian di atas justru memperkuat kesimpulan, bahwa "kematian pada tiap manusia adalah wujud dari Hari Kiamatnya masing-masing (Hari Kiamat 'kecil')", terutama lagi wujud dari tiupan sangkakala pertama yang disebut-sebut dalam Al-Qur'an.

Penjelasan lebih lanjutnya pada poin-poin di bawah.

b.

Kehancuran amat dahsyat alam semesta ini di Hari Kiamat (Hari Kiamat 'besar', akhir jaman) yang disebut dalam Al-Qur'an, lebih bersifat 'simbolik' sebagai peringatan amat keras bagi manusia.

Amat penting bagi tiap manusia untuk bisa menjalani kehidupan dunia fana ini (amat singkat) sesuai 'jalan-Nya yang lurus', agar selanjutnya ia bisa menjalani kehidupan akhiratnya yang hakiki dan kekal (hidup di surga dengan segala kemuliaan di dalamnya). Hal ini sesuai janji-Nya, serta menjadi hakekat atau tujuan paling utama dari diciptakan-Nya alam semesta ini.

Setelah ruh tiap manusia diturunkan atau ditiupkan-Nya, sesuatu saat ruhnya pasti akan dipanggil-Nya kembali ke hadapan 'Arsy-Nya (dibangkitkan atau diangkat-Nya), agar ia mempertanggung-jawabkan segala amal-perbuatannya di kehidupan dunia.

Gambaran kehancuran amat dahsyat pada Hari Kiamat (atau Hari Kiamat 'besar', akhir jaman), seperti: lautan yang meluap-luap; langit yang terbelah dan hancur berguguran; matahari dan bulan dikumpulkan, serta kehilangan cahayanya; gunung-gunung yang beterbangan dan hancur berbenturan; dsb.

Usia tiap manusia amat jauh lebih singkat dibanding dengan usia dunia atau alam semesta ini, maka kehancuran sistem Tata Surya yang masih amat lama misalnya (sekitar puluhan ataupun ratusan ribu tahun lagi), justru bisa dirasakan "tidak cukup penting" bagi sebagian besar umat manusia (Hari Kiamat bisa diabaikannya).

c.

Tiupan sangkakala pertama adalah 'simbol' saat kematian teknis dalam ilmu kedokteran, karena organ-organ penting tubuh tidak berfungsi (seperti: jantung, paru-paru, otak, hati, dsb). 47)

Dan sampai pada saat sebelum tiupan sangkakala kedua, zat ruh tiap manusia justru masih menyatu dengan tubuh wadahnya.

d.

Tiupan sangkakala kedua adalah 'simbol' saat zat ruh dicabut-Nya dari jasad tubuh wadahnya di dalam kuburnya (disebut pula dikeluarkan, dibangkitkan atau diangkat-Nya ruh). 47)

Hal ini juga terjadi setelah tubuh wadah manusianya terurai atau membusuk, serta ruhnya tidak lagi memiliki cukup energi untuk hidup di tubuhnya. Keadaan energi pada 'benih dasar tubuh' ini kurang dari keadaan energi saat awal ditiupkan-Nya dengan ruh.

Selang waktu antar kedua tiupan sangkakala, adalah lama waktu hilangnya energi pada benih dasar, yang bisa berlangsung sekitar puluhan atau ratusan hari (lama waktu pembusukan jasad tubuh di dalam tanah kuburannya misalnya).

Pada suatu hadits, hal ini disebut umumnya terjadi sekitar selama 40 hari.

Baca pula topik "Ruh-ruh", tentang sifat-sifat zat ruh.

e.

Selama waktu antara kedua tiupan sangkakala itu, tiap manusia mengalami kegoncangan batin atau jiwa yang amat dahsyat. 47)

Kegoncangan ini terutama pada tiap manusia yang memang tidak siap kembali ke hadirat Allah, Yang menciptakannya, karena ia memang telah mendustakan-Nya.

Termasuk karena adanya malaikat Munkar dan Nakir yang pasti menanyai dan memeriksa tiap manusia di alam kubur, yang juga. sering disebut sebagai "siksa kubur".

Kegoncangan juga karena keadaan tiap manusianya sendiri yang telah kehilangan tubuh wadah dan kehidupan dunianya.

Keadaan tiap manusia setelah kematiannya relatif serupa dengan keadaan batiniah ruh orang yang pingsan, mati suri, koma atau sekarat, serupa pula dengan keadaan batiniah ruhnya orang yang sedang bermimpi (alam batiniah ruhnya melayang kemana-mana, dengan banyak ragam kandungan isi mimpinya).

Bahkan surat Az-Zumar ayat 42 terkandung pernyataan, "Allah memegang jiwa (ruh) orang yang tertidur dan yang mati. Namun ruh orang yang tertidur itupun dilepaskan-Nya kembali atau tidak ditahan-Nya seperti pada ruh orang yang mati " – (QS.39:42).

Tentu saja kandungan isi "mimpi" setelah kematian inipun relatif amat berbeda dengan "mimpi biasa", dan bentuknya relatif lebih "nyata", sesuai tiap amal-perbuatan masing-masing umat selama di dunia ini, termasuk karena pengaruh kehadiran para malaikat pemeriksa atau penyiksa (malaikat Munkar dan Nakir).

Dari berbagai uraian di atas, penafsiran tentang adanya "nikmat hidup di alam kubur" menjadi amat tidak relevan. Penafsiran ini justru hanya timbul untuk menggambarkan keadaan orang-orang beriman di alam kubur, terutama dari penafsiran lainnya, bahwa hidup di alam kubur bisa amat lama (dari saat wafat sampai akhir jaman, dan bukan hanya sekitar "40 hari" di atas).

Apakah ruh para nabi-Nya (dan ruh manusia terdahulu) haruslah menunggu sampai saat wafatnya manusia terakhir di akhir jaman, agar bisa kembali ke hadapan 'Arsy-Nya?. Jawabannya 'tidak'.

Padahal seluruh kejadian di Hari Kiamat justru berlangsung amat cepat, seperti yang diuraikan pada poin i di bawah.

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang wujud kehidupan manusia di alam akhirat setelah Hari Kiamat.

f.

Setelah tiupan sangkakala kedua tiap ruh kembali 'hidup normal' atau kembali 'lebih stabil' dari kegoncangannya (tiap ruh telah mulai menyadari apa yang sedang terjadi saat itu). Hal ini sering disebut "dibangkitkan-Nya hidup kembali".

Keadaan 'hidup kembali' inipun sama seperti keadaan kehidupan ruh-ruh para makhluk gaib pada saat sekarang ini di alam gaib (alam arwah atau alam ruh).

Sehingga justru bukan tubuh-tubuh kasar yang dibangkitkan-Nya hidup kembali dari dalam kuburannya. Lebih penting lagi, karena pemahaman atas kebangkitan tubuh kasar itu, justru bertentangan dengan aturan-Nya (sunatullah).

Juga keadaan kehidupan di Surga yang penuh dengan kemuliaan itu, tentunya amat tidak sesuai dengan masih adanya tubuh kasar yang penuh dengan kekurangan, keterbatasan dan kehinaan.

Mustahil ada bentuk kehidupan dunia fisik-lahiriah 'kedua', yang relatif amat sangat ideal (Surga) ataupun yang relatif amat sangat tidak ideal (Neraka).

Sedang hal itu relatif mudah terjawab dalam kehidupan batiniah ruh tiap manusianya, dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan batiniahnya (Surga) yang diperoleh setelah mengikuti berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya, untuk bisa mencari dan mengenal Allah, serta bisa kembali dekat ke hadapan 'Arsy-Nya.

Sebaliknya siksaan batiniah ruh yang amat luar biasa (Neraka), setelah dilakukannya berbagai kebodohan dan kesia-siaan selama di kehidupan dunia fana ini, karena tidak memahami hakekat dan tujuan dari penciptaan alam semesta ini dan bahkan telah sengaja berpaling dari jalan-Nya yang lurus, seperti pada orang yang buta mata batiniahnya dan kehilangan arah tujuan hidupnya pada saat ia berjalan di muka Bumi.

Sedang pada alam batiniah tiap ruh justru tidak memiliki segala keterbatasan seperti halnya pada alam dunia-fisik-lahiriah.

Serta alam akhirat dengan Surga dan Neraka di dalamnya, yang mestinya suatu alam gaib, justru tidak semestinya jika dianggap kembali sebagai kehidupan atau alam nyata-fisik-lahiriah seperti saat sekarang ini.

g.

Bersamaan dengan proses kebangkitan di Hari Kiamat, tiap ruh diangkat-Nya 'kembali' dekat ke hadapan 'Arsy-Nya, untuk bisa dikumpulkan dan dipertemukan-Nya bersama dengan segala ruh manusia lainnya yang telah wafat.

Tentunya tiap manusia yang masih hidup di dunia ini belum turut serta berkumpul, karena mereka memang masih menjalani proses penggodokannya sendiri.

Baca pula topik "Jalan-Nya yang lurus", tentang dua macam 'kembali' ke hadapan 'Arsy-Nya.

h.

Segala hal yang berkaitan dengan tiap manusia di Hari Kiamat, justru hanya melibatkan ruhnya saja (batin atau jiwa), tetapi tidak berkaitan sama sekali dengan tubuh wadah fisik-lahiriahnya.

Hanya ruh manusia yang dikumpulkan-Nya kembali ke hadapan 'Arsy-Nya di Hari Kiamat, bukan tubuh fisik-lahiriahnya.

Lebih jelas misalnya, penyaksian, penghisaban, pemutusan dan pembalasan (pemberian balasan-Nya dengan Surga dan Neraka), juga semuanya terjadi pada alam batiniah ruhnya (alam akhirat).

Begitu pula halnya pemahaman atas ayat-ayat dalam Al-Qur'an, yang terkandung pernyataan "Allah menciptakan makhluk-Nya pada permulaan, kemudian mengulanginya kembali".

(misalnya: QS.10:4, QS.10:34, QS.21:104, QS.27:64 dan QS.29:19).

Pemahaman atas kata-kata "mengulanginya kembali" itu adalah, "Allah pasti mengembang-biakkan segala makhluk hidup nyata (termasuk manusia), atau Allah pasti terus-menerus mengulang penciptaan makhluk hidup nyata (sejak dari jaman nabi Adam as sampai akhir jaman)". Hal ini sama sekali bukan "menghidupkan kembali" jasad tubuh manusia yang telah mati di Hari Kiamat.

Serupa pula halnya pemahaman atas ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang terkandung pernyataan, "apabila kami telah mati, dan telah menjadi tanah dan tulang belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan (kembali)?" atau

"Allah akan mengumpulkan ataupun menyusun (kembali) tulang belulang dan jari jemarinya dengan sempurna.".

(misalnya: QS.2:259, QS.17:49, QS.17:98, QS.23:35, QS.23:82, QS.36:78, QS.37:16, QS.37:53, QS.56:47, QS.75:3 dan QS.79:11).

Pemahaman atas "dibangkitkan" atau "disusun" tersebut, adalah proses penciptaan manusia dari tanah di Bumi (di dunia, bukan di Hari Kiamat). Maka pada pernyataan di atas ada dua 'kami' yang berbeda ("kami yang bangkit" berbeda dari "kami yang mati").

Kata 'kami' itupun mestinya ditafsirkan sebagai "kami manusia", bukan "kami pribadi sebagai individu, atau saya".

Hal yang penting, justru "dibangkitkan (tubuh)" di dunia ini amat berbeda dengan "dibangkitkan (ruh)" di Hari Kiamat.

Baca pula topik "Makhluk hidup nyata", tentang siklus penciptaan manusia dari tanah dan kembali ke tanah.

i.

Seluruh kejadian di Hari Kiamat bahkan berlangsung amat cepat dan hampir bersamaan, terutama lagi setelah tiap zat ruh manusia 'kembali', sekaligus disertai dengan dibukakan-Nya segala hijab-tabir-pembatas (segala hikmah atau hakekat kebenaran-Nya).

"…. Tidak ada adalah kejadian Kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat. …." – (QS.16:77).

 

Seperti disebut "amatlah cepat dikumpulkan-Nya manusia pada Hari Kiamat." – (QS.50:44, QS.36:51, QS.54:8, dan QS.70:43).

Atau "amatlah cepat perhitungan-Nya atau hisab-Nya pada Hari Kiamat." – (QS.2:202, QS.3:19, QS.3:199, QS.5:4, QS.6:62, QS.13:41, QS.14:51, QS.24:39 dan QS.40:17).

Atau "amatlah cepat siksaan atau balasan-Nya pada Hari Kiamat " – (QS.6:165, QS.7:167 dan QS.10:21).

Padahal mudah diketahui pula, bahwa segala proses pada alam batiniah ruh manusia bisa berlangsung relatif amat sangat cepat, seperti segala proses berpikir tiap manusia yang mudah melintasi batas dimensi waktu dan ruang dalam sekejap saja. Hal-hal yang sebaliknya terjadi pada alam lahiriahnya, segala prosesnya justru berlangsung relatif amat sangat lambat (pada Tabel 14).

Serta seluruh kejadian atas tiap manusia di hari Kiamat itu juga tidak harus menunggu seluruh zat ruh terkumpul dahulu. Contoh sederhananya, saat ini ruh nabi Muhammad saw semestinya telah berada di Surga, yang paling tinggi tingkat kemuliaannya, justru bukan masih berada di dalam kuburan ataupun di alam kuburnya.

j.

Seluruh kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat (pada alam akhirat atau alam batiniah ruh), justru berlangsung amatlah cepat dan bersamaan.

Baca pula uraian lebih lengkapnya pada topik di bawah, tentang proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat yang sebenarnya (proses Penyaksian, dibukakan kebenaran-Nya, Penghisaban, Pemutusan dan Pembalasan).48)

k.

Dari berbagai poin di atas tampak adanya dua macam 'kembali'. Kembali pertama terkait dengan dibangkitkan dan dikumpulkan-Nya ruh di Hari Kiamat, sedang kembali kedua terkait dengan usaha tiap umat manusia untuk bisa makin mendekatkan dirinya kepada Allah, selama ia menjalani kehidupannya di dunia. 49)

Dan hakekat kedua macam kembali juga berbeda. Pada 'kembali pertama', 'zat' ruhnya yang dikumpulkan-Nya kembali, sebagai janji-Nya bagi pembuktian akhir atas segala kebenaran-Nya, dan 'kembali pertama' ini bersifat pasti (memaksa).

Sedang pada 'kembali kedua', segala 'keadaan batiniah' ruhnya yang sedang dipersiapkannya untuk kembali, dari hasil kesadaran tiap manusianya sendiri untuk bisa lebih mengenal-Nya, dan bisa lebih dekat ke hadapan 'Arsy-Nya, dengan cara mengikuti ajaran-ajaran agama-Nya.

Baca pula topik "Jalan-Nya yang lurus", tentang kedua macam 'kembali' ke hadapan 'Arsy-Nya.

Semakin tinggi ketidak-sesuaian antara dua macam kembali itu, maka keadaan batiniah ruh mengalami kegoncangan (hukuman-Nya) yang semakin tinggi pula. Jika sebaliknya, maka keadaan batiniah ruhnya mengalami ketenangan dan kenikmatan (pahala-Nya) yang semakin besar. Keadaan inipun sesuai dengan jumlah nilai amalan tiap manusia, pada uraian poin-poin di atas.

l.

Segala peranan para malaikat yang terkait dengan kematian dan Hari Kiamat justru berlaku amat sangat halus, tidak terlihat, tidak kentara, dan seolah-olah terjadi dengan begitu saja atau otomatis pada alam batiniah ruh tiap manusia.

Ringkasnya, beberapa proses kejadian pada Hari Kiamat (seperti: penyaksian, penghisaban, pengadilan, pemutusan, pembalasan, dsb) justru berlangsung bersamaan (atau tanpa jelas betul jenis dan urutan tahapan prosesnya).

Lebih jelasnya, semua proses itu terjadi atas tiap amalan manusia yang sedang diperiksa, maka terus terjadi secara berulang-ulang atas keseluruhan amalannya.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang tugas-tugas para makhluk gaib.

Juga tidak ada terjadi dua kali tiupan sangkakala secara 'nyata'. Hal ini hanya 'simbol' bagi dua tahapan perubahan amat penting pada kehidupan batiniah ruh tiap manusia.

Demikian pula berbagai kejadian di Hari Kiamat lainnya, karena pada dasarnya seluruh keterangan tentang hal-hal gaib, semata hanya berupa perumpamaan 'simbolik', agar relatif lebih mudah bisa dirasakan atau dipahami secara tidak langsung oleh umat.

Tentang hal-hal gaib itu, jauh lebih penting bagi tiap umat untuk memahami segala nilai, hikmah ataupun pesan yang terkandung dalam tiap keterangan, gambaran atau perumpamaan itu (seperti: padang Mahsyar, Shirath, Haudh, dsb).

Namun bentuk ataupun wujud dari perumpamaan itu, justru agar umat tidak menganggapnya terlalu penting betul, kecuali sebagai sarana penyampaian pengajaran seperti yang dilakukan oleh para nabi-Nya, terutama bagi umat-umat kebanyakan yang awam.

Hasil dari beriman kepada Hari Kiamat

Orang-orang yang beriman kepada kehidupan akhirat dan juga kedatangan Hari Kiamat (awal kehidupan akhirat yang sebenarnya), mestinya menjalani kehidupan di dunia ini dengan penuh rasa percaya diri dan kebahagiaan. Hal ini tentunya setelah sebanyak mungkin bisa mengikuti berbagai pengajaran dan tuntunan-Nya, yang disampaikan-Nya melalui ajaran-ajaran agama-Nya yang lurus (agama tauhid, yang terakhir agama Islam), dengan sebaik-baiknya sesuai dengan keadaan kemampuan dan pengetahuannya masing-masing.

Orang yang beriman kepada Hari Kiamat menjalani kehidupan di dunia ini dengan arah-tujuan yang makin jelas, khususnya agar bisa mengabdi dan mencari keredhaan Allah Yang telah menciptakannya. Agar ia bisa mendapat kehidupan akhirat yang amat baik yang yelah dijanjikan-Nya di Hari Kiamat, yang berupa segala kemuliaan yang amat tinggi dan dekat di sisi 'Arsy-Nya.

Sedang orang-orang yang kafir yang amat berlebihan mengejar kenikmatan duniawi, yang fana, amat semu dan mudah menyesatkan, hanya mendapat segala keinginannya itu sepanjang hidupnya di dunia saja. Apakah tujuan dari penciptaan alam semesta dan segala isinya ini (makhluk hidup dan benda mati, nyata dan gaib), bagi mereka hanya dijalani ataupun dinikmati sekitar 0 s/d 100 tahun usianya saja?, atau apakah tidak ada tujuan yang jauh lebih besar dan hakiki?.

Jawaban itu mestinya "tidak". Lebih jelasnya lagi, bahwa telah menjadi fitrah dasar ruh tiap manusia, untuk mengimani adanya Hari Kiamat dan kehidupan akhirat yang kekal. karena tiap manusia justru pasti memahami ada Tuhan, Yang Maha berkuasa atas seluruh alam semesta dan segala isinya ini, dan juga pasti ada tujuan yang jelas dari penciptaan alam semesta ini, yang justru relatif amat sangat sempurna bagi kehidupan umat manusia.

Namun orang-orang kafir itu sesungguhnya telah kehilangan kepercayaan atau keyakinan dirinya, untuk mendapat kehidupan yang baik di kehidupan akhiratnya (telah berputus-asa), karena segala beban dosa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Maka selanjutnya, mereka itu menjalani kehidupan dunia fana saat ini, hanya semata-mata untuk mengejar kenikmatan duniawi (hidup secara main-main). Serta orang-orang kafir itupun justru berusaha mengabaikan kehidupan akhirat dan Hari Kiamat, dan bahkan juga mengingkari keberadaan Tuhan.

"Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami, dan orang-orang yang beriman pada kehidupan dunia, dan pada hari (Kiamat, pada saat) berdirinya saksi-saksi (atas tiap amal-perbuatan manusia)," – (QS.40:51).

"Orang-orang yang tidak beriman kepada Hari Kiamat meminta, supaya hari itu segera didatangkan, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya, dan mereka yakin, bahwa Kiamat itu adalah benar (pasti terjadi). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah terhadap terjadinya Hari Kiamat itu, benar-benar dalam kesesatan yang jauh." – (QS.42:18).

Berbagai tahapan kejadian manusia, sampai akhir jaman

Pada Gambar 16 berikut ditunjukkan berbagai tahap kejadian sederhana, dari awal penciptaan alam semesta dan kehidupan manusia di dalamnya sampai akhir jaman (Hari kiamat 'besar'), khususnya yang terkait dengan berbagai perubahan penting atas zat ruh tiap manusia.

Secara garis besar, berbagai tahap kejadian itu meliputi:

1. Allah, Maha awal.
2. Awal penciptaan alam semesta dari tak-terhitung Ruh dan Atom.
3. Awal ruh tiap manusia ditiupkan-Nya ke tubuh wadahnya.
4. Awal tiap bayi manusia terlahir ke dunia.
5. Awal suara tiupan sangkakala yang pertama (waktu kematian tiap manusia, Hari kiamat 'kecil').
6. Awal suara tiupan sangkakala yang kedua (zat ruh tiap manusia diangkat-Nya dari jasad tubuhnya).
7. Awal kematian alam semesta (akhir jaman, Hari kiamat 'besar').
8. Hancur-musnahnya alam semesta (jika dikehendaki-Nya).
9. Allah, Maha akhir.

 

Dari Gambar 16 itu pula tampak cukup jelas, antara-lain:

1. Hanya Zat Allah Yang Maha kekal (tanpa awal dan tanpa akhir).
2. Segala zat ruh ciptaan-Nya justru bersifat 'kekal' (hanya sebatas usia alam semesta ini saja).
3. Tubuh wadah fisik-lahiriah-nyata pada segala makhluk-Nya (juga termasuk manusia), justru bersifat 'fana-sementara' (hanya sebatas usia hidupnya di dunia ini).
4. Setelah tiap zat ruh ditiupkan-Nya ke tubuh wadah masing-masing makhluk-Nya, suatu saat tiap zat ruh inipun pastilah akan kembali kepada-Nya (dicabut, diangkat atau dibangkitkan-Nya untuk hidup di alam ruh atau alam akhirat, yang 'gaib' dan 'kekal').

 

Gambar 16: Skema umum tahapan kejadian manusia

 

Keterangan gambar

Berbagai tahapan kejadian manusia dan alam semesta.

Pada dasarnya penggambaran di atas lebih menunjukkan keterkaitan antara kejadian di alam semesta dan berbagai kejadian atas zat ruh tiap manusia.

Sedang manusia itu sendiri tak-terhitung jumlahnya, sejak dari manusia pertama (nabi Adam as) sampai manusia terakhir di akhir jaman, sehingga tiap tahapan di atas relatif berbeda waktunya untuk tiap manusia.

"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (diciptakan-Nya ruh dan belum utuh sebagai makhluk-Nya), lalu Allah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh ke benih dasar tubuh), kamu dimatikan (kematian teknis tubuh) dan dihidupkan-Nya kembali (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat), kemudian kepada Allah-lah kamu dikembalikan (dikumpulkan-Nya ruh)." – (QS.2:28).

 

"Dan Dia-lah Allah, Yang telah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh ke benih dasar tubuh), kemudian mematikan kamu (kematian teknis tubuh), kemudian menghidupkan kamu (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat), sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat." – (QS.22:66).

Berbagai catatan tambahan tentang tiap tahap / periode:

Kolom 'lama waktu' pada tabel di bawah hanya ditinjau dalam konteks kerangka waktu 'tiap' manusia (antar manusia bisa berbeda). sedang kolom 'waktu mulai' dan 'waktu selesai' dalam konteks kerangka waktu 'keseluruhan' manusia (dari manusia pertama sampai manusia terakhir).

Tahap

Waktu mulai

Waktu selesai

Lama waktu

A

-tidak terbatas-

Awal penciptaan alam semesta.

Kekal, sampai Allah mulai menciptakan alam semesta ini, agar tiap makhluk-Nya bisa mengenal Allah, serta segala kemuliaan dan kekuasaan-Nya.

B

Sejak awal penciptaan alam semesta, dengan diciptakan-Nya tak-terhitung jenis dan jumlah 'Atom-materi' (nyata & mati) dan 'Ruh' (gaib & hidup).

Terjadi setelah diciptakan-Nya segala ketentuan / ketetapan-Nya bagi alam semesta (termasuk sunatullah atau aturan-Nya).

Awal penciptaan manusia pertama (atau manusia terakhir) di dunia ini.

Milyaran tahun ataupun lebih.

Seluruh ruh makhluk-Nya masih tinggal di Surga. Dan tiap manusia belum menjadi makhluk utuh (masih berupa ruh).

C

Sejak ditiupkan-Nya ruh manusia pertama (nabi Adam as), atau ruh manusia terakhir di akhir jaman, ke tiap benih dasar tubuhnya, menjadi sel janin.

Awal kelahiran manusia pertama (atau manusia terakhir).

Sekitar 9 bulan di alam rahim induknya, ataupun lama proses pembentukan tubuh janin.

D

Sejak kelahiran bayi manusia pertama (nabi Adam as), atau kelahiran bayi manusia terakhir di akhir jaman.

Awal kematian teknis manusia pertama (atau manusia terakhir).

Sekitar 0 tahun − usia terpanjang manusia, ataupun lama usia hidup manusia di dunia.

E

Sejak tiupan sangkakala pertama (Hari kiamat kecil) atau kematian teknis pada tiap manusia di dunia, akibat tidak berfungsinya berbagai organ penting tubuhnya.

Awal kebangkitan ruh manusia pertama (atau manusia terakhir).

Sekitar puluhan hari di alam kubur, ataupun lama pembusukan jasadnya sampai saat kematian sel benih dasar tubuhnya.

F

Sejak tiupan sangkakala kedua, atau saat tiap ruh manusia diangkat-Nya dari sel benih dasar tubuhnya yang mati (dikumpulkan-Nya atau dibangkitkan-Nya ruh), untuk hidup kembali di Surga atau Neraka pada alam akhirat.

Awal hancurnya Bumi ataupun sistem tata surya, sekitar ratusan ribu tahun lagi ataupun lebih.

Sekitar ratusan ribu tahun ataupun lebih di alam akhirat, ataupun lama waktu tahapan berkumpulnya seluruh ruh manusia.

G

Sejak hancurnya Bumi ataupun sistem tata surya (akhir jaman atau Hari kiamat besar), atau kematian pada seluruh manusia di dunia.

Hancurnya alam semesta (jika dikehendaki-Nya).

-tidak diketahui-.

Seluruh ruh makhluk-Nya kekal tinggal di Surga atau di Neraka (sampai dikehendaki-Nya lain).

H

Jika dikehendaki-Nya, sejak hancurnya alam semesta (akhir alam semesta), atau hancurnya seluruh zat makhluk-Nya.

Jika tidak dikehendaki-Nya, maka tahap H ini sama dengan tahap G.

-tidak terbatas-

Kekal (ruh zat Allah, dengan ataupun tanpa segala ruh makhluk-Nya).

Tidak ada taubat atau penebusan dosa di Hari Kiamat

Orang-orang kafir itu pada umumnya sekaligus pula mengikuti agama-agama yang amat mentolerir tiap dosa yang telah diperbuatnya sebelumnya, sehingga mereka itu telah mendapat pula pengakuan atau pembenaran secara moral dan resmi dari agamanya itu, atas perbuatan dosanya. Agama itu pada umumnya juga menjanjikan kepada mereka, tentang adanya penghapusan atas seluruh ataupun sebagian dosa-dosa mereka di Hari Kiamat, dan bahkan mereka mendapat kehidupan yang amat baik di Surga (pada alam akhirat).

Penebusan dosa-dosa merekapun umumnya relatif mudah pula untuk dilakukan, bahkan tidak harus ditebus oleh diri mereka sendiri, tetapi oleh sembahan mereka ataupun oleh orang-orang yang mereka anggap suci. Begitu pula relatif ringan konsep mereka tentang taubat, misalnya dengan hanya 'mengingat' kepada Sesembahannya, ataupun dengan melakukan pengakuan dosa melalui orang-orang suci mereka, maka dosanyapun relatif bisa langsung hilang.

Sedang konsep penebusan seluruh ataupun sebagian dosa di Hari Kiamat, justru tidak dikenal dalam agama Islam. Dosa-dosa tiap manusia hanyalah bisa dimaafkan-Nya, melalui usaha dari manusia itu sendiri, dengan cara sungguh-sungguh bertaubat selama di kehidupan dunia ini, serta semestinya dilakukan jauh sebelum menjelang ajalnya, karena saat mendekati ajal, segala bentuk taubat relatif telah terlambat untuk bisa dikabulkan-Nya.

Hal-hal ini relatif makin mudah dipahami, jika umat telah bisa memahami kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh tiap manusia). Pada saat menjelang ajal misalnya, berbagai keadaan batiniah ruh tiap manusia telah relatif amat sulit untuk bisa berubah. Sedang tiap taubat relatif hanya terkait dengan berbagai perbuatan dosa saja, dan tidaklah cukup hanya dilakukan melalui pikiran dan ucapan saja, namun juga melalui berbagai kebaikan tertentu, yang tentunya pula telah sulit atau tidak sempat untuk bisa dilakukan pada saat menjelang ajal tersebut.

Baca pula uraian-uraian di bawah tentang pengertian taubat ataupun syafaat.

Konsep taubat atau penebusan dosa dalam agama Islam

Konsep taubat atas dosa-dosa dari tiap manusianya, yang justru dikenal dalam agama Islam, pada umumnya meliputi:

Cara-cara dalam bertaubat

Tegas menyatakan permohonan ampunan dari Allah atas perbuatan dosa terkait (beristighfar).

Tentunya hanyalah atas ijin-Nya, maka suatu perbuatan dosa bisa dimaafkan-Nya (taubatnya bisa diterima-Nya), juga karena nilai dari suatu perbuatan manusia pasti hanya dinilai atau ditentukan oleh Allah, Tuhan Yang Maha berkuasa atas segala sesuatu hal.

Permohonan ampunan dari Allah umumnya dilakukan oleh umat Islam, dengan mengucapkan kalimat-kalimat 'istigfar'.

Tegas dan jelas menyatakan rasa bersalah (penyesalan) atas perbuatan dosa terkait.

Hal ini bisa dilakukan secara lisan (namun tidak perlu dilakukan di depan orang-lain) ataupun umumnya cukup di dalam hati saja. Ucapan lisan di depan orang-lain relatif tidak banyak faedahnya dan bisa menimbulkan berbagai kemudharatan, misalnya fitnah secara lahiriah ataupun batiniah dari orang-orang yang telah pula mengetahui perbuatan dosa terkait.

Pernyataan ini perlu untuk dilakukan agar bisa lebih menegaskan secara batiniah, bahwa perbuatan terkait adalah perbuatan dosa, dan umat memang jelas mengakui telah berbuat dosa tersebut.

Hal ini justru amat penting agar bisa lebih mudah mengingatnya, saat perbuatan dosa itu akan dilakukan kembali (sengaja ataupun tidak), juga agar lebih mudah untuk membatalkannya.

Tidak mengulangi kembali tiap perbuatan dosa terkait (secara sengaja ataupun tidak).

Makin sering umat melakukan sesuatu perbuatan dosa tertentu, maka alam batiniah ruhnya juga akan bisa makin mentolerir tiap perbuatan dosa tersebut.

Padahal suatu perbuatan disebut mengandung dosa, justru karena perbuatan itu telah berlebihan atau melampaui batas, juga karena pasti merusak keseimbangan alam semesta (lahiriah dan batiniah, sedikit atau banyak, pada diri sendiri, orang-lain, keluarga dan pada alam sekitar, dsb).

Pada akhirnya suatu perbuatan dosa pasti merusak keseimbangan alam batiniah ruh pelakunya sendiri, karena perbuatan dosa itu menimbulkan berbagai pertentangan batin, antara kekeliruan tiap dasar alasannya dalam berbuat, terhadap isi hati-nuraninya yang sebenarnya, yang mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya (dari hasil segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya).

Tentunya penilaian atas tingkat kerusakan batiniah ruh menurut tiap manusianya, justru relatif amat subyektif (tergantung kepada pemahaman dan kepekaan hati nuraninya masing-masing).

Jika makin sering sesuatu perbuatan dosa dilakukan, maka makin permanen segala kerusakan di alam batiniah ruh pelakunya, yang telah ditimbulkannya, lalu makin sulit pula keadaan batiniah ruh pelakunya itu untuk bisa diperbaiki (makin sulit bisa dimaafkan-Nya, ataupun makin sulit taubat bisa dikabulkan-Nya).

Hal ini bahkan bisa terjadi pula pada dosa-dosa kecil, yang pada awalnya relatif masih mudah untuk bisa dimaafkan-Nya.

Tingkat kesadaran dan keterpaksaan di dalam berbuat, juga amat mempengaruhi tingkat kerusakan alam batiniah ruh. Makin sadar dan sengaja sesuatu perbuatan dosa dilakukan (atau makin sesuai dengan pemahaman ataupun kehendak pelakunya), maka makin berat pula tingkat kerusakan pada alam batiniah ruhnya.

