Resensi buku hikmah

Resensi buku: "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW"



Judul buku:

Menggapai Kembali
Pemikiran Rasulullah SAW

(Al-Hikmah yang terlupakan)

 

Tindakan-Nya pada penciptaan manusia
dan alam semesta ini, melalui Sunatullah

Penulis:

Syarif Muharim

Tebal : ±1460 halaman

Ukuran : 16 x 24 cm

Catatan:

Buku ini berisi kumpulan dan bangunan pemahaman hikmah, dari ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an.

Harap maklum, buku ini belum diterbitkan.

Daftar isi tulisan ini

Latar-belakang penulisan buku

Tiap kali kita memperhatikan pembicaraan, perdebatan atau bahkan perselisihan amat keras di kalangan umat Islam (termasuk antar berbagai aliran-golongan-mazhab), tentang ajaran-ajaran agama Islam. Hampir bisa dipastikan, semua pihaknya yang sedang berdebat atau berselisih justru selalu merasa pendapatnya sendiri yang 'paling benar', dan tidak mau mengalah dari pihak lain, bahkan termasuk pula tidak mau mengalah terhadap pendapat lain yang lebih kokoh-kuat segala dalil-alasan-hujjah dan penjelasannya. Dengan sendirinya, perdebatan atau perselisihan juga hampir bisa dipastikan tidak pernah selesai tuntas, tanpa ujung-pangkal dan solusi akhir, juga kita biasanya hampir tidak memperoleh pencerahan darinya.

Dengan kenyataan semacam itu, lalu pada pikiran kita barangkali tetap akan bisa timbul pertanyaan terkait hal-hal yang diperdebatkan, seperti misalnya "manakah pihak atau pendapat yang benar?", "apakah keterangan yang sebenarnya dari teks-teks ajaran agama Islam?", "apa maksudkah sebenarnya dari Nabi, melalui ajarannya?", "bagaimana pemahaman Nabi atas wahyu-Nya?", dsb.

Hal yang serupa juga biasanya timbul, ketika penulis membaca buku-buku tentang perbandingan antar aliran-golongan-mazhab. Akhirnya penulis sendiri merasa terpancing untuk berusaha maksimal mencari solusi, terhadap perbedaan pemahaman umat tentang ajaran-ajaran agama Islam (terutama kitab suci Al-Qur'an). Dengan berdasar pengetahuan yang dimiliki oleh penulis, serta didukung pula oleh berbagai pengalaman rohani-spiritual-batiniah yang dialami oleh penulis sekitar 6 tahun belakangan ini (sejak tahun 2005), atas ijin-Nya, telah bisa ditulis buku setebal ±1460 halaman dan berjudul "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW (Al-Hikmah yang terlupakan)".

Bahan-bahan untuk bisa "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW", idealnya berupa risalah yang diwariskan oleh Nabi, beserta segala risalah, catatan, keterangan dan penjelasan terkait lainnya, antara-lain: kitab suci Al-Qur'an (tafsir atau terjemahannya); kitab-kitab hadits; hasil ijtihad dari para alim-ulama sejak jaman dahulu sampai sekarang; catatan atas turunnya ayat-ayat Al-Qur'an (Asbabun Nuzul); catatan sejarah umat-umat pada jaman Nabi, termasuk budaya dan bahasanya; kisah-kisah para nabi-Nya dan umat terdahulu; dsb.

Namun dengan keterbatasan penulis, semua risalah dan catatan itu belum tersedia lengkap. Akhirnya penulis lalu memilih hanya membahas dasar-dasar pokok aqidah agama Islam, dengan bahan yang telah bisa tersedia. Sehingga penulis juga hanya semata khusus membahas ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, sebagai sumber pengajaran dan tuntunan-Nya yang telah lengkap dan sempurna mengungkap dasar-dasar pokok aqidah agama Islam.

Bahan lainnya yang justru amat penting, yang disebut "tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya" di alam semesta ("ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis"), yang berupa segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten), pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di seluruh alam semesta ini. Dan untuk bisa memahaminya, tentunya diperlukan penguasaan ilmu-pengetahuan yang cukup memadai, dalam berbagai bidang.

"Menggapai" tentunya berarti mustahil bisa dicapai pemahaman, yang benar-benar sesuai dengan pemahaman pada nabi Muhammad saw, atas wahyu-wahyu-Nya yang telah diperolehnya. Tetapi usaha pengungkapan tiap Al-Hikmah oleh penulis, yang terkandung 'di balik' teks ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an, hanya usaha agar semaksimal mungkin relatif makin bisa 'mendekati' pemahaman pada Nabi.

Dengan cara seobyektif mungkin mengungkap makna yang sebenarnya dari hal-hal yang dibahas. Termasuk dengan sebanyak mungkin menyertakan ayat-ayat yang terkait, untuk bisa memperkuat dalil-alasan-hujjah bagi tiap pemahamannya. Bahkan keseluruhan Al-Hikmah semaksimal mungkin diusahakan tersusun secara relatif mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, di samping juga tersusun secara relatif saling terkait, ilmiah, terstruktur dan sistematis.

Pada sinopsis di bawah ini dirangkum secara amat ringkas, atas berbagai Al-Hikmah yang telah terungkap. Harap maklum apabila ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an yang dipakai, untuk bisa memperkuat seluruh dalil-alasan-hujjahnya, tidak bisa disertakan pada sinopsis itu, karena jumlah seluruhnya memang ada ±2900 ayat. Dengan amat ringkasnya sinopsis itu, harap maklum apabila tiap pemahamannyapun 'seolah-olah' langsung diperoleh begitu saja. Walau tiap pemahaman itupun memiliki dalil-alasan-hujjah dan penjelasannya, dalam buku "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW".

Harap maklum pula apabila tiap Al-Hikmah ini relatif hanya cocok bagi umat-umat yang cukup berilmu saja, terutama agar tidak menimbulkan 'kebingungan' dan 'kekagetan' umat. Karena tiap Al-Hikmah memang relatif bisa berbeda daripada hal-hal yang biasanya bisa dipahami secara sekilas dan langsung, dari teks ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an. Walau pada 'hakekatnya' justru tetap sama, jika Al-Hikmah-nya memang telah relatif 'benar'.

Dan meskipun telah memahami berbagai Al-Hikmah, umat yang berilmu mestinya tetap beriman kepada kitab suci Al-Qur'an (termasuk mestinya beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat), sebagai kitab pengajaran dan tuntunan-Nya yang paling lengkap dan sempurna bagi seluruh umat manusia (QS.3:7). Walau ayat-ayat yang mutasyabihat justru mengandung hal-hal gaib yang uraiannya banyak berupa "contoh-perumpamaan simbolik" (hanya semata analogi, bukan gambaran sebenarnya). Dan berbagai Al-Hikmah tentunya termasuk hasil pengungkapan atas hal-hal yang sebenarnya, dalam "contoh-perumpamaan simbolik" tersebut.

Sinopsis / ringkasan isi buku

Hakekat penciptaan alam semesta ini, serta elemen dasarnya

Bahwa penciptaan alam semesta dan segala isinya ini, termasuk pula di dalamnya penciptaan seluruh umat manusia dan kehidupannya, adalah hasil perwujudan dari 'Fitrah Allah' (surat Ar-Ruum ayat 30). Sehingga di seluruh alam semesta inipun pada dasarnya terkandung atau tersembunyi segala sesuatu hal, yang menunjukkan Fitrah Allah tersebut. Sebagai perwujudan dari 'Fitrah Allah', Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sekaligus pula menciptakan suatu "agama-Nya yang lurus" (segala bentuk pengajaran dan tuntunan-Nya), selain agar tiap makhluk ciptaan-Nya bisa mengenal Allah, Tuhannya alam semesta ini yang sebenarnya dan Yang telah menciptakannya. Juga sekaligus agar tiap makhluk-Nya bisa mengikuti "agama-Nya yang lurus" itu, sebagai suatu bentuk kehendak dan keredhaan-Nya bagi kemuliaannya sendiri, di dunia dan terutama lagi di akhirat.

'Fitrah Allah' adalah sifat-sifat yang 'terpuji' dan 'mulia' Allah (hanya sebagian dari seluruh sifat mutlak Allah), yang sengaja dipilih-Nya dan hendak ditunjukkan-Nya kepada seluruh makhluk-Nya di alam semesta ini. Pada 'Fitrah Allah' bukan hanya semata berupa sifat-sifat yang menunjukkan kekuasaan, tetapi juga kemuliaan dan bahkan kesempurnaan Allah, di dalam segala aspeknya.

Alam semesta dan segala isinya inipun diciptakan-Nya hanya dengan menggunakan elemen-elemen yang paling dasar, yaitu: 'Ruh' (hidup dan gaib), 'Materi terkecil' (mati dan nyata) dan 'Energi'. Dimana 'Ruh' dan 'Materi terkecil' berupa 'zat', sedangkan 'Energi' berupa 'non-zat' (potensi atau kemampuan pada zat). 'Ruh' adalah pengendali kehidupan segala makhluk; 'materi terkecil' adalah penyusun yang paling kecil bagi segala benda mati (fisik-lahiriah-nyata); dan 'energi' adalah sarana penggerak kehidupan segala makhluk dan perubahan struktur materi. Dengan ukurannya, 'materi terkecil' adalah benda nyata yang justru juga bersifat 'gaib' (mustahil bisa diamati, diukur, dsb).