Melakukan berbagai amal-kebaikan tertentu, yang dianggap cukup bisa menutupi beban dari perbuatan dosa terkait.

Hal ini amatlah perlu dilakukan untuk bisa menutupi, mengobati ataupun mengurangi kerusakan di alam batiniah ruh, akibat dosa-dosa yang telah dilakukan. Pada dasarnya kerusakannya memang mustahil bisa dihilangkan sepenuhnya, tetapi jika banyak berbuat amal-kebaikan tertentu yang terkait, yang nilai amalannya relatif seimbang ataupun lebih baik daripada berbagai beban dosa yang telah diterimanya, maka atas ijin-Nya, perlahan-lahan beban dosa itu relatif bisa makin tertutupi, terobati ataupun terkurangi.

Karena hal itulah maka segala perbuatan dosa besar, yang tingkat kerusakan batiniahnya amat parah, relatif amat sulit dimaafkan-Nya (atau taubatnya relatif amat sulit bisa diterima-Nya).

Tindakan dalam melakukan segala amal-kebaikan semacam itu, sering disebut 'usaha membersihkan ataupun mensucikan ruh'.

Taubat atas berbagai dosa batiniah (berpikir buruk)

Selain berbagai perbuatan dosa yang umumnya mudah terlihat (secara lahiriah), justru ada pula berbagai perbuatan dosa yang hanya dilakukan secara batiniah dalam pikiran tiap manusia (berpikir buruk), yang pada dasarnya relatif amat kecil beban dosanya. Namun karena segala anggota badan fisik-lahiriah hanyalah tunduk dan patuh kepada segala perintah ruh manusianya, maka suatu perkataan dan perbuatan buruk justru pada dasarnya pastilah berawal dari suatu pikiran buruk.

Dengan adanya para jin, syaitan ataupun iblis yang pasti selalu mengikuti tiap manusia tiap saatnya, maka persoalan yang sebenarnya bukanlah pada 'ada ataupun tidaknya' berbagai pikiran buruk di dalam pikiran, namun pada bagaimana tindakan tiap manusianya selanjutnya dalam menyikapi atau menghadapi segala jenis bisikan-godaan-ilham negatif-buruk-sesat dari para makhluk gaib itu.

Maka fokus utamanya justru bukan pada istilah 'pikiran' (kata benda), tetapi pada istilah 'berpikir' (kata kerja). Karena pada istilah 'berpikir', tiap manusianya justru sedikit-banyak telah bersedia untuk mengikuti, menyetujui atau memperturutkan segala jenis ilham negatif tersebut. Hal ini justru perbuatan dosa (dosa pada pikiran), sedang tiap pikiran buruk yang pasti dimulai atau diawali oleh para makhluk gaib itu, justru tidak bisa ditolak oleh manusia (termasuk para nabi-Nya).

Maka dalam 'berpikir buruk' pada dasarnya juga memerlukan suatu taubat secara batiniah, sebelum bisa berkembang lebih.jauh atau terwujud menjadi berbagai perbuatan dosa yang bersifat nyata-lahiriah yang beban dosanya relatif jauh lebih besar.

'Taubat secara batiniah' ini pada dasarnya amat serupa dengan 'taubat secara lahiriah' yang telah diuraikan di atas, dengan cara-cara misalnya:

a. Segera memohon ampunan-Nya (beristighfar).
b. Segera menegaskan secara batiniah tentang penolakannya atas tiap pikiran negatif-buruk-sesat.
c. Segera mungkin agar bisa mengabaikan tiap pikiran negatif-buruk-sesat, yang baru muncul ataupun yang telah lama ada.
d. Sebanyak mungkin menghindari atau mengurangi berpikir negatif, dan sebaliknya sebanyak mungkin berpikir positif.

 

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang cara-cara mengatasi segala 'pikiran buruk'.

Tetapi ada pula 'berpikir buruk' itu yang beban dosanya relatif besar, sehingga justru amat perlu untuk bisa segera bertaubat dengan sebenar-benarnya, seperti "berburuk sangka dan curiga kepada Allah", termasuk mencari pengetahuan yang lebih jelas tentang Allah.

Syafaat, dan tidak diterima-Nya segala syafaat di Hari Kiamat

Ada pemahaman yang relatif keliru terkait dengan 'syafaat', yang berkembang luas di kalangan umat Islam, terutama yang berupa seperti "pemberian syafaat bagi tiap umat Islam dari nabi Muhammad saw di Hari Kiamat, akan bisa meringankan atau menolong umat dari ancaman azab atau hukuman-Nya (azab Neraka)".

Sebelum dibahas hakekat 'syafaat' yang sebenarnya, diungkap terlebih dahulu ayat-ayat terkait dalam Al-Qur'an, seperti:

Berbagai keterangan tentang 'syafaat', dalam Al-Qur'an

a.

Tentang tidak diterima-Nya syafaat di Hari Kiamat.

"Dan jagalah dirimu dari (pengadilan di) hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak bisa membela orang-lain, walau sedikitpun pembelaan itu. Dan (juga) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong" – (QS.2:48).

"Dan takutlah kamu kepada suatu hari (Hari Kiamat), di waktu seseorang tidak bisa menggantikan (membela) orang-lain sedikitpun, dan tidak akan diterima suatu tebusan darinya. Dan tidak akan memberi manfaat sesuatu syafaat kepadanya, dan tidak (pula) mereka ditolong." – (QS.2:123).

"…, yang pada hari (Kiamat) itu tidak ada lagi jual-beli, dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab, dan tidak ada lagi syafaat. Dan …." – (QS.2:254).

b.

Tentang syafaat yang baik dan buruk.

"Barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian darinya (pahala-Nya). Dan barangsiapa yang memberikan syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian darinya (beban dosa). …." – (QS.4:85).

c.

Tentang syafaat sebenarnya (syafaat baik) yang hanyalah berasal dari Allah.

"…. Sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafaatpun selain daripada Allah, agar mereka bertaqwa." – (QS.6:51).

"…. Tidak akan ada baginya (orang-orang yang kafir), pelindung dan tidak (pula) pemberi syafaat selain daripada Allah. Dan jika ia menebus dengan segala macam tebusanpun, niscaya tidak akan diterima (tebusan) itu darinya. …." – (QS.6:70).

"…. Tidak ada bagi kamu, selain daripada Allah, seorang penolongpun, dan tidak (pula) seorang (sesuatu) pemberi syafaat. …" – (QS.32:4).

"Katakanlah: 'Hanya kepunyaan-Nya syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi ini. …'." – (QS.39:44).

d.

Tentang sesuatu tidak bisa memberi ataupun menerima syafaat, tanpa ijin-Nya

"…. Siapakah yang bisa memberi syafaat di sisi-Nya, tanpa ijin-Nya?. …." – (QS.2:255).

"…. Tiada seorangpun yang akan memberi syafaat, kecuali setelah ada keijinan-Nya. …." – (QS.10:3).

"Pada hari (Kiamat) itu tidak berguna syafaat, kecuali bagi orang yang Allah Maha Pemurah, telah memberi ijin kepadanya, dan Dia telah meredhai perkataannya." – (QS.20:109).

"Dan tiadalah berguna syafaat di sisi-Nya, melainkan bagi orang-orang yang telah diijinkan-Nya memperoleh syafaat itu. …" – (QS.34:23).

e.

Tentang tidak ada syafaat dari ilah-ilah selain Allah.

"…. Dan Kami tiada melihat besertamu (orang-orang yang musyrik) pemberi syafaat yang kamu anggap, bahwa mereka itu sekutu-sekutu Allah di antara kamu. …." – (QS.6:94).

"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak bisa mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak pula kemanfaatan. Dan mereka berkata: 'Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi-Nya'. Katakanlah: 'Apakah kamu mengkhabarkan tentang Allah apa yang tidak diketahuinya di langit dan tidak (pula) di bumi'. …." – (QS.10:18).

"Maka kami (orang-orang yang musyrik) tidak mempunyai pemberi syafaat, (tidak) seorangpun," – (QS.26:100).

"Dan sekali-kali tidak ada pemberi syafaat bagi mereka, dari berhala-berhala mereka, dan adalah mereka mengingkari berhala mereka itu (pada Hari Kiamat)." – (QS.30:13).

"…. Niscaya syafaat mereka (ilah-ilah selain Allah) tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku. Dan mereka tidak (pula) bisa menyelamatkanku." – (QS.36:23).

"Bahkan mereka mengambil pemberi syafaat selain Allah. Katakanlah: 'Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu (syafaat)pun, dan tidak berakal?'." – (QS.39:43).

"Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, tidak bisa memberi syafaat. Akan tetapi (orang yang bisa memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak, dan mereka menyakini (kebenaran-Nya)." – (QS.43:86).

f.

Tentang syafaat para malaikat kepada orang beriman.

"…. Dan mereka (malaikat) tidak memberi syafaat, melainkan kepada orang-orang yang diredhai Allah. Dan …." – (QS.21:28).

"Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka (malaikat) sedikitpun tidak berguna, kecuali setelah Allah mengijinkan, bagi orang-orang yang dikehendaki dan diredhai-Nya." – (QS.53:26).

g.

Tentang syafaat hanya bagi orang-orang yang bersyahadat (atau hanya bagi umat Islam).

"Mereka tidaklah berhak mendapat syafaat, kecuali orang yang telah mengadakan perjanjian (telah bersyahadat) di sisi Rabb Yang Maha Pemurah." – (QS.19:87).

h.

Tentang tidak diterimanya syafaat bagi orang kafir

"…. (di Hari Kiamat) orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun, dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafaat, yang diterima syafaatnya." – (QS.40:18).

"Maka tidak berguna lagi bagi mereka (yang wafat dalam keadaan kekafiran), syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat." – (QS.74:48).

 

Dari ayat-ayat Al-Qur'an di atas bisa disimpulkan pula, bahwa 'syafaat' pada dasarnya berupa tiap 'nilai pelajaran' bagi tiap manusia (positif dan negatif), yang diperoleh dari: Allah; ilah-ilah selain Allah; para malaikat dan makhluk gaib lainnya; para nabi-Nya, para sahabat, para ulama, dan semua manusia lainnya; benda-benda mati; dsb.

Dengan dan hanya atas ijin-Nya, justru tiap syafaat yang bisa diterima-Nya, jika berupa 'pelajaran positif' (mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya), dan 'telah diamalkan' oleh tiap umat menjadi segala amal-kebaikan selama di 'kehidupan dunia'. Tanpa suatu pengamalan, syafaat atau pengajaran itu justru sama sekali tidak berguna bagi umat itu sendiri.

Maka di Hari Kiamat, syafaat yang diterima-Nya itupun telah melekat pada jumlah nilai amalan tiap manusia, dari hasil segala amal-kebaikannya di kehidupan dunianya. Syafaat itupun justru "bukanlah" sesuatu bonus nilai tambahan yang "otomatis" ditambahkan ke jumlah nilai amalan dari segala hasil usaha tiap manusia itu sendiri, yang lalu bisa meringankannya dari segala ancaman hukuman-Nya kepadanya (tidak bisa menebus sebagian ataupun seluruh dosa-dosanya).

Tiap manusia pastilah tetap bertanggung-jawab atas tiap amal-perbuatannya sendiri ataupun hanya bisa menebusnya sendiri dosanya, sedang hanya tiap manusianya sendiri yang sepenuhnya bisa mengatur keadaan batiniah ruhnya (atau kehidupan akhiratnya), selama di dunia. Maka kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat, yang berupa kelanjutan dari kehidupan akhirat yang terbangun selama di dunia, dan telah pula disempurnakan-Nya, pada akhirnya hanyalah semata-mata tergantung kepada segala amal-perbuatan tiap manusia selama di dunia tersebut.

Juga tidak ada suatu penebusan dosa secara "otomatis" di Hari Kiamat (sebagian ataupun seluruhnya), seperti halnya pada penafsiran tentang "ada syafaat nabi Muhammad saw kepada umat Islam, yang bisa menolong tiap umat Islam dari ancaman api neraka". Pemahaman atau penafsiran tentang penebusan dosa semacam ini, diyakini amat dipengaruhi dari ajaran agama di luar Islam. Karena pada dasarnya mustahil ada sesuatu hal selain dari tiap manusianya sendiri, yang bisa mengatur keadaan batiniah ruhnya selama di kehidupan dunia ataupun di Hari Kiamat. Sedang Allah justru hanya mengikuti sesuai tiap hasil usaha pengaturan oleh manusianya sendiri selama di dunia.

Bahwa syafaat dari nabi Muhammad saw bagi tiap umat Islam, sesungguhnya hanya akan bisa diterima-Nya, jika tiap pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah disampaikan oleh Nabi, telah bisa 'diterima' dan 'diamalkan' oleh umat itu sendiri. Jika tidak diamalkan oleh umat menjadi amal-kebaikan terkait, maka tiap syafaat atau pengajaran dari nabi Muhammad saw itupun sama sekali tidak berguna baginya.

Sedang adanya penyebutan syafaat, yang umumnya dikaitkan dengan Hari Kiamat, justru terkait dengan adanya proses 'Penyaksian' di Hari Kiamat. Karena pada proses 'Penyaksian', tiap amal-perbuatan manusia justru akan dibuktikan, apakah hal itu memang benar-benar hasil pengajaran dari para saksi yang terkait (seperti: nabi Muhammad saw, para nabi-Nya lainnya, para malaikat, dsb).

Apabila 'tidak terbukti', maka amalan itu tanpa memiliki dasar alasan pembenaran sama sekali, ataupun manusianya hanya mengada-adakan sendiri amalannya itu, dan sebaliknya apabila 'terbukti', maka amalan itu memang hasil pengajaran dari pihak-pihak lainnya, yang juga pasti menjadi saksi baginya di Hari Kiamat. Apabila pengajaran itupun bersifat 'positif', juga bisa disebut, bahwa amalannya ataupun syafaat dari pihak lainnya baginya bisa diterima-Nya.

Lihat pula pada Gambar 17, tentang hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian di Hari Kiamat.

Anggapan "bahwa syafaat dari nabi Muhammad saw bagi tiap umat Islam, yang bisa menolongnya dari ancaman api neraka di Hari Kiamat", justru bisa amat menyesatkan, dan juga serupa seperti halnya pemahaman konsep penebusan atau penghapusan dosa secara otomatis di Hari Kiamat, pada beberapa agama lainnya (di luar agama Islam).

Apakah jadinya apabila ada umat Islam yang merasa nasibnya telah 'aman' di Hari Kiamat, walau dalam kehidupannya sehari-hari ia justru banyak berbuat kemungkaran ataupun kekafiran, tanpa adanya berbagai usahanya untuk bisa memperbaiki dirinya (bertaubat)?.

Dari ayat-ayat Al-Qur'an di atas, juga bisa terungkap berbagai hal lainnya, seperti:

Berbagai kesimpulan pemahaman tentang 'syafaat'

a.

Syafaat bagi tiap manusia tidak diterima-Nya lagi sejak saat kematiannya ataupun sejak Hari Kiamat.

Segala amal-perbuatannya yang dilakukan sejak saat itu memang tidak diperhitungkan-Nya lagi (segala amalannya telah terputus, atau segala keadaan batiniah ruhnya relatif tidak berubah lagi).

b.

Syafaat baik adalah pengajaran yang bersifat positif (mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya)

Syafaat baik bisa berasal dari: para malaikat; para nabi-Nya; para wali; para alim-ulama; orang beriman; manusia biasa; dsb.

Syafaat buruk adalah pengajaran yang bersifat negatif (mengandung nilai-nilai kesesatan).

Syafaat buruk bisa berasal dari: para jin, syaitan dan iblis; ilah-ilah selain Allah; orang kafir; manusia biasa; benda mati; dsb.

c.

Syafaat yang sebenarnya (syafaat baik), hanya berasal dari Allah.

Segala kebenaran 'mutlak' pastilah hanya milik dan berasal dari Allah, yang bisa dipahami oleh tiap manusia melalui tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya yang ada di seluruh alam semesta ini. Maka segala bentuk pengajaran yang mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya (syafaat baik), dari siapapun penyampainya dan pada kitab manapun tertulis, justru pastilah berasal dari Allah.

d.

Segala sesuatu tidak bisa memberi ataupun menerima syafaat, tanpa ijin-Nya.

Segala hasil pengajaran dan tuntunan-Nya (hikmah dan hidayah-Nya atas berbagai nilai kebenaran-Nya), pastilah hanya atas ijin-Nya (pasti mengikuti sunatullah), maka bisa didapat oleh orang-orang yang dikehendaki-Nya (para penerima syafaat).

Dan hanya atas ijin-Nya pula, maka segala sesuatu zat ciptaan-Nya (para pemberi syafaat), bisa menyampaikan tiap pengajaran dan tuntunan-Nya bagi umat manusia.

e.

Tidak ada syafaat dari ilah-ilah selain Allah.

Seperti disebut di atas, segala kebenaran pastilah hanya milik dan berasal dari Allah. Dengan sendirinya, segala bahan pengajaran yang telah diperoleh dari ilah-ilah selain Allah, pastilah tidak ada mengandung sesuatu kebenaran, terutama apabila ditinjau secara 'keseluruhannya' (sebagiannya seolah-olah tampak relatif benar), karena pondasi tauhid yang melatar-belakangi pengajarannya itu justru pasti mengandung cacat atau sesat (tauhidnya tidak lurus).

Memang relatif banyak dari pengajaran seperti itu (pada ajaran-ajaran agama yang musyrik), yang 'seolah-olah' jelas tampak ada mengandung berbagai kebenaran, tetapi apabila pengamalannya berdasarkan kepada tauhid yang cacat (bukanlah untuk mengabdi kepada-Nya), maka syafaatnya pastilah tidak diterima-Nya.

Bahkan terkait hal ini sering disebut dalam Al-Qur'an, "sia-sia segala amal-kebaikan dari orang-orang yang kafir-musyrik".

f.

Syafaat dari para malaikat kepada orang beriman.

Hal ini banyak disebut dalam Al-Qur'an, terutama dari malaikat Jibril sebagai utusan-Nya dalam menyampaikan pengajaran dan tuntunan-Nya (atau wahyu-Nya) kepada para nabi-Nya. Dan hal inipun pada dasarnya serupa dengan penyampaian segala hikmah dan hidayah-Nya kepada tiap umat manusia pada umumnya.

g.

Syafaat hanya bagi orang-orang yang telah bersyahadat (atau hanya bagi umat Islam).

Hal ini justru terkait dengan kelurusan tauhid umat Islam (dalam bacaan syahadat), karena secara sadar ataupun tidak, tauhid pasti mendasari segala amal-perbuatan manusia tiap saatnya sepanjang hidupnya. Serta tauhid terkait dengan Tuhan, sebagai tempat bagi tiap manusia untuk menyerahkan atau mengabdikan dirinya, dan bahkan termasuk menyerahkan seluruh kehidupannya.

Namun tentunya, perbuatan kekafiran yang bisa pula dilakukan oleh tiap umat Islam, pasti tidak akan mendapat keredhaan-Nya. Dengan sendirinya pula, syafaat baginya yang terkait dengan tiap perbuatan kekafirannya, pasti akan tidak diterima-Nya.

Sedang sebaliknya, syafaat baginya atas tiap amal-kebaikannya, pasti akan diterima-Nya.

h.

Syafaat bagi orang kafir, tidak diterima-Nya.

Jika hal ini terkait dengan orang yang 'berbuat' kafir (bisa pula dilakukan oleh umat Islam), maka tiap perbuatan kekafiran yang pasti sama-sekali tidak memiliki dasar alasan pembenaran, pasti tidak akan diredhai-Nya ataupun syafaat baginya pasti tidak akan diterima-Nya.

Tetapi jika hal ini terkait dengan orang yang 'tauhidnya' kafir (cacat tauhidnya ataupun sesuatu kemusyrikan), maka pada tiap kekafiran semacam ini, tiap amalannya atau syafaat baginya pasti tidak akan diterima-Nya. Kecuali jika ia telah masuk Islam dan telah bertaubat, relatif jauh sebelum menjelang akhir hidupnya.

i.

Syafaat yang diterima-Nya, hanyalah terkait dengan 'tiap' amal-kebaikan dari 'tiap' umat Islam, selama di dunia.

Anggapan umum yang keliru, yaitu "syafaat yang diberikan oleh nabi Muhammad saw bagi 'seluruh' umat Islam, dengan segala bentuk amal-perbuatannya (baik dan buruk)".

Kalaupun ada, hal ini justru hanya terkait dengan kesamaan dan kelurusan tauhid umat Islam, seperti halnya yang telah diajarkan oleh para nabi-Nya (terutama nabi Muhammad saw), yaitu "tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa".

Tiap perbuatan kekafiran (melanggar perintah-Nya) yang telah dilakukan oleh umat Islam, 'umumnya' tidak berdasar pada suatu kesengajaan untuk mau menentang dan berpaling dari kebenaran-Nya, tetapi akibat dari kekhilafan ataupun kesesatan sesaat (umat itu sendiri memang masih menyembah Allah). Sehingga beban dosanya bisa relatif lebih ringan daripada beban dosa bagi orang musyrik, yang melakukan suatu perbuatan kekafiran yang persis sama (hanya berbeda pelakunya saja).

Maka syafaat bagi tiap amal-keburukan dari tiap umat Islam pasti akan tidak diterima-Nya, walaupun kelurusan tauhidnya memang bisa 'sedikit meringankan' beban dosanya.

 

Juga harus betul-betul dipahami istilah-istilah berikut:

~

'Diterimanya syafaat oleh Allah'.

Suatu syafaat atau suatu pelajaran positif (mengandung nilai-nilai kebenaran-Nya) justru hanya bisa diterima oleh Allah, jika telah diamalkan menjadi berbagai amal-kebaikan. Maka di Hari Kiamat, segala syafaat tidak diterima oleh Allah, karena sejak saat itu (atau sejak kematian tiap manusianya), segala amalannya telah terputus.

~

'Diterimanya syafaat oleh umat' atau 'diberikannya syafaat kepada umat'

Segala syafaat (baik dan buruk) justru hanya terjadi di kehidupan dunia ini (diterima oleh umat atau diberikan kepada umat), melalui segala bentuk pelajaran yang diperolehnya (positif-baik-benar dan negatif-buruk-sesat), dari berbagai hal, misalnya: Allah; ilah-ilah selain Allah; para malaikat, jin, syaitan dan iblis; para nabi-Nya, para wali, para alim-ulama, segala makhluk dan manusia lainnya; benda-benda mati, dsb.

Maka syafaat justru bisa diberikan oleh segala sesuatu hal, yang dianggap telah menjadi sumber pelajaran bagi umat. Bahkan para pemberi syafaat justru belum tentu menyadari langsung, bahwa ia memang telah memberi syafaat kepada umat, atau umat itu sendiri yang justru telah mengambil berbagai pelajaran darinya (dengan ataupun tanpa sepengetahuan para pemberi syafaatnya).

 

Pada akhirnya, syafaat justru sama sekali bukan sesuatu bentuk 'penghapusan dosa' bagi segala amal-keburukan dari tiap umat Islam. Namun syafaat yang diterima-Nya justru hanya terkait dengan segala pengajaran-Nya, yang telah diamalkan menjadi segala amal-kebaikan.

Lebih lanjut, Syafaat di Hari Kiamat

Dari berbagai uraian di atas, bahwa tiap syafaat justru bukan diberikan di Hari Kiamat oleh para pemberi syafaat (para penyampai pengajaran dan tuntunan-Nya, khususnya para nabi-Nya), tetapi telah berwujud berupa seluruh nilai amalan kebaikan yang dilakukan pada kehidupan dunia ini oleh tiap umat yang menerima syafaat, dan juga telah diamalkannya 'sesuai' dengan segala pengajaran atau syafaat itu.

Bahkan syafaat dari nabi Muhammad saw bagi tiap umat Islam justru bukan 'dibagikan' secara merata di Hari Kiamat, agar bisa pula meringankan ataupun menolongnya dari ancaman azab neraka, seperti halnya pemahaman yang berkembang luas di kalangan umat Islam.

Fokus utama dari proses 'diberikannya' syafaat (oleh pemberi syafaat) ataupun proses 'diterimanya' syafaat (oleh penerima syafaat) justru terjadi pada kehidupan dunia ini. Sedang di hadapan Allah dan para saksi di Hari Kiamat, justru hanya sekedar suatu 'klarifikasi' atau 'pengecekan', "apakah suatu amal-perbuatan manusia di dunia berasal dari ataupun 'sesuai benar' dengan hasil pengajaran dari pihak lainnya (para saksi), ataupun tidak?" atau "apakah diada-adakan sendiri oleh manusia pelakunya?".

Maka fokus utama lainnya dari syafaat, adalah harus ada suatu 'kesesuaian' antara pengajaran yang telah disampaikan oleh pemberi syafaat (penyampai kebenaran-Nya), dan pemahaman yang ditangkap oleh penerima pengajaran. Jika 'tidak sesuai' (penerima pengajaran itu tidak benar-benar memahami hal-hal yang diajarkan), maka penerima pengajaran itupun justru bukanlah penerima syafaat yang sebenarnya, apalagi jika tiap pengajaran itu belum diamalkan.

Lihat pula pada Gambar 17 berikut, tentang hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian di Hari Kiamat.

Syafaat bagi tiap umat justru bukanlah diberikan bagi 'seluruh' amal-perbuatan umat itu, tetapi hanya bagi 'tiap' amal-perbuatannya, yang memang suatu bentuk pengamalan yang benar-benar telah sesuai dengan hasil pengajaran dari pemberi syafaat itu. Sedangkan diketahui pula, manusia justru bukanlah makhluk yang konsisten dalam berbuat.

Kalaupun di Hari Kiamat, syafaat 'seolah-olah' dianggap bisa sebagai 'penolong' bagi tiap manusia atas sesuatu amal-perbuatannya, karena pada pengadilan akhirat (Penyaksian) akan dibuktikan, apakah amalan itu (baik-benar dan buruk-sesat) memang benar-benar berasal dari hasil pengajaran pihak lainnya (para saksi).

Jika 'benar' diajarkan oleh para saksi tersebut, maka manusia pelakunya relatif memiliki sesuatu dasar alasan pembenaran, di dalam melakukan amal-perbuatannya itu. Jika amal-perbuatannya itu berupa keburukan atau kesesatan, maka para pemberi syafaat buruk ini (para saksi), justru ikut bertanggung-jawab atas amal-perbuatan itu. Sedang di lain pihak, justru para nabi-Nya sebagai penyampai pengajaran dan tuntunan-Nya, mustahil memberi syafaat buruk seperti ini.

Sekali lagi, "syafaat baik" dari para nabi-Nya itu memang bisa dianggap sebagai penolong bagi umatnya di Hari Kiamat, karena para nabi-Nya memang justru langsung ikut bertanggung-jawab di hadapan Allah, atas tiap amal-perbuatan umatnya yang dilakukan berdasar hasil dari pengajaran mereka. Selain itu, para nabi-Nya memang harus ikut bertanggung-jawab pula atas segala pengajarannya, "apakah memang sesuai dengan kehendak dan keredhaan-Nya ataupun tidak?".

Sehingga beban tanggung-jawab di pundak para nabi-Nya itu justru amat sangat besar atas tiap pengajarannya. Sedang seluruh umat manusia lainnya yang telah mendapat tiap pengajaran dari para nabi-Nya (sedikit ataupun banyak, langsung ataupun tidak), sadar ataupun tidak, justru pada dasarnya ikut meletakkan beban di pundak mereka. Hal yang serupa pula pada semua penyampai kebenaran-Nya lainnya, seperti: wali, alim-ulama, ustadz, orang-tua, dsb.

Hal itu yang menjadikan suatu pemahaman kenabian memiliki persyaratan yang amat sangat berat, yang amat sulit bisa dicapai oleh manusia biasa pada umumnya, yaitu: amat lengkap (sesuai jamannya), mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan keseluruhan pemahamannya. Sehingga dengan pemahaman seperti ini, para nabi-Nya bisa memiliki keyakinan yang amat kuat, bahwa pemahamannya telah relatif sesuai dengan berbagai kebenaran-Nya di alam semesta ini (tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya).

Sekaligus mereka itu bisa amat yakin pula, untuk mengajarkan segala pemahamannya kepada seluruh umat manusia pada jamannya masing-masing, sebagai suatu "pengajaran dan tuntunan-Nya".

Maka bagi tiap umat pengikut para nabi-Nya juga harus benar-benar yakin, "apakah segala pemahamannya sekarang ini telah benar-benar 'sesuai' dengan segala hal yang telah diajarkan oleh para nabi-Nya.(terutama pada tingkat pemahaman Al-Hikmah atau hikmah dan hakekat kebenaran-Nya)?", karena makna tekstual-harfiah tiap ayat Al-Kitab relatif 'belum tentu' sesuai dengan Al-Hikmah di dalamnya.

Khusus bagi tiap umat Islam, tiap amal-perbuatannya tentunya justru harus benar-benar 'sesuai' dengan hal-hal yang diajarkan atau dimaksud oleh nabi Muhammad saw, atau sesuai dengan hikmah dan hakekat kebenaran-Nya (Al-Hikmah), di balik teks ayat kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi (Sunnah Nabi), agar tiap amal-perbuatannya ataupun syafaat dari Nabi atas amalan itu, benar-benar bisa diterima oleh Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun.

Padahal di lain pihak, tingkat pemahaman tiap umat Islam atas ajaran-ajaran agama-Nya, justru relatif berragam dari yang amat maju (melalui berbagai riset dan penelitian pada saat sekarang ini), sampai yang amat tradisional (memakai berbagai kitab kuno dari para alim-ulama terdahulu), dari amat mendalam (tingkat hikmah dan hakekat), sampai amat sederhana (tingkat tekstual-harfiah).

Sehingga syafaat yang bisa diterima oleh Allah, atas tiap amal-perbuatan umat Islam tentunya juga relatif berbeda-beda. Hal ini amat tergantung kepada 'kedekatan' pemahaman tiap umat Islam terhadap pemahaman nabi Muhammad saw, makin dekat tentunya syafaat Nabi atas tiap pengamalan oleh umat, juga makin bisa diterima oleh Allah.

Tentunya tingkat pemahaman yang relatif 'sama' pada seluruh umat Islam, adalah pemahaman atas tauhid "tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa.", sebagai pondasi yang paling dasar bagi kehidupan tiap umat Islam sehari-harinya, sehingga kalimat tauhid ada terhadap dalam kalimat syahadat, sebagai suatu kalimat perjanjian paling awal di hadapan Allah, saat seseorang telah mulai menjadi seorang Muslim.

Maka kalimat tauhid inilah 'penolong' yang paling utama dan paling dasar bagi seluruh umat Islam di Hari Kiamat.

Gambar 17: Diagram hubungan syafaat dan Penyaksian di Hari Kiamat

Gambaran hubungan Syafaat dan penyaksian di Hari Kiamat

Pada Gambar 17 di atas telah digambarkan secara sederhana, atas hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat. Walau proses Penyaksian yang digambarkan pada dasarnya justru lebih berbentuk 'contoh-perumpamaan simbolik' (bukan fakta-kenyataan-hakekat yang sebenarnya).

Segala bentuk kesaksian para saksi pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat (dalam bentuk 'simbolik'), pada dasarnya telah tersedia semuanya pada catatan amalan dalam tiap ruh manusia (dalam bentuk hakekat yang sebenarnya). Sehingga para saksi sebenarnya 'tidak ada' pada proses Penyaksian itu, tetapi saksi yang sebenarnya justru hanya berupa 'catatan amalan' tiap manusianya sendiri.

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, dalam bentuk simbolik dan hakekat yang sebenarnya.

Proses pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat

Pada dasarnya beberapa proses kejadian di Hari Kiamat, yang disebutkan pada "Tabel 10: Kejadian-kejadian umum di Hari Kiamat, secara ringkas" (poin d s/d h), adalah beberapa proses kejadian pada pengadilan akhirat. Proses pengadilan akhirat di Hari Kiamat ini mulai dilakukan, segera setelah umat manusia dikumpulkan-Nya di padang Mahsyar, langsung berada di hadapan 'Arsy-Nya.

Adapun beberapa proses kejadian pada pengadilan akhirat itu, secara terurut yaitu: (dalam bentuk 'simbolik')

1. Proses Penyaksian (dipanggil atau dihadirkan-Nya para saksi)
2. Proses dibukakan kebenaran-Nya (dibuka, dibaca atau diberitakan isi buku catatan amalan setiap manusia, oleh para malaikat Rakid dan 'Atid);
3. Proses Penghisaban (dihisab, dihitung atau ditimbang-Nya seluruh nilai amalan setiap manusia);
4. Proses Pemutusan (diputuskan-Nya tempat tinggal yang terakhir, bagi setiap manusia di kehidupan akhiratnya);
5. Proses Pembalasan (mulai diberikan atau dilaksanakan-Nya segala bentuk balasan-Nya yang terakhir);

 

Uraian lebih lengkapnya atas masing-masing proses kejadian tersebut, bisa dibaca pada topik-topik di bawah, tentang proses-proses kejadian dalam bentuk 'simbolik'. Disebut 'simbolik', karena hampir semua penjelasan dan keterangan di dalam Al-Qur'an tentang hal-hal gaib dan batiniah, justru memakai segala jenis 'contoh-perumpamaan simbolik', serta tidak langsung memakai segala fakta-kenyataan yang sebenarnya.

Sedang uraian atas proses-proses kejadian yang sama, namun dalam bentuk 'hakekat' yang sebenarnya, bisa dibaca pada topik-topik di bawah tentang proses-proses kejadian dalam bentuk 'hakekat'. Dan hal ini memang 'amat terbatas' diungkap dalam ayat-ayat Al-Qur'an.

Jika umat telah mengalami berinteraksi secara terang-terangan dengan para makhluk gaib, maka berbagai proses kejadian itu dalam bentuk 'hakekat' yang sebenarnya, relatif lebih mudah bisa dipahami, karena umat telah bisa mengetahui kehidupan akhirat yang sebenarnya (seperti halnya yang telah dialami oleh sebagian dari para nabi-Nya, termasuk nabi Muhammad saw).

Urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, dalam bentuk 'simbolik' dan 'hakekat' pada dasarnya sama, namun ada berbagai perbedaan pada penjelasan atau keterangan atas masing-masing proses kejadian tersebut. Dan keterangan dalam tanda kurung '()' pada daftar urutan di atas, adalah keterangan dalam bentuk 'simbolik' (bukan 'hakekat').

Adapun beberapa proses kejadian pada pengadilan akhirat itu, berubah menjadi: (dalam bentuk 'hakekat')

1. Proses Penyaksian (diberikan buku catatan amalan setiap manusia oleh para malaikat Rakid dan 'Atid)
2. Proses dibukakan kebenaran-Nya (dibuka, dibaca atau diberitakan isi buku catatan amalan setiap manusia oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, bahkan juga dibaca oleh manusianya sendiri);
3. Proses Penghisaban (dihisab, dihitung atau ditimbang-Nya nilai amalan dari setiap amal-perbuatan manusia);
4. Proses Pemutusan (diputuskanlah balasan-Nya yang terakhir atas setiap amal-perbuatan manusia);
5. Proses Pembalasan (mulai diberikan atau dilaksanakan-Nya segala balasan-Nya yang terakhir atas setiap amal-perbuatan manusia);

 

Sehingga segala penjelasan atau keterangan atas proses-proses kejadian dalam bentuk 'hakekat', secara umum hanya terfokus pada 'setiap' amal-perbuatan manusia. Dan saksi pada proses Penyaksian, justru hanya berupa 'catatan amalan' dalam setiap zat ruh manusianya sendiri.

Sedang segala penjelasan atau keterangan atas proses-proses kejadian dalam bentuk 'simbolik', secara umum justru terfokus pada 'seluruh' amal-perbuatan manusia. Dan saksi pada proses Penyaksian, antara-lain: Allah, para malaikat, para nabi-Nya, para pemimpin, para alim-ulama, orang-orang yang beriman, diri manusianya sendiri, tiap anggota badan manusianya, dsb.

Proses Penyaksian di Hari Kiamat (simbolik)

Proses kejadian Penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses dibuktikan-Nya setiap amal-perbuatan manusia (baik ataupun buruk). Dengan dipanggil atau dihadirkan-Nya sejumlah para saksi, yang ikut mengetahui kebenaran dari amal-perbuatan itu.

Para saksi ini misalnya bisa terdri dari:

~ Orang-orang yang mengetahui berbagai kebenaran-Nya, yang juga terkait dengan amal-perbuatan itu;
~ Orang-orang yang ikut mengajarkan amal-perbuatan itu (langsung ataupun tidak, persis sesuai diamalkan ataupun tidak);
~ Orang-orang yang ikut serta terlibat bersama-sama atas terjadinya amal-perbuatan itu;
~ Setiap anggota badannya yang ikut mengetahui, ataupun ikut serta terlibat dalam mewujudkan terjadinya amal-perbuatan itu;
~ Orang-orang yang ikut mengetahui ataupun menyaksikan langsung pada saat amal-perbuatan itu dilakukan;
~ Para malaikat yang setiap saatnya pasti selalu mengikuti, menjaga ataupun mengawasi setiap manusia pelaku amal-perbuatan itu;
~ Allah Yang Maha mengetahui amal-perbuatan makhluk-Nya; dsb;

 

Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan penyaksian itu, sebagai janji-Nya, terutama untuk membuktikan setiap amal-perbuatan manusia, dan sebagai tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini. Karena hakekat nilai dari setiap zat makhluk-Nya justru terletak pada segala amal-perbuatannya di kehidupan dunianya. Dalam pembuktian ini tentunya terkait pula dengan proses selanjutnya, yaitu proses dibukakan-Nya segala tabir kebenaran-Nya.

Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Penyaksian ini (proses urutan pertama).

Lebih spesifik lagi, para saksi yang disebut-sebut di dalam Al-Qur'an, adalah Allah, para malaikat, para nabi-Nya, para pemimpin, para alim-ulama, orang-orang beriman, anggota-anggota badan, dsb, seperti yang diungkap pula pada tabel berikut.

Proses penyaksian pada pengadilan akhirat
di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an

No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Saksinya: Allah.

"…, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu, di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabb-mu, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." – (QS.10:61).

"… Dan cukuplah Allah sebagai saksi." – (QS.48:28) dan (QS.3:81, QS.4:79).

"Katakanlah: 'Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu (mengenai urusan kita). Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi. …" – (QS.29:52) dan (QS.13:43, QS.6:19, QS.10:29, QS.46:8).

"… Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan (dan kerjakan)'." – (QS.28:28) dan (QS.12:66, QS.9:107, QS.10:46, QS.16:91).

2.

Saksinya: Para malaikat-Nya.

"…, tetapi Allah mengakui Al-Qur'an yang diturunkan-Nya kepadamu. Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya. Dan malaikat-malaikatpun menjadi saksi (pula). Cukuplah Allah yang mengakuinya." – (QS.4:166).

3.

Saksinya: Para nabi-Nya.

"(Dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi (para nabi dan rasul-Nya), atas mereka, dari (kalangan) mereka sendiri, dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. …" – (QS.16:89) dan (QS.28:75, QS.4:41, QS.16:84, QS.5:117, QS.17:96, QS.22:78, QS.11:17, QS.73:15).

"Sesungguhnya, Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan," – (QS.48:8) dan (QS.33:45).

"… Dan di Hari Kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka (para Ahli Kitab)." – (QS.4:159).

4.

Saksinya: Orang-orang beriman.

"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. …" – (QS.2:143).

"Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mereka itu orang-orang yang Shiddiqin, dan orang-orang yang menjadi saksi di sisi Rabb-mereka. …" – (QS.57:19) dan (QS.3:53).

5.

Saksinya: Umat manusia umumnya

"Dan terang-benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabb-nya. Dan diberikanlah buku (catatan amal-perbuatannya masing-masing). Dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi, dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." – (QS.39:69).

"Sesungguhnya Kami menolong rasul-rasul Kami, dan orang-orang yang beriman pada kehidupan dunia, dan pada hari (Kiamat, saat) berdirinya saksi-saksi," – (QS.40:51).

"… (di Hari Kiamat) Mereka itu akan dihadapkan kepada Rabb-mereka, dan para saksi akan berkata: 'Orang-orang inilah yang telah berdusta tentang Rabb-mereka'. …" – (QS.11:18) dan (QS.11:103, QS.70:33, QS.85:3).

6.

Saksinya: Para ilah selain Allah.

"… Pada hari (Kiamat, Rabb) memanggil mereka: 'Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu'. Mereka menjawab: 'Kami nyatakan kepada Engkau, bahwa tidak ada seorangpun di antara kami, yang memberi kesaksian (bahwa Engkau tidak mempunyai sekutu)'." – (QS.41:47).

7.

Saksinya: Diri manusianya sendiri dan anggota-anggota badannya.

"Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri," – (QS.75:14).

"pada hari (Kiamat), (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi, atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan." – (QS.24:24) dan (QS.36:65).

"Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi, dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu, bahkan kamu mengira, bahwa Allah tidak mengetahui, kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan." – (QS.41:22) dan (QS.41:20, QS.41:21).

 

Pada dasarnya para saksi pada pengadilan di akhirat itu relatif serupa dengan para saksi pada pengadilan manusia di dunia (kecuali tentunya untuk segala hal yang tidak bisa diformalkan menurut hukum manusia), berupa berbagai hal yang justru ikut mengetahui kebenaran dari suatu kejadian. Proses Penyaksiannya sendiri juga relatif serupa, para saksi berusaha membuktikan kebenaran dari kejadian itu.

Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan 'sesuatu' amal-perbuatan, yang justru sedang dibuktikan kebenarannya.

Penting diulangi kembali, bahwa Penyaksian pada pengadilan akhirat itu, hanyalah terjadi atas 'setiap' amal-perbuatan umat manusia ('satu per satu' amalannya diperiksa, bukanlah seluruhnya sekaligus). Karena hal ini yang memang paling alamiah, mungkin dan logis bisa terjadi, dan juga para saksi tertentu pasti hanya mengetahui sejumlah amal-perbuatan tertentu saja.

Kecuali tentunya, apabila proses Penyaksian itu memang untuk memeriksa sekaligus 'seluruh' amal-perbuatan setiap manusia, yang telah dilakukannya sepanjang hidupnya, dengan sejumlah amat sangat besar jumlah para saksi yang terkait, walau hal ini justru relatif tidak alamiah dan tidak logis.

Dan sebagian dari para saksi itu adalah para penyampai atau pengajar tentang berbagai kebenaran-Nya (seperti: para malaikat, para nabi-Nya, para alim-ulama, orang-orang beriman, dsb), kepada umat manusia yang terkait. Sehingga atas ijin-Nya, mereka juga bisa disebut sebagai pemberi 'syafaat baik' bagi umat manusia.

Baca pula uraian pada topik di atas, tentang syafaat. Dan lihat pula pada Gambar 17, tentang hubungan antara syafaat dan proses Penyaksian di Hari Kiamat.

Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri.

Maka keberadaan para saksi itupun justru sebenarnya tidaklah diperlukan, juga proses Penyaksian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat 'contoh-perumpamaan simbolik' (bukan hakekat kejadian yang sebenarnya), hanya sebagai pengajaran-Nya semata agar lebih mudah dipahami analoginya oleh umat.

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya.

Proses dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat (simbolik)

Proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses dibuka, dibaca atau diberitakannya "kitab catatan amalan" setiap manusia (baik atau buruk) oleh para malaikat-Nya (terutama para malaikat Rakid dan 'Atid).

Karena para malaikat Rakid dan 'Atid itulah, yang pasti selalu mengikuti dan mengawasi segala amal-perbuatan manusia yang terkait setiap saatnya sepanjang hidupnya, yang bentuknya amat sederhana atau kecil sekalipun (sebesar 'biji zarrah'), sekaligus pula mencatatnya ke dalam catatan amalan pada zat ruh manusianya sendiri.

Serta tentunya suatu kewajiban bagi Allah untuk membukakan kebenaran-Nya, sebagai suatu janji-Nya, terutama untuk membuktikan setiap amal-perbuatan manusianya, dan sebagai tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini, karena hakekat 'nilai' dari setiap zat makhluk-Nya justru terletak pada segala amal-perbuatannya saat di kehidupan dunianya.

Hal yang paling penting, bahwa proses dibukakan kebenaran-Nya itu amat perlu dilakukan, agar setiap manusia benar-benar makin bisa mengetahui pula dengan amatlah sangat jelas dan terang, hakekat dari setiap amal-perbuatannya menurut penilaian dari Allah. Sekaligus untuk bisa menghilangkan segala bentuk ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia.

Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses dibukakan kebenaran-Nya ini.

Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang dibukakan kebenaran-Nya itu, seperti yang diungkapkan pada tabel berikut.

Proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat
di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an

No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Catatan amalan dibukakan atau diberitakan

"dan apabila catatan-catatan (amal-perbuatan manusia) dibuka," – (QS.81:10).

"Pada hari itu diberitakan kepada manusia, apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.", "Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,", "meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya." – (QS.75:13-15).

"Pada hari, ketika mereka dibangkitkan-Nya semuanya, lalu diberitakan-Nya kepada mereka, apa yang telah mereka kerjakan. Allah mengumpulkan (mencatat) amal-perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu." – (QS.58:6) dan (QS.64:7).

"… Hanya kepada-Nya-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu, apa yang telah kamu perselisihkan itu," – (QS.5:48) dan (QS.6:164).

2.

Dibukakan dengan sangat jelas dan terang

"Dan datanglah tiap-tiap diri, bersama dengan dia seorang malaikat penggiring dan seorang malaikat penyaksi.", "Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan darimu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu sangat tajam.", "Dan (malaikat) yang menyertai dia berkata: 'Inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku'." – (QS.50:21-23).

3.

Para malaikat selalu mencatat tiap amalan (pikiran, perkataan dan perbuatan)

"Padahal sesungguhnya, bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),", "yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),", "mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan." – (QS.82:10-12).

"Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia, dan bisikan-bisikan mereka?. Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka." – (QS.43:80).

"Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan, terhadap apa yang telah kamu kerjakan'.", "(Allah berfirman): 'Inilah kitab (catatan amal) Kami yang menuturkan terhadapmu dengan benar. Sesungguhnya Kami telah menyuruh (malaikat, untuk) mencatat apa yang telah kamu kerjakan (di dunia)'." – (QS.45:28-29).

"Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,", "(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal-perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan, dan yang lain duduk di sebelah kiri.", "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." – (QS.50:16-18).

4.

Amalan yang amat sangat sederhana atau kecil, tetap dicatat

(Segala sesuatu amalan dicatat)

"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan, dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Qur'an, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu, di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabb-mu, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." – (QS.10:61).

"Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabb-mu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).", "Adapun orang-orang yang diberikan kepadanya kitabnya dari sebelah kanannya, maka dia berkata: 'Ambillah, bacalah kitabku (ini)'." – (QS.69:18-19).

"Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang bersalah, ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: 'Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya. Dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Rabb-mu tidak menganiaya seorang juapun'." – (QS.18:49).

"Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan.", "Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis." – (QS.54:52-53).

"Dan segala sesuatu telah Kami catat dalam suatu kitab." – (QS.78:29).

5.

Pemeriksaan yang mudah dan yang sulit

"Adapun orang yang diberikan kitabnya, dari sebelah kanannya,", "maka ia akan diperiksa, dengan pemeriksaan yang mudah,", "dan dia akan kembali kepada kaumnya, (yang sama-sama beriman), dengan gembira.", "Adapun orang yang diberikan kitabnya, dari belakang,", "maka dia akan berteriak: 'Celakalah aku'.", "Dan dia akan masuk ke dalam api, yang menyala-nyala (neraka)." – (QS.84:7-12).

6.

Tidak dianiaya atau dirugikan-Nya

"(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu), Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya. Dan barangsiapa yang diberikan kitab amalannya di tangan kanannya, maka mereka ini akan membaca kitabnya itu, dan mereka tidak dianiaya sedikitpun." – (QS.17:71).

"Dan terang-benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabb-nya. Dan diberikanlah buku (catatan amal-perbuatannya masing-masing). Dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi, dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." – (QS.39:69).

 

Proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat itu, pada dasarnya relatif serupa dengan proses pengungkapan segala bukti dan fakta (termasuk keterangan para saksi), pada pengadilan manusia di dunia. Tentunya obyek perkara dalam proses dibukakan kebenaran-Nya itu, adalah 'setiap' amal-perbuatan manusia.

Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan 'sesuatu' amal-perbuatan, yang justru sedang diungkap atau dibuktikan kebenarannya.

Penting diulangi kembali, bahwa dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat itu, hanya terjadi atas 'setiap' amal-perbuatan umat manusia ('satu per satu' amalannya diperiksa, bukan seluruhnya sekaligus), karena hal ini yang memang paling alamiah, mungkin dan logis bisa terjadi.

Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri.

Maka keberadaan keterangan para saksi itu justru sebenarnya tidak diperlukan, serta obyek dalam proses dibukakan kebenaran-Nya itu hanya 'setiap' amal-perbuatan manusia (bukan 'seluruhnya'). Dan juga proses dibukakan kebenaran-Nya pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat 'contoh-perumpamaan simbolik' (bukan hakekat kejadian yang sebenarnya), hanya sebagai pengajaran-Nya semata agar lebih mudah dipahami analoginya oleh umat.

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam hakekat sebenarnya.

Proses Penghisaban di Hari Kiamat (simbolik)

Proses kejadian Penghisaban pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses dihisab, dihitung atau ditimbang-Nya jumlah nilai amalan dari 'seluruh' amal-perbuatan yang telah dilakukan oleh setiap umat manusia selama hidupnya di dunia ini. Proses perhitungan inipun dilakukan oleh Allah, dengan amat adil, teliti, cepat dan tidak ditunda-tunda.

Serta segala sesuatu halnya diperhitungkan-Nya, yang terkait dengan setiap amal-perbuatan manusia (seperti: niat, tingkat kesadaran atau pengetahuan, besar tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, tingkat keimanan atau kekuatan dalil-alasan, besar beban ujian-Nya, dsb).

Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan perhitungan itu, sebagai janji-Nya dan sebagai tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini, karena hakekat 'nilai' dari setiap makhluk-Nya justru terletak pada segala amal-perbuatannya di kehidupan dunianya.

Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Penghisaban sekarang ini.

Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang Penghisaban itu, seperti yang diungkap pada tabel berikut.

Proses penghisaban pada pengadilan akhirat
di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an

No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Dilakukan oleh Allah

"… karena sesungguhnya, tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka." – (QS.13:40).

"Perhitungan (amal-perbuatan) mereka tidak lain hanyalah kepada Rabb-ku, kalau kamu menyadari." – (QS.26:113).

"…. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan." – (QS.33:39).

2.

Sebagai kewajiban Allah

"kemudian sesungguhnya, kewajiban Kami-lah menghisab mereka." – (QS.88:26).

3.

Amat cepat

"Pada hari (Kiamat) ini tiap-tiap jiwa diberi balasan, dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya." – (QS.40:17) dan (QS.14:51, QS.3:19, QS.5:4, QS.13:41).

"Mereka itulah orang-orang yang mendapat bagian, dari apa yang mereka usahakan. Dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya." – (QS.2:202) dan (QS.3:199, QS.6:62, QS.24:39).

4.

Amat teliti dan adil

"…. Sesungguhnya, Allah memperhitungkan segala sesuatu." – (QS.4:86).

"Kami akan memasang timbangan yang tepat (sangat adil) pada Hari Kiamat, maka tidaklah dirugikan seseorang barang sedikitpun. Dan jika (anak timbangan amalan itu) hanya seberat biji sawipun, pasti kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan." – (QS.21:47).

5.

Tidak ditunda-tunda

"(Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat), maka dia tidak akan dibalas, melainkan sebanding dengan kejahatan itu. Dan barangsiapa yang mengerjakan amal yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rejeki-Nya di dalamnya, tanpa dihisab (tanpa ditunda-tunda dan sesuai dengan usahanya)." – (QS.40:40).

6.

Tiap manusia tidak tahu hisabnya

"Dan aku tidak mengetahui, apa hisab terhadap diriku," – (QS.69:26).

7.

Catatan amalannya sebagai penghisab diri manusianya sendiri

"Dan tiap-tiap manusia itu, telah Kami tetapkan amal-perbuatannya (seperti tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat, sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.", "Bacalah kitabmu (catatan amalanmu). Cukuplah dirimu sendiri pada waktu (Hari Kiamat) ini sebagai penghisab terhadapmu." – (QS.17:13-14).

8.

Sama dengan Hari Kiamat

"Inilah apa yang dijanjikan kepadamu, pada Hari Penghisaban." – (QS.38:53).

"Sesungguhnya aku yakin, bahwa sesungguhnya aku akan menemui Hari Penghisaban terhadap diriku." – (QS.69:20).

"Telah dekat kepada manusia, (datangnya) Hari Penghisaban atas segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian (terhadap Hari Penghisaban), lagi berpaling (darinya)." – (QS.21:1) dan (QS.38:26, QS.40:27, QS.38:16).

"Ya Rabb-kami, beri ampunlah aku dan kedua ibu-bapakku dan sekalian orang-orang Mukmin pada hari terjadinya hisab-Nya (Hari Kiamat)'." – (QS.14:41).

9.

Hasil hisab yang berat dan ringan

"Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.", "Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat-Kami." – (QS.7:8-9).

"Barangsiapa yang berat timbangan (amal-kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang (men)dapat(kan) keberuntungan.", "Dan barangsiapa yang ringan timbangan (amal-kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang (telah) merugikan dirinya sendiri (di dunia), mereka (akan) kekal (tinggal) di dalam neraka Jahanam." – (QS.23:102-103).

"Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,", "maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan.", "dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya,", "maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah." – (QS.101:6-9).

10.

Hasil hisab yang buruk

"… Orang-orang itu diberikan kepadanya hisab-Nya yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman." – (QS.13:18).

"… dan mereka takut kepada Rabb-nya dan takut kepada hisab-Nya yang buruk." – (QS.13:21).

11.

Amalan sia-sia

"Pada hari (akhirat, ketika) mereka melihat malaikat, di hari itu tidak ada khabar gembira bagi orang-orang yang berdosa, dan mereka berkata: 'Hijraan mahjuuraa'.", "Dan Kami hadapi (hisab) segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." – (QS.25:22-23).

"Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya, air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya (di akhirat), lalu Allah memberikan kepadanya, perhitungan amal-amalnya dengan cukup, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya." – (QS.24:39).

12.

Kemusyrikan kecil juga dihisab

"Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung." – (QS.23:117).

13.

Orang-orang zalim yang tidak takut dihisab

"Sesungguhnya mereka (orang-orang zalim) tidak takut kepada hisab-Nya," – (QS.78:27).

 

Proses Penghisaban pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu pada dasarnya serupa pula dengan proses penilaian oleh para anggota Majelis hakim pada pengadilan manusia di dunia, atas berbagai halnya dalam perkara yang mereka tangani. Tentunya obyek perkara dalam proses Penghisaban adalah 'seluruh' amal-perbuatan setiap manusia.

Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan 'seluruh' amal-perbuatan yang justru sedang dinilaikan kebenarannya atau dijumlah nilai amalannya.

Penting diketahui, bahwa pada proses Penghisaban yang telah umum dipahami oleh umat Islam, adalah dihitung-Nya 'jumlah' nilai amalan dari 'seluruh' amal-perbuatan setiap manusia. Di lain pihaknya bahwa pada proses Penyaksian dan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas, justru terkait dengan 'setiap' amal-perbuatan manusia.

Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri.

Maka setiap amal-perbuatan manusia sebenarnya pastilah telah bisa ditentukan-Nya nilai amalannya, justru 'segera' setelah dilakukan oleh manusianya. Padahal segala bentuk balasan-Nya pada 'kehidupan dunia' justru setimpal sesuai dengan setiap amal-perbuatan manusia. Padahal nilai setiap amal-perbuatan manusia justru bersifat 'absolut' bagi alam semesta ini. Dan padahal proses Penghisaban hanya sekedar menjumlah-jumlah seluruh nilai amalan yang telah dicapai oleh setiap manusia, yang tentunya justru amat sangat mudah dilakukan-Nya.

Sehingga proses Penghisaban pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat 'contoh-perumpamaan simbolik' (bukan hakekat kejadian yang sebenarnya), hanya sebagai pengajaran-Nya semata agar lebih mudah dipahami analoginya oleh umat.

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." – (QS.11:15).

 

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Penghisaban di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya.

Baca pula topik "Sunatullah", tentang nilai absolut dari setiap amal-perbuatan manusia, dan tentang segala bentuk balasan-Nya yang pasti setimpal dengan setiap amal-perbuatan manusia.

Proses Pemutusan di Hari Kiamat (simbolik)

Proses kejadian Pemutusan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses diputuskan-Nya segala perkara dan perselisihan antar umat manusia, dan sekaligus pula diputuskan-Nya segala bentuk balasan-Nya atas 'seluruh' amal-perbuatan yang telah dilakukan oleh setiap manusianya selama hidupnya di dunia ini.

Sehingga di Hari Kiamat, diputuskan-Nya tempat tinggal yang terakhir dan kekal bagi setiap manusia pada kehidupannya di akhirat (di Surga atau di Neraka). Proses pemutusan ini dilakukan oleh Allah dengan adil, dan setiap makhluk-Nya tidaklah dirugikan atau dianiaya-Nya. Setelah Hari Kiamat setiap keputusan-Nya tidaklah bisa berubah setelah ditetapkan-Nya (berlaku kekal).

Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan pemutusan itu, sebagai janji-Nya yang ditunggu-tunggu oleh manusia, terutama dalam menyelesaikan setiap perkara dan perselisihannya, dan sebagai tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini. Juga karena amat banyak keputusan-Nya yang memang tidak langsung diputuskan-Nya selama manusia masih hidup di dunia (balasan-Nya ditangguhkan).

Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Pemutusan ini.

Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang Pemutusan itu, seperti yang diungkap pada tabel berikut.

Proses pemutusan pada pengadilan akhirat
di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an

No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Hanya oleh Allah sendiri

"… Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya, dalam menetapkan keputusan'." – (QS.18:26).

"…. Maka putusan (di Hari Kiamat sekarang ini) adalah pada Allah, Yang Maha Tinggi, lagi Maha Besar." – (QS.40:12).

2.

Kekuasaan Allah dalam memberi keputusan

"Kekuasaan di hari (Kiamat) itu ada pada Allah, Dia memberi keputusan di antara mereka, (tentang hal yang mereka pertengkarkan). Maka orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, adalah di dalam surga yang penuh kenikmatan." – (QS.22:56).

3.

Keputusan-Nya tidak dapat diubah, setelah ditetapkan-Nya

"Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, (hanya karena pertengkaranmu ini), dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku." – (QS.50:29).

4.

Keputusan-Nya adil dan tidak aniaya

"Dan terang-benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Rabb-nya. Dan diberikanlah buku (catatan amal-perbuatannya masing-masing). Dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi, dan diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dirugikan." – (QS.39:69).

"Tiap-tiap umat mempunyai rasul. Maka apabila telah datang rasul mereka (sebagai saksi mereka di Hari Kiamat), diberikanlah keputusan antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya." – (QS.10:47).

"…, dan mereka menyembunyikan penyesalannya, ketika mereka telah menyaksikan azab itu. Dan telah diberi keputusan di antara mereka dengan adil, sedang mereka tidak dianiaya." – (QS.10:54).

"Dan kamu (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat, berkumpul di sekeliling 'Arsy, bertasbih sambil memuji Rabb-nya. Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah, dengan adil dan diucapkan: 'Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam'." – (QS.39:75).

5.

Keputusan-Nya yang terakhir belum terjadi di dunia

"Orang-orang yang menyombongkan diri menjawab: 'Sesungguhnya kita semua sama-sama dalam neraka, karena sesungguhnya Allah telah menetapkan keputusan-Nya di antara hamba-hamba-Nya'." – (QS.40:48).

6.

Sama dengan Hari Kiamat

"Ini adalah hari keputusan, (pada hari ini) Kami mengumpulkan kamu dan orang-orang yang terdahulu." – (QS.77:38).

"Inilah hari keputusan, yang kamu selalu mendustakannya." – (QS.37:21).

"Sesungguhnya hari keputusan (Hari Kiamat) itu, adalah hari yang dijanjikan bagi mereka semuanya," – (QS.44:40).

"Sesungguhnya Hari Keputusan adalah suatu waktu yang ditetapkan," – (QS.78:17).

"(niscaya dikatakan kepada mereka:) 'Sampai hari apakah diberikan penangguhan itu (dari mengazab orang-orang kafir itu)?'.", "Sampai hari keputusan." – (QS.77:12-13).

"Dan tahukah kamu apakah hari keputusan itu?." – (QS.77:14).

7.

Keputusan-Nya ditunggu-tunggu

"Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah, siapa yang di langit dan di bumi, kecuali siapa yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing)." – (QS.39:68).

"Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah, hingga Allah memberi keputusan, dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya." – (QS.10:109).

"…, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya'. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." – (QS.9:24).

"Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan (Hari Kiamat), (yaitu) ketika segala perkara telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman." – (QS.19:39).

"Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya, sampai suatu waktu (saat Rabb akan memutuskan di Hari Kiamat, tentang apa yang mereka perselisihkan itu)." – (QS.23:54).

"…'. Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu keputusan dari sisi-Nya. Maka karena itu, mereka (orang-orang munafik) menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka." – (QS.5:52).

8.

Diputuskan-Nya segala perkara dan perselisihan

"…. Dan sesungguhnya, Rabb-mu benar-benar akan memberi keputusan di antara mereka di Hari Kiamat, terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu'." – (QS.16:124) dan (QS.4:141, QS.32:25, QS.10:93, QS.39:3, QS.45:17).

"Katakanlah: 'ya Allah, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui barang gaib dan yang nyata, Engkaulah Yang memutuskan antara hamba-hamba-Mu, tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya'." – (QS.39:46).

"…. Kemudian (di Hari Kiamat) hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih mengenainya'." – (QS.3:55) dan (QS.34:26, QS.42:10).

"Tiada yang mereka nanti-nantikan, melainkan datangnya (waktu pertemuan mereka dengan) Allah (pada Hari Kiamat), dalam naungan awan dan malaikat, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah, dikembalikan segala urusan." – (QS.2:210).

"Sesungguhnya Rabb-mu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa, lagi Maha Mengetahui." – (QS.27:78).

"Sesungguhnya (kepada) orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada Hari Kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu." – (QS.22:17).

"…. Pengetahuan Rabb-kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakal. Ya Rabb-kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak (adil) dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya." – (QS.7:89).

9.

Putusan-Nya atas kedatangan azab-Nya

"…. Menetapkan hukum itu (bagi pemberian azab-Nya) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia pemberi keputusan yang paling baik." – (QS.6:57).

"Dan ada (pula) orang-orang yang lain yang diberi penangguhan sampai ada keputusan Allah. Adakalanya Allah akan mengazab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana." – (QS.9:106).

"Maka pastilah putusan (azab) Rabb kita menimpa atas kita. Sesungguhnya kita akan merasakan (azab itu)." – (QS.37:31).

10.

Keputusan baik

"(Ingatlah) hari (Kiamat, ketika) Kami mengumpulkan (di surga), orang-orang yang bertaqwa kepada Yang Maha Pemurah, sebagai putusan yang terhormat," – (QS.19:85).

 

Proses Pemutusan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu pada dasarnya relatif serupa pula dengan proses pemutusan oleh para anggota Majelis hakim pada pengadilan manusia di dunia, atas perkara yang mereka tangani. Tentunya obyek perkara pada proses Pemutusan adalah 'seluruh' amal-perbuatan setiap manusia.

Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan 'seluruh' amal-perbuatan, yang justru sedang diputuskan hasilnya.

Penting diketahui, bahwa pada proses Pemutusan yang telah umum dipahami oleh umat Islam, adalah diputuskan-Nya suatu bentuk balasan-Nya yang terakhir bagi setiap manusia, berdasarkan 'seluruh' amal-perbuatannya. Di lain pihak, bahwa pada proses Penyaksian dan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas, justru terkait dengan 'setiap' amal-perbuatan manusia.

Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri.

Maka seluruh amal-perbuatan manusia sebenarnya pasti telah bisa ditentukan-Nya jumlah seluruh nilai amalannya, justru 'segera' setelah manusianya wafat. Padahal segala bentuk balasan-Nya pada kehidupan dunia justru setimpal sesuai dengan setiap amal-perbuatan manusia. Serta padahal nilai amalan setiap amal-perbuatan manusia bersifat 'absolut' bagi alam semesta. Sehingga proses Pemutusan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, justru pada dasarnya hanya bersifat 'contoh-perumpamaan simbolik' (bukanlah hakekat yang sebenarnya), sebagai pengajaran-Nya agar bisa lebih mudah dipahami oleh umat.

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." – (QS.11:15).

 

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Pemutusan di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya.

Baca pula topik "Sunatullah", tentang nilai absolut dari setiap amal-perbuatan manusia, dan tentang segala bentuk balasan-Nya yang pasti setimpal dengan setiap amal-perbuatan manusia.

Proses Pembalasan di Hari Kiamat (simbolik)

Proses kejadian Pembalasan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, adalah proses diberikan-Nya segala bentuk balasan-Nya bagi seluruh amal-perbuatan yang telah dilakukan oleh setiap manusianya selama hidupnya di dunia ini.

Sehingga di Hari Kiamat justru diberikan-Nya tempat tinggal terakhir dan kekal bagi setiap manusia, pada kehidupannya di akhirat (di Surga atau di Neraka). Proses Pembalasan ini juga dilakukan oleh Allah, dengan adil, setimpal, serta setiap makhluk-Nya tidak dirugikan dan dianiaya-Nya. Setelah Hari Kiamat setiap balasan-Nya tidak bisa diubah dan tidak bisa ditebus setelah diberikan-Nya (berlaku kekal).

Dan tentunya sesuatu kewajiban bagi Allah untuk melakukan pembalasan itu, sebagai janji-Nya, dan sebagai tujuan dari diciptakan-Nya alam semesta ini. Juga karena amatlah banyak balasan-Nya yang memang tidak langsung diberikan-Nya selama manusia masih hidup di dunia (balasan-Nya ditangguhkan). Lebih tepat lagi, segala balasan-Nya di Hari Kiamat adalah segala balasan-Nya di dunia, namun telah pula 'disempurnakan-Nya' atau 'dilipat-gandakan-Nya'.