Semua elemen dasar itu justru diciptakan-Nya secara 'bersamaan' dan 'sekaligus' seluruhnya, pada saat paling awal penciptaan alam semesta ini. Bahkan masing-masing elemen dasar itu diciptakan-Nya secara 'persis sama' wujud, sifat dan keadaan dasarnya. Pada tiap zat ruh ditanamkan-Nya segala 'keadaan dan fitrah dasar', yang sama-sama masih suci-murni dan tanpa dosa, termasuk fitrah dasar untuk bisa berusaha mencari dan mengenal Allah, Tuhan Yang telah menciptakannya. Pada tiap zat ruh juga diciptakan-Nya berbagai alat-sarana yang juga 'persis sama', antara lain: akal, hati / kalbu, hati-nurani, nafsu, dsb. Sifat-sifat dari tiap zat ruh lalu menjadi bisa berbeda-beda (adanya berbagai jenis makhluk-Nya), hanya semata karena perbedaan keadaan lingkungan di sekitar tubuh wadah yang ditempati dan juga perbedaan keinginannya masing-masing (sifat atau fitrah dasarnya justru tetap sama).

'Ruh', 'materi terkecil' dan 'energi' juga memiliki saling keterkaitan yang amat erat, seperti: 'ruh' perlu 'materi' sebagai tubuh wadahnya ataupun sarana menjalani kehidupan dunia (fisik-lahiriah-nyata); 'ruh' perlu 'energi' untuk hidup dan beraktifitas; 'materi' perlu 'energi' untuk perubahan strukturnya; 'materi' perlu 'ruh' untuk mengendalikan ataupun menggerakkannya; 'energi' perlu 'ruh' untuk mengubah bentuknya; 'energi' perlu 'materi' sebagai tempat merambat; dsb. Sehingga ketiga elemen itu pada dasarnya satu-kesatuan pada sesuatu hal yang sama.

Konsep kosmogoni dalam ajaran-ajaran agama Islam (konsep kosmologi pada awal penciptaan alam semesta ini), relatif amat berbeda daripada teori 'Big Bang'. Pada teori 'Big Bang', alam semesta ini diawali dari suatu 'bola raksasa' yang amat sangat padat dan panas, yang meliputi seluruh materi di alam semesta ini. Sedangkan dalam kitab suci Al-Qur'an, alam semesta ini diawali dari suatu 'kabut' yang amat sangat panas. Sehingga keseluruhan benda langit pada awalnya masih menyatu atau melebur ('bersatu-padu'), dalam bentuk 'kabut' (pada QS.41:11 dan QS.21:30), bukan 'padatan' ataupun 'cairan'.

Konsep kosmogoni dalam agama Islam relatif lebih maju daripada teori 'Big Bang', selain karena telah diungkap lebih dahulu sekitar 13 abad sebelumnya, juga karena dalam teori 'Big Bang' justru dinyatakan, bahwa 'bola padat raksasa' itupun meledak hancur-lebur menjadi partikel-partikel yang amat kecil, lalu terbentuk pula menjadi 'kabut'. Juga bentuk segala benda dalam keadaannya yang relatif paling panas, memang justru berupa 'gas' (asap atau kabut), ataupun lebih panasnya lagi, berupa 'cahaya'. Dan bentuk awalnya ini tentunya hanya salah-satu dari perbedaan antara kedua konsep itu.

Hakekat mengenal Allah (mengenal kebenaran, perbuatan, kehendak, keredhaan & sifat-Nya)

Suatu zat bisa dikenal dari 'esensi' dan 'perbuatannya'. Namun Zat Allah Yang Maha Gaib dan Maha Suci, justru tersucikan dari segala sesuatu hal. 'Esensi' Zat Allah mustahil bisa terjangkau oleh alat-alat indera lahiriah dan batiniah pada tiap makhluk-Nya, di dunia dan di akhirat. Bahkan gambaran fisik-lahiriah tentang 'esensi' Zat Allah yang disebut di dalam kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi, antara lain: mata, telinga, tangan, kaki, dsb, juga hanya semata berupa "contoh-perumpamaan simbolik" (hanya semata analogi, bukan gambaran sebenarnya).

Dan serupa pula dengan segala zat gaib lainnya, yang memang tidak memiliki wujud fisik-lahiriah-nyata sama sekali. Tetapi umat manusia justru masih bisa mengetahui 'wujud asli' dari para makhluk gaib, melalui alat indera batiniahnya (hati atau kalbu), walau justru tetap mustahil bisa dijangkau melalui alat-alat indera lahiriahnya. Tiap makhluk-Nya bisa mengenal Allah (mengetahui sifat-sifat-Nya), hanya semata dengan berusaha mengamati dan mempelajari tiap 'hasil' perbuatan-Nya di alam semesta ini (lahiriah dan batiniah).

Secara ringkas dan sederhana, dari mempelajari berbagai 'hasil' perbuatan sesuatu zat, yang tiap perbuatannya telah diketahui memiliki sifat atau ciri khas tertentu, maka bisa dipahami tiap kehendaknya. Lalu dari mempelajari berbagai 'kehendaknya', maka bisa dipahami tiap keredhaannya. Akhirnya dari mempelajari seluruh 'perbuatan, kehendak dan keredhaannya', maka bisa dipahami tiap sifatnya.

Sedangkan sifat atau ciri khas dari tiap perbuatan Zat Allah adalah berlaku 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten), yang memang hanya semata hak-milik Allah, Yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Dari sudut pandang yang lain, segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' di alam semesta ini, diyakini oleh umat manusia sebagai hasil perbuatan Allah, Tuhan Pencipta alam semesta ini. Dengan sendirinya, segala kehendak, keredhaan dan sifat-Nya juga pasti bersifat 'mutlak' dan 'kekal'.

Segala perbuatan-Nya di alam semesta ini adalah hasil perwujudan dari rencana atau kehendak-Nya. Maka perbuatan dan kehendak-Nya relatif bisa saling dipertukarkan pemakaiannya, karena segala kehendak-Nya justru pasti terwujud. Walau kehendak-Nya tentunya memang lebih bersifat umum daripada perbuatan-Nya (kehendak-Nya terwujud melalui banyak perbuatan-Nya). Segala keredhaan-Nya adalah sebagian dari keseluruhan kehendak-Nya, yang bisa menguntungkan atau memuliakan segala makhluk ciptaan-Nya. Segala sifat-Nya adalah gambaran umum berdasar dari seluruh perbuatan, kehendak dan keredhaan-Nya. Segala kebenaran-Nya 'secara umum' adalah satu-kesatuan dari seluruh perbuatan, kehendak, keredhaan dan sifat–Nya. Serta kebenaran-Nya juga sering disebut 'ilmu atau pengetahuan-Nya'.

Segala perbuatan dan kehendak-Nya 'secara umum' justru bersifat 'netral' (justru bisa 'menguntungkan' dan 'merugikan' bagi segala makhluk-Nya, serta pasti berlaku sama bagi segala makhluk-Nya). Walau 'merugikan' dalam hal ini tentunya bukan 'merugikan' yang sebenarnya, karena pasti hanya semata tiap makhluk-Nya yang justru 'merugikan' dirinya sendiri, melalui segala amal-keburukannya. Bahkan segala ujian-Nya sebenarnya sama sekali 'tidak merugikan' bagi tiap makhluk-Nya yang mengalaminya, karena memang sama sekali bukan hasil dari perbuatannya sendiri (bukan tanggung-jawabnya). Ada pula sebagian dari kehendak-Nya yang berupa keredhaan-Nya, yang bisa menguntungkan atau memuliakan tiap makhluk-Nya, jika makhluk-Nya itu sendiri 'telah mengikutinya'. Maka dalam agama-Nya, kehendak-Nya 'secara khusus' lebih dikaitkan dengan keredhaan-Nya.

Lebih jelasnya, perbedaan antara kehendak-Nya 'secara umum' dan kehendak-Nya 'secara khusus' yang berupa keredhaan-Nya, tentunya justru bisa diketahui atau dipelajari dari proses pemberian segala bentuk balasan-Nya (nikmat dan siksaan-Nya, lahiriah dan batiniah, jelas kentara dan amat halus tak-kentara), yang memang telah diberikan-Nya secara pasti konsisten selama berabad-abad, dari umat ke umat, dari jaman ke jaman. Dan nikmat dan siksaan-Nya dalam hal ini tentunya yang bersifat hakiki (bukan yang bersifat semu menurut penilaian relatif manusia).

Dari tiap hal yang telah bisa menimbulkan nikmat-Nya, tentunya hal itupun sebagai suatu keredhaan-Nya untuk diikuti atau dilaksanakan oleh tiap makhluk-Nya. Sebaliknya, tiap hal yang telah bisa menimbulkan siksaan-Nya, sebagai keredhaan-Nya untuk dijauhi atau dihindari. Dan segala kehendak atau keredhaan-Nya bagi segala zat makhluk-Nya di seluruh alam semesta ini biasa disebut "agama-Nya yang lurus".

Contoh sederhananya, para iblis dan setan memang diciptakan-Nya, sebagai bagian dari kehendak-Nya untuk menguji keimanan tiap umat manusia. Namun segala kesesatan yang disampaikan oleh para iblis dan setan itu, justru sama sekali bukan keredhaan-Nya untuk diikuti oleh manusia. Di lain pihaknya, Allah justru juga menciptakan para malaikat (terutama para malaikat Jibril), untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran-Nya bagi tiap manusia, sebagai keredhaan-Nya untuk bisa diikutinya.