Baca pula topik di atas, tentang urutan proses-proses kejadian pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat, terutama tentang letak proses Pembalasan ini (proses urutan terakhir).

Agak banyak ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang menjelaskan tentang Pembalasan itu, seperti yang diungkap pada tabel berikut.

Proses pembalasan pada pengadilan akhirat
di Hari Kiamat, dalam Al-Qur'an

No

Rangkuman

Ayat-ayat Al-Qur'an

1.

Sama dengan Hari Kiamat

"Yang menguasai Hari Pembalasan." – (QS.1:4) dan (QS.82:17, QS.82:18, QS.88:1, QS.51:12, QS.37:20).

"Maka berpalinglah kamu dari mereka, dan tunggulah (hari pembalasan), sesungguhnya mereka (juga) menunggu." – (QS.32:30).

"dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan," – (QS.70:26).

"Dan tidak ada yang mendustakan hari pembalasan itu, melainkan setiap orang yang melampaui batas, lagi berdosa," – (QS.83:12) dan (QS.82:9, QS.83:11, QS.74:46, QS.54:6, QS.95:7).

"Mereka masuk ke dalamnya (surga atau neraka), pada hari pembalasan." – (QS.82:15) dan (QS.51:13, QS.56:56, QS.38:78).

"dan sesungguhnya, (hari) pembalasan pasti terjadi," – (QS.51:6) dan (QS.3:9).

2.

Balasan bagi amalan yang amat kecil sekalipun

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya." – (QS.99:7).

"Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." – (QS.99:8).

3.

Balasan kekal

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya, serta menyediakan azab-Nya yang besar baginya." – (QS.4:93).

"Sesungguhnya kami telah beriman kepada Rabb-kami, agar Dia mengampuni kesalahan-kesalahan kami, dan sihir yang telah kamu paksakan kepada kami, (untuk) melakukannya. Dan Allah lebih baik dan lebih kekal (balasan-Nya di Hari Kiamat)'." – (QS.20:73).

"Apa yang dari sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi-Nya adalah kekal. Dan sesungguhnya, Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar, dengan pahala yang lebih baik, dari apa yang telah mereka kerjakan." – (QS.16:96).

4.

Balasan tidak bisa ditebus

"Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Rabb-nya, (disediakan) pembalasan yang baik. Dan orang-orang yang tidak memenuhi seruan Rabb, sekiranya mereka mempunyai semua (kekayaan) yang ada di bumi dan (ditambah) sebanyak isi bumi itu lagi besertanya, niscaya mereka akan menebus dirinya dengan kekayaan itu (tidak akan sanggup ditebus). Orang-orang itu diberikan kepadanya hisab-Nya yang buruk dan tempat kediaman mereka ialah Jahanam dan itulah seburuk-buruk tempat kediaman." – (QS.13:18).

"Dan jagalah dirimu dari (pengadilan di) hari (Kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang-lain, walau sedikitpun pembelaan itu. Dan (begitu pula) tidak diterima syafaat dan tebusan darinya, dan tidaklah mereka akan ditolong. (Hanya diputuskan-Nya sesuai dengan amal-perbuatannya masing-masing)" – (QS.2:48) dan (QS.2:123, QS.5:36, QS.6:70, QS.13:18, QS.39:47, QS.57:15, QS.70:11-15).

5.

Balasan yang sempurna

"Maka janganlah kamu berada dalam keragu-raguan, tentang apa yang disembah oleh mereka. Mereka tidak menyembah, melainkan sebagaimana nenek moyang mereka, menyembah dahulu. Dan sesungguhnya, Kami pasti akan menyempurnakan dengan secukup-cukupnya pembalasan (terhadap) mereka dengan tidak dikurangi sedikitpun." – (QS.11:109).

"Dan sesungguhnya, kepada masing-masing (mereka yang berselisih itu) pasti Rabb-mu akan menyempurnakan dengan cukup, (balasan) pekerjaan mereka. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan." – (QS.11:111).

"Bagaimanakah nanti, apabila mereka Kami kumpulkan di hari (Kiamat), yang tidak ada keraguan tentang adanya (pasti kedatangannya)?. Dan disempurnakan-Nya atas tiap-tiap diri (jiwa), balasan-Nya atas apa yang diusahakannya, sedangkan mereka tidak dianiaya (tidak dirugikan)." – (QS.3:25) dan (QS.39:70, QS.2:281, QS.53:41, QS.16:111).

6.

Balasan berlipat-ganda

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan-Nya adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir(nya terdapat) seratus biji (butir benih). Allah melipat-gandakan (balasan-Nya), bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya), lagi Maha Mengetahui." – (QS.2:261) dan (QS.57:11, QS.64:17).

"… Tetapi orang-orang yang beriman, dan mengerjakan amal-amal shaleh, merekalah itu yang memperoleh balasan yang berlipat-ganda, disebabkan apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga)." – (QS.34:37).

7.

Balasan sesuai yang diusahakan

"Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan, dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya." – (QS.40:17) dan (QS.14:51, QS.10:30).

"Dan (pada hari itu) kamu lihat tiap-tiap umat berlutut. Tiap-tiap umat dipanggil untuk (melihat) buku catatan amalnya. Pada hari itu kamu diberi balasan, terhadap apa yang telah kamu kerjakan'." – (QS.45:28) dan (QS.56:24).

"Dan bagi masing-masing mereka (jin dan manusia), (akan memperoleh) derajat, menurut apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Allah mencukupkan bagi mereka, (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka, sedang mereka tiada dirugikan." – (QS.46:19).

"Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya, dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka." – (QS.99:6).

"Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal (tinggal) di dalamnya. Sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan." – (QS.46:14) dan (QS.52:19).

"… Mereka tidak diberi balasan selain daripada apa yang telah mereka kerjakan." – (QS.7:147) dan (QS.7:180, QS.10:52).

8.

Balasan setmpal

"Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan, yang setimpal menurut semestinya, …" – (QS.24:25) dan (QS.78:26).

"… Kemudian (di Hari Kiamat) tiap-tiap diri akan diberi pembalasan, tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya." – (QS.3:161).

9.

Balasan sebaik-baiknya

"Di sana, hanya pertolongan-Nya itu yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan." – (QS.18:44).

10.

Balasan kejahatan dengan kejahatan

"… Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu, dan ia tidak mendapat pelindung, dan tidak (pula) penolong baginya selain daripada Allah." – (QS.4:123).

"Dan kamu tidak diberi pembalasan, melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan," – (QS.37:39).

11.

Balasan kejahatan dengan kejahatan, kebaikan dengan kebaikan

"Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kebaikan, maka baginya (pahala) yang lebih baik, daripada kebaikannya itu. Dan barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, maka tidaklah diberi pembalasan, kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan." – (QS.28:84) dan (QS.6:160, QS.53:31).

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya, Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim." – (QS.42:40).

12.

Balasan baik di dunia dan akhirat

"Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati, melainkan dengan ijin-Nya, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur." – (QS.3:145).

"Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishak dan Yakub, dan Kami jadikan kenabian dan Al-Kitab pada keturunannya, dan Kami berikan padanya balasan di dunia, dan sesungguhnya, dia di akhirat, benar-benar termasuk orang-orang yang shaleh." – (QS.29:27).

13.

Balasan baik

"Sesungguhnya Aku memberi balasan (yang baik) kepada mereka di hari ini, karena kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang menang." – (QS.23:111).

"Barangsiapa yang membawa kebaikan, maka ia memperoleh (balasan) yang lebih baik daripadanya, sedang mereka itu adalah orang-orang yang aman tenteram, dari kejutan yang dahsyat pada hari (Kiamat) itu." – (QS.27:89).

"dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari (Kiamat) itu, maka sesungguhnya, telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya, dan itulah kemenangan yang besar'." – (QS.40:9).

"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shaleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka, pada tempat-tempat yang tinggi di dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal (tinggal) di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal," – (QS.29:58) dan (QS.39:74, QS.3:136, QS.18:2).

"Balasan mereka di sisi Rabb-mereka ialah surga 'Adn, yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal (tinggal) di dalamnya selama-lamanya. Allah redha terhadap mereka dan merekapun redha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabb-nya." – (QS.98:8) dan (QS.16:31, QS.25:15, QS.20:76).

"Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya)." – (QS.5:85).

"Dan Dia memberi balasan kepada mereka, karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutera," – (QS.76:12).

14.

Balasan buruk di dunia dan akhirat

"… Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian darimu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada Hari Kiamat, mereka dikembalikan kepada siksaan-Kami yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat." – (QS.2:85).

"… Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar," – (QS.5:33).

"… kelak akan menimpa mereka kemurkaan dari Rabb-mereka dan kehinaan dalam kehidupan di dunia. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang membuat-buat kebohongan." – (QS.7:152).

15.

Balasan buruk

"(Ingatlah) hari (ketika) Kami menghantam mereka dengan hantaman yang keras. Sesungguhnya Kami adalah Pemberi balasan." – (QS.44:16).

"pada hari mereka ditutup oleh azab, dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka, dan Allah berkata (kepada mereka): 'Rasakanlah (pembalasan dari) apa yang telah kamu kerjakan'." – (QS.29:55) dan (QS.39:24).

"Masuklah kamu ke dalamnya (rasakanlah panasnya api neraka). Maka baik kamu bersabar (terhadap siksaan neraka itu) atau tidak, sama saja bagimu. Kamu diberi balasan, terhadap apa yang telah kamu kerjakan." – (QS.52:16).

"… Maka cukuplah (balasan bagi orang yang tdak bertaqwa adalah) neraka Jahanam. Dan sungguh, neraka Jahanam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya." – (QS.2:206).

"Mereka mempunyai tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim." – (QS.7:41) dan (QS.5:29, QS.59:17, QS.21:29).

"Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan, (mendapat) balasan yang setimpal dan mereka ditutupi kehinaan. Tidak ada bagi mereka seorang (pelindung)pun dari (azab) Allah, seakan-akan muka mereka ditutupi dengan kepingan-kepingan malam yang gelap gulita. Mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal (tinggal) di dalamnya." – (QS.10:27).

"Rabb berfirman: 'Pergilah, barangsiapa di antara mereka mengikuti kamu (iblis), maka sesungguhnya neraka Jahanam adalah balasanmu semua, sebagai suatu pembalasan yang cukup." – (QS.17:63).

"Demikianlah balasan (terhadap) musuh-musuh Allah, (yaitu) neraka. Mereka mendapat tempat tinggal yang kekal di dalamnya, sebagai pembalasan atas keingkaran mereka terhadap ayat-ayat-Kami." – (QS.41:28) dan (QS.18:106, QS.7:40).

 

Proses kejadian Pembalasan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat itu relatif serupa pula dengan proses pelaksanaan pemberian hukuman oleh para anggota Majelis hakim pada pengadilan manusia di dunia, atas perkara yang ditangani. Tentunya obyek perkara pada proses Pembalasan adalah 'seluruh' amal-perbuatan setiap manusia.

Sedangkan hakimnya langsung diperankan oleh Allah sendiri, dengan dibantu oleh para malaikat-Nya. Serta terdakwanya dikenakan kepada manusia yang telah melakukan 'seluruh' amal-perbuatan, yang justru sedang diberikan segala bentuk hukumannya.

Penting diketahui, bahwa pada proses Pembalasan yang telah umum dipahami oleh umat Islam, adalah diberikan-Nya suatu bentuk balasan-Nya yang terakhir bagi setiap manusia, berdasarkan 'seluruh' amal-perbuatannya. Di lain pihak, bahwa pada proses Penyaksian dan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas justru terkait dengan 'setiap' amal-perbuatan manusia.

Namun dengan adanya fakta-kenyataan lain dalam Al-Qur'an, bahwa Allah Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya (sebesar 'biji zarrah'). Dan bahkan para makhluk gaib yang selalu mengikuti manusia terkait tiap saatnya sepanjang hidupnya, juga pasti mengetahui segala amalannya, sekaligus mereka mencatatkannya ke dalam 'catatan amalan' pada zat ruh manusianya sendiri.

Maka seluruh amal-perbuatan manusia sebenarnya pasti telah bisa ditentukan-Nya jumlah seluruh nilai amalannya, justru 'segera' setelah manusianya wafat. Padahal segala bentuk balasan-Nya pada kehidupan dunia justru setimpal sesuai dengan setiap amal-perbuatan manusia. Serta padahal nilai amalan setiap amal-perbuatan manusia bersifat 'absolut' bagi alam semesta ini. Sehingga proses Pembalasan pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat pada dasarnya hanya bersifat 'contoh-perumpamaan simbolik' (bukanlah hakekat yang sebenarnya), sebagai suatu pengajaran-Nya semata agar bisa lebih mudah dipahami oleh umat.

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan." – (QS.11:15).

 

Baca pula uraian pada topik di bawah, tentang proses kejadian Pembalasan di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya.

Baca pula topik "Sunatullah", tentang nilai absolut dari setiap amal-perbuatan manusia, dan tentang segala bentuk balasan-Nya yang pasti setimpal dengan setiap amal-perbuatan manusia.

Proses Penyaksian di Hari Kiamat (hakekat)

Dalam uraian-uraian di atas, bahwa dalam setiap ruh manusia juga tersimpan segala informasi, tentang segala hal yang telah dialami oleh manusianya selama hidupnya di dunia ini, seperti misalnya:

~ Segala hal yang telah diajarkan-Nya, melalui ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis di alam semesta ini (atau tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya), ketika setiap manusianya berusaha mempelajari alam semesta ini, untuk bisa mencari segala bentuk pengetahuan;
~ Segala hal yang telah diajarkan-Nya melalui hati-nuraninya (fitrah dasarnya), melalui para malaikat-Nya (segala bentuk ilham tentang kebenaran-Nya pada alam batiniah ruhnya), dan juga melalui para nabi dan rasul utusan-Nya (secara langsung ataupun tidak, seperti kitab-kitab-Nya dan sunnah-sunnah para nabi-Nya);
~ Segala hal yang telah diajarkan oleh para alim-ulama, para orang-tua ataupun semua manusia lainnya;
~ Segala hal yang telah dipikirkannya (pikiran);
~ Segala hal yang telah dilakukan oleh anggota badannya (perkataan dan perbuatan);
~ Segala hal yang telah dialaminya, bersama manusia lainnya; Dsb.

 

Ringkasnya, pada zat ruh setiap manusia tersimpan segala jenis catatan amalannya masing-masing (lahiriah dan batiniah, sesederhana atau sekecil apapun bentuknya).

Sehingga keterangan di dalam Al-Qur'an, tentang Allah, para malaikat, para nabi-Nya, para alim-ulama, setiap umat manusia biasa lainnya, dan bahkan anggota-anggota badan, sebagai saksi-saksi atas setiap amal-perbuatan manusia, justru hanya sebagai sesuatu 'contoh-perumpamaan simbolik' semata. Padahal proses dan bahan kesaksian justru bisa terjadi dengan amat cepat dan tersedia amat mudah di alam batiniah ruh setiap manusianya sendiri (beserta catatan amalannya).

Maka wujud dari pengadilan di akhirat itu misalnya, tidaklah perlu dibayangkan, para nabi-Nya dan para alim-ulama ikut bersaksi, apalagi kaki dan tangannya ikut bersaksi, dsb, Karena adanya saksi-saksi inipun relatif amat rumit dan amat sulit bisa diterima oleh akal-sehat. Wujud proses Penyaksian pada pengadilan akhirat juga berbeda daripada pengadilan manusia di dunia (proses serupa, wujud berbeda).

Baca pula uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, dalam bentuk simboliknya.

Tentunya mustahil nabi Muhammad saw misalnya, harus bisa menjadi saksi bagi milyaran jumlah seluruh umat Islam, atau bahkan seluruh umat manusia (apalagi atas 'setiap' amal-perbuatan umatnya). Apalagi para saksi justru bisa bertingkat-tingkat, misalnya dari para nabi-Nya, sampai pada para alim-ulama yang langsung membimbing umat terkait. Bahkan apalagi para saksi itu sendiri justru juga haruslah bertanggung-jawab, atas setiap amal-perbuatannya sendiri.

Sehingga misalnya, justru amatlah sangat banyak waktu Nabi yang tersita, hanya untuk menjadi saksi bagi seluruh umatnya, belum segala kerumitan dan kerepotan lainnya. Padahal di lain pihak, dalam Al-Qur'an disebut, bahwa segala kejadian pada Hari Kiamat itu justru berlangsung amatlah sangat cepat. Padahal Nabi semestinya telah bisa langsung hidup tenang-tentram di Surga, yang tingkat kemuliaannya paling tinggi.

"… Tidak ada adalah kejadian Kiamat itu, melainkan seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). …" – (QS.16:77).

"(yaitu) pada hari (Kiamat,) mereka keluar dari kubur dengan cepat, …" – (QS.70:43) dan (QS.36:51, QS.50:44, QS.54:8).

"…. Dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya (hisab-Nya pada Hari Kiamat)." – (QS.2:202) dan (QS.3:19, QS.3:199, QS.5:4, QS.6:62, QS.13:41, QS.14:51, QS.24:39, QS.40:17).

"… Sesungguhnya Rabb-mu amat cepat siksaan-Nya (pada Hari Kiamat), …" – (QS.6:165) dan (QS.7:167).

 

Bahwa proses Penyaksian yang sebenarnya di Hari Kiamat itu, justru setiap ruh manusianya (beserta catatan amalannya di dalamnya), menjadi saksi bagi setiap diri manusianya sendiri. Juga bahwa hakekat dari setiap makhluk-Nya memang berada pada ruhnya.

Hal ini terkait yang disebut dalam Al-Qur'an, yaitu:

"Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri," – (QS.75:14).

"Dan tiap-tiap manusia itu, telah Kami tetapkan amal-perbuatannya (seperti tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada Hari Kiamat, sebuah kitab yang dijumpainya terbuka.", "Bacalah kitabmu (catatan amalanmu). Cukuplah dirimu sendiri pada waktu (Hari Kiamat) ini sebagai penghisab terhadapmu." – (QS.17:13-14).

 

Di mana terjadi 'dialog' ataupun kesaksian yang amatlah sangat 'jujur' pada alam batiniah ruh setiap manusia (alam akhiratnya), yang dituntun oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, yang memang bertugas untuk selalu mengikuti, menjaga dan mengawasi setiap manusia setiap saatnya, serta sekaligus mencatat setiap amalannya selama di dunia.

Pada dialog itu setiap manusia mustahil bisa berbohong, yang amat sederhana atau kecil sekalipun bentuknya ("sebesar biji zarrah"). Lebih jelasnya, segala kebohongannya justru pasti langsung diketahui oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, serta pasti langsung diketahui pula oleh Allah, Yang Maha mengetahui segala sesuatu.

"…, dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu, di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Rabb-mu, biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar daripada itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." – (QS.10:61).

"Dan sesungguhnya, Kami telah menciptakan manusia, dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih (dekat) kepadanya daripada urat lehernya,", "(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat setiap amal-perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan, dan yang lain duduk di sebelah kiri.", "Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." – (QS.50:18) dan (QS.82:10-12, QS.43:80, QS.58:6, QS.18:49, QS.45:28-29).

 

Bahkan para jin, syaitan dan iblis juga pasti mengetahui segala amal-perbuatan setiap manusia yang diikutinya setiap saat sepanjang hidupnya, karena tanpa adanya segala pengetahuan tersebut, mustahil jin, syaitan dan iblis bisa amat cerdas dan lihai menggoda manusia.

Dialog yang amat sangat jujur serupa itulah yang juga terjadi, ketika para makhluk gaib berinteraksi secara 'terang-terangan' dengan berbagai manusia, yang mereka ikuti atau kunjungi. Dialog ini berupa suatu klarifikasi atau pengecekan silang antara pemahaman subyektif dan relatif dari setiap manusia, terhadap kenyataan yang obyektif dan mutlak dari segala bentuk catatan amalan pada ruh manusianya, yang sedang dibuka, dibaca atau diberitakan oleh malaikat Rakid dan 'Atid, bahkan manusianya sendiri juga ikut membaca catatan amalannya itu.

Sehingga komponen, unsur atau pihak yang terlibat langsung dalam proses kejadian Penyaksian di Hari Kiamat, justru sebenarnya hanya setiap manusianya sendiri (ruhnya), beserta para malaikat Rakid dan 'Atid. Dan proses seperti ini bahkan juga amat mudah dilakukan, karena tidak memerlukan banyak saksi, dan saksinya hanyalah catatan amalan setiap manusianya sendiri. Sedangkan para malaikat Rakid dan 'Atid hanya sekedar 'memeriksa', 'membuka' ataupun 'mempertegas' saja setiap isi catatan amalannya itu.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang interaksi secara terang-terangan antara para makhluk gaib dan manusia. Juga uraian pada topik di bawah, tentang proses dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekat sebenarnya.

Selain itu, segala proses pada alam batiniah ruh manusia justru berlangsung amat sangat cepat (secepat proses berpikir misalnya). Hal ini justru sesuai dengan hal yang disebutkan dalam Al-Qur'an, bahwa segala kejadian di Hari Kiamat berlangsung amat sangat cepat (pada QS.16:77, QS.70:43, QS.36:51, QS.50:44, QS.54:8, QS.2:202, QS.3:19, QS.3:199, QS.5:4, QS.6:62, QS.13:41, QS.14:51, QS.24:39, QS.40:17, QS.6:165 dan QS.7:167).

Hal yang penting lainnya, bahwa suatu proses Penyaksian yang saksinya hanya berupa catatan amalan dari setiap manusianya sendiri, bahkan juga berlaku amat adil, karena Penyaksian semacam ini benar-benar sesuai tingkat kesadaran, pengetahuan, pengalaman atau tingkat keimanan setiap manusianya, dalam berbuat suatu amal-perbuatan.

Sederhananya di dalam kehidupan beragama, setiap umat yang awam tidak bisa dituntut agar memiliki tingkat pemahaman yang sama persis dengan tingkat pemahaman para nabi-Nya. Sebaliknya jika para nabi-Nya memang langsung dipanggil sebagai saksi, maka akan amat banyak umat Islam yang bisa dianggap keliru dalam mengikuti ajaran agamanya (tidak persis sesuai dengan maksud para nabi-Nya). Padahal setiap manusia pasti tidak bisa dimintai-Nya pertanggung-jawabannya atas segala sesuatu hal yang 'benar-benar' di luar batas kesadaran atau pengetahuannya (seperti segala perbuatan pada anak yang belum akil baliq dan pada orang gila).

Akhirnya proses Penyaksian ini justru langsung terjadi 'segera' setelah setiap zat 'ruh' makhluk hidup nyata telah kembali ke hadapan Allah (setelah kematian atau Hari Kiamat 'kecil' bagi masing-masing makhluk hidup nyata), atau setelah setiap makhluk hidup nyata telah benar-benar terlepas dari kehidupan fisik-lahiriah-duniawinya, menuju kehidupan akhiratnya (kehidupan batiniah ruh), yang sebenarnya dan bersifat kekal.

Kehidupan akhirat setiap manusia setelah Hari Kiamat 'kecil' itu, adalah kelanjutan dari kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh manusianya sendiri selama di kehidupan dunia, namun sekaligus pula telah 'disempurnakan-Nya' atas segala nikmat dan hukuman-Nya.

Proses dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat (hakekat)

Setelah catatan amalan pada setiap zat ruh manusianya dibuka, dibaca atau diberitakan oleh para malaikat Rakid dan 'Atid (bahkan ikut dibaca pula oleh manusianya sendiri), pada proses Penyaksian di atas dimana saksinya hanya berupa catatan amalan pada setiap zat ruh manusianya sendiri, maka secara amat bersamaan dan perlahan-lahan para malaikat Rakid dan 'Atid itu menuntun manusianya, untuk bisa benar-benar memahami setiap hal yang telah dilakukannya.

Sekaligus para malaikat Rakid dan 'Atid menguji, mengorek-orek, memeriksa atau menanyakan segala sesuatu hal kepada setiap manusia terkait tentang setiap amal-perbuatannya, seperti misalnya:

~ Apakah ia telah berbohong?;
~ Apakah ia telah sengaja membelokkan kebenaran?;
~ Apakah ia telah menyembunyikan kebenaran, yang dengan jelas telah diketahuinya, dan memilih melakukan hal-hal lainnya yang meragukan, ataupun bahkan sesat?;
~ Apakah ia telah memiliki berbagai dalil-alasan yang benar dalam berbuat?; Dsb;

 

Tentunya setiap pertanyaan di atas bukanlah pertanyaan yang sebenarnya dari para malaikat Rakid dan 'Atid, sedang jawaban atas setiap pertanyaan itu justru telah tersedia semua dalam catatan amalan pada ruh setiap manusia. Sementara seluruh isi catatan amalan itupun sebenarnya telah 'dihapal' oleh para malaikat Rakid dan 'Atid.

Sehingga tugas para malaikat Rakid dan 'Atid justru hanyalah berusaha untuk memeriksa, mengorek-orek, menguji, membuka atau mempertegas isi pikiran manusia, agar setiap manusianya bisa benar-benar mengetahui, tentang 'nilai' dari hal-hal yang telah dilakukannya (pikiran, perkataan dan perbuatannya), yang sesederhana atau sekecil apapun bentuknya, seperti misalnya meliputi: kebohongan, kesesatan, keraguan, dalil-alasan, pengetahuan dan kekonsistenan dalam berbuat.

Hasil dari proses dibukakan kebenaran-Nya itu justru berupa terungkapnya berbagai Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang berkaitan dengan setiap amal-perbuatan manusia, sehingga hal inipun bahkan bisa menghilangkan segala bentuk ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia.

Tentunya tingkat kedalaman Al-Hikmah itu tergantung kepada tingkat pengetahuan atau pemahaman masing-masing manusianya.

"…. Dan sesungguhnya, Rabb-mu benar-benar akan memberi keputusan di antara mereka di Hari Kiamat, terhadap apa yang telah mereka perselisihkan itu'." – (QS.16:124) dan (QS.10:93).

"Sesungguhnya (di Hari Kiamat) Rabb-mu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan Dia Maha Perkasa, lagi Maha Mengetahui." – (QS.27:78).

 

Bahkan keseluruhan proses pada pengadilan akhirat di Hari Kiamat (proses Penyaksian, proses dibukakan kebenaran-Nya, proses Penghisaban, proses Pemutusan dan proses Pembalasan), justru amat terkait langsung. Dan bahkan semua proses itu berlangsung amat cepat dan bersamaan. Juga berlangsung amat alamiah, serupa halnya segala perubahan keadaan batiniah ruh manusia selama hidupnya di dunia.

Setiap manusia memang menjadi langsung merasa relatif puas atau senang atas setiap amal-kebaikannya, setelah selesai diungkapkan berbagai hikmah dan hakekatnya oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, sebaliknya menjadi langsung merasa relatif amat menyesal atau sedih atas setiap amal-keburukannya.

Tentunya segala 'keadaan batiniah' ruh setiap manusia di Hari Kiamat (puas, senang, menyesal, sedih, dsb), sebagai hasil dari setiap amal-perbuatannya, juga telah bisa amat jelas dan tegas, karena setiap manusianya memang telah memahami berbagai hikmah dan hakekat dari setiap amal-perbuatan itu.

Dan segala 'keadaan batiniah' ruh setiap manusia inilah yang menggambarkan wujud kehidupan akhirat manusianya di dunia dan di Hari Kiamat nanti. Kehidupan batiniah ruh manusia adalah kehidupan akhirat dari setiap manusianya. Serta kehidupan akhirat itu hanya bisa dibangun oleh setiap manusia, saat sebelum menjelang kematiannya di dunia (saat segala amalannya belum terputus). Sedangkan kehidupan akhiratnya setelah Hari Kiamat justru telah bersifat kekal.

"Dan pada hari terjadinya Kiamat, orang-orang yang berdosa terdiam berputus-asa." – (QS.30:12) dan (QS.43:75).

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan penolongmu, (suatu) kaum yang dimurkai Allah, sesungguhnya mereka telah putus-asa terhadap negeri akhirat, sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur, berputus-asa." – (QS.60:13).

"Aku bersumpah dengan Hari Kiamat,", "dan aku bersumpah, dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)." – (QS.75:2).

"Berilah mereka (orang-orang yang zalim) peringatan dengan hari yang dekat (Hari Kiamat, yaitu) ketika hati (menyesakkan) sampai di kerongkongan, dengan menahan kesedihan. …" – (QS.40:18).

 

"Hai hamba-hamba-Ku (yang beriman), tiada kekuatiran terhadapmu pada hari (Kiamat) ini, dan tidak pula kamu bersedih-hati." – (QS.43:68) dan (QS.7:49).

 

Tentunya besar tingkat kenikmatan (kemuliaan) ataupun besar tingkat siksaan (kehinaan) yang diperoleh setiap manusia, tergantung kepada tingkat kebenaran ataupun tingkat kesesatannya dalam berbuat 'sesuatu' amal-perbuatan (seperti: niat, tingkat kesadaran atau tingkat pengetahuan, besar tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, besar beban ujian-Nya, tingkat keimanan, kekuatan dalil-alasannya, dsb).

Baca pula topik "Sunatullah", tentang hakekat setiap perbuatan manusia.

Baca pula uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam bentuk simboliknya.

Proses Penghisaban di Hari Kiamat (hakekat)

Setelah proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya yang terkait dengan setiap amal-perbuatan manusia di atas, dan sekaligus pula bisa jelas terjawab segala ketidak-tahuan, keraguan dan perselisihan antar umat manusia. Secara otomatis pula, setiap manusia bisa mengetahui dengan jelas dan terang hasil sebenarnya dari setiap amal-kebaikannya (pahala-Nya), ataupun setiap amal-keburukannya (beban dosa).

Dari berbagai pengetahuan itu (berbagai hikmah dan hakekat dari setiap amal-perbuatannya), tentunya keadaan batiniah ruh setiap manusia menjadi relatif makin senang ataupun sedih atas setiap amal-perbuatannya, termasuk pula relatif makin mengetahui, apakah setiap amalannya itu telah bermanfaat memuliakan dirinya, hanya sia-sia saja ataupun bahkan telah menghinakan dirinya.

"… Dan sesungguhnya siksaan akhirat lebih menghinakan, sedang mereka tidak diberi pertolongan." – (QS.41:16).

"…Merekalah yang memperoleh azab atau siksaan-Nya yang menghinakan." – (QS.45:9) dan (QS.58:16, QS.3:178, QS.4:102, QS.11:39, QS.11:93, QS.16:27, QS.22:57, QS.31:6, QS.58:5, QS.2:90, QS.4:14, QS.4:37, QS.4:151, QS.6:93, QS.39:40, QS.33:57).

"…Maka pada hari (Kiamat) ini, kamu dibalasi dengan azab yang menghinakan, karena kamu telah menyombongkan diri di muka bumi, tanpa hak, dan kamu telah fasik'." – (QS.46:20).

 

"…, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal (tinggal) di dalamnya." – (QS.2:217) dan (QS.7:147, QS.9:17, QS.18:103-105).

"… Mereka itu, amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah orang-orang yang merugi." – (QS.9:69) dan (QS.18:103-105).

"Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka, balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.", "Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu, apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan." – (QS.11:15-16).

"…Dan do'a orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka." – (QS.13:14) dan (QS.40:50).

 

"Dikatakan (kepadanya): 'Masuklah ke surga'. Ia berkata: 'Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui,", "apa yang menyebabkan Rabb-ku, memberikan ampun kepadaku, dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan'." – (QS.36:26-27).

"…Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan,", "di dalam surga-surga yang penuh nikmat," – (QS.37:42-43).

"Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.", "Mereka itu (kekal tinggal) di surga, lagi dimuliakan." – (QS.70:34-35).

 

Hal ini disebut dalam Al-Qur'an, sebagai "disempurnakan-Nya segala pahala dan beban dosa setiap manusia yang diperoleh selama di dunia, yang sebesar biji zarrah sekalipun", dan berupa disempurnakan-Nya segala keadaan batiniah ruhnya (keadaan kehidupan akhiratnya).

"…. Dan (di Hari Kiamat) disempurnakan-Nya atas tiap-tiap diri, balasan-Nya atas apa yang diusahakannya, sedangkan mereka tidak dianiaya (dirugikan)." – (QS.3:25) dan (QS.16:111, QS.39:70).

"…. Dan sesungguhnya, pada Hari Kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. …" – (QS.3:185).

 

Pada pengertian proses Penghisaban secara simboliknya, nilai dari setiap amal-perbuatan manusia dihitung, ditimbang atau dihisab-Nya 'jumlahnya' dengan amat adil, setiap manusianya tidak dianiaya-Nya (tidak menanggung segala beban dosa dari orang-lain, dan bahkan juga tidak menerima segala syafaat dari orang-lain).

Berdasar 'jumlah' keseluruhan nilai amalan sebagai hasil dari timbangan itulah jelas bisa diketahui pula, apakah jumlah nilai amal-kebaikan (jumlah pahala), 'lebih banyak' daripada amal-keburukannya (jumlah beban dosa).

"Timbangan pada hari (Kiamat) itu ialah kebenaran (keadilan), maka barangsiapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.", "Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, …" – (QS.7:8-9) dan (QS.23:102-103, QS.101:6-9).

 

Namun menurut pemahaman pada buku ini, pengertian proses Penghisaban di atas hanya bersifat simbolik, untuk menunjukkan hasil dari 'keseluruhan' proses Penghisaban itu sendiri (gambaran seluruh keadaan batiniah ruh manusianya), karena hal ini tidak logis dan tidak realistik untuk dilakukan, sedang mustahil segala keadaan batiniah ruh setiap manusia diabaikan begitu saja, serta hanya diwakili oleh sesuatu keadaan saja, yang ditunjukkan melalui sesuatu 'jumlah' nilai amalan.

Sedang pada pengertian Penghisaban secara hakekatnya yang sebenarnya, tentunya hanya nilai amalan dari 'setiap' amal-perbuatan manusianya yang dihitung, ditimbang atau dihisab-Nya. Hal ini karena segala proses pada alam batiniah ruh setiap manusia, secara alamiah justru hanya terjadi atas 'setiap' amal-perbuatannya (dihisab-Nya satu per satu dari seluruh amal-perbuatannya), Hal ini sama halnya dengan proses berpikir manusia, yang hanya bisa berpindah-pindah dari suatu hal ke hal-hal lainnya, relatif satu per satu (mustahil segala hal yang telah diketahui, bisa dipikirkan langsung sekaligus).

Sehngga makna 'hisab' pada buku ini, adalah para malaikat Rakid dan 'Atid justru hanya membuka, membaca atau memberitakan satu per satu, kandungan isi catatan amalan setiap manusia. Kemudian para malaikat Rakid dan 'Atid membahas, memeriksa, mengorek-orek, menguji, membuka atau mempertegas segala sesuatu hal secara amat 'lengkap dan teliti', yang terkait dengan 'setiap' amal-perbuatan yang sedang dibahas.

Sampai akhirnya setiap manusianya sendiri telah benar-benar bisa memahami atau mengetahui, tentang 'nilai' dari segala hal yang telah dilakukannya (pikiran, perkataan dan perbuatannya), yang paling sederhana atau kecil sekalipun bentuknya, seperti misalnya: keraguan, kebohongan, kesesatan, dalil-alasan, pengetahuan, kekonsistenan, dsb, dalam berbuat.

Proses Penghisaban ini memang pada dasarnya serupa dengan proses dibukakan kebenaran-Nya di atas, namun ada sedikit perbedaan pada fokus proses yang terjadi. Pada proses dibukakan kebenaran-Nya terfokus pada aspek 'usaha membukanya', sedang proses Penghisaban terfokus pada aspek 'kelengkapan atau jumlah yang bisa dibukanya'.

Pada proses Penghisaban, para malaikat Rakid dan 'Atid justru bertugas membuka seteliti, sebanyak dan semaksimal mungkin segala hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang terkait dengan 'setiap' amal-perbuatan,.sampai relatif tidak ada lagi yang bisa diungkap.

Baca pula uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian dibukakan kebenaran-Nya di Hari Kiamat, dalam bentuk hakekatnya. Juga uraian pada topik di atas, tentang proses kejadian Penghisaban di Hari Kiamat, dalam bentuk simboliknya.

Proses Pemutusan di Hari Kiamat (hakekat)

Ringkasnya, proses Pemutusan ini adalah 'akhir' dari proses Penghisaban, dimana para malaikat Rakid dan 'Atid itu telah selesai menghisab setiap manusianya, atas 'sesuatu' amal-perbuatannya. Serta relatif tidak ada lagi hikmah dan hakekatnya yang bisa diungkap lebih lanjut oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, dari amal-perbuatannya itu. Dan setelah selesainya proses Penghisaban, tentunya Allah langsung memutuskan bentuk balasan-Nya atas amal-perbuatan terkait.

Hal ini tentunya benar-benar sesuai pula dengan batas tingkat kesadaran atau pengetahuan dari setiap manusianya, yang ada tersedia dalam catatan amalannya. Juga tentunya tingkat kedalaman dari setiap hikmah dan hakekat kebenaran-Nya yang bisa terungkap, relatif amat berbeda-beda bagi masing-masing manusianya (dari umat yang amat awam, sampai tingkat pengetahuan para nabi-Nya).

Hal inipun tentunya sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Adil dan Maha Penyayang.

Sehingga pada proses Penghisaban atas setiap amal-kebaikan, justru relatif jauh lebih cepat dan mudah bisa diungkap dan diperiksa, karena segala dalil-alasannya dalam melakukan setiap amal-kebaikan (terutama yang diajarkan dalam ajaran-ajaran agama), memang relatif amat kokoh-kuat dan sulit terbantahkan (terutama pada tingkat hikmah dan hakekat kebenaran-Nya).

Sebaliknya justru terjadi atas setiap amal-keburukan, dimana para malaikat Rakid dan 'Atid itu pasti terus-menerus mengejar setiap pengetahuan manusia pelakunya, sampai mereka menemukan seluruh dasar pondasi pengetahuannya yang keliru dan sesat, dalam berbuat.

Di lain pihak, pada proses Penghisaban atas setiap umat yang amat 'awam', justru relatif jauh lebih cepat selesai diperiksa, karena jumlah dalil-alasan dalam melakukan setiap amal-perbuatan, memang relatif amat terbatas dan sederhana. Hal yang sebaliknya justru terjadi atas setiap umat yang amat 'berilmu'.

"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar supaya 'tidak alasan' bagi manusia, untuk membantah Allah. setelah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa, lagi Maha Bijaksana." – (QS.4:165).

"Aku memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi 'tanpa alasan' yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap ayat(Ku), mereka tidak berfirman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa kepada petunjuk, mereka tak mau menempuhnya. Yang demikian itu adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat-Kami, dan mereka selalu lalai darinya." – (QS.7:146).

"Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia, sebagai ilah-ilah (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zalim, daripada orang-orang yang mengada-ada(kan) kebohongan tentang Allah." – (QS.18:15).

"… Yang demikian itu, karena mereka kafir kepada ayat-ayat-Nya, dan membunuh para nabi 'tanpa alasan' yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas." – (QS.3:112) dan (QS.3:181, QS.4:155, QS.17:33).

"Katakanlah: 'Rabb-ku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan-Nya, dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu, dan (mengharamkan) mengada-adakan tentang Allah, apa saja yang tidak kamu ketahui'." – (QS.7:33) dan (QS.10:23).

"Beginilah kamu, kamu ini berbantah-bantahan tentang hal yang kamu telah ketahui. Maka kenapa kamu berbantahan dengan menggunakan alasan yang tidak kamu ketahui. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui." – (QS.3:66).

 

Jika dalam pengertian proses Pemutusan secara simboliknya, dari jumlah nilai amalan kebaikan pada proses Penghisaban di atas, diputuskanlah balasan-Nya yang amat setimpal, adil dan terakhir, bagi setiap manusia, dengan Surga atau Neraka.

Maka menurut pengertian proses Pemutusan secara hakekatnya yang sebenarnya, justru balasan yang diputuskan-Nya tetap hanya bagi 'setiap' amal-perbuatan manusia yang telah dihitung, ditimbang atau dihisab-Nya nilai amalannya (hanya diputuskan-Nya satu per satu dari seluruh amal-perbuatan manusianya). Sehingga hasil keputusan-Nya bagi setiap amal-perbuatan manusia, bisa disebut pula sebagai Surga 'kecil' (setiap pahala-Nya) atau Neraka 'kecil' (setiap beban dosa).

Walau tak-terhitung jumlah Surga 'kecil' dan Neraka 'kecil' itupun memang bisa menggambarkan keadaan keseluruhannya (Surga 'besar' dan Neraka 'besar'). Serta Surga dan Neraka (besar dan kecil) adalah gambaran dari keadaan batiniah ruh setiap manusia (kehidupan akhiratnya) di Hari Kiamat, sesuai dengan setiap nilai amalannya.

Hal yang serupa pada dasarnya terjadi atas kehidupan akhirat setiap manusia di dunia (ada pula tak-terhitung jumlah Surga 'kecil' dan Neraka 'kecil'). Walau memang belumlah 'disempurnakan-Nya', sepert halnya kehidupan akhiratnya di Hari Kiamat, termasuk karena adanya 'halangan' dari segala kesibukan lahiriah-fisik-duniawi, yang membuat manusia relatif melalaikan kehidupan akhiratnya di dunia.

"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia. Sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat (atau kehidupan batiniah ruh) adalah lalai." – (QS.30:7).

Proses Pembalasan di Hari Kiamat (hakekat)

Pada dasarnya segera setelah selesainya proses Penghisaban, atas 'sesuatu' amal-perbuatan manusia, maka segera dilakukan proses Pemutusan atas bentuk balasan-Nya yang terakhir, sekaligus langsung pula dimulainya proses Pembalasan bagi amal-perbuatan itu (berupa pemberian Surga 'kecil' dan Neraka 'kecil').

Hal ini berupa terbentuknya keadaan akhir batiniah ruh setiap manusia di Hari Kiamat (keadaan kehidupan akhiratnya), yang hanya terkait dengan 'sesuatu' amal-perbuatan tertentu saja.

Keadaan akhir batiniah ruh setiap manusia di Hari Kiamat itu, serupa dengan keadaan batiniah ruh yang merasa mulia, tentram dan bahagia, setelah berbuat suatu amal-kebaikan, dan sebaliknya merasa terhina, bersalah dan menyesal, setelah berbuat suatu amal-keburukan selama di dunia.

Namun karena di Hari Kiamat telah disempurnakan-Nya pula atas setiap pahala dan beban dosa, maka setiap manusia juga pasti bisa mengalami nikmat ataupun siksaan-Nya yang relatif amat sangat luar-biasa pada alam batiniah ruhnya (alam akhiratnya).

Bahkan terhadap orang-orang yang kafir-musyrik atau orang-orang yang murtad dari agama Islam, yang meninggal dunia di dalam kekafirannya itu, keadaan alam akhiratnya justru paling parah, seperti: hampir tidak ada sesuatupun kebanggaan dan kemuliaan; selalu tetap dalam kesesatan; segala amalannya sia-sia; penuh dengan segala rasa penyesalan dan kehinaan; penuh dengan ketidak-konsistenan; dsb.

Sedang tentunya sebagai suatu amal-perbuatan yang terpisah, setiap 'taubat' relatif serupa dengan berbagai amal-kebaikan lainnya. Namun hasil dari setiap 'taubat' yang telah dilakukan dengan sebenar-benarnya (bisa diterima-Nya), justru nilai amalan dari 'taubat' itu juga bisa meringankan beban dosa dari setiap amal-keburukan 'terkait'.

Walau nilai amalan dari suatu 'taubat' yang bisa diterima-Nya, memang bernilai amat tinggi, namun justru relatif tidak bisa menutupi ataupun meringankan beban-beban dosa dari segala amal-keburukan yang relatif 'tidak terkait' sama sekali.

Hal inilah perwujudan dari Surga dan Neraka yang kekal di Hari Kiamat. Surga sering disebut dalam Al-Qur'an, "pahala, rahmat atau kemenangan yang paling besar", yang diberikan-Nya bagi orang-orang beriman. Sekali lagi tinjauan Al-Qur'an dalam hal inipun tetap bersifat simbolik dan umum.

Karena setiap pahala dan setiap beban dosa memang tetaplah hanya bisa ditinjau atau diberikan bagi setiap amal-perbuatan, bukan bagi setiap sosok manusia pelakunya. Sedangkan 'pahala, rahmat atau kemenangan yang paling besar' hanyalah gambaran umum, atas tak-terhitung jumlah seluruh pahala 'kecil' yang telah didapat oleh setiap manusia di dunia, dari tak-terhitung jumlah amal-kebaikannya.

Di samping penyempurnaan atas pahala atau beban dosa dari setiap amal-perbuatan manusia, karena telah amatlah jelas dan terang diungkap hikmah dan hakekatnya oleh para malaikat Rakid dan 'Atid, maka penyempurnaan di Hari Kiamat antara-lain pula, karena manusia dilayani, dihormati atau dimuliakan terus-menerus oleh para malaikat, atas setiap amal-kebaikannya, sehingga manusianyapun memperoleh berbagai kemuliaan dan kenikmatan yang amat tinggi,

Sebaliknya manusia diganggu atau disiksa secara batiniah dan terus-menerus oleh para jin, syaitan dan iblis (berupa penghakiman), atas setiap amal-keburukannya, sehingga manusianyapun memperoleh berbagai kehinaan dan kesusahan yang amat tinggi.

Ringkasnya, lingkungan pertemanan (pergaulan) setelah Hari Kiamat benar-benar relatif terpisah, dan tidak bercampur-baur seperti selama pada kehidupan dunia ini (malaikat, jin, syaitan dan iblis bisa berkumpul secara bersamaan pada alam batiniah ruh setiap manusia).

Contoh sederhana misalnya, nabi besar Muhammad saw pada kehidupannya di dunia pada dasarnya setiap saatnya juga pasti selalu digoda ataupun diganggu oleh para jin, syaitan dan iblis. Namun pada kehidupan akhiratnya di Hari Kiamat, Nabi yang telah relatif terhindar dari dosa-dosa kecil, justru hanya ditemani oleh para malaikat.

Lebih tepat lagi, setelah Hari Kiamat para makhluk gaib-Nya tidak lagi bertindak 'netral' seperti halnya di dunia (membawa nilai-nilai kebenaran, sekaligus pula nilai-nilai kesesatan), sebagai sesuatu bentuk cobaan atau ujian-Nya secara batiniah bagi setiap manusianya. Namun para makhluk gaib relatif telah jelas 'berpihak' kepada setiap amal-perbuatan manusia (baik ataupun buruk).

Contoh sederhananya, jika seseorang yang dianggap-Nya telah beriman (timbangan segala amal-kebaikan lebih berat daripada amal-keburukannya), justru masih memiliki berbagai amal-keburukan yang tidak bisa dimaafkan-Nya (taubatnya tidak bisa diterima-Nya), maka bagi orang ini pasti tetap ada para makhluk gaib, yang terus-menerus menyiksa dan menghinanya atas berbagai amal-keburukannya itu.

Sebaliknya atas segala amal-kebaikannya, pasti tetap ada para makhluk gaib-Nya, yang terus-menerus melayani dan memuliakannya. Secara sederhananya pula tentunya, iapun pasti lebih banyak ditemani oleh para malaikat (para pemulianya), daripada oleh para jin, syaitan dan iblis (para penghinanya).

Setiap bentuk amal-perbuatan manusia (baik dan buruk) pasti tetap meninggalkan bekas pada alam batiniah ruh manusia pelakunya (alam akhiratnya), di dunia ini dan di Hari Kiamat. Kecuali atas setiap amal-keburukan yang telah diterima-Nya taubatnya (bekas dari amal-keburukan itu relatif telah tertutupi atau terkurangi oleh taubatnya).

Sementara dalam Al-Qur'an dan Hadits diketahui pula, bahwa Surga dan Neraka itu masing-masing memiliki berbagai tingkat, yang diberikan-Nya sesuai tingkat jumlah nilai amalan dari setiap manusia (ataupun tingkat keimanannya).

Sebagian dari tingkat kehidupan di akhirat itu memiliki nama sebutan, seperti:

~

Surga:

Surga Firdaus, Surga 'Adn, Surga Na'im, Surga Ma'wa, Surga Darussalam, Surga Khuldi, Surga Darul Muqamah, Surga Al Maqaamul Amiin, dsb,

~

Neraka:

Neraka Jahanam, Neraka jahiim, Neraka Wail, Neraka Hawiyah, Neraka Sa'ir, Neraka Ladha, Neraka Saqar, Neraka Huthamah, dsb.

 

Pada dasarnya berbagai tingkat ataupun nama sebutan di atas, tetap bersifat simbolik dan umum. Serta bukanlah nama sebutan bagi berbagai tempat di kehidupan akhirat, karena justru ada tak-terhitung jumlah Surga dan Neraka, bahkan juga bukan nama-nama tempat.

Lebih jelasnya lagi setiap manusia memiliki Surganya masing-masing (atau sebaliknya Neraka), karena Surga atau Neraka memang berupa segala keadaan batiniah ruh setiap manusia (yang tak-terhitung jumlah keadaannya), yang terbentuk dari hasil tak-terhitung jumlah amal-perbuatannya masing-masing selama di dunia.

Maka tidak perlu dibayangkan, bahwa Surga ataupun Neraka adalah beberapa tempat pada alam akhirat. Juga tidaklah ada terjadi pindah tempat dari Surga ke Neraka ataupun sebaliknya, hanya karena di dalam Al-Qur'an terdapat janji-Nya dengan Surga ataupun Neraka, atas berbagai amal-perbuatan tertentu.

Sedangkan selama hidupnya, manusia secara keseluruhannya tentunya bisa ada 'beberapa' kali dijanjikan-Nya dengan Surga ataupun Neraka (seperti halnya pada seorang Mukmin, yang kadang sesekali pernah melakukan dosa besar atau melakukan kekafiran).

"Dan orang-orang yang beriman, serta beramal shaleh, mereka itu penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." – (QS.2:82) dan (QS.2:25, QS.2:82).

"Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat-Kami, mereka itu akan menjadi penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya." – (QS.2:39).

"… Orang yang mengulangi (tetap mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya." – (QS.2:275).

 

Justru saat 'setiap' amal-perbuatan manusia telah benar-benar tuntas dihisab-Nya, maka bentuk balasan-Nya pada Hari Kiamat, atas amal-perbuatan itu langsung diputuskan-Nya. Serta balasan-Nya yang disebut Surga 'kecil' atau Neraka'kecil' itu juga telah langsung mulai berlaku secara 'kekal' (tidak berubah-ubah).

Janji-janji-Nya dengan Surga atau Neraka di dalam Al-Qur'an bagi sesuatu amalan tertentu, justru hanyalah karena nilai amalannya memang relatif amat tinggi (positif atau negatif), dibanding berbagai amalan lainnya. Maka Surga atau Neraka yang dijanjikan-Nya tersebut pada dasarnya hanyalah berupa suatu Surga 'kecil' atau Neraka'kecil' (dari tak-terhitung jumlah Surga 'kecil' atau Neraka 'kecil' lainnya).

Bahkan suatu amal-kebaikan yang nilai amalannya relatif amat tinggi, justru belum tentu bisa meringankan atau mengurangi berbagai beban dosa dari berbagai amal-keburukan. Sedang segala usaha untuk bisa meringankan atau mengurangi berbagai beban dosa, justru hanya dengan bertaubat yang sebenar-benarnya dan 'terkait' (sesuai).

Lebih jelasnya, keadaan kehidupan akhirat di Hari Kiamat itu pada dasarnya relatif serupa dengan kehidupan akhirat setiap manusia di dunia (keadaan atau kehidupan batiniah ruhnya), dan perbedaannya hanya karena kehidupan akhirat di Hari Kiamat telah disempurnakan-Nya (dilipat-gandakan nikmat dan hukuman-Nya). Juga karena setiap amal-perbuatan hanya diukur sesuai penilaian mutlak Allah, bukanlah penilaian relatif-subyektif manusia (di dunia).

Sekali lagi, Surga dan Neraka adalah 'perasaan atau keadaan' batiniah ruh yang merasa mendapat kemuliaan (Surga) dan kehinaan (Neraka), pada suatu saat tertentu, saat setiap manusianya mengingat!ingat setiap amal-perbuatannya (baik dan buruk), dan bahkan juga saat para makhluk gaib-Nya 'membantu' manusianya mengingat!ingatnya.

Maka kadang-kadang setiap manusia berada di Surga, saat ia mengingat!ingat sesuatu amal-kebaikannya tetapi juga kadang-kadang berada di Neraka, saat ia mengingat!ingat sesuatu amal-keburukannya. Hal seperti ini justru berlangsung secara alamiah dan berulang-ulang pada kehidupan akhiratnya setelah Hari Kiamat.

Tentunya jika seorang lebih banyak jumlah nilai segala amal-kebaikannya daripada segala amal-keburukannya, maka iapun secara simbolik disebut berada atau tinggal di Surga (sebaliknya di Neraka).

Sehingga secara simbolik, Surga dan Neraka itu justru berupa suatu rangkuman ataupun pengelompokan atas 'keseluruhan' keadaan batiniah ruh manusianya (rangkuman dari tak-terhitung jumlah Surga 'kecil' dan Neraka'kecil'). Sekali lagi Surga dan Neraka itu bukanlah 'tempat', tetapi justru 'keadaan batiniah' ruh setiap manusia (keadaan kehidupan akhiratnya).

'Wujud' kehidupan manusia di akhirat setelah Hari Kiamat

Akhirnya, bagaimanakah wujud dari kehidupan akhirat umat manusia setelah Hari Kiamat?. Menurut pemahaman pada buku ini, wujudnya serupa seperti kehidupan para makhluk gaib-Nya saat ini (di alam ruh atau di alam arwah), yang bersifat batiniah dan gaib. Tidak ada wujud seperti kehidupan nyata-fisik-lahiriah manusia di dunia ini, yang penuh dengan segala kekurangan, keterbatasan dan kehinaan.

Memang amat sedikit jumlah ayat Al-Qur'an yang menjelaskan hal ini, dan bahkan secara tidak langsung. Sehingga pada saat 'zat' ruh setiap makhluk hidup nyata (termasuk manusia), telah diangkat atau dibangkitkan-Nya dari kuburannya (telah dicabut atau dilepaskan-Nya dari jasad tubuhnya), maka 'zat' ruh setiap manusia juga pasti kembali kepada-Nya ('hidup kembali' di alam ruh), serupa dengan kehidupan nabi Adam as sebelum diturunkan-Nya ke muka Bumi (dunia). 98)

"Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati (diciptakan-Nya ruh), lalu Allah menghidupkan kamu (ditiupkan-Nya ruh), kamu dimatikan (kematian teknis tubuh) dan dihidupkan-Nya kembali (diangkat atau dibangkitkan-Nya ruh hidup di akhirat). Kemudian kepada Allah-lah kamu dikembalikan (dikumpulkan-Nya ruh)." – (QS.2:28) dan (QS.22:66).

"Tidaklah Allah menciptakan (hidup di dunia) dan membangkitkan kamu (dari dalam kuburmu) itu (hidup di akhirat pada Hari Kiamat), melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa (ruh) saja. …" – (QS.31:28).

 

"Kesejahteraan atas dirinya (Yahya) pada hari ia dilahirkan, dan pada hari ia meninggal dan pada hari ia dibangkitkan hidup kembali (Hari Kiamat)." – (QS.19:15).

"Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (Hari Kiamat)'." – (QS.19:33).

"Dan berkata manusia: 'Betulkah, apabila aku telah mati, bahwa aku sungguh-sungguh akan dibangkitkan menjadi hidup kembali'.", "Dan tidakkah manusia itu memikirkan, bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakannya dahulu, sedang (sebelumnya) ia tidak ada sama sekali.", "Demi Rabb-mu, sesungguhnya akan Kami bangkitkan mereka bersama syaitan, kemudian akan Kami datangkan mereka ke sekeliling (neraka) Jahanam dengan berlutut, (karena mereka meragukan Hari Kebangkitan)." – (QS.19:66-68).

 

Sedang gambaran wujud dari kehidupan manusia di alam ruh, lebih-kurang seperti halnya ketika manusia sedang 'bermimpi' dalam tidurnya. Di mana kandungan 'isi mimpi' setelah Hari Kiamat relatif jauh lebih nyata, sesuai segala keadaan batiniah ruh setiap manusianya (keadaan kehidupan akhiratnya di Surga ataupun di Neraka), dari hasil segala amal-perbuatannya selama di dunia.

Tentunya 'isi mimpi' di alam ruh itupun relatif amat berbeda, daripada 'isi mimpi' biasa selama di dunia (masih mengandung segala cobaan atau ujian-Nya). Hal inipun hanya dijelaskan amat sedikit dan secara tidak langsung pada surat Az-Zumar ayat 42 berikut.

"Allah memegang jiwa (ruh pada seseorang), ketika matinya, dan (juga memegang) jiwa (ruh pada orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Ia tahanlah jiwa (ruh pada seseorang), yang telah Ia tetapkan kematiannya, dan Dia melepaskan jiwa yang lain (ruh pada orang yang tertidur), sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya, bagi kaum yang berpikir." – (QS.39:42).

"… Dan Kami tidaklah menjadikan mimpi, yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia, …" – (QS.17:60).

 

Hal ini didukung pula oleh kenyataan, bahwa para makhluk gaib berada pada alam batiniah ruh manusia (alam akhiratnya), dalam memberi segala bentuk 'ilham' (positif-baik-benar dan negatif-buruk-sesat), termasuk mereka pulalah yang telah mengatur alam khayalan dan alam mimpi pada setiap manusia selama di dunia.

Bagi setiap manusia memang pasti diutus-Nya para makhluk gaib, untuk selalu mengikuti, mengawasi dan menjaganya.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang ilham-bisikan-godaan dari para makhluk gaib.

"…Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu hal." – (QS.33:52) dan (QS.4:1, QS.89:14).

"Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan, melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." – (QS.50:18).

"Padahal sesungguhnya, bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),", "yang mulia (di sisi-Nya) dan yang mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu),", "mereka mengetahui apa saja yang kamu kerjakan." – (QS.82:10-12).

 

"tidak ada suatu jiwapun (diri), melainkan ada (para malaikat) penjaganya." – (QS.86:4) dan (QS.6:61).

"Bagi manusia ada malaikat-malaikat, yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah-Nya. …" – (QS.13:11) dan (QS.72:26-27).

 

Sederhananya, orang-orang yang kafir akan mengalami amat banyak mimpi-mimpi buruk dan menyiksa pada kehidupan akhiratnya setelah Hari Kiamat, dan sebaliknya, orang-orang yang beriman akan mengalami mimpi-mimpi menyenangkan, khususnya karena pengaruh kehadiran para malaikat penjaga Surga dan penjaga Neraka.

"Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka, melainkan dari malaikat. …" – (QS.74:31) dan (QS.40:49-50, QS.39:71-74, QS.67:6-11).

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka, yang bahan-bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." – (QS.66:6).

 

"Rabb-mereka mengembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari-Nya, keredhaan dan surga, mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal,", "mereka kekal (tinggal) di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi-Nya-lah pahala yang besar." – (QS.9:21-22).

"Sesungguhnya penghuni surga pada hari (Kiamat) itu, bersenang-senang dalam kesibukan (mereka)." – (QS.36:55).

 

"(yaitu) orang-orang (kafir), yang menjadikan agama mereka sebagai main-main atau senda-gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka'. Maka pada hari (Kiamat) itu, Kami melupakan mereka, sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan mereka (juga) selalu mengingkari ayat-ayat-Kami." – (QS.7:51) dan (QS.20:126, QS.9:67, QS.45:34, QS.59:19, QS.32:14).

"Kemudian dikatakan kepada orang-orang yang zalim itu: 'Rasakanlah olehmu siksaan yang kekal. Kamu tidak diberi balasan, melainkan dengan apa yang telah kamu kerjakan'." – (QS.10:52).

"Katakanlah: 'Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui,", "siapa yang akan mendapat siksaan-Nya yang menghinakannya, dan lagi ditimpa azab-Nya yang kekal'." – (QS.39:39-40).

"…, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksaan-Kami yang berat, disebabkan kekafiran mereka." – (QS.10:70) dan (QS.3:105, QS.2:165, QS.2:85, QS.3:4).

"Allah telah mengunci-mati (mata) hati mereka. Dan pendengaran dan penglihatan mereka ditutup-Nya. Bagi mereka terdapat siksaan-Nya yang amat berat." – (QS.2:7).

"…Mereka di dunia mendapat kehinaan, dan di akhirat mendapat siksaan-Nya yang berat." – (QS.2:114).

 

Adapun proses interaksi antar segala zat makhluk-Nya di alam akhirat pada Hari Kiamat, serupa seperti interaksi antara manusia dan para makhluk gaib, secara terang-terangan dan terselubung selama di dunia (para makhluk gaib hadir pada alam batiniah ruh manusia).

Dimana pada interaksi secara terang-terangan dengan manusia, para makhluk gaib bisa bernyanyi, bermain, bercanda-tawa, meledek, berdiskusi, saling menyapa dan memberikan salam, dsb, serupa seperti segala aktifitas 'verbal' manusia, tentunya juga segala aktifitas 'non-verbal' (terutama dalam interaksi terselubung). Pada dasarnya segala sesuatu pada alam batiniah ruh manusia (makhluk-Nya), bisa dipakai sebagai sarana berinteraksi, seperti: catatan amalan, memori-ingatan, intuisi-logika, ilmu-pengetahuan, pahala dan dosa, bahasa, nafsu, hati-nurani, perasaan (kecewa, gelisah, sedih, marah, nyeri, bimbang, ragu, takut, berani, senang, gembira, nyaman, cinta, rindu, bahagia), dsb. Ringkasnya, serupa seperti kehidupan pada alam pikiran ataupun pada alam 'mimpi'.

Baca pula topik "Makhluk hidup gaib", tentang interaksi antara para makhluk gaib dan manusia, secara terang-terangan dan terselubung. Juga topik "Benda mati gaib", tentang sarana yang dipakai dalam interaksi antar ruh makhluk-Nya.

Tentunya wujud dari kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat di atas (pada alam ruh, tanpa tubuh lahiriah), amat bisa diperdebatkan, karena memang relatif amat sedikit penjelasan dan keterangannya di dalam Al-Qur'an. Apalagi relatif amat bertentangan, dengan berbagai makna 'tekstual-harfiah' dari berbagai ayat Al-Qur'an lainnya, tentang kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat.

Barangkali berbagai keterangan dari pengalaman orang-orang yang pernah kembali, dari keadaan pingsan, mati suri, koma ataupun sekarat, yang relatif cukup lama, akan bisa lebih menjelaskan hal ini, juga termasuk penelitian yang lebih mendalam terhadap orang-orang yang pernah berhubungan dengan ruh-ruh para makhluk gaib.

Wallahu a'lam bishawwab.

Berbagai permasalahan terkait Neraka (dan Surga)

Permasalahan tentang neraka (dan surga) adalah kemungkinan masalah logis yang terkait dengan keagamaan, dimana penggambaran tentang Neraka sebagai suatu hal yang amat kejam, menyiksa ataupun membakar, yang dengan demikian seolah tampak bertentangan dengan konsep moralitas, ke-Maha adil-an dan ke-Maha tahu-an Tuhan.

Permasalahan tentang neraka ('problem of hell') berkisar pada 4 hal pokok, yang terdapat pada hampir semua agama, yaitu:

~ Neraka itu ada,
~ Sebagian manusia akan dimasukkan ke neraka,
~ Tidak ada jalan keluar dari neraka (kekal), dan
~ Neraka adalah hukuman atas berbagai tindakan manusia (ataupun bahkan bukan tindakan), selama manusianya berada di dunia.

 

Dari hal-hal pokok tersebut telah bisa menimbulkan berbagai pertanyaan cukup penting, seperti:

a. Apakah neraka dan surga adalah nama-nama tempat? dan apakah kehidupan di neraka dan di surga nantinya berupa suatu kehidupan fisik-lahiriah-duniawi, yang serupa kehidupan dunia saat ini?
b. Bagaimana bentuk, berat beban dan kekekalan siksaan neraka?
c. Apakah keberadaan neraka sesuai dengan keadilan?
d. Apakah keberadaan neraka itu sesuai dengan sifat ke-Maha pemurah-an Tuhan? dan apakah siksaan neraka tidak akan menciderai kebaikan Tuhan?
e. Apakah neraka benar-benar pasti akan didiami atau dihadapi oleh tiap makhluk yang berbuat dosa (Tuhan bukannya dianggap nantinya akan memperbaiki kembali segala sesuatu halnya)?
f. Apakah hukuman 'tanpa batas' di neraka, ada atau sesuai?
g. Apakah hukuman 'tanpa batas' di neraka, bagi tiap makhluk yang telah menentang perintah-Nya (berbuat dosa), hanya terjadi karena ke-Maha kuasa-an Tuhan?
h. Apakah berat hukuman di neraka, pasti sesuai dengan besar kerugian yang telah ditimbulkan oleh tiap amal-keburukan atau perbuatan dosa?
i. Apakah tiap manusia pasti disalahkan atau mesti bertanggung-jawab atas dosa-dosanya (bukan Tuhan yang disalahkan), sedang Tuhan telah dianggap bersifat Maha mengetahui dan Maha berkuasa menentukan takdir bagi tiap manusia?
j. Apakah keadilan menurut akal-sehat manusia bisa berbeda daripada keadilan menurut Tuhan? dan apakah Tuhan tetap disebut berlaku adil, walau keadilan Tuhan justru berbeda daripada keadilan menurut akal-sehat manusia?
k. Apakah kebaikan Tuhan bisa sesuai dengan kebaikan, budaya, intuisi dan rasionalitas manusia?
l. Apakah adanya siksaan neraka, sebagai konsekuensi dari kebebasan telah diberikan-Nya kepada manusia? dan apakah neraka juga pilihan bebas manusia (bukan hukuman yang memaksa)?
m. Apakah manusia yang cacat, bodoh ataupun alpa, pasti bertanggung-jawab atas nasib dan perbuatannya?
n. Apakah umat manusia yang belum pernah mendapat pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya, pasti bertanggung-jawab atas tiap perbuatan dosanya? dan bagaimana fitrah dasar tiap manusia untuk mengenal, menyembah dan beriman kepada-Nya?
o. Apakah manusia yang berdosa akan disiksa-Nya untuk tinggal kekal di neraka, atau tubuh ataupun ruhnya yang akan dihancurkan-Nya?
p. Apakah seluruh manusia akan bisa mendapat pengampunan, karena cinta dan kasih sayang Tuhan?
q. Apakah balasan-Nya bagi manusia yang kafir-musyrik, namun telah pula berbuat berbagai kebaikan?
r. Apakah semua Muslim pada akhirnya pasti akan bisa kekal di surga, karena telah tidak menyembah Tuhan selain Allah (hanya sementara di neraka, atas segala dosa selain kemusyrikan)? dan apakah neraka pada akhirnya hanya akan dihuni oleh manusia yang kafir-musyrik?
s. Apakah Tuhan bisa berkehendak, untuk memasukkan seluruh manusia ke surga, atau sebaliknya ke neraka?
t. Apakah tiap manusia yang timbangan segala amal-kebaikannya, lebih berat daripada segala amal-keburukannya, pasti akan bisa masuk ke neraka (walau sementara)?
u. Bagaimana balasan-Nya bagi orang yang telah berbuat berbagai keburukan, yang diancam-Nya dengan neraka, namun sebaliknya juga telah berbuat berbagai kebaikan, yang dijanjikan-Nya dengan surga? dan bagaimana keadaan terakhirnya?
v. Di mana letak ke-Maha kuasa-an, ke-Maha tahu-an dan ke-Maha baik-an Tuhan, terkait dengan nasib manusia di alam akhirat (termasuk di neraka)?