Allah juga berkehendak untuk memberi balasan-Nya secara setimpal (nikmat dan siksaan-Nya), atas perbuatan manusia. Sedangkan segala perbuatan manusia justru hanya semata dari hasil pilihan dan kehendak manusianya sendiri, untuk mengikuti kesesatan atau kebenaran yang telah disampaikan oleh para makhluk gaib, ke dalam pikirannya tiap saatnya. Tiap perbuatan manusia justru sama sekali bukan perbuatan Allah. Maka Allah juga bisa diketahui memiliki sifat Maha Adil kepada segala makhluk ciptaan-Nya, sesuai perbuatan dan keadaannya masing-masing selama hidup di dunia ini. Serta ajaran-ajaran agama-Nya diturunkan-Nya, untuk bisa membawa manusia kepada keredhaan-Nya, demi kemuliaan manusianya sendiri di dunia dan di akhirat.

Sesuatu yang 'benar' (relatif menurut manusia) adalah sesuatu yang relatif sesuai dengan kebenaran-Nya di alam semesta ini, yang justru bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten). Sesuatu kebenaran-Nya (mutlak dan kekal) adalah sesuatu yang pasti terjadi secara persis sama, pada 'keadaan' yang juga persis sama, sampai kapanpun selama alam semesta ini masih tetap tegak-kokoh. Hal yang 'benar' semacam ini adalah "satu-satunya ukuran", bahwa hal itu pasti hanya semata berasal dari Allah (sama sekali tidak ada ukuran lainnya, bagi sesuatu yang berasal dari Allah).

Dan sekali lagi dalam agama-Nya, tiap kebenaran-Nya ataupun sesuatu yang 'benar' justru lebih dikaitkan dengan keredhaan-Nya. Sehingga dalam beragama, kebenaran-Nya tidak hanya semata 'benar', namun juga mestinya bisa menguntungkan atau memuliakan manusia. Contohnya, sihir juga bagian dari kebenaran-Nya (pasti hasil pengungkapan atas kebenaran atau pengetahuan-Nya, serta pasti bisa dipelajari dan diulang-ulang), namun sihir justru bisa amat merugikan ataupun menghinakan manusia pelakunya. Sehingga sihir biasanya amat diharamkan dalam ajaran-ajaran agama-Nya.

Segala usaha mengamati dan mempelajari 'hasil' perbuatan-Nya di alam semesta ini, justru juga dilakukan oleh nabi Muhammad saw di dalam memahami sifat-sifat-Nya, yang telah terungkap pada Asmaul Husna (nama-nama terbaik Allah). Nama-nama-Nya tidak lain hanya sebutan atas sifat-sifat-Nya. Juga pemahaman yang amat mendalam atas sifat-sifat-Nya adalah pemahaman yang relatif paling tinggi yang bisa dicapai oleh umat manusia (terutama para nabi-Nya).

Allah hanya semata bisa diketahui sifat-sifat 'perbuatan-Nya', namun mustahil bisa diketahui sifat-sifat 'zat-Nya' (esensi Zat-Nya). Pada Asmaul Husna itu juga hanya terdiri dari kata 'sifat' (Mulia, Kekal, Tinggi, Adil, Luas, Kaya, dsb) dan kata 'kerja' (Memberi, Mengetahui, Menguasai, Memelihara, dsb), yang semuanya pada dasarnya hanya semata berupa sifat-sifat perbuatan-Nya di alam semesta ini.

Penting diketahui sekali lagi, semua sifat-Nya bersifat 'mutlak' dan 'kekal'. Sehingga semua sifat-Nya mestinya dipahami sebagai satu-kesatuan yang saling setara-seimbang, saling terkait utuh (tidak terpisah) dan tidak saling bertentangan, karena semuanya justru menunjukkan kesempurnaan Allah. Bahkan mustahil bisa terjadi sebaliknya (tidak saling setara, tidak saling terkait utuh atau saling bertentangan), karena alam semesta ini justru mestinya telah kacau balau ataupun hancur-binasa. Juga dua hal atau lebih yang berlaku 'mutlak' memang mustahil bisa saling bertentangan, apalagi jika berlalu 'kekal'.

Sifat Maha Kuasa Allah misalnya, tidak lebih penting atau bertentangan dengan sifat Maha Memelihara, Maha Penyayang, Maha Adil, dsb. Juga pemahaman yang berlebihan atas hanya sebagian sifat-Nya, tidak utuh dan saling mempertentangkannya, bahkan bisa mengurangi kesempurnaan Allah, melahirkan kemusyrikan atau mengada-adakan tuhan lain, yang berbeda daripada Allah Tuhan Yang dikenal dan disembah oleh nabi Muhammad saw. Na'udzubillah.

Dan agama Islam adalah hasil pengungkapan atau pemahaman Nabi, atas kehendak atau keredhaan-Nya bagi segala zat makhluk-Nya di alam semesta ini ("agama-Nya yang lurus", terutama bagi umat manusia). Demikian pula halnya dengan agama-agama tauhid lainnya dari tiap nabi-Nya terkait (Yahudi dan Nasrani). Semua agama tauhid itu tentunya juga pasti berasal dari Allah (relatif sesuai kebenaran-Nya di alam semesta ini), sehingga Nabi justru ikut membenarkan semua wahyu, kitab, agama dan nabi-Nya terdahulu.

Hakekat agama-Nya yang lurus & agama tauhid

"Agama-Nya yang lurus" yang juga merupakan hasil perwujudan dari 'Fitrah Allah', terkandung dalam "ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis" yang ada di seluruh alam semesta ini. "Ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis" inipun terkadang juga disebut sebagai "tanda-tanda kekuasaan dan kemuliaan-Nya", "wajah-Nya", "sabda, firman, kalam atau wahyu-Nya yang 'sebenarnya'", "segala kebenaran dan pengetahuan-Nya" ataupun sebagai "Al-Qur'an dan kitab-kitab-Nya lainnya yang berbentuk 'gaib', yang tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya".

Semua sebutan itu pada dasarnya hanya berbeda pada sudut pandang dan konteks pemakaiannya masing-masing, namun semuanya justru juga merujuk kepada sesuatu hal yang sama, yaitu "segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten), pada segala zat ciptaan-Nya dan segala kejadian (lahiriah dan batiniah) di alam semesta ini". Hal seperti ini semuanya memang hanya semata hasil dari perbuatan-Nya, dan ada dimana-mana di alam semesta ini, walau secara 'simbolik' disebut "tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya" (di alam gaib).

"Tanda-tanda kekuasaan-Nya" amat sempit, jika dianggap hanya berupa "mu'jizat" pada para nabi-Nya. Pada hembusan angin dan awan, turunnya air hujan, sinar Matahari atau bintang, siang dan malam, pohon yang tumbuh dan berbuah, hembusan napas dan detak jantung, penciptaan dan kematian makhluk, serta pada tak-terhitung hal lainnya, justru juga terdapat tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Sekali lagi, tujuan yang utama dari penciptaan "agama-Nya yang lurus", termasuk agar umat manusia yang telah dipilih sebagai khalifah-Nya (penguasa) di muka bumi (di dunia), tidak berjalan kehilangan arah-tujuan dengan hanya semata bermodalkan daya dan akalnya. Selain bertujuan agar ia bisa mencari dan mengenal Allah, Yang menciptakannya. Juga agar bisa kembali dekat ke hadapan 'Arsy-Nya, yang amat mulia dan agung, dengan cara mengikuti "agama-Nya atau jalan-Nya yang lurus" tersebut, sebagai sesuatu bentuk kehendak dan keredhaan-Nya bagi kemuliaan umat manusia di dunia dan di akhirat.

Walau kurang tepat, pemakaian istilah "agama atau jalan-Nya yang lurus" itu justru umumnya langsung dikaitkan dengan agama-agama tauhid (agama-agama-Nya). Padahal "agama-Nya yang lurus" itu bersifat 'gaib', 'mutlak', 'kekal' dan 'universal', serta tersebar dan terkandung secara tersembunyi dalam segala sesuatu hal di alam semesta ini. Di lain pihak, tiap agama tauhid (agama-Nya) justru bersifat 'nyata' (berupa teks-teks ajarannya), 'relatif' (sesuai keterbatasan pengetahuan tiap nabi-Nya terkait), 'fana' (sesuai keberadaan umat pengikutnya) dan 'aktual' (sesuai konteks keadaan kehidupan umat yang menerima langsung ajarannya). Lebih ringkas lagi, "agama-Nya yang lurus" adalah keredhaan-Nya bagi "seluruh makhluk-Nya", dan agama tauhid (agama-Nya) adalah keredhaan-Nya bagi "seluruh umat manusia" (relatif tergantung kesempurnaan ajaran tiap nabi-Nya).

Dengan "agama-Nya yang lurus" itulah, cara Allah yang sebenarnya dalam menjaga agama-agama tauhid (beserta kitab suci dan ajaran-ajarannya), serta telah dipelajari dari nabi ke nabi, dari umat ke umat dan dari jaman ke jaman. Karena "agama-Nya yang lurus" menjadi bahan pembanding yang paling utama, bagi tingkat kebenaran pemahaman tiap umat manusia atas ajaran-ajaran agama-Nya, terutama saat setelah para nabi-Nya tiada. Dan untuk memahami "agama-Nya yang lurus" tentunya diperlukan ilmu-pengetahuan.

Pada 'bentuk awalnya' yang disampaikan langsung oleh tiap nabi-Nya terkait, tiap agama tauhid (agama-Nya, yaitu: Yahudi, Nasrani dan terakhir Islam) adalah suatu hasil pengungkapan yang relatif lengkap dan sempurna, atas "agama-Nya yang lurus". Walau secara alamiah, tiap nabi-Nya itu tentunya memiliki tingkat kesempurnaan pemahaman yang relatif berbeda-beda, terutama sesuai perkembangan ilmu-pengetahuan dan keadaan kehidupan kaumnya masing-masing. Serta sebagai agama tauhid terakhir, berdasar segala pemahaman pada nabi-Nya terakhir (segala wahyu pada nabi Muhammad saw), tentunya agama Islam juga agama tauhid yang paling lurus (benar), aman, lengkap dan sempurna, bagi seluruh umat manusia sampai akhir jaman (dibandingkan agama tauhid terdahulu).