 

Di samping langsung tentang neraka, berbagai permasalahan itu juga sedikit-banyak menyangkut tentang surga; sifat-sifat Tuhan; kebebasan dan tanggung-jawab manusia; akal sehat manusia; takdir; kehidupan dunia dan akhirat; keburukan atau perbuatan dosa; balasan-Nya dan hukuman-Nya; ampunan-Nya; pengajaran dan tuntunan-Nya; perintah-Nya; kehendak dan perbuatan-Nya; kemusyrikan; timbangan amalan; dsb.

Berbagai hal yang melebar cukup luas di atas, bisa ditemukan uraiannya pada bagian lain pembahasan buku ini. Juga telah diuraikan khusus pada topik-topik di atas, tentang alam atau kehidupan akhirat, dan tentang wujud dari kehidupan akhirat di Hari Kiamat (kehidupan di neraka dan di surga).

Permasalahan tentang neraka justru berpengaruh amat penting, di satu pihaknya keberadaan neraka diakui oleh hampir semua agama, namun di lain pihaknya sebagian manusia bisa mengatasinya, dengan menolak agama dan kepercayaannya tentang neraka, ataupun menjadi ateis. Hal ini khususnya karena neraka adalah suatu bentuk hukuman yang hampir pasti ingin dihindari dan ditakuti oleh tiap umat manusia. Sehingga penjelasan tentang neraka, termasuk jawaban atas berbagai permasalahannya yang relatif bisa diterima oleh akal-sehat, mestinya justru bisa makin meningkatkan keimanan umat beragama. Sekaligus agar bisa menghindari berbagai ketakutan dan pemahaman yang amat berlebihan tentang neraka, tanpa dalil-alasan yang memadai.

Pada tabel berikut diungkap jawaban atas berbagai pertanyaan atau permasalahan yang berkaitan dengan neraka (dan surga), menurut agama Islam, ataupun khususnya menurut pemahaman pada buku ini. Berbagai pertanyaan itu pada hakekatnya telah terjawab dengan relatif sempurna melalui ajaran-ajaran agama Islam. Namun perlu diungkap lagi, agar umat Islam sendiri bisa semakin tinggi tingkat keimanannya atas ajaran agama Islam. Juga karena berbagai pertanyaan itu bahkan telah amat meluas dan muncul dari para penganut pada hampir semua agama (di samping dari para penganut ateisme dan agnotikisme). Dan berbagai pertanyaan itu belum terjawab dengan relatif cukup memadai dan tuntas, pada berbagai paham dan agama di luar agama Islam.

Semua pertanyaan atau permasalahan dalam tabel berikut pada dasarnya telah terjawab secara tidak langsung melalui berbagai bagian pembahasan buku ini. Maka semua jawaban dalam tabel berikut hanya rangkuman ringkas dan padat dari berbagai pembahasan tersebut.

Berbagai permasalahan terkait Neraka (dan Surga)

a.

Apakah neraka dan surga adalah nama-nama tempat? dan apakah kehidupan di neraka dan di surga nantinya berupa sesuatu kehidupan fisik-lahiriah-duniawi, yang serupa dengan kehidupan dunia saat ini?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Neraka dan surga bukanlah nama-nama tempat, tetapi sebutan 'simbolik' bagi dua kelompok besar keadaan batiniah ruh tiap manusia. Neraka dan surga masing-masingnya terdiri dari tak-terhitung jumlah 'neraka kecil' dan 'surga kecil', yang berupa tiap keadaan batiniah ruh, sebagai hasil akhir dari tiap amal-perbuatan manusia (keburukan dan kebaikan), yang mengubah keadaan batiniah ruh kepada kehinaan dan kemuliaan. Dan 'neraka kecil' dan 'surga kecil' itu masing-masingnya biasa disebut pula sebagai 'beban dosa' dan 'pahala-Nya', yang justru bersifat batiniah.

Karena itu di dalam Al-Qur'an, 'neraka' biasanya disebut sebagai "kehinaan, azab atau api yang besar", "siksaan atau azab yang berlipat-ganda", dsb. Sedang 'surga' disebut sebagai "pahala, rahmat, karunia, kemenangan, atau kenikmatan yang besar", "keberuntungan yang terbesar", "balasan (baik) yang berlipat-ganda", dsb. Karena neraka dan surga dalam pengertian 'secara umum', masing-masingnya memang berupa sekumpulan dari tak-terhitung jumlah 'neraka kecil' dan 'surga kecil' tersebut.

Tiap manusia memiliki neraka dan surganya masing-masing (memiliki keadaan batiniah ruhnya masing-masing). Maka neraka dan surga juga bukanlah tempat tinggal bersama. Tentunya jumlah neraka dan surga pada dasarnya juga tak-terhitung (bahkan sesuai jumlah seluruh makhluk-Nya). Sehingga adanya beberapa nama sebutan bagi berbagai tingkatan neraka dan surga, pada dasarnya hanyalah bentuk pengelompokan secara 'simbolik' saja, atas berbagai kelompok keadaan batiniah ruh tertentu pada para makhluk-Nya yang mendapatkannya.

Kehidupan di neraka dan di surga bukanlah berupa kehidupan lahiriah-fisik-duniawi, tetapi berupa kehidupan batiniah ruh (kehidupan akhirat), setelah 'zat' ruh masing-masing manusia dicabut, diangkat atau dibangkitkan-Nya dari jasad tubuh lahiriahnya pada Hari Kiamat. Kehidupan akhirat manusia pada Hari Kiamat itu, lebih-kurang relatif serupa dengan kehidupan para makhluk gaib saat ini, di alam ruh atau alam arwah, namun tentunya dengan keadaan batiniah ruhnya masing-masing yang relatif berbeda-beda pada tiap makhluk.

Baca pula uraian pada topik di atas, tentang wujud kehidupan manusia di akhirat setelah Hari Kiamat.

Secara umum, tiap manusia relatif pasti memiliki tak-terhitung jumlah 'neraka kecil', dan sekaligus pula tak-terhitung jumlah 'surga kecil'. Karena adanya dua keadaan batiniah yang saling bertentangan tersebut, maka definisi atau pengertian surga dan neraka di atas belumlah cukup, atau masih meninggalkan dilema tentang keadaan 'terakhir' tiap manusianya (apakah di surga atau di neraka?). Agar bisa menjawab dilema ini, dalam ajaran agama Islam juga dikenal suatu 'timbangan amalan', sebagai sebutan 'simbolik' bagi suatu perhitungan rangkuman, atas jumlah nilai keseluruhan 'pahala-Nya' dan jumlah nilai keseluruhan 'beban dosa'.

Pada akhirnya, tiap manusia yang secara 'simbolik' disebut berada di 'surga' pada Hari Kiamat, adalah manusia yang jumlah nilai keseluruhan amal-kebaikan ('pahala-Nya'), lebih besar daripada jumlah nilai keseluruhan amal-keburukannya ('beban dosa'). Hal ini biasa disebut "timbangan amalannya positif", sebaliknya bagi tiap manusia yang secara 'simbolik' disebut akan berada di 'neraka'. Sekali lagi, neraka dan surga secara 'umum' adalah sebutan 'simbolik', karena hal yang sebenarnya justru tetap berupa 'neraka kecil' ('beban dosa') dan 'surga kecil' ('pahala-Nya').

Istilah-istilah seperti "berada di …", "tinggal di …", "hidup di …", "kekal di …", "penghuni …", dsb, yang biasa terkait dengan surga dan neraka, pada dasarnya bermakna seperti "makhluk terkait yang 'berada' pada keadaan batiniah yang mulia (dimuliakan-Nya) dan yang hina (dihinakan-Nya), masing-masingnya dari hasil tiap amal-kebaikan dan keburukannya".

'Kehidupan batiniah ruh' itu juga biasa disebut sebagai 'kehidupan akhirat'. Kehidupan akhirat setelah Hari Kiamat pada dasarnya hanya kelanjutan dari kehidupan akhirat, yang telah dibangun atau diusahakan oleh tiap manusianya sendiri (secara sadar ataupun tidak), selama di kehidupan dunianya, namun pada Hari Kiamat sekaligus secara alamiah dan adil telah pula 'disempurnakan-Nya' (dilipat-gandakan-Nya).

Baca pula topik di atas, tentang alam atau kehidupan akhirat.

b.

Bagaimanakah bentuk, berat beban dan kekekalan siksaan neraka?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Sebagaimana uraian poin a di atas, bentuk siksaan di neraka hanya berupa siksaan batiniah, bukan siksaan fisik-lahiriah. Sehingga siksaan neraka justru bersifat amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil (pasti sesuai dengan tiap amal-perbuatan manusianya).

Sedang siksaan secara fisik-lahiriah di neraka, yang sering digambarkan pada berbagai kitab suci agama, justru pada dasarnya hanyalah contoh-perumpamaan. Misalnya sebenarnya tidak ada pembakaran tubuh manusia di neraka, oleh api dan bara yang amat sangat panas, tetapi justru berupa berbagai keadaan batiniah ruh atau perasaan, seperti: hina, menyesal, sia-sia, putus-asa, kecewa, galau ataupun tersesat yang relatif amat luar-biasa, terutama setelah dibukakan segala kebenaran-Nya pada Hari Kiamat, oleh para malaikat Rakid dan 'Atid. Sehingga tiap manusianya benar-benar telah bisa mengetahui tiap aspek dari tiap perbuatannya secara relatif detail, seperti: niat, beban ujian-Nya, beban tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, segala dalil-alasan dan tingkat kebenarannya, kerugian dan keuntungan, dsb.

Tidak ada hukuman dan kenikmatan secara fisik-lahiriah yang bisa lebih adil, kekal dan sempurna, daripada hukuman dan kenikmatan secara batiniah, pada kehidupan di dunia ataupun pada saat setelah Hari Kiamat. Misalnya siksaan fisik-lahiriah selama di dunia, justru telah relatif amat mudah diatasi oleh ilmu kedokteran modern, ataupun oleh orang-orang yang bertubuh amat sehat dan kekar. Sebaliknya segala siksaan batiniah justru relatif amat sulit diatasi oleh tiap manusia, kecuali dengan cara bertaubat di kehidupan dunia ini. Sedang sejak kematian tiap manusianya ataupun sejak Hari Kiamat, justru segala taubatnya telah tidak diterima-Nya.

Beratnya beban siksaan di neraka, justru bersifat amat alamiah, atau pasti sesuai dengan tiap keadaan batiniah ruh tiap makhluk, yang bisa terbentuk secara alamiah berdasar tiap amal-keburukannya di kehidupan dunianya. Juga bersifat amat alamiah sesuai dengan proses berpikir manusia, karena beratnya beban siksaan bisa terasa relatif berkurang, jika manusianya mengingat!ingat berbagai amal-kebaikannya, khususnya dari hasil usaha bertaubat atas perbuatan dosa yang terkait.

Namun begitu siksaan batiniah di neraka pada Hari Kiamat itu, memang akan terasa relatif jauh lebih berat, daripada siksaan batiniah pada kehidupan di dunia, karena balasan atau hukuman-Nya juga pasti akan disempurnakan-Nya. Lebih jelasnya, karena telah tidak ada lagi kehidupan fisik-lahiriah-dunia pada Hari Kiamat (tidak ada lagi segala kesibukan duniawi), maka tiap manusia benar-benar hanya berada pada kehidupan akhiratnya (relatif hanya mengingat tiap amal-perbuatannya selama di dunia). Di samping itu dalam kehidupan akhirat pada Hari Kiamat, manusia benar-benar tidak bisa lagi berbohong, karena para malaikat pengawas dan penjaga yang pasti selalu mengikutinya selama di dunia (para malaikat Rakid dan 'Atid), telah menunjukkan 'wujud aslinya' (berinteraksi secara terang-terangan dengan manusianya). Sedang para malaikat inipun pasti amat mengetahui tiap amal-perbuatan manusianya, yang amat sederhana atau kecil sekalipun ('sebesar biji zarrah').

Kekekalan siksaan di neraka, juga bersifat amat alamiah persis seperti munculnya perasaan berdosa atau bersalah saat mengingat!ingat tiap perbuatan buruk selama di dunia. Begitu pula di neraka pada Hari Kiamat, para malaikat penjaga neraka akan selalu mengingat!ingatkan, menghakimi dan menghina manusianya, atas tiap perbuatan buruknya. Sebaliknya para malaikat penjaga surga juga akan selalu mengingat!ingatkan dan memuliakan manusianya, atas tiap perbuatan baiknya.

Kedua hal inipun berlangsung saling bergantian secara alamiah sesuai dengan proses berpikir manusia, sehingga manusia berpindah-pindah dari surga ke neraka, atau sebaliknya, dengan relatif amat cepat (secepat proses berpikir manusia). Jika tiap manusianya lebih banyak berbuat kebaikan, tentunya ia relatif lebih sering pula berada di surga, ataupun sebaliknya di neraka.

Walau segala amalan tiap manusia telah terputus sejak Hari Kiamat (segala keadaan batiniah ruhnya tidak berubah-ubah lagi), fokus utama dari kekekalan hidup di neraka pada dasarnya bukan pada 'lamanya waktu' berada di neraka, tetapi pada kekekalan keberadaan tiap beban dosa atau 'neraka kecil' (mustahil bisa dihilangkan dan dilupakan). Tiap beban dosa itu hanya masalah waktu saja, menunggu diingat!ingatkan oleh para malaikat ("dibaca atau dibukanya tiap catatan amalannya oleh para malaikat Rakid dan 'Atid") ataupun bahkan diingat!ingat oleh manusia pelakunya sendiri. Dan hal yang serupa pula tentang surga, beserta 'surga-surga kecilnya'.

Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang 'neraka kecil' dan 'surga kecil' ('beban dosa' dan 'pahala-Nya').

c.

Apakah keberadaan neraka sesuai dengan keadilan?

Terutama jika dipandang dari segi amat berat dan kekekalan hukumannya. Walaupun neraka memang juga wujud keadilan Tuhan, dengan menghukum tiap pelaku keburukan atau perbuatan dosa di dunia.

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Keberadaan neraka pasti sesuai dengan keadilan menurut Allah, ataupun menurut akal-sehat manusia (amat obyektif, khususnya pada para nabi-Nya). Segala 'neraka kecil' dan 'surga kecil' pada tiap manusia (segala 'beban dosa' dan 'pahala-Nya'), justru pasti setimpal dengan segala amal-perbuatannya selama di kehidupan dunia. Segala makhluk ciptaan-Nya pasti tidak dirugikan atau tidak dianiaya-Nya.

Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang 'neraka kecil' dan 'surga kecil' ('beban dosa' dan 'pahala-Nya'). Dan poin b di atas, tentang berat beban dan kekekalan siksaan di neraka, yang amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil.

d.

Apakah keberadaan neraka itu sesuai dengan sifat ke-Maha pemurah-an Tuhan? dan apakah siksaan neraka tidak akan menciderai kebaikan Tuhan?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Sifat ke-Maha pemurah-an Tuhan justru bukan terkait dengan keberadaan neraka, tetapi terkait dengan pemberian keringanan siksaan di neraka, terutama karena hal-hal yang terjadi di neraka, justru bersifat amat alamiah, amat manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil. Siksaan di neraka justru sebenarnya hanya berupa siksaan batiniah, bukan berupa siksaan fisik-lahiriah yang memang terasa amat kejam, berlebihan dan tidak manusiawi), yang disebut-sebut dalam kitab suci agama, hanya sebagai peringatan 'simbolik' bagi manusia agar amat sangat mewaspadainya.

Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka.

Ke-Maha pemurah-an Tuhan juga dari silih-bergantinya proses alamiah perubahan keadaan batiniah ruh manusia. Manusia tidak akan selamanya berada di neraka, tetapi terkadang juga bisa berada di surga, atas segala amal-kebaikannya. Hal ini tidak berlaku bagi manusia yang kafir-musyrik dan murtad, karena segala amal-kebaikannya bahkan pasti sia-sia ataupun pasti diabaikan-Nya.

Segala amal-kebaikan dari para penyembah Tuhan selain Allah itu (para pelaku kemusyrikan), memang dilakukan tidak berdasarkan kebenaran, perintah ataupun kehendak-Nya, karena memang tidak berdasarkan penyembahan atau ketundukan kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta seluruh alam semesta yang sebenarnya. Kelurusan dasar tauhid ini amatlah penting, sehingga tiap umat Islam amat dianjurkan untuk mengucap bacaan basmallah ('dengan nama Allah'), saat memulai sesuatu amal-kebaikan, agar benar-benar dilakukan dalam rangka pengabdian dan ketundukannya kepada Allah (atau dalam rangka mencari keredhaan-Nya).

Siksaan neraka sama sekali tidak menciderai kebaikan Tuhan. Segala nikmat dan kebaikan justru telah berlimpah-ruah diberikan-Nya kepada manusia selama hidupnya di dunia. Pada Hari Kiamat, manusia pasti dimintai-Nya pertanggung-jawabannya, atas pemanfaatan segala nikmat dan kebaikan-Nya tersebut.

Tanpa adanya neraka dan segala bentuk hukuman di dalamnya, sama halnya dengan anggapan, bahwa Tuhan telah menciptakan alam semesta ini secara main-main atau bersenda-gurau (tanpa suatu tujuan yang pasti dan jelas). Padahal Allah Tuhannya alam semesta yang sebenarnya, justru menciptakan alam semesta ini dengan tujuan yang pasti dan jelas, terutama untuk bisa menguji keimanan tiap makhluk ciptaan-Nya.

e.

Apakah neraka benar-benar pasti akan didiami atau dihadapi oleh tiap makhluk yang berbuat dosa (Tuhan bukannya dianggap nantinya akan memperbaiki kembali segala sesuatu halnya)?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Neraka pasti akan didiami (lebih tepatnya dihadapi), oleh tiap makhluk yang berbuat dosa (bahkan termasuk umat Islam), karena alam semesta memang diciptakan-Nya dengan tujuan yang pasti dan jelas. Baca pula poin c dan d di atas, tentang keberadaan neraka.

Pada Hari Kiamat, Tuhan juga tidak akan memperbaiki segala sesuatu halnya. Jika Tuhan memang berkehendak menciptakan segala hal yang baik-baik dan sempurna, tentunya amat mudah dan sejak awal dilakukan-Nya, bahkan Tuhan tidak perlu menciptakan alam semesta, yang penuh dengan segala kekurangan, keterbatasan dan kehinaan ini. Alam semesta ini memang diciptakan-Nya sebagai sarana untuk bisa menguji keimanan tiap makhluk ciptaan-Nya.

f.

Apakah hukuman 'tanpa batas' di neraka, memang ada atau sesuai?

Padahal hukuman yang tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan, adalah hal yang berlebihan (penganiayaan). Sedang umur manusia amat terbatas dan pasti terbatas pula jumlah dosa yang bisa dilakukannya (tidak ada suatu pelanggaran atau penentangan perintah-Nya, yang 'tanpa batas').

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Tidak ada hukuman 'tanpa batas' di neraka, yang memang amat tidak sesuai dengan keadilan Tuhan. Segala hukuman atau siksaan di neraka justru pasti sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan manusia selama di dunia. Dan Tuhan memiliki sesuatu aturan yang pasti dan jelas (sunatullah lahiriah dan batiniah), dalam memberi tiap bentuk balasan atau hukuman-Nya bagi tiap amal-perbuatan manusia.

Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka, yang amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil.

Juga tidak ada sesuatu pelanggaran atau penentangan perintah-Nya, yang 'tanpa batas', karena segala kemampuan dan kekuasaan tiap umat manusia memang amat sangat terbatas dan sama sekali tidak ada artinya, jika dibanding dengan Allah, Tuhan Yang Maha kuasa, Maha menentukan dan Maha mengatur.

g.

Apakah hukuman 'tanpa batas' di neraka bagi tiap makhluk yang telah menentang perintah-Nya (berbuat dosa), hanya terjadi karena ke-Maha kuasa-an Tuhan?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Sekali lagi, tidak ada hukuman 'tanpa batas' di neraka. Allah memang Tuhan Yang Maha berkuasa, namun Allah juga Tuhan Yang Maha mulia dan Maha adil. Sehingga Allah pasti tidak akan memberi balasan atau hukuman-Nya, secara tidak adil, zalim, aniaya, sewenang-wenang, semena-mena, ataupun sekehendak-Nya.

Dan segala penentangan perintah-Nya oleh tiap makhluk-Nya (bahkan jika sama sekali tidak ada makhluk-Nya yang beriman), justru sama sekali tidak sedikitpun akan bisa mengganggu, mengurangi dan merusak ke-Maha mulia-an dan ke-Maha kuasa-an Tuhan. Segala zat makhluk-Nya ibaratnya hanya debu-debu yang amat sangat halus dan relatif amat tidak berarti di hadapan Allah, Tuhan Yang Maha besar dan Maha agung.

Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka, yang amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil. Dan poin f di atas, tentang tidak adanya hukuman 'tanpa batas' di neraka, serta adanya aturan yang pasti dan jelas dalam pemberian segala bentuk balasan ataupun hukuman-Nya.

Allah pada dasarnya mustahil akan marah bagi tiap makhluk-Nya yang telah berbuat dosa. Bahkan kekafiran makhluk-Nya sama sekali tidak mengherankan Allah, karena tiap makhluk-Nya memang telah diberikan-Nya kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (telah diberikan-Nya akal dan nafsu). Segala kebebasan makhluk-Nya justru bagian dari rencana-Nya, untuk menguji keimanannya masing-masing.

Adapan laknat atau kemarahan Allah bagi tiap makhluk-Nya yang telah berbuat dosa, yang disebut-sebut di dalam kitab-kitab-Nya, justru hanya sebagai bahan pelajaran bagi manusia, agar menghindari dosa-dosa itu, bagi pencapaian kemuliaan manusia itu sendiri, bukan bagi kepentingan Allah, Tuhan Yang Maha berdiri sendiri, Maha tidak bergantung atau tidak memerlukan segala sesuatu dari makhluk-Nya.

Demikian pula halnya dengan segala anjuran dan perintah-Nya bagi tiap makhluk-Nya (termasuk agar mau berbakti dan menyembah kepada-Nya), juga hanya semata-mata bagi kepentingan dan kemuliaan makhluk-Nya itu sendiri.

h.

Apakah berat hukuman di neraka, pasti sesuai dengan besar kerugian yang telah ditimbulkan oleh tiap amal-keburukan atau perbuatan dosa?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Berat beban siksaan atau hukuman-Nya di neraka, pasti sesuai atau setimpal dengan besar kerugian yang telah ditimbulkan oleh tiap amal-keburukan atau perbuatan dosa. Tetapi nilai atau besar kerugian justru berdasarkan kepada ukuran-ukuran yang bersifat batiniah, bukan lahiriah. Lebih jelasnya, segala kerugian lahiriah pada puncaknya juga pasti akan bermuara kepada kerugian batiniah, yang dialami oleh diri pelakunya sendiri, serta manusia ataupun makhluk lain di sekitarnya.

Baca pula poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka.

Lebih jauhnya lagi, tiap makhluk hanya dinilai berdasar tugas atau amanat yang telah diberikan-Nya dan segala amal-perbuatannya sendiri. Tiap makhluk justru sama sekali tidak bertanggung-jawab dan tidak dirugikan oleh segala amal-keburukan atau perbuatan dosa dari segala makhluk lainnya. Sebaliknya tiap makhluk justru sama sekali tidak diuntungkan oleh segala amal-kebaikan dari segala makhluk lainnya.

Segala perbuatan makhluk lainnya yang merugikan biasanya disebut 'ujian-Nya', dan yang menguntungkan disebut 'rahmat-Nya'. Sedangkan segala perbuatan makhluk yang merugikan dirinya sendiri disebut 'beban dosa atau siksaan-Nya (batiniah)', dan yang menguntungkan disebut 'pahala atau nikmat-Nya (batiniah)'. Sekali lagi, 'ujian dan rahmat-Nya' itu sama sekali tidak merugikan dan tidak menguntungkan, bagi tiap makhluk yang mendapatkannya, karena memang bukan hasil dari perbuatannya sendiri, walau sekilas 'seolah-olah' terasa merugikan ataupun menguntungkan.

Walau begitu, tiap amal-perbuatan yang dilakukan pada saat suatu makhluk sedang mendapat ujian-Nya, maka 'beban dosa' yang diterimanya atas keburukannya pasti diringankan-Nya, sedang 'pahala-Nya' atas kebaikannya pasti dilipat-gandakan-Nya, masing-masingnya sesuai berat beban ujian-Nya (segala kesusahan dari Allah), dibanding dengan keadaan ujian-Nya yang relatif normal atau umum.

Serupa itu pula, tiap amal-perbuatan yang dilakukan pada saat suatu makhluk sedang mendapat rahmat-Nya, maka 'beban dosa' pasti ditambah-Nya, sedang 'pahala-Nya' pasti dikurangi-Nya, sesuai besar rahmat-Nya (segala kemudahan dari Allah). Dan tentunya, hanya Allah Yang Maha mengetahui dan Maha menentukan pahala-Nya dan beban dosa yang sebenarnya diterima. Sementara rumusan penentuan di atas hanya perbandingan 'relatif' semata.

Dan akhirnya, hasil dari segala amal-perbuatan baik atau buruk pasti hanya diterima oleh pelakunya sendiri, yang berupa perubahan segala keadaan batiniah ruhnya (perubahan kehidupan akhiratnya), dari keadaan awal saat terlahir ke dunia yang masih suci-murni dan tanpa dosa, sampai keadaan akhir saat meninggal dunia.

Segala usaha atau amal-perbuatan tiap makhluk-Nya, agar bisa mengubah atau memperbaiki segala keadaan batiniah ruhnya, hanyalah bisa dilakukan selama di kehidupan dunia. Sedang sejak kematiannya ataupun sejak Hari Kiamat, segala amalannya telah terputus atau tidak lagi diperhitungkan-Nya.

i.

Apakah tiap manusia pasti disalahkan atau mesti bertanggung-jawab atas dosa-dosanya (bukan Tuhan yang disalahkan), sedang Tuhan telah dianggap bersifat Maha mengetahui dan Maha berkuasa menentukan takdir bagi tiap manusia?

Padahal dosa-dosa itu justru mustahil bisa dihindari oleh manusianya, jika dianggap bahwa Tuhan telah mengetahui ataupun telah menentukannya sebelumnya.

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Pertanyaan amat penting ini telah muncul sepanjang kehidupan umat manusia, dan hampir tidak ada jawaban yang relatif tuntas sampai saat sekarang, bahkan dari para penganut pada hampir semua agama (termasuk agama Islam). Pertanyaan ini terutama terkait dengan sifat-sifat-Nya (Maha mengetahui, Maha berkuasa dan Maha menentukan), takdir-Nya dan kebebasan manusia, yang relatif belum dipahami secara memadai, utuh dan lengkap.

Jawaban ringkasnya, tiap manusia pasti disalahkan-Nya atau pasti dimintai-Nya tanggung-jawab atas segala perbuatan dosanya. Dan hal ini sama sekali bukan kesalahan dan tanggung-jawab Tuhan.

Allah memang bersifat Maha mengetahui atas segala sesuatu halnya di alam semesta ini, sejak saat 'sebelum', 'sedang' sampai saat 'setelah' terjadinya. Namun ada pula sedikit catatan penting, tentang pengetahuan-Nya atas segala hal yang 'belum' terjadi, dan yang terkait dengan kebebasan makhluk-Nya dalam berkehendak dan berbuat.

Segala pengetahuan-Nya yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, bisa dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu:

~

Pengetahuan yang bersifat non-kronologis (tidak terkait waktu)

Pengetahuan-Nya ini justru telah diketahui-Nya sebelum terciptanya alam semesta ini, karena berupa segala aturan-Nya bagi segala proses atau kejadian yang bersifat mutlak dan kekal di alam semesta (termasuk proses penciptaan), yang biasa disebut sebagai 'sunatullah'. Tentunya pengetahuan-Nya inipun tetap sama sampai akhir jaman. Pengetahuan-Nya ini sama sekali tidak terkait dengan peran ataupun usaha dari segala makhluk-Nya (tentunya selain para malaikat yang memang pasti tunduk, taat dan patuh kepada-Nya). Dan para malaikat itulah yang mengawal pelaksanaan sunatullah atau aturan-Nya (lahiriah dan batiniah).

Di samping sunatullah atau aturan-Nya, pengetahuan-Nya ini juga meliputi berbagai ketentuan atau ketetapan-Nya lainnya.

~

Pengetahuan yang bersifat kronologis (terkait waktu)

Pengetahuan-Nya ini terkait dengan peran ataupun usaha dari segala makhluk-Nya (selain para malaikat), maka justru hanya diketahui-Nya tepat setelah tiap makhluk-Nya menentukan pilihan dan mulai berbuat sesuatu hal. Pengetahuan-Nya ini berupa segala keadaan lahiriah dan batiniah tiap saatnya, yang relatif bebas bisa diubah-ubah oleh tiap makhluk-Nya, melalui tiap perbuatannya.

 

Dari 2 kelompok pengetahuan-Nya tersebut, maka cukup bisa disimpulkan bahwa Allah pada dasarnya justru tidak mengetahui nasib, keadaan atau takdir akhir tiap makhluk-Nya, 'sebelum' terjadinya Hari Kiamat. Karena Allah tidak mengetahui tiap hasil pilihan akal dan tiap hasil perbuatan tiap makhluk-Nya, 'sebelum' dilakukan.

Hal ini cukup jelas disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur'an, yang menyatakan seperti "agar Kami mengetahui …" (QS.3:166, QS.47:31, QS.2:143 dan QS.18:12) ataupun "… Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan, yang ada pada diri mereka sendiri. …" (QS.13:11).

Allah memang Maha berkuasa dan Maha menentukan nasib, keadaan atau takdir bagi tiap makhluk-Nya, tetapi dalam penentuannya itu 'sebagiannya' justru ada pula peran dari tiap makhluk-Nya sendiri.

Lebih jelasnya, terdapat 2 macam takdir-Nya, yaitu: qadla-Nya dan qadar-Nya. Qadar-Nya adalah qadla-Nya yang terakhir pada suatu saat tertentu, dan ada sejumlah tak-terhitung qadla-Nya yang tersusun sejak tiap makhluk-Nya terlahir, sampai saat tercapainya qadar-Nya. Jarak antar dua buah qadla-Nya justru amat sangat singkat (jarak waktu terdekat antara dua usaha yang berbeda dari tiap makhluk-Nya). Dan karena proses batiniah adalah proses yang relatif paling cepat pada tiap makhluk-Nya, maka jarak antar dua qadla-Nya itu relatif hanya secepat proses berpikir.

Selama waktu yang amat sangat singkat itulah justru hanya ada peran dari Allah (melalui sunatullah), yang menentukan segala keadaan atau hasil akhir (qadla-Nya), dari tiap usaha makhluk-Nya. Tiap qadla-Nya sama sekali tidak bisa diubah oleh segala makhluk-Nya. Tetapi melalui usahanya, tiap makhluk-Nya justru bisa menentukan berbagai keadaan awal, sebelum mulai berlakunya sunatullah. Maka hanya tiap makhluk-Nya itu sendiri yang memulai suatu perbuatannya, namun hanya Allah yang menentukan atau mewujudkan segala hasilnya, sekaligus pula untuk memberi balasan-Nya secara setimpal atau adil atas perbuatannya itu.

Akhirnya hanya tiap makhluk-Nya itu sendiri yang semestinya bertanggung-jawab atas segala perbuatannya, karena memang hanya ia sendiri yang berkehendak, memulai, mengawali ataupun menciptakan perbuatannya. Sedang Allah hanya mengikuti, mengakhiri ataupun mewujudkan segala hal yang diusahakan oleh tiap makhluk-Nya. Maka Allah mustahil bisa disalahkan atas tiap perbuatan makhluk-Nya. Juga sekehendaknya sendiri, tiap makhluk-Nya mestinya bisa menghindar dari berbuat dosa.

Sementara berbagai keadaan awal lainnya dari hasil pengaruh segala zat ciptaan-Nya di lingkungan sekitar (ujian-Nya), justru bukan tanggung-jawab bagi Allah (bukan berasal langsung dari Allah) ataupun bagi tiap makhluk-Nya yang mengalaminya. Tetapi Allah tetap merasa bertanggung-jawab untuk menolong tiap makhluk-Nya yang sedang mengalami ujian-Nya, dengan melipat-gandakan pahala-Nya atas kebaikannya, dan meringankan beban dosanya atas keburukannya. Karena segala ujian-Nya justru bagian dari rencana Allah, untuk bisa menguji keimanan tiap makhluk-Nya.

Kalaupun ada, perbuatan makhluk-Nya yang 'seolah-olah' dicampuri langsung oleh Allah, adalah segala perbuatan para malaikat, yang memang pasti tunduk, taat dan patuh kepada-Nya. Namun pada dasarnya, campur tangan ini justru sebenarnya juga tidak ada, ataupun kepatuhan para malaikat juga berlangsung 'amat alamiah'. Karena para malaikat memang relatif paling mengetahui berbagai bukti kebenaran ataupun kekuasaan-Nya, maka mereka juga relatif paling patuh kepada-Nya.

j.

Apakah keadilan menurut akal-sehat manusia bisa berbeda daripada keadilan menurut Tuhan? dan apakah Tuhan tetap disebut berlaku adil, walau keadilan Tuhan justru berbeda daripada keadilan menurut akal-sehat manusia?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Allah, Tuhan Yang Maha adil justru pasti berlaku adil. Tetapi keadilan 'relatif' menurut akal-sehat manusia mestinya bisa relatif amat dekat, dengan keadilan 'mutlak' menurut Allah, karena akal yang sehat semestinya dipakai secara amat obyektif, dalam memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini (segala sesuatu hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya di alam semesta) Akal yang sehat juga semestinya dipakai secara apa adanya, tanpa ditambah dan tanpa dikurangi (benar-benar sesuai segala fakta-kenyataan-kebenaran di alam semesta).

Umat manusia memang hanya bisa mengetahui segala sesuatu hal tentang Allah (termasuk tentang keadilan Allah), dari mempelajari dan memahami segala sesuatu hal yang ada tersedia di alam semesta. Hal yang persis sama juga dilakukan oleh para nabi-Nya. Tetapi segala pemahaman para nabi-Nya justru relatif paling sempurna dibanding pemahaman seluruh umat manusia lainnya pada tiap jamannya masing-masing, karena segala pemahaman para nabi-Nya itu telah tersusun relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Hal inilah yang menjadikan tiap pemahaman para nabi-Nya bisa disebut pula sebagai 'wahyu, petunjuk atau kebenaran-Nya' (pada manusia lainnya hanya disebut 'pengetahuan' saja).

Dan atas perintah-Nya, tiap umat manusia (bukan hanya para nabi-Nya) memang pasti dijaga, diawasi dan diikuti oleh sejumlah para makhluk gaib, terutama dalam memberi segala bentuk ilham-bisikan-godaan (positif-baik-benar dan negatif-buruk-sesat) tiap saat sepanjang hidupnya, melalui alam pikirannya (alam batiniah ruhnya atau alam akhiratnya). Segala ilham itulah yang tiap saatnya justru menghidupkan atau merangsang proses berpikir tiap manusia. Sedang segala ilham yang mengandung nilai-nilai kebenaran, juga biasanya disebut berasal dari para malaikat Jibril.

k.

Apakah kebaikan Tuhan bisa sesuai dengan kebaikan, budaya, intuisi dan rasionalitas manusia?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Kebaikan 'relatif' menurut intuisi, rasionalitas atau akal-sehat manusia (amat obyektif) semestinya bisa relatif amat dekat dengan kebaikan 'mutlak' menurut Tuhan. Namun kebaikan menurut manusia itupun semestinya mengacu, bersumber atau berdasar kepada ajaran-ajaran dari para nabi-Nya, karena para nabi-Nya itulah yang pemahamannya relatif paling sempurna, tentang berbagai kebenaran-Nya.

Baca pula poin j di atas, tentang keadilan menurut manusia dan keadilan menurut Tuhan.

Sedangkan kebaikan 'relatif' menurut budaya kolektif manusia, yang tidak mengacu kepada ajaran-ajaran dari para nabi-Nya, biasanya bisa relatif jauh daripada kebenaran-Nya. Karena pada budaya kolektif manusia biasanya berupa hasil akomodasi atas berbagai kepentingan dan pemahaman, dari tiap pribadi dalam sesuatu masyarakat. Tentunya budaya manusia juga bisa berbeda-beda, dari jaman ke jaman, sesuai perkembangan kehidupan masyarakat. Padahal tiap Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) di balik teks-teks ajaran agama-Nya justru bersifat 'universal' (bisa melewati batas ruang, waktu dan budaya).

Hal inilah yang bisa membedakan antara kandungan Al-Hikmah dan Al-Kitab (berbagaI kitab-Nya dan sunnah dari para nabi-Nya). Karena Al-Kitab adalah rangkuman pemahaman Al-Hikmah atas berbagai hal, yang telah terucap, tertulis ataupun terungkap kepada umat, sehingga sedikit-banyak Al-Kitab pasti terkait dengan budaya masyarakat. Maka kebaikan menurut manusia juga semestinya mengacu kepada berbagai Al-Hikmah, yang terkandung 'di balik' teks-teks ajaran para nabi-Nya.

l.

Apakah adanya siksaan neraka, sebagai konsekuensi dari kebebasan telah diberikan-Nya kepada manusia? dan apakah neraka juga hasil pilihan bebas manusia (bukan hukuman yang memaksa)?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Lebih jelasnya, diciptakan-Nya neraka dan segala jenis siksaan di dalamnya, dan diberikan-Nya kebebasan bagi tiap manusia dalam berkehendak dan berbuat, adalah bagian dari rencana Allah, untuk bisa menguji keimanan manusia dan memberi balasan-Nya (nikmat ataupun hukuman-Nya) atas hasil ujian itu. Neraka sama sekali bukanlah hasil pilihan bebas manusia, karena neraka adalah hukuman yang memaksa ataupun pasti dialami oleh tiap manusia, yang telah berbuat keburukan atau perbuatan dosa selama di kehidupan dunianya.

Bahkan siksaan neraka ataupun kehidupan akhirat (kehidupan batiniah ruh) justru telah terjadi pada kehidupan dunia. Namun neraka ini masih berupa 'neraka kecil' atau 'beban dosa' yang pasti diberikan-Nya atas tiap keburukan atau dosa manusia, bahkan 'segera' setelah dilakukan. Walau neraka kecil' di dunia juga relatif belum disempurnakan-Nya, karena hanya akan dilakukan-Nya pada Hari Kiamat.

Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang 'neraka kecil' dan 'surga kecil' ('beban dosa' dan 'pahala-Nya').

Mustahil ada pilihan seperti "Manusia yang tidak beriman atau percaya kepada Tuhan dan Hari Akhirat (termasuk neraka), akan bisa terbebas daripada siksaan neraka, sedang hanya manusia yang beriman yang akan mengalaminya". Hal seperti ini justru hanya bisa terjadi jika Tuhan tidak ada, Tuhan main-mainan, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta atau Tuhan Yang tidak bersifat Maha berkuasa dan Maha adil.

m.

Apakah manusia yang cacat, bodoh ataupun alpa, pasti bertanggung-jawab atas nasib dan perbuatannya?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Allah menilai tiap perbuatan manusia berdasarkan berbagai hal yang bersifat batiniah dan terkait dengan 'proses berusahanya' (bukan 'hasil usahanya'), seperti: niat (terutama dasar tauhidnya); beban ujian-Nya; beban tanggung-jawab; tingkat keterpaksaan; tingkat kesadaran dan keimanan; dsb. Hal-hal ini justru bukan bersifat fisik-lahiriah, dan sebagian besarnya berupa pengetahuan pada pelakunya sendiri.

Dan kalaupun ada hal-hal yang relatif agak terkait dengan berbagai keadaan tubuh fisik-lahiriah pelakunya, adalah beban ujian-Nya dan tingkat keterpaksaan. Manusia yang bertubuh cacat misalnya, memiliki beban ujian-Nya dan tingkat keterpaksaan yang relatif lebih tinggi, daripada manusia normal lainnya. Sehingga relatif lebih ringan 'beban dosa' baginya atas tiap amal-keburukan yang sama, sebaliknya relatif lebih tinggi 'pahala-Nya' baginya atas tiap amal-kebaikan yang sama, dibanding manusia normal lainnya.

Manusia yang cacat, bodoh dan alpa, tetap harus bertanggung-jawab atas nasib dan segala amal-perbuatannya, walau masing-masing manusia memang bisa memiliki tanggung-jawab yang berbeda-beda, atas suatu perbuatan yang sama sekalipun. Khusus bagi manusia yang bodoh (keterbatasan pengetahuannya secara relatif permanen) dan alpa (hilangnya pengetahuannya beberapa sesaat), tentunya pastilah memiliki tanggung-jawab yang relatif paling rendah atas tiap perbuatannya.

Namun pada kealpaan yang relatif disengaja (dari bermabukan misalnya), justru pasti ada pula tanggung-jawab yang relatif amat besar bagi pelakunya, atas perbuatannya lainnya dalam bermabukan.

Baca pula poin i di atas, tentang tanggung-jawab manusia atas dosa-dosanya dan tentang nasib atau takdir.

n.

Apakah umat manusia yang belum pernah mendapat pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya, pasti bertanggung-jawab atas tiap perbuatan dosanya? dan bagaimanakah fitrah dasar tiap manusia untuk mengenal, menyembah dan beriman kepada-Nya?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Segala pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya itu pada dasarnya hanya membawa kesempurnaan, bagi pemahaman umat manusia tentang berbagai kebenaran-Nya. Begitu pula seseorang nabi-Nya secara umum dan alamiah memiliki pemahaman yang relatif lebih sempurna daripada para nabi-Nya terdahulu, sedang nabi yang terakhir adalah nabi Muhammad saw.

Tetapi ada pula tuntunan-Nya yang paling dasar bagi tiap umat manusia, berupa hati-nuraninya pada saat terlahir ke dunia (fitrah-fitrah dasar yang masih sangat suci-murni dan tanpa dosa, serta cenderung berkeinginan untuk mengenal, menyembah dan beriman kepada-Nya). Dan pengajaran-Nya yang paling dasar, berupa tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta (segala hal yang bersifat mutlak dan kekal, pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadiannya di alam semesta). Bahkan tiap saatnya sepanjang hidup tiap manusia, pasti ada sejumlah para makhluk gaib-Nya yang selalu memberi pengajaran dan ujian-Nya secara batiniah, pada alam pikirannya (memberi segala jenis ilham-bisikan-godaan, yang positif-benar-baik dan yang negatif-sesat-buruk). Maka pada dasarnya mustahil ada seorang manusia, yang sama sekali tidak memperoleh sesuatu pengajaran dan tuntunan-Nya, bahkan bagi manusia yang paling kafir dan ateis, juga bahkan tanpa ada para nabi-Nya sekalipun.

Sekali lagi, tiap manusia pasti tetap harus bertanggung-jawab atas segala amal-perbuatannya, walau tiap manusia memang bisa pula memiliki tanggung-jawab yang relatif berbeda-beda, atas sesuatu amal-perbuatan yang sama sekalipun. Besarnya tanggung-jawab itu terutama terkait dengan tingkat pengetahuan atau pemahaman pada tiap manusia pelakunya, atas tiap amal-perbuatannya

Sehingga ada ataupun tidak adanya pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya, justru sama sekali tidak terkait dengan ada ataupun tidak adanya tanggung-jawab manusia atas tiap perbuatannya, karena justru hanya membedakan besarnya tanggung-jawab.tersebut. Bagi perbuatan dosa yang belum memiliki ketentuan syariatnya (belum ada pengajaran dan tuntunan-Nya melalui para nabi-Nya) secara umum beban dosanya memang relatif lebih ringan daripada keadaan sebaliknya. Segala keyakinan hati-nurani dan pengetahuan pada tiap umat manusia relatif amat terbatas, tanpa adanya dukungan wahyu-Nya dari para nabi-Nya, terutama tentang hal-hal gaib dan batiniah, yang justru paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia.

Baca pula poin i dan poin m di atas, tentang tanggung-jawab manusia atas dosa-dosanya dan tentang nasib atau takdir.

o.

Apakah manusia yang berdosa akan disiksa-Nya untuk tinggal kekal di neraka, atau tubuh ataupun ruhnya yang akan dihancurkan-Nya?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Manusia yang berbuat dosa pasti akan tinggal kekal di 'neraka kecil' (bukan 'neraka' sebagai gabungan dari keseluruhan tak-terhitung jumlah 'neraka kecil'). Bahkan manusia yang amat beriman yang juga pernah berbuat dosa, pasti akan tinggal kekal di 'neraka kecil'. Karena tiap 'neraka kecil' adalah tiap 'beban dosa' yang pasti diberikan-Nya atas tiap perbuatan dosanya selama di kehidupan dunianya, yang relatif sulit bisa dihilangkan dari alam pikirannya bahkan sampai akhir jaman sekalipun (relatif selalu akan bisa diingatnya sampai kapanpun).

Tetapi dalam ajaran agama Islam, tiap 'neraka kecil' itu justru relatif bisa dikurangi berat bebannya, dengan cara bertaubat selama di kehidupan dunia ini pula (berbuat berbagai amal-kebaikan yang relatif bisa menutupi tiap 'beban dosa' terkait). Dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang Allah, ada pula proses taubat yang berlangsung alamiah, sehingga tiap beban dosa pada dasarnya bisa makin berkurang, bersama dengan berjalannya waktu (walau tetap mustahil dihilangkan sama sekali). Hal ini terkait dengan tidak diulang-ulanginya perbuatan dosa tertentu dilakukan. Jika makin sedikit jumlahnya dan makin lama waktu terakhirnya dilakukan, maka atas ijin-Nya, makin sedikit pula beban dosanya, walau proses taubatnya sendiri belum dilakukan secara khusus dan lengkap (belum membaca istighfar misalnya).

Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang 'neraka kecil' dan 'surga kecil' ('beban dosa' dan 'pahala-Nya'). Dan poin b di atas, tentang bentuk, beratnya beban dan kekekalan siksaan di neraka.

Segala siksaan di neraka itu (khususnya 'neraka kecil') justru berlangsung secara amat alamiah, manusiawi, tidak berlebihan dan amat adil, serta hanya berupa siksaan batiniah (bukan siksaan fisik-lahiriah). Begitu pula bukanlah siksaan bagi 'zat' ciptaan-Nya (tubuh atau ruhnya), namun siksaan bagi 'keadaan batiniah' di alam pikirannya (alam akhiratnya) pada tiap zat ruhnya, atas tiap perbuatan dosanya.

Segala zat ciptaan-Nya justru tidak akan dihancurkan ataupun dimusnahkan-Nya. Kalaupun dikehendaki-Nya lain (berbeda daripada sunatullah saat ini), maka segala zat ciptaan-Nya (baik pada makhluk yang berdosa ataupun tidak) amat mudah bisa dimusnahkan-Nya kapan saja. Namun sampai saat ini justru sunatullah masih tetap berlaku dan tidak berubah-ubah, bahkan sejak awal penciptaan alam semesta ini.

p.

Apakah seluruh manusia akan mendapat pengampunan, karena cinta dan kasih sayang Tuhan?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Pengampunan, cinta dan kasih sayang dari Allah yang justru berlimpah-ruah telah pula diberikan-Nya di kehidupan dunia. Namun alam semesta ini dan kehidupan segala makhluk di dalamnya, justru diciptakan-Nya dengan tujuan yang pasti dan jelas (alam semesta tidak diciptakan-Nya secara main-main). Sehingga pada dasarnya, tidak ada sesuatu pengampunan dari Allah bagi 'seluruh' umat manusia pada Hari Kiamat, atas 'seluruh' perbuatan dosanya masing-masing. Bahkan jika hal ini terjadi, justru merupakan suatu bentuk ke-tidak adil-an dan ke-tidak konsisten-an Allah.

Segala keadaan tiap manusia pada Hari Kiamat, justru hanya tergantung kepada segala amal-perbuatannya selama di dunia, dari segala hasil usahanya masing-masing, sesuai dengan tugas atau amanat yang telah diberikan-Nya. Umat manusia misalnya, ditugaskan-Nya sebagai khalifah-Nya di muka bumi atau di dunia.

q.

Apakah balasan-Nya bagi manusia yang kafir-musyrik, namun telah pula berbuat berbagai kebaikan?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Tiap manusia ataupun tiap kelompok manusia (para penganut masing-masing agama) pada dasarnya justru bisa memiliki pemahaman yang amat 'berbeda-beda', tentang Tuhan Yang Maha pencipta, Yang telah menciptakan dirinya dan seluruh alam semesta ini. Perbedaan ini terutama terkait dengan kesempurnaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya, yang disembah dan diyakini oleh masing-masing penganut agama.

Kelurusan ataupun kesempurnaan tauhid justru paling penting dalam beragama, karena tauhid adalah pondasi yang amat mendasar bagi tiap manusia. Dimana segala amal-perbuatannya di dalam kehidupannya (baik dan buruk), pastilah akan berpatokan kepada tauhidnya itu (secara sadar ataupun tidak). Misalnya manusia pastilah akan berharap sesuatu balasan yang baik dari Tuhannya, atas tiap amal-kebaikannya. Sebaliknya manusia pastilah akan memiliki ketakutan tertentu terhadap balasan yang buruk dari Tuhannya, atas tiap amal-keburukannya.

Dari perbedaan atas Tuhan Yang disembah oleh berbagai umat manusia, maka merekapun akan berbeda-beda pula sikapnya dalam menyikapi sesuatu perbuatan tertentu. Hal inipun tergantung pada tingkat pemahaman tiap manusia, tentang tingkat kekuasaan dan pengetahuan Tuhannya atas tiap makhluk-Nya, dalam memberi balasan-Nya atas sesuatu perbuatan makhluk-Nya.

Jika Tuhannya makin sempurna dalam memberi balasan-Nya, maka para penyembahnya pastilah makin menjaga tiap perbuatannya dari segala hal yang tidak disukai oleh Tuhannya. Di lain pihak, jika makin kurang sempurna kekuasaan dan pengetahuan Tuhannya, maka bisa dipastikan, bahwa makin banyak pula jumlah perbuatan makhluk-Nya, yang 'tidak dianggap' sebagai perbuatan dosa.

Karena itu di dalam ajaran agama Islam, sesuatu kemusyrikan (menyembah ilah-ilah selain Allah), adalah salah-satu dosa yang paling sulit dimaafkan-Nya ataupun amat dilaknat-Nya. Karena manusia yang tidak meyembah Allah Tuhan Yang Maha esa, Maha berkuasa, Maha mengetahui, Maha pencipta, Maha adil dan berbagai sifat-Nya lainnya pada Asmaul Husna, justru segala perbuatannya berdasar sesuatu pondasi tauhid yang keliru. Ajaran-ajaran agama mereka itu cenderung relatif amat mudah menghalalkan atau memaafkan berbagai perbuatan dosa mereka. Karena Tuhan mereka memang tidak memiliki kekuasaan dan pengetahuan untuk bisa menghakimi berbagai perbuatan dosanya itu. Dan segala sesembahan mereka hanya ciptaan Allah, yang sama sekali tidak memiliki sebagian amat kecil saja dari kesempurnaan sifat-sifat Allah.

Segala amal-kebaikan yang telah dilakukan dalam keadaan kemusyrikan itu, justru diabaikan ataupun dianggap sia-sia oleh Allah. Selain itu pula, orang yang kafir-musyrik dan ia meninggal dunia dalam keadaan kemusyrikannya (tidak menganut agama Islam), termasuk orang yang tidak akan dimaafkan-Nya atas tiap perbuatan dosanya. Bahkan lebih tegas lagi bagi orang yang murtad (keluar dari agama Islam).

r.

Apakah semua Muslim pada akhirnya pasti akan bisa kekal di surga, karena telah tidak menyembah Tuhan selain Allah (hanya sementara di neraka, atas segala dosa selain kemusyrikan)? dan apakah neraka pada akhirnya hanya akan dihuni oleh manusia yang kafir-musyrik?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Lebih tepatnya, secara umum tiap manusia (Muslim ataupun non-Muslim) pada dasarnya pasti akan kekal di 'surga kecil' dan di 'neraka kecil' pada Hari Kiamat (berselang-seling secara alamiah bisa berada di 'surga kecil' atas tiap amal-kebaikan, dan berada di 'neraka kecil' atas tiap amal-keburukan). Karena sejak Hari Kiamat itu, telah terputus segala amalan dari tiap manusia. Tiap manusia hanyalah hidup dari segala keadaan batiniah ruhnya (atau kehidupan akhiratnya), yang telah dibangun atau diusahakannya sendiri selama di kehidupan dunia. Namun pada Hari Kiamat, kehidupan akhiratnya itu juga pasti akan disempurnakan-Nya terlebih dahulu (walau tetap sebanding atau setimpal dengan kehidupan akhirat yang telah dibangun oleh manusianya sendiri di dunia), berupa dilipat-gandakan-Nya segala pahala dan beban dosanya.

Namun bagi tiap umat manusia yang kafir-musyrik dan ia telah meninggal dunia di dalam keadaan kemusyrikannya itu, ia justru juga tidak memiliki 'surga kecil' (pahala-Nya), karena segala amal-kebaikan yang telah dilakukannya bahkan memang diabaikan ataupun dianggap sia-sia oleh Allah (memang tidak dalam rangka untuk berbakti kepada Allah). Maka pada Hari Kiamat, seluruh manusia yang kafir-musyrik pasti akan kekal di 'neraka kecil'. Sedang tiap Muslim yang pernah berbuat berbagai amal-keburukan, juga pasti akan kekal di 'neraka kecil', di samping bisa kekal di 'surga kecil' atas tiap amal-kebaikannya.

Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang 'neraka kecil' dan 'surga kecil' ('beban dosa' dan 'pahala-Nya'). Dan poin q di atas, tentang kemusyrikan.

s.

Apakah Tuhan bisa berkehendak, untuk memasukkan seluruh manusia ke surga, atau sebaliknya ke neraka?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Jika Allah tetap berkehendak, seperti halnya segala kehendak-Nya sejak awal penciptaan alam semesta sampai saat ini (melalui atau disebut 'sunatullah'), maka Allah pasti tidak akan memasukkan seluruh manusia ke surga atau sebaliknya ke neraka (walaupun hal ini memang amat mudah bagi Allah). Karena di antara seluruh umat manusia, pasti ada yang berbuat kebaikan dan pasti ada pula yang berbuat keburukan. Juga karena alam semesta ini memang diciptakan-Nya dengan sesuatu tujuan yang pasti dan jelas, termasuk untuk bisa menguji keimanan tiap umat manusia dan memberi balasan-Nya secara adil atas hasil ujian-Nya itu.

t.

Apakah tiap manusia yang timbangan segala amal-kebaikannya, lebih berat daripada segala amal-keburukannya, pasti akan bisa masuk ke neraka (walau sementara)?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Jika seorang manusia pernah berbuat dosa, maka ia pasti akan kekal di 'neraka kecil' pada Hari Kiamat, karena tiap 'neraka kecil' adalah tiap 'beban dosa' yang diterimanya atas tiap perbuatan dosanya. Sedang tiap 'beban dosa' itu pada dasarnya mustahil bisa dihilangkan atau pasti selalu bisa teringat sampai kapanpun. Namun segala 'beban dosa' relatif bisa berkurang bebannya, jika tiap manusianya telah relatif jauh lebih banyak berbuat amal-kebaikan, termasuk dari usahanya bertaubat (timbangan segala amal-kebaikannya lebih berat daripada segala amal-keburukannya, atau lebih ringkasnya, timbangan amal-kebaikannya positif).

Timbangan amalan pada dasarnya hanyalah contoh-perumpamaan simbolik tentang gambaran secara 'umum' keadaan tiap manusia pada Hari Kiamat. Namun keadaan sebenarnya justru bersifat amat alamiah sesuai segala amal-perbuatannya (baik dan buruk). Maka segala 'beban dosa' dari hasil segala amal-keburukannya mustahil hilang atau lenyap dengan begitu saja, walaupun manusianya secara 'umum' bisa disebut berada di 'surga'. Juga sebaliknya pada 'pahala-Nya' bagi manusianya, yang secara 'umum' bisa disebut berada di 'neraka'.

Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang 'neraka kecil' dan 'surga kecil' ('beban dosa' dan 'pahala-Nya').

u.

Bagaimanakah balasan-Nya bagi orang yang telah berbuat berbagai keburukan, yang diancam-Nya dengan neraka, namun sebaliknya juga telah berbuat berbagai kebaikan, yang dijanjikan-Nya dengan surga? dan bagaimanakah keadaan terakhirnya?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Ancam ataupun janji-Nya dalam memberi balasan-Nya dengan neraka ataupun surga, yang biasa disebut dalam kitab suci agama, pada dasarnya sesuatu contoh-perumpamaan simbolik. Ancam ataupun janji-Nya yang sebenarnya adalah, bagi manusia yang melakukan berbagai amal-perbuatan terkait, masing-masing pasti akan diberikan balasan-Nya berupa 'beban dosa' ('neraka kecil') ataupun 'pahala-Nya' ('surga kecil'), yang memang relatif amat besar nilainya.

Sehingga ancam ataupun janji-Nya itu sama sekali belum bisa menggambarkan keadaan akhir manusianya pada Hari Kiamat. Namun seluruh 'beban dosa' ('neraka kecil') dan seluruh 'pahala-Nya' ('surga kecil') harus dihitung, dijumlah, ditimbang atau dihisab-Nya terlebih dahulu, agar bisa diketahui keadaan akhirnya secara umum pada Hari Kiamat.

Baca pula poin a di atas, untuk penjelasan lengkapnya tentang 'neraka kecil' dan 'surga kecil' ('beban dosa' dan 'pahala-Nya').

Seorang Muslim yang telah berjihad misalnya, secara umum ia belum tentu bisa disebut berada di surga, jika timbangan 'keseluruhan' amalannya justru bernilai negatif. Tetapi ia pasti akan kekal di 'surga kecil' pada Hari Kiamat atas amalan jihad-nya itu, yang telah dilakukan dengan 'sebenar-benarnya'. Walau ia juga pasti akan kekal di sejumlah 'neraka kecil', atas berbagai amal-keburukannya.

v.

Di manakah letak ke-Maha kuasa-an, ke-Maha tahu-an, dan ke-Maha baik-an Tuhan, terkait dengan nasib manusia di alam akhirat (termasuk di neraka)?

Jawaban menurut pemahaman pada buku ini:

Maha suci Allah. Allah memang bersifat Maha berkuasa, tetapi Allah sama sekali tidak berbuat sekehendak-Nya di alam semesta ini. Allah justru berlaku Maha adil dalam memberi segala balasan-Nya pada Hari Kiamat. Lebih luasnya lagi, antar seluruh sifat-Nya pada Asmaul Husna justru saling bersinergi secara harmonis, tidak ada sesuatu sifat-Nya yang bisa lebih penting, mendahului ataupun bertentangan atas sifat-sifat-Nya lainnya.

Padahal diketahui, seluruh sifat-Nya itu justru bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten). Sedang mustahil ada 2 hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', yang bisa saling bertentangan atau saling bersingungan, yang bisa menyebabkan alam semesta ini menjadi kacau balau ataupun hancur berantakan. Karena itu, hanya Allah Yang Maha Esa, Yang menciptakan seluruh alam semesta (sama sekali tanpa ada ilah-ilah lain yang ikut berperan dan terlibat dalam penciptaannya).

Allah memang bersifat Maha mengetahui, namun pengetahuan Allah tentang segala keadaan tiap makhluk secara detail, justru belum diketahui-Nya 'sebelum' terjadinya. Karena tiap makhluk justru telah diberikan-Nya kebebasan dalam berkehendak dan berbuat (diberikan-Nya akal dan nafsu). Sedang pengetahuan Allah tentang tiap makhluk, justru bersifat lebih umum ataupun lebih tinggi. Maka nasib atau takdir bagi tiap makhluk-Nya, justru bukan hal yang telah diketahui ataupun ditentukan-Nya 'sebelumnya'. Termasuk Allah justru tidak mengetahui nasib akhir tiap manusia pada Hari Kiamat.

Contoh misalnya, Allah pasti mengetahui (lebih tepatnya Allah menentukan), bahwa "tiap-tiap yang berjiwa pasti akan mati". Namun justru Allah tidak mengetahui sebelumnya secara detail (lebih tepatnya Allah tidak menentukan), misalnya: kapan, dimana ataupun bagaimana tiap manusia meninggal dunia.

Allah memang bersifat Maha baik, Maha pengasih dan Maha penyayang, tetapi Allah juga bersifat Maha adil. Segala kebaikan Allah sama sekali tidak mengurangi ataupun menghilangkan segala keadilan Allah. Kebaikan dan keadilan Allah justru mustahil bisa saling bertentangan, dan masing-masing harus ditempatkan pada konteks yang semestinya, agar bisa diperoleh pemahaman yang benar (begitu pula halnya dengan seluruh sifat-Nya lainnya pada Asmaul Husna).

Berbagai permasalahan terkait kejahatan atau keburukan

Di dalam filosofi dan ilmu agama, "masalah terkait kejahatan" (problem of evil) berupa pertanyaan "bagaimana menjelaskan adanya kejahatan, jika justru ada Tuhan Yang Maha mengetahui, Maha kuasa dan Maha baik?". Sebagian para filsuf menyatakan, bahwa keberadaan kejahatan dan keberadaan Tuhan seperti itu secara sekaligus bersama-sama, secara logika justru tidak cocok ataupun tidak mungkin.

Pertanyaan itu telah sangat lama muncul dalam sejarah filosofi dan ilmu agama. Berbagai usaha telah pula dilakukan untuk menjawab pertanyaan itu, namun belum ada jawaban yang sangat memadai dan tuntas dari hampir semua agama di dunia ini (khususnya di luar agama Islam). Secara ringkas, berbagai respons atau jawaban dari para filsuf dan para ahli agama, antara-lain misalnya:

~ Kehendak bebas yang sebenarnya pada manusia (free will), justru mustahil terjadi tanpa kemungkinan adanya kejahatan.
~ Manusia tidak bisa memahami sepenuhnya tentang Tuhan.
~ Kejahatan dan penderitaan diperlukan bagi perkembangan spiritual manusia.
~ Keberadaan kejahatan adalah konsekuensi dari kejatuhan dunia ini (fallen world). Dsb.

 

Sementara dari kalangan umat Islam sendiri hampir tidak ada usaha, atau memang seolah-olah tidak ingin terlibat dalam menjawab "masalah terkait kejahatan" itu. Syukur-syukur, jika masalah itu bukan persoalan yang penting bagi umat Islam atau telah bisa terjawab tuntas dalam ajaran-ajaran agama Islam.

Namun "masalah terkait kejahatan" ini sengaja diungkap dan dijawab pada buku ini, agar setiap umat Islam sendiri bisa makin jelas memahaminya dan sekaligus agar tidak mudah tergoyah keimanannya, jika menghadapi hal yang sama. Serta "masalah terkait kejahatan" ini pada dasarnya serupa pula dengan "masalah terkait neraka" (problem of hell) yang telah diungkap di atas, yang justru muncul dari kalangan para penganut materialisme dan ateisme.

Adapun beberapa versi permasalahan logika terkait kejahatan telah diungkap secara ringkas pada tabel berikut.

Beberapa versi permasalahan logika terkait kejahatan

Versi dari Epicurus:

1. Jika ada Tuhan yang amat berkuasa dan amat baik, maka mestinya tidak ada kejahatan.
2. Faktanya, ada segala bentuk kejahatan di dunia ini.
3. Oleh karena itu, mestinya tidak ada Tuhan yang amat berkuasa dan amat baik.

Versi dari Epicurus (pengembangan):

1. Tuhan itu ada.
2. Tuhan itu bersifat mahakuasa, mahatahu, dan mahabaik.
3. Sesuatu yang mahabaik mestinya akan berkeinginan untuk mencegah segala kejahatan.
4. Sesuatu yang mahatahu mestinya mengetahui segala cara dimana kejahatan-kejahatan bisa muncul.
5. Sesuatu yang mahakuasa, yang mengetahui segala cara dimana suatu kejahatan bisa muncul, mestinya memiliki kekuatan untuk mencegah terjadinya kejahatan itu.
6. Sesuatu yang mengetahui segala cara dimana suatu kejahatan bisa muncul, yang mampu untuk mencegah terjadinya kejahatan itu, dan yang juga berkeinginan untuk melakukannya, mestinya akan mencegah terjadinya kejahatan itu.
7. Jika ada sesuatu yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik, maka mestinya tidak ada kejahatan.
8. Kejahatan ada di dunia ini (kontradiksi logika).