"Agama-Nya yang lurus" itu sedikit-banyak juga telah dipahami oleh seluruh para nabi-Nya, dan bahkan oleh umat manusia lainnya, dari hasil mengamati dan mempelajari "tanda-tanda kekuasaan dan kemuliaan-Nya" di alam semesta ini, secara relatif obyektif. Serta umat Islam pada tiap jamannya yang telah memahami "agama-Nya yang lurus" itu, justru relatif bisa terus-menerus menjaga kitab suci Al-Qur'an dan agama Islam, terutama menjaga agar tetap bisa berlaku relatif sempurna sampai akhir jaman. Dan bahkan kaum non-Muslim yang telah memahaminya, justru juga bisa mengakui kebenaran agama Islam.

Hakekat 'Arsy-Nya & pengetahuan manusia

Untuk bisa mengenal Allah (memahami sifat, kehendak, keredhaan dan perbuatan Allah), tentunya tiap manusia pasti memerlukan 'pengetahuan'. Sedangkan "'pengetahuan' adalah tiap hasil usaha manusia dengan menggunakan 'akal'-nya, untuk bisa mengungkap pengetahuan atau kebenaran-Nya yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' ('ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis'), dari hasil melihat, mengamati dan mempelajari segala sesuatu hal di alam semesta ini". Hanya 'akal' satu-satunya alat-sarana pada tiap manusia, yang bisa memilih, mengukur, mengiterasikan, mengintegrasikan, menghitung, memroses, menilai, menelaah, mengolah, merangkum, mempelajari, menganalisa dan memutuskan tiap bentuk informasi dalam pikirannya, untuk dianggap sebagai suatu "pengetahuan atau kebenaran relatifnya".

Lalu tiap 'kebenaran relatif' ini tersimpan dalam hati-nuraninya, yang membentuk keyakinan pribadinya, yang bahkan dipakai pula oleh akalnya dalam memutuskan hal-hal berikutnya. Proses inipun justru terus-menerus berulang selama hidup tiap manusia, serta segala 'kebenaran relatif' makin banyak menumpuk di dalam hati-nuraninya. Orang-orang yang "tidak mau menggunakan akalnya", pada dasarnya tidak mau berusaha memperbaiki dan menyempurnakan keyakinan hati-nuraninya (segala 'kebenaran relatifnya'). Dan Allah memurkai orang-orang yang "tidak menggunakan akalnya" (QS.10:100).

Tiap pengetahuan manusia tentunya pasti memiliki tingkat relatifitas, obyektifitas, kebenaran atau kesempurnaan yang berragam (tingkat perbedaan antara pengetahuan 'mutlak' milik Allah dan pengetahuan 'relatif' milik manusia). Tiap tingkat pengetahuan ini disebut sebagai 'hijab-tabir-pembatas', antara Allah dan manusia pemilik pengetahuannya. Manusia pasti terhalang oleh segala 'hijab', dalam berusaha memahami kebenaran-Nya (segala bentuk pengetahuannya pasti bersifat 'relatif', 'subyektif' dan 'terbatas'), bahkan termasuk para nabi-Nya. Namun para nabi-Nya juga telah bisa mencapai hijab-hijab yang tertinggi (tingkat pengetahuan yang relatif sempurna).

Dalam hal beragama, proses perolehan pengetahuan tentang kebenaran-Nya bagi seluruh umat manusia, terutama tentang segala hal yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupannya (hal-hal gaib dan batiniah), justru telah relatif amat dipermudah oleh pengungkapan pengetahuan para nabi-Nya, melalui kitab-kitab-Nya dan sunnah-sunnahnya. Sedangkan para nabi-Nya itu sendiri memang telah diyakini paling sempurna memahami dan mengamalkan berbagai kebenaran-Nya, di antara seluruh umat manusia pada tiap jamannya masing-masing.

Persoalannya adalah, apakah tiap umat Islam telah benar-benar memahami hal-hal yang telah disampaikan atau dimaksudkan oleh nabi Muhammad saw (telah "menggapai pemikiran" Nabi), termasuk tentang hal-hal gaib dan batiniah?.

Dengan kesempurnaan segala pengetahuannya, maka para nabi-Nya bisa berada 'amat dekat' ke hadapan-hadirat 'Arsy-Nya, sebagai 'simbol' tempat tercatatnya segala kebenaran-Nya di seluruh alam semesta ini, atau tempat keberadaan kitab mulia (Lauh Mahfuzh). 'Arsy-Nya sama sekali bukan kursi, tahta ataupun tempat keberadaan yang sebenarnya bagi Zat Allah. 'Arsy-Nya dan Lauh Mahfuzh adalah hal-hal simbolik, semu atau imajiner yang berada 'dalam pikiran atau hati-nurani' tiap makhluk-Nya ("Allah berada dalam hati-nurani tiap manusia"). Tetapi para nabi-Nya dan seluruh umat manusia lainnya justru mustahil bisa 'meraih' atau 'menyentuh' 'Arsy-Nya, karena manusia justru mustahil bisa mengetahui segala sesuatu hal di seluruh alam semesta ini, yang memang hanya semata hak-milik Allah, Yang Maha Mengetahui.

Hal yang serupa pula terjadi pada para malaikat (terutama para malaikat Jibril), yang memang amat sangat cerdas akalnya, yang telah mengajari para nabi-Nya tentang kebenaran-Nya. Mereka itu juga bisa 'amat dekat' ke hadapan 'Arsy-Nya, dan bahkan bisa ikut "mengusung" 'Arsy-Nya, walau mustahil bisa 'meraih' atau 'menyentuh' 'Arsy-Nya.

Hal-hal gaib semacam 'Arsy-Nya memang hanya bisa relatif ringkas dan sederhana, jika diungkapkan melalui segala bentuk "contoh-perumpamaan simbolik", yang memang amat banyak terdapat di dalam kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi. Terutama agar umat bisa relatif lebih cepat dan mudah memahaminya secara 'tidak langsung', atas hal-hal yang sebenarnya di baliknya (hanya memahami analoginya). Maka tiap "contoh-perumpamaan simbolik" sama sekali bukan sesuatu yang salah, namun hanya semata analogi-pendekatan yang ringkas dan sederhana dari hal yang sebenarnya.

Bahkan istilah-istilah seperti: 'Allah', 'Maha', 'Ruh', 'Malaikat' sampai 'Iblis', 'Surga' dan 'Neraka', 'Kebangkitan', 'Hari Kiamat', 'Akhirat', 'Takdir', 'Syafaat', dsb, juga bersifat simbolik, yang penjelasan atau uraian hakekat selengkapnya bisa relatif amat rumit dan panjang (beserta hal-hal terkait di sekitarnya).

Hakekat wahyu-Nya, Al-Hikmah, Al-Kitab, kenabian & keimanan

Telah disebut pula di atas, "ayat-ayat-Nya yang 'tak-tertulis'" adalah Al-Qur'an dan kitab-kitab-Nya lainnya yang berbentuk 'gaib', yang telah tercatat pada kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya. Sedangkan "ayat-ayat-Nya yang 'tertulis'" (Al-Kitab, kitab tauhid atau kitab-Nya, yaitu: Jabur, Taurat, Injil dan terakhir Al-Qur'an), adalah bentuk pengungkapan secara tertulis atas sekumpulan besar wahyu-Nya pada tiap nabi-Nya terkait. Tiap wahyu-Nya ini (tiap ayat Al-Kitab) adalah tiap hasil 'rangkuman' atas segala pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang tersimpan di dalam dada-hati-pikirannya, tentang hal-hal tertentu yang sedang diungkap. Keseluruhan para nabi-Nya memiliki berbagai pemahaman 'Al-Hikmah', tetapi hanya beberapa darinya yang juga memiliki 'Al-Kitab' (kitab-Nya), yaitu: nabi Daud as (Jabur), nabi Musa as (Taurat), nabi Isa as (Injil) dan nabi Muhammad saw (Qur'an).

Tiap Al-Kitab atau kitab tauhid lalu menjadi sumber pengajaran dan tuntunan-Nya, yang bersifat relatif lengkap, ringkas, sederhana, praktis-aplikatif dan aktual, bagi seluruh umat manusia pada tiap jamannya masing-masing, untuk bisa menjawab segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupannya sehari-hari, terutama tentang segala hal yang paling penting, mendasar dan hakiki (hal-hal gaib dan batiniah). Sehingga tiap Al-Kitab juga relatif mudah dipahami dan diamalkan. Di lain pihak, tiap Al-Hikmah justru bersifat relatif kompleks, rumit, mendalam, tidak praktis-aplikatif dan universal (tidak aktual). Sehingga tiap Al-Hikmah relatif sulit dipahami oleh umat manusia pada umumnya (terutama umat yang awam).

Tiap Al-Hikmah diperoleh dari segala hasil usaha amat keras para nabi-Nya, dalam mengamati dan mempelajari "ayat-ayat-Nya yang 'tak-tertulis'" di alam semesta ini (di lingkungan sekitarnya), secara relatif 'amat obyektif'. Saat bertafakur, merekapun juga sekaligus sambil dituntun oleh para malaikat Jibril, dengan memberikan segala bentuk "ilham yang positif-benar-baik" ke dalam dada-hati-pikirannya. Tiap Al-Hikmah adalah sesuatu pemahaman yang relatif tertinggi yang bisa dicapai oleh umat manusia, tentang sesuatu kebenaran-Nya ("hijab tertinggi atas sesuatu hal"), walau tingkat kesempurnaan ataupun kedalamannya tetap bisa berbeda-beda. Makin sempurna, jika makin kokoh-kuat segala dalil-alasan-hujjahnya, serta makin banyak pula Al-Hikmah lainnya yang ikut saling terkait. Serta makin tinggi nilainya, jika mengandung hal-hal gaib dan batiniah. Dan tiap Al-Hikmah ibarat puncak piramida, yang di bawahnya ada sejumlah besar pengetahuan dan dalil-alasan-hujjah yang mendasarinya.