Versi dari William L. Rowe:

1. Ada berbagai contoh penderitaan hebat dimana sesuatu yang mahakuasa dan mahatahu mestinya bisa mencegahnya, tanpa harus kehilangan berbagai kebaikan yang lebih tinggi, atau tanpa harus mengijinkan berbagai kejahatan yang sama-sama buruknya ataupun lebih buruk lagi.
2. Sesuatu yang mahatahu dan mahabaik mestinya akan berusaha semampunya untuk bisa mencegah terjadinya berbagai penderitaan hebat, kecuali jika ia memang tidak bisa melakukannya, tanpa harus kehilangan berbagai kebaikan yang lebih tinggi, atau tanpa harus mengijinkan berbagai kejahatan yang sama-sama buruknya ataupun lebih buruk lagi.
3. Oleh karena itu, mestinya tidak ada sesuatu yang mahakuasa, mahatahu dan mahabaik.

Versi dari Paul Draper:

1. Ada berbagai kejahatan yang terjadi secara serampangan.
2. Dugaan sederhananya, misalnya: jika ada sesuatu zat gaib, sedang ia memang bersikap acuh-tak-acuh terhadap berbagai kejahatan serampangan itu, merupakan suatu penjelasan yang lebih baik bagi premis ke-1 di atas, daripada penjelasan secara keagamaan.
3. Oleh karena itu, bukti lebih menunjukkan, bahwa Tuhan itu tidak ada, sebaliknya dari hal yang biasa dipahami oleh para agamawan, bahwa Tuhan itu ada.

 

Secara umum, "permasalahan logika terkait kejahatan" melalui beberapa versi tersebut pada dasarnya sama, yaitu "Tuhan Yang Maha baik, Maha mengetahui dan Maha kuasa semestinya tidak ada, karena ada segala bentuk kejahatan di dunia ini (Tuhan tidak mencegahnya)". Na'udzubillah.

Padahal kehidupan segala zat makhluk ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini justru sengaja diciptakan oleh Allah, dengan segala keterbatasan, kekurangan dan bahkan juga segala kehinaannya. Hal ini termasuk dengan menciptakan segala sesuatu halnya di seluruh alam semesta ini secara berpasang-pasangan dan seimbang, serta memang tidak ada sesuatu zat ciptaan-Nya yang sempurna dalam segala halnya (memang sengaja diciptakan-Nya dengan relatif tidak sempurna), agar setiap makhluk ciptaan-Nya bisa mencari dan mengenal Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha sempurna dan Maha mulia, sekaligus pula agar bisa meraih kesempurnaan dan kemuliaannya masing-masing. Tanpa mengenal ketidak-sempurnaan, mustahil mengenal kesempurnaan.

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran-Nya." – (QS.51:49) dan (QS.13:3, QS.36:36, QS.35:11, QS.39:6, QS.42:11, QS.43:12, QS.27:60-64, QS.53:45, QS.78:8, QS.55:52, QS.6:143).

"(Rabb) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah, sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah yang kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?." – (QS.67:3) dan (QS.82:7).

 

Sehingga keberadaan 'kejahatan' dan 'kebaikan' memang justru bagian dari kehendak dan rencana-Nya dalam penciptaan seluruh alam semesta ini, khususnya untuk bisa menguji keimanan setiap makhluk-Nya, yang justru telah diberikan-Nya 'akal' dan 'nafsu'. Hal itu tentu saja di samping berbagai pasangan keseimbangan lainnya, seperti:

~ maskulin & feminin
~ pria & wanita
~ jantan & betina
~ tua & muda
~ baik & jahat
~ benar & sesat
~ hak & batil
~ dunia & akhirat
~ nyata & gaib
~ lahiriah & batiniah
~ bumi & langit
~ pahala & dosa
~ surga & neraka
~ hidup & mati
~ ruh & materi
~ cacat & normal
~ kaya & miskin
~ sebelum & setelah
~ besar & kecil
~ luas & sempit
~ tinggi & rendah
~ panjang & pendek
~ halus & kasar
~ kuat & lemah
~ bersih & kotor
~ ringan & berat
~ hitam & putih
~ terang & gelap
~ siang & malam
~ kabur & jelas
~ terlepas & terikat
~ merdeka & terjajah
~ sendiri & bersama
~ hina & mulia
~ sedih & senang
~ susah & mudah
~ pintar & bodoh
~ berani & takut
~ positif & negatif
~ subyektif & obyektif
~ mutlak & relatif
~ fakta & khayalan
~ gagal & berhasil
~ lurus & bengkok
~ luar & dalam
~ atas & bawah
~ kanan & kiri
~ depan & belakang
~ wangi & bau
~ haram & halal
~ wajib & sunnah
~ jujur & bohong
~ wajar & aneh
~ dan banyak lagi.

 

Masih sangat banyak hal lainnya di antara berbagai pasangan keseimbangan itu, sehingga tidak betul-betul "hitam-putih", tetapi ada berbagai tingkat warna kelabu misalnya, dan bahkan sangat berragam seperti halnya warna pelangi. Semuanya justru menunjukkan ke-Maha Luas-an segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini, sekaligus pula menunjukkan segala kesempurnaan Allah, Yang Maha Pencipta dan Maha merencanakan segala sesuatu.

Lebih lanjutnya lagi, segala kejahatan, keburukan, kesusahan, kesulitan, penderitaan, kesengsaraan, kerugian, kehinaan, siksaan, dsb, yang bisa dialami oleh setiap makhluk selama di kehidupan dunia ini, secara lahiriah dan batiniah, dari segi penyebabnya pada dasarnya bisa dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

a.

Segala hal yang sama sekali memang bukanlah hasil pengaruh dari segala amal-keburukan makhluk tersebut (langsung ataupun tidak).

Hal ini biasa disebut sebagai "cobaan atau ujian-Nya", yang sama sekali bukanlah tanggung-jawab makhluk tersebut, dan hanya hasil pengaruh dari segala zat ciptaan-Nya di sekitarnya (bahkan bukan pengaruh langsung dari Allah).

b.

Segala hal yang memang hanya hasil pengaruh dari segala amal-keburukan makhluk tersebut (langsung ataupun tidak).

Hal ini biasa disebut sebagai "hukuman, siksaan atau azab-Nya" bagi makhluk tersebut, sebagai suatu bentuk balasan setimpal yang pasti diberikan-Nya setiap saatnya, atas setiap amal-keburukannya yang terkait, sekaligus sebagai bentuk tanggung-jawabnya.

 

"Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya. Dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat, maka dia tidak diberi pembalasan, melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (tidak dirugikan)." – (QS.6:160) dan (QS.10:27, QS.3:30, QS.29:4, QS.2:286, QS.27:90, QS.4:123, QS.6:160, QS.22:25, QS.28:84, QS.35:10, QS.37:39, QS.40:40, QS.42:22, QS.42:40).

"Barangsiapa yang mengerjakan amal yang shaleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Rabb-mu-lah kamu dikembalikan." – (QS.45:15) dan (QS.99:8).

"Tidak ada yang ditunggu-tunggu orang kafir, selain daripada datangnya para malaikat kepada mereka, atau datangnya perintah dari Rabb-mu. Demikianlah yang telah diperbuat oleh orang-orang (kafir) sebelum mereka, akan tetapi merekalah yang selalu menganiaya diri mereka sendiri'.", "Maka mereka ditimpa oleh (akibat) kejahatan perbuatan mereka, dan mereka diliputi oleh azab yang selalu mereka perolok-olokkan." – (QS.16:33-34).

"Apakah orang-orang yang membuat kejahatan itu menyangka, bahwa Kami akan menjadikan mereka, seperti orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shaleh, yaitu sama antara kehidupan dan kematian mereka. Amat buruklah apa yang mereka sangka itu.", "Dan Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar, dan agar dibalasi tiap-tiap diri, terhadap apa yang dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan (tidak dianiaya)." – (QS.45:21-22).

 

Pada "masalah terkait kejahatan" (berikut permasalahan logika di dalamnya), selain tampak jelas tidak adanya pemahaman atas tujuan dari diciptakan-Nya seluruh alam semesta ini, tetapi juga kejahatan itu sendiri tidak dipisah-pisahkan sumber penyebab terjadinya, dan tidak dijelaskan bentuk tanggung-jawab bagi pelaku penyebabnya (lahiriah dan batiniah), seperti diuraikan secara ringkas di atas.

Hal inipun tentunya menyebabkan "masalah terkait kejahatan" (berikut permasalahan logika di dalamnya), juga menjadi sangat tidak proporsional, rancu, dipaksakan dan sekaligus menyesatkan. Selain itu menjadi sama sekali bukan sesuatu permasalahan yang berarti, bahkan justru tampak jelas hanya sebagai suatu propaganda ideologi dari para penganut materialisme dan ateisme.

Penting diketahui pula, bahwa balasan-Nya yang baik (nikmat-Nya) dan balasan-Nya yang buruk (hukuman, siksaan atau azab-Nya), secara lahiriah dan batiniah, yang diberikan-Nya bagi makhluk pelaku suatu amal-perbuatan, justru pasti setimpal dan juga pasti terjadi setiap saatnya pada saat amal-perbuatan itu 'sedang' dilakukan.

Serta lebih pentingnya lagi, bahwa balasan-Nya secara batiniah (baik dan buruk, nikmat dan hukuman-Nya) yang diberikan-Nya pada alam batiniah ruh makhluk pelakunya sendiri (alam pikiran atau alam akhiratnya), justru bersifat hakiki, kekal dan sebenarnya. Dan balasan-Nya secara lahiriah pada dasarnya justru bersifat semu, sementara dan mudah menyesatkan.

Tetapi persoalan utamanya, justru balasan-Nya secara batiniah (baik dan buruk, nikmat dan hukuman-Nya) pada alam batiniah ruh manusia pelaku suatu amal-perbuatan, yang masing-masing biasanya disebut sebagai 'pahala-Nya' dan 'beban dosa', memang relatif sangat sulit bisa dipahami oleh umat manusia pada umumnya.

Dan hanya para nabi-Nya dan umat-umat yang berilmu agama relatif tinggi, yang diketahui bisa memahaminya secara relatif sangat mendalam. Hal ini terutama karena kepekaan cermin batiniah mereka yang relatif tajam (hati-nuraninya relatif bersih / tingkat keimanannya relatif tinggi).

Sekali lagi, pahala-Nya (Surga kecil) dan beban dosa (Neraka kecil) justru diberikan-Nya secara setimpal, dan terjadi setiap saatnya pada saat suatu amal-perbuatan 'sedang' dilakukan. Sedangkan segala rumus pemberian balasan-Nya (sunatullah lahiriah dan batiniah) justru bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten), sehingga dengan sendirinya pasti adil, tidak sewenang-wenang dan sama sekali tidak merugikan bagi setiap makhluk. Karena sunatullah pasti berlaku sesuai segala keadaan (lahiriah dan batiniah) pada setiap makhluk itu sendiri (yang diusahakannya, ataupun diperoleh dari hasil interaksinya dengan segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya).

Segala pemberian balasan-Nya (terutama secara batiniah) atas setiap amal-perbuatan manusia, justru pasti dipertimbangkan berbagai keadaan yang bersifat batiniah, antara-lain: niat, berat beban tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, berat beban ujian-Nya, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, dsb, dalam berbuat. Dari seluruh keadaan batiniah ini justru hanya "berat beban ujian-Nya", yang tidak diusahakan oleh manusianya sendiri, namun dari pengaruh lingkungan sekitarnya (yang memberatkan atau negatif dari ujian-Nya, serta yang meringankan atau positif dari rahmat-Nya).

Perlu diketahui, ujian-Nya dan rahmat-Nya justru sama sekali bukan tanggung-jawab manusia yang mengalaminya (bukan hasil dari segala perbuatannya sendiri), serta pada dasarnya justru tidak sebenar-benarnya memberatkan dan meringankan. Allah hanya menilai 'proses berusaha' manusianya dalam berbuat (batiniah), bukan 'hasil usaha'-nya (lahiriah dan batiniah). Sehingga makin berat ujian-Nya misalnya, maka makin berlipat-ganda pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berkurang beban dosa atas setiap amal-keburukannya. Hal yang sebaliknya bagi rahmat-Nya.

Dari uraian-uraian ringkas di atas dan di bagian terkait lainnya pada buku ini, maka berbagai konsep dalam ajaran agama Islam justru telah relatif jelas, tentang kejahatan, keburukan, kesusahan, kesulitan, penderitaan, kesengsaraan, kerugian, kehinaan, siksaan, dsb, yang bisa dialami oleh setiap manusia ataupun segala makhluk lainnya selama di kehidupan dunia ini (lahiriah dan batiniah), yang dirangkum kembali secara ringkas, sebagai berikut:

Konsep dan jawaban Islam terkait kejahatan

Hakekat setiap manusia ada pada "ruh"-nya, sedang segala anggota tubuhnya pada dasarnya pasti tunduk kepada segala perintah ruhnya.

Hakekat nilai setiap manusia di hadapan Allah, ada pada "segala amal-perbuatan"-nya (lahiriah dan batiniah, melalui pikiran, sikap, perkataan dan perbuatannya), yang justru pada dasarnya pasti mengubah segala keadaan batiniah ruhnya itu sendiri.

Keadaan batiniah ruh setiap manusia adalah keadaan kehidupan akhiratnya yang kekal (mengikuti kekekalan zat ruhnya itu sendiri), saat di dunia ataupun saat Hari Kiamat.

Setiap manusia justru hanya dimintai-Nya pertanggung-jawabannya atas segala sesuatu hal yang memang telah diusahakannya sendiri selama di kehidupan dunia ini (segala amal-perbuatannya, baik dan buruk).

Segala amal-perbuatan setiap manusia telah terputus (tidak lagi diperhitungkan-Nya), sejak Hari Kiamat ataupun sejak kematiannya (zat ruhnya diangkat-Nya dari tubuhnya).

Maka kehidupan batiniah ruh setiap manusia (kehidupan akhiratnya) justru hanya bisa dibangunnya sendiri selama di kehidupan dunia ini. Sedang kehidupan akhiratnya sejak Hari Kiamat, justru hanya kelanjutan dari kehidupan akhiratnya di dunia, setelah disempurnakan-Nya pula segala keadaan batiniah ruhnya, yang sebesar biji zarrah sekalipun.

Setiap manusia sama sekali tidak dirugikan atau tidak dianiaya-Nya, juga termasuk sama sekali tidak menanggung segala beban dosa orang-lainnya (para leluhur, orang-tua, anak-keturunan, keluarga, dsb).

Setiap manusia sama sekali tidak dirugikan oleh segala ujian-Nya, dan juga tidak diuntungkan oleh segala rahmat-Nya, karena memang sama sekali bukan hasil pengaruh dari segala amal-perbuatannya sendiri (secara langsung ataupun tidak), tetapi hanya hasil pengaruh dari segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya.

Segala kejahatan atau keburukan yang dialami oleh setiap manusia, dari segi penyebabnya terbagi menjadi 2 jenis, yaitu hasil pengaruh dari: segala perbuatan manusianya sendiri (hukuman, siksaan atau azab-Nya) dan segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya (ujian-Nya).

Segala kejahatan atau keburukan adalah bagian dari kehendak dan rencana Allah, untuk menguji keimanan setiap manusia.

Segala bentuk balasan-Nya (baik dan buruk, nikmat dan hukuman-Nya, lahiriah dan batiniah) pasti diberikan-Nya secara "setimpal" atas setiap amal-perbuatan manusianya, serta pasti terjadi "setiap saatnya" pada saat amal-perbuatan itu 'sedang' dilakukan, sekaligus sebagai bentuk tanggung-jawab manusianya setiap saatnya pula.

Segala bentuk balasan-Nya secara batiniah ('pahala-Nya' dan 'beban dosa') yang diberikan-Nya pada alam batiniah ruh setiap manusia (alam pikiran atau alam akhiratnya), atas setiap amal-perbuatannya, justru bersifat hakiki, kekal dan sebenarnya. Sedang balasan-Nya secara lahiriah justru bersifat semu, sementara dan mudah menyesatkan.

'Pahala-Nya' dan 'beban dosa' masing-masing biasa disebut sebagai 'Surga kecil' dan 'Neraka kecil'. Tak-terhitung jumlah pahala-Nya dan beban dosa yang telah diperoleh setiap manusia, sebagai hasil dari segala amal-perbuatannya di kehidupan dunianya, yang justru membentuk seluruh keadaan kehidupan batiniah ruhnya pada Hari Kiamat (keadaan kehidupan akhiratnya yang kekal, di Surga ataupun di Neraka).

Sunatullah (Sunnah Allah) adalah perwujudan dari segala kehendak, tindakan atau perbuatan Allah di seluruh alam semesta ini (lahiriah dan batiniah).

'Hukum alam' hanya aspek lahiriah saja dari sunatullah (lahiriah dan batiniah).

Sunatullah disebut pula sebagai 'aturan-Nya', karena berupa segala aturan atau rumus proses kejadian (lahiriah dan batiniah) di seluruh alam semesta ini, yang bersifat "mutlak" (pasti terjadi) dan "kekal" (pasti konsisten).

Maka segala perbuatan Allah sama sekali tidak relevan jika dinilai, misalnya: tidak baik, tidak adil, zalim, aniaya, sewenang-wenang, semena-mena ataupun sekehendak-Nya, seperti halnya saat menilai segala perbuatan manusia, yang justru bersifat "relatif" (tidak pasti terjadi) dan "fana" (tidak konsisten, atau berubah-ubah).

Sunatullah tidak berubah sejak awal penciptaan alam semesta ini, sampai akhir jaman.

Sunatullah pasti berlaku sesuai dengan segala keadaan (lahiriah dan batiniah, internal dan eksternal) pada diri setiap manusia (yang diusahakannya sendiri, ataupun yang diperolehnya dari hasil interaksinya dengan segala zat ciptaan-Nya lainnya di lingkungan sekitarnya).

Segala aturan atau rumus proses pemberian balasan-Nya (sunatullah lahiriah dan batiniah) tentunya juga bersifat "mutlak" (pasti terjadi) dan "kekal" (pasti konsisten), sehingga pasti adil, tidak sewenang-wenang dan tidak merugikan setiap manusia.

Proses pemberian balasan-Nya (terutama secara batiniah) atas setiap amal-perbuatan manusia, justru pasti dipertimbangkan berbagai keadaan batiniahnya dalam berbuat, seperti: niat, berat beban tanggung-jawab, tingkat keterpaksaan, berat beban ujian-Nya, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, dsb.

Dari berbagai keadaan batiniah ini justru hanya "berat beban ujian-Nya", yang tidak diusahakan oleh manusianya sendiri, namun dari hasil pengaruh lingkungan di sekitarnya (yang memberatkan atau negatif sebagai 'ujian-Nya', serta yang meringankan atau positif sebagai 'rahmat-Nya'). Rahmat-Nya relatif bersifat 'kebalikan' dari ujian-Nya.

Segala amal-kebaikan dari orang yang kafir-musyrik (penyembah ilah-ilah selain Allah), pasti tidak diterima-Nya, tidak mendapat pahala-Nya atau pasti sia-sia, karena pondasi utamanya dalam berbuat memang keliru (dasar tauhidnya tidak lurus), sehingga tidak berdasar kepada suatu kebenaran-Nya (tidak bertujuan untuk mengabdi kepada-Nya).

Segala bentuk ujian dan rahmat-Nya sama sekali bukan tanggung-jawab manusia yang mengalaminya (bukan hasil dari segala amal-perbuatannya sendiri), dan justru pada dasarnya tidak benar-benar memberatkan dan meringankannya (justru bersifat 'netral'), walau memang 'seolah-olah' terasa memberatkan dan meringankannya.

Makin berat ujian-Nya, maka makin berlipat-ganda pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berkurang beban dosa atas setiap amal-keburukannya. Hal yang sebaliknya bagi rahmat-Nya, makin banyak rahmat-Nya, maka makin berkurang pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berlipat-ganda beban dosa atas setiap amal-keburukannya.

Allah hanya menilai 'proses berusaha' manusianya di dalam berbuat (bersifat batiniah), dimana ujian dan rahmat-Nya justru meliputi proses itu, serta Allah bukan menilai 'hasil usaha'-nya (bersifat lahiriah dan batiniah).

Setiap manusia memiliki kebebasan sepenuhnya dalam kehendak dan berbuat, dengan diberikan-Nya 'akal' dan 'nafsu'. Walaupun ia pasti diliputi atau dibatasi oleh sunatullah (aturan-Nya), serta ia juga pasti dimintai-Nya pertanggungan-jawaban atas setiap amal-perbuatannya (pasti diberikan balasan-Nya secara setimpal di dunia ataupun di akhirat, melalui sunatullah lahiriah dan batiniah).

Allah Yang Maha adil, pasti berlaku 'adil' kepada setiap makhluk-Nya, berapapun panjang umur atau usia hidupnya selama di dunia ini; bagaimanapun segala keadaan fisik-lahiriahnya; apapun tingkat kemampuan dan pengetahuannya; berapapun jumlah pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah diperolehnya; apapun agama dan alirannya; dsb.

Segala kejahatan atau keburukan yang dialami oleh setiap manusia (secara batiniah dari iblis dan syaitan, ataupun secara lahiriah dari segala zat ciptaan-Nya di sekitarnya), yang sama sekali bukan hasil dari segala amal-perbuatannya sendiri (langsung ataupun tidak), justru sama sekali bukan kesalahan dan tanggung-jawab manusianya.

Hal ini termasuk setiap bencana alam, seperti: gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, longsor, kebakaran hutan, petir atau halilintar, segala penyakit, dsb, yang memang bukan hasil dari segala amal-perbuatan manusianya sendiri (sebagai ujian-Nya).

Allah justru pasti mencegah dan tidak bersikap acuh-tak-acuh, atas segala kejahatan ('kezaliman'), karena Allah pasti menghukum pelakunya, secara lahiriah di dunia (nyata, terlihat, jelas) dan terutama secara batiniah di akhirat (gaib, tak-terlihat, amat halus).

Sekali lagi hukuman-Nya secara batiniah yang jauh lebih penting, karena bersifat hakiki, kekal dan sebenarnya. Sedang hukuman-Nya secara lahiriah justru bersifat semu, sementara dan mudah menyesatkan.

Dalam ajaran agama Islam, sama sekali tidak dikenal adanya "dosa keturunan" (original sin), termasuk sama sekali tidak ada tanggung-jawab bagi setiap umat manusia (anak-keturunan Adam dan Hawa), atas segala dosa Adam dan Hawa.

Setiap umat manusia hanya semata menanggung setiap beban dosa yang telah diperbuatnya sendiri (sama sekali tidak dirugikan atau tidak dianiaya-Nya).

Allah menciptakan seluruh umat manusia, justru dengan segala keadaan awalnya (keadaan batiniah ruhnya), yang sama-sama masih suci-murni dan bersih dari dosa.

Seorang anak kecil tanpa dosa (belum akil baliq), yang meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, akibat pembunuhan, kejahatan ataupun akibat segala hal lainnya, atas ijin-Nya, ia pasti bisa langsung masuk Surga.

Karena keadaan batiniah ruhnya pada saat ia meninggal dunia, memang relatif masih suci-murni dan bersih dari dosa (relatif belum ada amal-perbuatannya yang perlu dipertanggung-jawabkannya di hadapan-Nya, setiap amal-perbuatannya relatif belum didasari oleh berbagai kesadaran atau pengetahuan yang memadai, atau ia relatif belum benar-benar mengenal baik dan buruk).

Manusia yang hidupnya amat mudah, enak dan penuh kemewahan (amat banyak memperoleh nikmat-Nya secara fisik-lahiriah-duniawi), justru sama sekali tidak diuntungkan bagi kehidupan batiniah ruhnya (kehidupan akhiratnya), dari segala nikmat-Nya seperti itu. Padahal iapun mempunyai tanggung-jawab amat berat, atas caranya 'memperoleh' dan 'memanfaatkan' segala nikmat-Nya itu.

Orang yang cacat tubuhnya, miskin, menderita penyakit, tanpa orang-tua, tidak menikah, tidak mempunyai anak, tidak bisa berbuat banyak dalam kehidupan dunia, dsb, pada dasarnya mendapat berat beban ujian-Nya yang relatif lebih tinggi daripada manusia normal lainnya. Namun berbagai kekurangan seperti ini sama sekali tetap bukan kesalahan dan tanggung-jawab manusia yang mengalaminya.

Hal yang paling penting, justru bagaimana setiap manusia bisa berbuat sebaik-baiknya mengikuti pengajaran dan tuntunan-Nya dalam ajaran agama-Nya, sesuai segala keadaan, pengetahuan dan kemampuannya masing-masing.

Para korban kejahatan, seperti: pembunuhan, perkosaan, pencurian, perampokan, dsb, jika ia masih hidup pada dasarnya justru tidak menanggung apa-apa atas kejahatan terkait (bukan kesalahan dan tanggung-jawabnya), kecuali berbagai berat beban ujian-Nya baginya memang relatif makin bertambah.

Sedangkan jika ia meninggal dunia, ia justru tetap hanya semata menanggung segala amal-perbuatannya sendiri.

Seekor anak rusa yang telah terjebak, terbakar dan meninggal dunia secara mengerikan dalam suatu kebakaran hutan, akibat sambaran petir, semestinya tidak perlu dikasihani secara berlebihan, karena hanya Allah semata Yang Maha mengetahui nasib setiap makhluk-Nya pada kehidupan akhiratnya.

Allah telah berlimpah ruah memberi segala kebaikan bagi kehidupan manusia di dunia. Namun Allah pasti berbuat terbaik bagi setiap manusia, justru hanya jika manusianya memang berkehendak dan berbuat, untuk memperbaiki dirinya sendiri.

Seluruh alam semesta ini justru diciptakan-Nya dengan tujuan yang 'pasti' dan 'jelas', terutama untuk menguji keimanan setiap manusia. Bukan menciptakan kehidupan dunia fana yang sempurna, juga bukan menjadikan seluruh manusia bisa beriman

Segala usaha manusia yang paling diredhai-Nya, adalah usahanya dalam memperbaiki kehidupan akhiratnya masing-masing (mensucikan atau membersihkan ruhnya).

Hal-hal di atas pada dasarnya juga pasti berlaku relatif sama, bagi segala zat makhluk-Nya selain manusia (makhluk gaib dan makhluk nyata).

 

Segala konsep dalam ajaran agama Islam tersebut di atas, pada dasarnya semestinya pasti bisa dipahami oleh setiap manusia, dengan berusaha menggunakan akal-pikirannya secara relatif sangat obyektif, sekaligus dengan kepekaan batiniahnya secara relatif sangat tajam.

Setiap manusia memang tidak semestinya juga bisa memahami secara lengkap dan mendalam, atas segala kehendak dan rencana-Nya bagi alam semesta ini, tetapi telah cukup baginya jika bisa memahami secara umum atas berbagai hikmah dan hakekat kebenaran-Nya dalam ajaran agama Islam. Di samping tentunya, makin lama, sebaiknya juga bisa makin menyempurnakan pemahamannya (keimanan batiniahnya), serta sekaligus pengamalannya sehari-harinya (keimanan lahiriahnya), sesuai keadaan, pengetahuan dan kemampuannya masing-masing.

  

Sebelumnya

Daftar isi

Teratas

Berikutnya

 

10 Balasan ke Bab V.D Benda gaib

  1. Satria berkata:

    Assalamualikum .wr.wb…Terima kasih atas pencerahan yang bermanfaat ini kang..salm kenal dan selamat siang

    • Syarif Muharim berkata:

      Wa ‘alaikum salam wr, wb.
      Salam kenal kembali. Mdh2n kita semua selalu diberikan-Nya hidayah, utk bisa terus-menerus meningkatkan pemahaman ttg kebenaran-Nya. Amien.

  2. Anonim berkata:

    mungkin saya tak ingin berkomentar….tp saya ingin bertanya……bagaimana orang yg berzina (mesum)melebihi 3x…apakah di maafkan ALLAH….?atas jawaban bapak saya ucapkan trimakasih….dan mohon bapak jawab.

    • Syarif Muharim berkata:

      Sebagai bahan perbandingan, bahwa perbuatan dosa yg paling sulit atau berat utk dimaafkan-Nya (paling dilaknat-Nya), adalah kemusyrikan (menyekutukan Allah), kemurtadan (keluar dari Islam) dan ateis (tdk beragama / bertuhan).
      Hal ini krn segala perbuatan dari org2 yg melakukan kemusyrikan, kemurtadan dan ateis, mmg tdk berlandaskan ketundukan atau penyembahan kpd Allah, Tuhannya seluruh semesta alam yg sebenarnya. Ringkasnya, mereka cacat tauhidnya.
      Bahkan segala perbuatan baik sekalipun dari mereka justru dianggap-Nya sia-sia (sama sekali tidak diperhitungkan-Nya sbg perbuatan baik).
      Namun dgn sifat Maha Pengampun dan Penyayang Allah, justru perbuatan2 dosa tsb masih bisa dimaafkan-Nya, jika pelakunya telah benar2 bertaubat dan masuk Islam.
      Maka perzinaan pada dasarnya juga insya Allah masih bisa dimaafkan-Nya, jika pelakunya telah benar2 bertaubat, relatif jauh sebelum akhir hidupnya. Makin sering berbuat dosa, tentunya relatif makin sulit pula taubat bisa diterima-Nya, serta perlu usaha bertaubat yg relatif makin kuat.
      Mudah2an jawaban ringkas ini bisa memuaskan. Amien.

  3. Mohd khalil Nordin berkata:

    Saya amat tertarik dengan catatan dan tuan dalam blog tuan ini. Semuga Allah s.w.t memberi imbalan yang besar di akhirat dan sentiasa mengalir pahala yang tidak berhenti-henti. Oleh itu saya ingin meminta kebenaran dari pihak tuan agar memberi kebenaran untuk mengambil beberapa rajah dan catatan di dalam blog tuan untuk tujuan rujukkan dan paparan di dalam artikel dan buku saya. Semuga dapat memperkembangkan dakwah .. sekian terima kasih

    drmohkhalil@yahoo.com dan fb saya MOHD KHALIL NORDIN.

  4. Sukron Alhamdulillah, Allah mengantarkan saya ke linknya pak Syarif Muharim, senang membaca kajian bapak yang mudah dipahami, walaupun bapak bukan seorang ulama atau kyai. Semoga menjadi ladang pahala bagi yang menulis dan membaca…amien.

  5. Indra Pramudya berkata:

    Bang syarif saya agak bingung nih disini :
    “Perlu diketahui, ujian-Nya dan rahmat-Nya justru sama sekali bukan tanggung-jawab manusia yang mengalaminya (bukan hasil dari segala perbuatannya sendiri), serta pada dasarnya justru tidak sebenar-benarnya memberatkan dan meringankan. Allah hanya menilai ‘proses berusaha’ manusianya dalam berbuat (batiniah), bukan ‘hasil usaha’-nya (lahiriah dan batiniah). Sehingga makin berat ujian-Nya misalnya, maka makin berlipat-ganda pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berkurang beban dosa atas setiap amal-keburukannya. Hal yang sebaliknya bagi rahmat-Nya.”

    Allah hanya menilai ‘proses berusaha’ manusianya dalam berbuat (batiniah), bukan ‘hasil usaha’-nya (lahiriah dan batiniah) -> ini maksudnya usaha2 batiniah itu apakah tawakal, sabar, ???
    terus apa contoh konkritnya “Hal yang sebaliknya bagi rahmat-Nya” Misalnya nih hidayat itu kan Rahmat-Nya,, terus karena diberi hidayah lalu pahalanya diperkecil dan makin bertambahnya beban dosa ??? bingung saya bang

    • Syarif Muharim berkata:

      Betul, usaha2 batiniah itu misalnya bertawakal, bersabar, berpikir, menjaga hati-pikiran, dsb, yang semuanya proses dalam hati-pikiran.

      Sebaiknya tidak dipotong, mestinya tetap “makin berat ujian-Nya misalnya, maka makin berlipat-ganda pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berkurang beban dosa atas setiap amal-keburukannya”, agar tidak keliru.
      Sebaliknya dengan rahmat-Nya, berarti lengkapnya “makin banyak rahmat-Nya misalnya, maka makin berkurang pahala-Nya atas setiap amal-kebaikannya, sedang makin berlipat-ganda beban dosa atas setiap amal-keburukannya”.

      Jadi lengkapnya dari “karena diberi hidayah lalu pahalanya diperkecil dan makin bertambahnya beban dosa”, mestinya “karena diberi hidayah lalu pahalanya diperkecil atas setiap amal-kebaikannya, dan makin bertambahnya beban dosa atas setiap amal-keburukannya”.

      “Proses berusaha” itu bisa disebut kata kain “PROSES PERJUANGANNYA dalam berusaha”.
      Melalui PROSES PERJUANGANNYA itu mestinya nalar-logikanya lebih mudah ditangkap, krn ujian-Nya memang memperberat PROSES PERJUANGANNYA, sdgkan rahmat-Nya memang memperringan PROSES PERJUANGANNYA.

      Contoh kasus sederhana misalnya:
      – apakah sama pahala bagi si kaya dan si miskin, yang sama” bersedekah sebesar Rp. 100.000?
      – apakah sama beban dosa bagi si kaya dan si miskin, yang sama” mencuri sebesar Rp. 100.000?
      – apakah sama pahala bagi si kyai dan si santri, yang menganjur suatu kebaikan yang sama?
      – apakah sama beban dosa bagi si kyai dan si santri, yang menganjur suatu keburukan yang sama?

      Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan ke Mohd khalil Nordin Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.