Tentunya tiap umat manusia biasa (selain para nabi-Nya), pada dasarnya juga bisa memperoleh Al-Hikmah, bahkan melalui cara perolehan yang 'persis sama'. Akan tetapi Al-Hikmah ini tetap bukan wahyu-Nya. Karena tiap Al-Hikmah hanya bisa disebut sebagai 'wahyu-Nya', jika seluruh Al-Hikmah yang diperoleh telah bisa tersusun relatif 'sempurna' (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), terutama tentang hal-hal yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah). Seluruh pemahaman seperti ini disebut sebagai 'pemahaman kenabian' atau 'bangunan pemahaman kenabian', yang diyakini hanya dimiliki oleh para nabi-Nya. Sedangkan umat manusia biasa lainnya relatif hanya memahami sebagian amat sedikit darinya, termasuk relatif hanya diperolehnya melalui ajaran para nabi-Nya.

Pemahaman kenabian juga telah bisa menjadikan tingkat keimanan 'batiniah' yang amat tinggi pada para nabi-Nya. Tentunya tiap kenabian mestinya disertai dengan tingkat keimanan 'lahiriah' yang amat tinggi pula, melalui pengamalan yang amat konsisten atas tiap pemahamannya tentang kebenaran-Nya (konsisten antara pikiran, perkataan, sikap dan perbuatan), terutama lagi dalam melayani umatnya sebagai wujud pengabdiannya kepada-Nya. Keimanan yang utuh dan lengkap adalah gabungan antar keimanan 'batiniah' (pemahaman) dan keimanan 'lahiriah' (pengamalan). 'Iman' adalah 'ilmu' dan 'amal'.

Sekilas bisa tampak di atas, tentang adanya persyaratan tertentu bagi wahyu dan kenabian, padahal wahyu dan kenabian justru diperoleh secara alamiah. Persyaratan itu sebenarnya hanya berupa syarat-syarat yang bersifat 'semu' (tidak ada definisi yang jelas dan hal yang mensyaratkannya), yang diungkapkan hanya sekedar untuk menunjukkan perlunya terpenuhi 'tingkat kesempurnaan' tertentu bagi wahyu dan kenabian, yang justru bisa amat berpengaruh kepada tingkat keyakinan umat manusia atas kebenarannya. Jika kesempurnaannya diabaikan, maka wahyu dan kenabian itu sendiri secara alamiah relatif mudah bisa diragukan, diabaikan atau ditinggalkan. Padahal wahyu dan kenabian memang menyangkut keyakinan seluruh umat manusia, dalam kehidupan beragamanya.

Maka aspek-aspek kelengkapan, kedalaman, konsistensi, keutuhan, pertentangan dan kepentingan, dipakai sebagai ukuran atau syarat relatif bagi 'pemahaman kenabian'. Tentunya tiap umat Islam bisa pula memiliki ukuran atau syaratnya masing-masing, bagi kesempurnaan seluruh pemahaman pada tiap nabi-Nya, atas wahyu-Nya yang telah bisa diperolehnya (kesempurnaan keyakinan atau keimanan batiniahnya).

Lebih penting lagi, aspek-aspek ini yang pada dasarnya justru menunjukkan keluar-biasaan atau mu'jizat dari kitab suci Al-Qur'an (Al-Kitab), yang timbul berdasar bangunan pemahaman yang relatif sempurna di dalam dada-hati-pikiran nabi Muhammad saw, atas wahyu-wahyu-Nya yang diperolehnya dari malaikat Jibril (Al-Hikmah). Mu'jizat dari kitab suci Al-Qur'an sama sekali bukan pada bentuk, teks dan susunan teksnya, namun justru pada kesempurnaan seluruh Al-Hikmah 'di balik' teks-teksnya.

Tetapi pada saat sekarang dimana kenabian telah berakhir, aspek-aspek inipun bisa dipakai sebagai ukuran atau syarat relatif bagi bangunan pemahaman yang sempurna atau ideal pada tiap umat Islam, agar bisa makin 'mendekati' bangunan pemahaman pada Nabi.

Namun di antara aspek-aspek pemahaman Al-Hikmah ini, aspek kelengkapan (bisa menjawab semua persoalan kehidupan beragama umat manusia), serta aspek kedalaman dan kepentingan (bisa menjawab semua hal-hal gaib dan batiniah), yang relatif paling sulit bisa dicapai oleh umat manusia pada umumnya (relatif hanya dimiliki oleh para nabi-Nya), sedangkan aspek konsistensi, keutuhan dan pertentangannya relatif masih bisa dicapainya. Karena aspek kelengkapan, kedalaman dan kepentingan ini mestinya didukung oleh segala pengetahuan dan pengalaman hidup yang relatif amat banyak, luas dan lengkap, termasuk segala pengalaman rohani-batiniah-spiritual dari berinteraksi dengan para makhluk gaib.

Bangunan pemahaman Al-Hikmah yang sempurna atau ideal pada tiap umat Islam, atas ajaran-ajaran agama-Nya, yaitu:

Bangunan pemahaman yang sempurna atau ideal
atas ajaran-ajaran agama-Nya

Bangunan pemahaman yang utuh

Bangunan pemahaman yang tiap pemahamannya memiliki dalil-alasan-hujjah, dari ayat-ayat Al-Qur'an, Sunnah Nabi (Hadits Nabi), Ijtihad para alim-ulama ataupun dari ilmu-pengetahuan yang obyektif. Dan tiap pemahamannya juga saling terkait secara utuh (tidak terpisah-pisah), dengan seluruh pemahaman lainnya.

Bagi pemahaman lainnya yang belum 'memiliki dalil-alasan-hujjah' ataupun belum 'terkait utuh', agar tidak disertakan ke dalam bangunan pemahaman.

Bangunan pemahaman yang tidak saling bertentangan

Bangunan pemahaman yang tiap pemahamannya relatif tidak saling bertentangan dengan pemahaman terkait lainnya, juga termasuk tidak saling bertentangan dalil-alasan-hujjahnya.

Bagi pemahaman lainnya yang masih 'saling bertentangan', agar tidak disertakan ke dalam bangunan pemahaman.

Bangunan pemahaman yang konsisten

Bangunan pemahaman yang dalil-alasan-hujjah bagi tiap pemahamannya tetap konsisten, tidak berubah atau tidak bergoyang, jika dikaitkan dengan dalil-alasan-hujjah bagi pemahaman terkait lainnya.

Sehingga dalil-alasan-hujjah bagi tiap pemahamannya mestinya relatif kokoh-kuat dan sulit terbantahkan.

Bagi pemahaman lainnya yang belum 'konsisten', agar tidak disertakan ke dalam bangunan pemahaman.

Bangunan pemahaman yang lengkap (amat ideal)

Bangunan pemahaman yang bisa menjawab secara lengkap relatif hampir semua persoalan kehidupan umat manusia, terutama yang paling penting, mendasar dan hakiki.

Minimal bisa lengkap sesuai lingkup cakupan yang dipilih. Serta mestinya relatif hampir tidak ada celah-celah masalah dalam lingkup cakupannya, yang belum bisa terjawab.

Kelengkapan ini tergantung kepada batas kapasitas dan kemampuan pengetahuan, maka tidak perlu dipaksakan. Bangunan pemahaman yang lengkap, lebih tepat jika disusun oleh Majelis alim-ulama.

Bangunan pemahaman yang mendalam (amat ideal)

Bangunan pemahaman yang bisa menjawab secara cukup mendalam relatif hampir semua hal-hal gaib dan batiniah, antara lain tentang: Allah, tujuan penciptaan alam semesta ini dan kehidupan manusia, ruh, para makhluk gaib, alam gaib dan alam akhirat, Hari Kiamat, akhlak, pahala dan dosa, baik dan buruk, dsb.

Bahkan hal-hal gaib dan batiniah ini memang menjadi pondasi utama dari ajaran-ajaran agama Islam.

Kedalaman ini tergantung kepada pengalaman rohani-batiniah-spiritual yang telah pernah dialami 'langsung', maka tidak perlu dipaksakan. Bangunan pemahaman yang mendalam, lebih tepat jika disusun oleh Majelis alim-ulama.

Hakekat bentuk wahyu-Nya, serta transformasi perubahannya

Sekilas juga bisa tampak di atas, tentang adanya berbagai bentuk wahyu-Nya dan sekaligus adanya proses 'transformasi perubahan bentuknya', dari bentuk awalnya yang langsung dari Allah sendiri, sampai bentuk akhirnya yang biasa dikenal oleh umat manusia, antara lain: wahyu-Nya di antara seluruh sifat Allah (berupa "Fitrah Allah"), wahyu-Nya di alam semesta ini (berupa "tanda-tanda kekuasaan dan kemuliaan-Nya"), wahyu-Nya di dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya (berupa "tiap 'Al-Hikmah'"), serta wahyu-Nya di beberapa Al-Kitab atau kitab tauhid (berupa "tiap ayat 'Al-Kitab'"), yang juga diungkap pada tabel berikut. Tiap bentuk wahyu-Nya memiliki sifat-sifat, penyampai, perantara, sarana dan sasaran penyampaiannya masing-masing.

Namun perlu diketahui, bahwa tiap Al-Hikmah bukan hal yang berdiri-sendiri atau terpisah, justru hanya bisa disebut sebagai 'wahyu-Nya', jika telah berupa satu-kesatuan pemahaman yang utuh, lengkap dan sempurna, dengan keseluruhan Al-Hikmah lainnya pada tiap nabi-Nya. Serupa pula halnya dengan tiap ayat Al-Kitab terhadap seluruh ayat lain. Dan wahyu-Nya mestinya memang menyangkut 'seluruh' aspek mendasar kehidupan umat manusia (bukan hanya beberapa ataupun sebagian aspek saja).

Bentuk wahyu-Nya yang berupa "Al-Hikmah", sebenarnya bisa terbagi lagi menjadi 2 bentuk wahyu-Nya, yaitu: "ilham yang positif-benar-baik" dari para malaikat Jibril dan "Al-Hikmah" itu sendiri. Segala ilham (wahyu-Nya) yang disampaikan oleh para malaikat Jibril, yang bahkan sering disinggung dalam Al-Qur'an, adalah segala 'potongan amat kecil' informasi yang terpakai dalam penyusunan tiap Al-Hikmah pada para nabi-Nya. Namun karena ada pula "ilham yang negatif-sesat-buruk" dari para jin, syaitan dan iblis, maka ilham 'secara keseluruhan' sengaja tidak dianggap sebagai salah-satu bentuk wahyu-Nya. Terutama agar ilham tidak mudah dianggap sebagai wahyu-Nya. Padahal tiap ilham juga masih harus dipilih dan diputuskan oleh akal dan keyakinan hati-nurani para nabi-Nya, sebelum bisa dianggap sebagai "ilham yang positif-benar-baik".

Transformasi perubahan bentuk wahyu-Nya itu justru proses yang 'alamiah', serta telah berlangsung amat panjang, seperti melalui: proses penciptaan alam semesta (sekitar milyaran tahun), proses kemunculan tiap calon nabi-Nya (selama berabad-abad), proses pemantaban pemahaman dan pengamalan kenabian tiap calon nabi-Nya (selama puluhan-tahun), serta juga proses penyampaian secara lisan dan tertulis (selama bertahun-tahun), termasuk melalui sejumlah sarana dan perantara, seperti: alam semesta ini, para malaikat (termasuk para malaikat Jibril), alat-alat indera para nabi-Nya (lahiriah dan batiniah), akal dan hati-nurani para nabi-Nya, lisan dan tulisan para nabi-Nya, dsb.

Dan transformasi perubahan bentuk yang relatif serupa, tentunya juga terjadi pada Al-Qur'an dan kitab-kitab-Nya lainnya, yang memang hanya berupa satu-kesatuan dari sekumpulan besar wahyu-Nya, dengan berbagai bentuknya. Namun secara 'alamiah' pula, perolehan wahyu dan kenabian telah berakhir pada nabi Muhammad saw. Serta kitab-kitab-Nya berakhir pada kitab suci Al-Qur'an, sebagai kitab pengajaran dan tuntunan-Nya bagi seluruh umat manusia, sampai akhir jaman.

Rangkuman transformasi perubahan bentuk wahyu (4 macam bentuk), dari bentuk awalnya yang langsung dari Allah sendiri, sampai bentuk akhirnya yang biasa dikenal oleh umat manusia, yaitu:

Rangkuman transformasi perubahan bentuk wahyu

Bentuk wahyu jenis ke-1 :

Berupa

:

"Fitrah Allah" (sifat-sifat terpuji dan mulia Allah), yang berupa sebagian dari seluruh sifat mutlak Allah, yang sengaja dipilih dan kehendak ditunjukkan-Nya kepada segala makhluk ciptaan-Nya.

Sifat

:

'Maha kekal', 'Maha gaib' (sesuai sifat-sifat-Nya) dan 'universal'.

Penyampaian

:

Dari Allah kepada Allah sendiri, melalui pilihan dan kehendak Allah sendiri, sebagai perwujudan kesempurnaan Allah.

Bentuk wahyu jenis ke-2 :

Berupa

:

"Tanda-tanda kekuasaan dan kemuliaan-Nya" ("ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis"), yang berupa segala sesuatu hal yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal' di seluruh alam semesta ini.

Sifat

:

'Kekal' (sesuai umur alam semesta), 'gaib' (tersembunyi dalam banyak hal) dan 'universal'.

Penyampaian

:

Dari Allah kepada segala makhluk ciptaan-Nya, melalui proses penciptaan alam semesta ini, sebagai perwujudan Fitrah Allah.

Bentuk wahyu jenis ke-3 :

Berupa

:

"Tiap Al-Hikmah" (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang seluruhnya tersusun lengkap dan sempurna di dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya.

Sifat

:

'Fana' (sesuai umur tiap nabi-Nya), 'gaib' (berupa pemahaman) dan 'universal'. Juga relatif kompleks, rumit, mendalam, tidak praktis-aplikatif dan tidak aktual.

Penyampaian

:

Dari para malaikat Jibril kepada para nabi-Nya, melalui proses pemberian segala jenis "ilham yang positif-benar-baik" ke dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya, sebagai perwujudan dari usaha pencarian pengetahuan tentang kebenaran-Nya.

Bentuk wahyu jenis ke-4 :

Berupa

:

"Tiap ayat Al-Kitab" (hasil rangkuman atas segala pemahaman Al-hikmah, yang tertulis / terucap / terungkap), yang seluruhnya tersusun lengkap dalam tiap Al-Kitab / kitab-Nya / kitab tauhid.

Sifat

:

'Fana' (sesuai umur sarana penyampaian), 'nyata' dan 'aktual' (sesuai konteks keadaan umat). Juga relatif ringkas, sederhana dan praktis-aplikatif.

Penyampaian

:

Dari para nabi-Nya kepada seluruh umat manusia, melalui lisan dan tulisan para nabi-Nya, sebagai perwujudan usaha penyebaran pengetahuan tentang kebenaran-Nya (penyampaian pengajaran dan tuntunan-Nya).

Hakekat universalitas & aktualitas wahyu-Nya

Dari sifat-sifat pada tiap macam bentuk wahyu, cukup jelas telah ditunjukkan letak 'universalitas' dari wahyu-Nya, yaitu: pada nilai-nilai universal (al-Hikmah) 'di balik' teks ayat-ayat al-Kitab (beserta Sunnah-sunnah para nabi-Nya); pada segala al-Hikmah dalam dada-hati-pikiran para nabi-Nya; dan pada tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini.

Sedangkan letak 'aktualitas' dari wahyu-Nya berada pada teks ayat-ayat al-Kitab, beserta Sunnah para nabi-Nya. Karena teks wahyu-Nya (berupa al-Kitab), beserta sunnah para nabi-Nya, timbul berdasar segala wahyu-Nya (berupa Al-Hikmah), dalam dada-hati-pikiran tiap nabi-Nya terkait. Dari hal ini diharapkan bisa dipahami cara mengembalikan 'universalitas' dari ajaran-ajaran agama-Nya, dan sekaligus pula cara selalu tetap menjaga 'aktualitasnya', agar bisa tetap berlaku relatif sempurna, bahkan sampai akhir jaman.

Jaman para nabi-Nya telah berakhir, dan juga kitab-kitab tauhid selain Al-Qur'an (Jabur, Taurat dan Injil) telah amat diragukan otentisitas dan kesempurnaannya. Sehingga hal-hal yang masih tertinggal bagi umat manusia, yaitu: kitab suci Al-Qur'an sebagai kitab tauhid yang paling akhir, lengkap dan sempurna, Hadits Nabi (bentuk tertulis dari Sunnah Nabi), dan juga tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di seluruh alam semesta ini. Dan kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi bersifat 'nyata', namun sebaliknya tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya bersifat 'gaib'.

Perbedaan sifat keduanya inipun menimbulkan persoalan, karena umat Islam relatif hanya semata memakai kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi, sebagai sumber pengajaran dan tuntunan-Nya, sebaliknya malah justru relatif jarang memakai tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya. Padahal kitab suci Al-Qur'an, kitab tauhid lainnya dan sunnah para nabi-Nya, justru berdasar segala pemahaman pada tiap nabi-Nya terkait, atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya, sekaligus sambil dituntun pula oleh para malaikat Jibril.

Persoalan juga bisa terjadi, jika umat Islam cenderung hanya memahami kitab suci Al-Qur'an, secara ayat-per-ayat dan secara tekstual-harfiah, namun tidak memahaminya secara relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Semua persoalan inipun mestinya bisa relatif mudah diatasi, jika umat Islam mau "menggunakan akalnya", agar benar-benar bisa memahami ayat-ayat kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi, sekaligus juga bisa memahami tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya.

'Universalitas' ajaran-ajaran agama-Nya bisa dikembalikan, dengan cara berusaha memahami nilai-nilai universal (al-Hikmah) 'di balik' teks ayat-ayat Al-Qur'an (al-Kitab) dan teks Hadits-hadits Nabi. Sambil dicocokkan dan dilengkapi dengan pamahaman atas tanda-tanda kemuliaan dan kekuasaan-Nya di alam semesta ini. Hal paling idealnya, jika seluruh al-Hikmah itu bisa tersusun relatif lengkap, mendalan, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan. Dan tiap al-Hikmah mestinya bersifat universal (bisa melewati batas waktu, ruang dan budaya), agar bisa dipakai kapanpun, dimanapun dan oleh siapapun.

Sedangkan 'aktualitasnya' bisa dijaga (terutama oleh Majelis alim-ulama), dengan cara selalu berusaha melahirkan segala 'ijtihad' yang bersifat relatif sederhana, ringkas, praktis-aplikatif dan aktual, sesuai segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan umat manusia pada tiap negeri dan jamannya, terutama segala hal yang paling penting, mendasar dan hakiki, berdasar segala al-Hikmah tersebut. Padahal kitab suci Al-Qur'an dan kitab tauhid lainnya justru juga bentuk hasil "ijtihad yang lengkap dan sempurna" dari tiap nabi-Nya terkait, berdasar segala Al-Hikmah yang dimilikinya. Juga serupa halnya dengan sunnah para nabi-Nya.

Lebih baik lagi, jika Majelis alim-ulama bisa menyusun "kitab Al-Hikmah", beserta segala dalil-alasan-hujjah dan penjelasan yang kokoh-kuat di dalamnya, sebagai sumber pelajaran bagi para alim-ulama sebelum melahirkan ijtihad. "Kitab Al-Hikmah" ini minimal berupa sejumlah 'pemahaman bersama', yang relatif telah bisa diakui oleh seluruh aliran-golongan-mazhab di kalangan umat Islam. Tiap adanya 'pemahaman bersama' yang baru, lalu bisa ditambahkan ke jilid barunya. "Kitab Al-Hikmah" ini relatif tidak berubah bahkan sampai ahkir jaman, karena kandungan isinya memang bersifat universal. Relatif hanya berbagai dalil-alasan-hujjah dan penjelasannya yang bisa makin disempurnakan, sesuai kemajuan perkembangan ilmu-pengetahuan. Tetapi tiap Al-Hikmah-nya justru tetap tidak berubah, jika keseluruhan dalil-alasan-hujjahnya memang telah sulit terbantahkan (telah kokoh-kuat).

Keterbatasan waktu dan sifat manusiawi seorang nabi-Nya, tentunya tidak cukup memungkinkan baginya untuk langsung menyusun "kitab Al-Hikmah". Tiap Al-Hikmah juga relatif hanya disampaikannya secara lisan, kepada para pengikut terdekatnya yang telah amat berilmu saja. Di lain pihaknya, umat pada umumnya justru lebih memerlukan Al-Kitab dan Sunnah, sebagai sumber pengajaran dan tuntunan-Nya, untuk bisa menjawab persoalan kehidupan beragamanya sehari-hari.

Namun Majelis alim-ulama pada tiap negeri dan jaman, sebagai pewaris 'tugas' dan 'ajaran' para nabi-Nya, mestinya bisa menyusun "kitab Al-Hikmah" secara maraton dan bertahap. Khususnya agar pemahaman atas ajaran-ajaran agama-Nya tidak hanya semata diserahkan kepada masing-masing umat dan alim-ulama, serta hanya semata kepada hasil pemahaman para alim-ulama terdahuju. Namun Majelis alim-ulama pada tiap negeri dan jaman mestinya justru juga bisa melakukan hal yang serupa, untuk makin mempermudah pencapaian pemahaman yang relatif tinggi, bagi umat-umat yang amat berilmu dan para alim-ulama lainnya.

Bahkan lebih penting lagi, "kitab Al-Hikmah" inipun bisa bersandingan dan menjaga 'universalitas' kandungan isi kitab suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi, bahkan sampai ahkir jaman. Sedangkan segala hasil 'ijtihad' dari Majelis alim-ulama pada tiap negeri dan jaman, yang dilahirkan berdasar segala Al-Hikmah dalam "kitab Al-Hikmah", yang bisa menjaga 'aktualitasnya' sesuai perkembangan keadaan kehidupan umat. Bahkan "kitab Al-Hikmah" ini bisa relatif mewakili 'kehadiran' dan sekaligus pula 'pemahaman' nabi Muhammad saw, atas wahyu-wahyu-Nya di dalam kitab suci Al-Qur'an, sampai ahkir jaman.

Hakekat kenabian terakhir & perolehan kenabian

Kenabian terakhir pada nabi Muhammad saw seolah-olah hanya semata keyakinan subyektif dan pengakuan sepihak, dari umat Islam atau dari nabi Muhammad saw sendiri. Namun kenabian terakhir justru proses yang alamiah dan manusiawi, antara-lain karena: para nabi-Nya wajib melayani seluruh umatnya, yang berada dalam wilayah jangkauan interaksinya, dan sekaligus pula menjawab tiap persoalan pentingnya; makin lama, makin meningkat jumlah umat tiap nabi-Nya, makin luas jangkauan interaksi antar umat, serta makin kompleks dan luas persoalan umat; nabi Muhammad saw memperoleh wahyu-Nya sampai menjelang wafatnya (relatif paling lama dan sempurna); secara manusiawi, tiap nabi-Nya memiliki batas waktu, pengetahuan, kapasitas dan kemampuan untuk menjawab segala persoalan penting umatnya; dsb.

Dengan berjalannya waktu dan perkembangan keadaan kehidupan umat manusia, pengetahuan, kapasitas dan kemampuan tiap manusia untuk bisa memahami, menjawab dan melayani segala persoalan yang paling penting, mendasar dan hakiki dalam kehidupan kaumnya, secara alamiah dan manusiawi pasti berakhir sampai suatu waktu, begitu pula halnya dengan kenabian. Dengan kenyataan seperti itu, maka nabi Muhammad saw telah mewariskan 'tugas' dan 'ajarannya' kepada Majelis alim-ulama pada tiap negeri dan jaman (bukan hanya semata kepada alim-ulama secara perseorangan), karena segala persoalan kehidupan umat manusia, pada saat ini memang mustahil bisa diatasi hanya oleh seorang alim-ulama. Pada jaman dahulu, kehidupan umat manusia masih relatif sederhana, maka masih cukup hanya diatasi oleh seorang nabi-Nya. Juga serupa halnya yang terjadi pada seorang raja dan kepala suku pada jaman dahulu.

Tentunya wahyu dan kitab-Nya juga berakhir bersama kenabian terakhir tersebut. Karena wahyu, kitab dan kenabian adalah satu-kesatuan yang tidak terpisahkan. Walau tiap nabi-Nya tidak harus memiliki kitab-Nya, namun kitab-Nya hanya bisa dari seorang nabi-Nya. Wahyu-Nya tentunya juga hanya bisa dari seorang nabi-Nya, dan sebaliknya seseorang bisa menjadi nabi-Nya, hanya jika telah memperoleh wahyu-Nya secara relatif 'sempurna' (relatif lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan), untuk bisa pula menjawab segala keadaan, kebutuhan, tantangan dan persoalan kehidupan umat manusia, terutama segala hal yang paling penting, mendasar dan hakiki (hal-hal gaib dan batiniah). Dan tiap nabi-Nya tentunya juga mestinya amat konsisten mengamalkan wahyu-wahyu-Nya yang diperolehnya.

Proses perolehan wahyu, kitab dan kenabian adalah proses yang amat alamiah dan manusiawi. Dimulai dari proses perolehan ilmu, Al-Hikmah biasa, wahyu-Nya (Al-Hikmah yang sempurna dan lengkap) dan perolehan kenabian (pemahaman dan pengamalan yang sempurna dan konsisten). Juga bisa dengan ataupun tanpa disertai perolehan kitab-Nya. Tentunya proses penunjukan atau pemilihan tiap nabi-Nya oleh Allah, juga terjadi secara alamiah. Keyakinan dan keputusan masing-masing umatnya yang pada akhirnya secara alamiah memilih dan meyakini sesuatu kenabian, berdasar kesempurnaan segala ilmu dan amal yang dimiliki oleh seorang calon nabi-Nya, serta sekaligus menjadikannya sebagai contoh suri-teladan dan tokoh panutan. Sesuatu kenabian yang belum sempurna ilmu dan amalnya, tentunya juga secara alamiah relatif mudah diragukan, diabaikan atau bahkan ditinggalkan oleh umat, sebagai tokoh panutan bagi 'seluruh aspek penting' kehidupannya.

Tentunya ada pula proses yang tidak berlangsung normal atau ideal, seperti: umat tetap meyakini seseorang, yang belum sempurna kenabiannya; umat tidak meyakini para nabi-Nya lainnya (termasuk yang lebih sempurna ajarannya), akibat dari sikap iri-dengki kelompoknya kepada kelompok lainnya; ajaran-ajaran nabi-Nya belum benar-benar bisa dipahami oleh sebagian dari umatnya; setelah nabi-Nya meninggal dunia, ajaran-ajarannya dibelokkan oleh sebagian dari umatnya bagi kepentingan kelompoknya; dsb. Agama Islam justru membenarkan seluruh wahyu, kitab dan nabi-Nya, karena suatu yang 'benar' pasti hanya semata berasal dari Allah (bagaimanapun cara diperoleh, dari siapapun dan pada kitab manapun tertulis). Namun dalam agama Islam, wahyu, kitab dan kenabian pada nabi Muhammad saw diyakini 'paling lengkap dan sempurna'.

Dengan kenyataan seperti itu, maka dalam ajaran agama Islam, tidak dibenarkan adanya nabi-nabi baru setelah nabi Muhammad saw. Apalagi jika misalnya: menimbulkan segala kemudharatan dan perpecahan di kalangan umat Islam; hanya semata meneruskan ajaran para nabi-Nya; hanya melayani sebagian kecil umat; memiliki nafsu-keinginan pribadi; hanya telah mendengar 'suara bisikan' dari para makhluk gaib; menyimpang dari kebenaran-Nya di alam semesta ini; dsb.

'Suara bisikan' dari para makhluk gaib misalnya, justru sama sekali "tidak bernilai apa-apa", jika memang tidak sesuai kebenaran-Nya di alam semesta ini (ayat-ayat-Nya yang tak-tertulis dan tertulis). Bahkan banyak umat manusia yang telah mendengar 'suara bisikan' pada tiap jaman sampai saat ini, walau jumlahnya memang relatif amat terbatas.

Hakekat para makhluk gaib & ilham-bisikan-godaannya

Segala bentuk ilham-bisikan-godaan yang positif dan yang negatif di dalam pikiran tiap umat manusia, tiap saatnya selama hidupnya, pada dasarnya pasti berasal dari para makhluk gaib. Karena sejumlah para makhluk gaib itu (para malaikat, jin, syaitan dan iblis) memang bertugas di alam batiniah ruh tiap manusianya (alam pikirannya). Segala bentuk ilham itu pada dasarnya relatif serupa dengan segala bentuk informasi dari alat-alat indera fisik-lahiriah tiap manusia, yaitu: gambar, suara atau bunyi, bau, rasa (asin, manis, dsb), rabaan (kasar, lunak, dsb), dsb. Namun ilham itu bisa lebih lengkap lagi, karena alat-alat indera fisik-lahiriah hanya 'cerminan' sebagian dari kemampuan alat indera batiniah pada ruhnya (hati atau kalbu). Sedangkan 'visi' dan 'mimpi' pada dasarnya berupa sekumpulan besar ilham, yang positif-benar-baik dan yang negatif-sesat-buruk. 'Mimpi' adalah contoh lham-ilham yang relatif paling lengkap.

Segala ilham dari para makhluk gaib itu selalu memperkaya dan menghidupkan isi pikiran tiap manusia, tiap saatnya. Bahkan termasuk saat tiap manusianya justru sedang relatif 'tidak berpikir' sama sekali (pada saat melongo, melamun, mimpi, mengantuk, dsb). Karena ilham adalah 'tambahan' informasi bagi tiap manusia, di samping segala informasi yang murni ataupun langsung berasal dari alat-alat indera fisik-lahiriahnya (mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dsb). Maka segala ilham itu amat bermanfaat bagi tiap manusia dalam memperoleh tiap bentuk pengetahuannya, walau akal dan keyakinan hati-nuraninya justru pasti tetap berperanan, untuk memilih dan memutuskan nilai kebenarannya ('kebenaran relatif' menurut tiap manusianya). Tiap ilham adalah potongan amat kecil informasi yang bisa dipakai oleh tiap manusia, untuk menyusun tiap bentuk pengetahuannya (benar dan sesat). Maka segala ilham dari para makhluk gaib itu, selain sebagai bentuk rahmat-Nya secara batiniah, juga sekaligus sebagai bentuk ujian-Nya secara batiniah.

Penting untuk diketahui, bahwa para malaikat Jibril pada dasarnya tiap saatnya justru pasti selalu mengikuti tiap manusia (bukan hanya semata para nabi-Nya), untuk menyampaikan nilai-nilai kebenaran-Nya (memberikan segala bentuk ilham yang positif-benar-baik). Karena dari segi 'zatnya', para nabi-Nya memang hanya semata manusia biasa. Tetapi secara khusus, para malaikat Jibril biasanya hanya semata disebut sebagai penyampai 'wahyu-Nya' kepada para nabi-Nya (bukan kepada manusia biasa lainnya). Tentunya pembedaan inipun memang diperlukan, hanya semata demi menjaga kemuliaan wahyu-Nya. Dan manusia biasa lainnya memang relatif jauh daripada kesempurnaan para nabi-Nya, dalam memahami nilai-nilai kebenaran-Nya yang telah disampaikan oleh para malaikat Jibril.

Dan sebaliknya seperti halnya pada manusia biasa lainnya, para nabi-Nya juga tiap saatnya pasti selalu diikuti oleh para jin, syaitan dan iblis, dalam memberi segala bentuk ilham yang negatif-sesat-buruk. Perbedaan para nabi-Nya dengan manusia biasa lainnya sama sekali bukan pada 'ada ataupun tidaknya' kehadiran para makhluk gaib, namun justru hanya semata pada kemampuan tiap manusiannya, dalam memahami hal-hal yang diilhamkan, serta sekaligus pula kemampuannya dalam memilih dan memutuskan, untuk mengikuti atau mengamalkan sesuatu ilham ataupun tidak. Dan para nabi-Nya memang relatif paling bisa menghindar atau menjaga diri, dari tiap ilham-bisikan-godaan syaitan dan iblis, serupa halnya dengan umat-umat yang mukhlis lainnya.

Penting pula untuk diketahui, bahwa 'seluruh' para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis) pada dasarnya pasti selalu tunduk, patuh dan taat kepada-Nya (pasti melaksanakan segala perintah-Nya). Bahwa adanya pengelompokan mereka hanya semata untuk memudahkan manusia, dalam memahami tugas yang 'sedang' diperintahkan-Nya kepada masing-masing mereka. Bahkan tanpa diciptakan-Nya para jin, syaitan dan iblis, maka rencana atau kehendak-Nya untuk menguji keimanan tiap manusia (memberikan ujian-Nya secara batiniah), justru mustahil bisa berjalan. Dan bahkan 'tiap' makhluk gaib bisa menjadi malaikat, jin, syaitan atau iblis, tergantung kepada 'isi' ilham-bisikan-godaan yang 'sedang' disampaikannya kepada tiap manusia. Pengelompokan mereka itu (tingkat 'kekafirannya' kepada-Nya) hanya semata dari kepentingan dan sudut pandang manusia, bukan dari sudut pandang Allah. 'Kekafiran' mereka hanya sebagai pengajaran-Nya secara 'simbolik' bagi manusia. Dan keberadaan para jin, syaitan dan iblis justru sama sekali tidak mengurangi sedikitpun tiap kemuliaan-Nya.

Dari segi 'zatnya', zat ruh para malaikat, jin, syaitan dan iblis (bahkan juga segala zat ruh makhluk-Nya lainnya), pada dasarnya justru sama-sama diciptakan-Nya dari 'energi'. Sedangkan 'cahaya', 'api' dan 'api yang panas' pada dasarnya hanya sebutan lainnya dari 'energi', yang belum dikenal di jaman Nabi. Sehingga adanya penyebutan penciptaan dari 'cahaya' (para malaikat), dari 'api' (para iblis dan syaitan) dan dari 'api yang panas' (para jin), hanya semata agar secara 'simbolik' relatif membedakan 'sifat atau karakter sesaat' dari tiap makhluk gaib (relatif membedakan tugas yang 'sedang' diperintahkan-Nya).

Sekali lagi, 'zat ruh' pada tiap para makhluk gaib, justru 'persis sama' dengan 'zat ruh' pada segala makhluk-Nya lainnya (manusia, hewan, tumbuhan, sel, dsb). Wujud, sifat / fitrah, kemampuan dan keadaan 'dasar' pada segala zat ruh juga 'persis sama' pada saat awal diciptakan-Nya. Sifat-sifat dari tiap zat ruh lalu bisa menjadi berbeda-beda, hanya semata karena perbedaan keadaan lingkungan di sekitar tubuh wadah yang ditempatinya, dan juga perbedaan keinginannya masing-masing. Padahal sifat dari sesuatu zat adalah keinginan zat itu yang bisa terwujud (tergantung keadaan pada dirinya sendiri dan pada lingkungannya), serta sekaligus pula bisa diamati secara berulang-ulang oleh zat lainnya (termasuk diamati oleh manusia).

Dari 'suara bisikannya' melalui alam pikiran manusia, para makhluk gaib diketahui memiliki 'wujud asli' yang serupa manusia, yaitu: berbagai usia (dari suara bayi sampai lansia); berbagai bangsa (berbagai bahasa); berbagai jenis kelamin (suara pria, wanita, dan bahkan banci); dsb. Dari segi zatnya yang relatif hanya berupa zat ruh (relatif tanpa tubuh wadah fisik-lahiriah ataupun relatif hanya berupa 'materi terkecil'), maka mereka itupun amat sangat sedikit energi yang diperlukannya bagi kehidupannya (bisa hidup dimana saja di alam semesta ini, termasuk dalam tubuh manusia), serta juga amat sangat sederhana dan terbatas segala nafsu-keinginan fisik-lahiriah-duniawinya.

Tidak mengherankan jika meraka itu justru bisa amat sangat cerdas akalnya (relatif tanpa nafsu-keinginan yang bisa mengotori pengetahuannya), serta sekaligus pula paling memahami segala kekuasaan, kemuliaan dan kesempurnaan-Nya. Maka mereka itupun paling tunduk, patuh dan taat kepada-Nya, tanpa kenal lelah dan tanpa tidur. Termasuk mereka itu tiap saatnya bisa mengajari para nabi-Nya dan seluruh umat manusia lainnya; bisa amat cerdas menggoda tiap manusia tiap saatnya (mengkafirkan atau memberi segala ujian-Nya secara batiniah); bisa mengetahui isi pikiran tiap manusia, yang amat sangat halus, kecil atau sederhana sekalipun (sebesar biji zarrah); dsb.

Hakekat sunatullah, hukum alam & pelaksanaannya, serta kebebasan tiap makhluk-Nya

Segala kehendak dan perbuatan-Nya di alam semesta ini bersifat 'kekal' atau tidak pernah berubah, sejak awal penciptaan alam semesta ini, bahkan sampai kehancurannya ("jika dikehendaki-Nya"), serta perwujudannya terlaksana melalui 'sunatullah' (Sunnah Allah). Sunatullah berupa segala aturan atau rumus proses kejadian (lahiriah dan batiniah) di alam semesta ini, yang bersifat 'mutlak' (pasti terjadi) dan 'kekal' (pasti konsisten). Maka sunatullah itu juga bagian terpenting dari pengetahuan atau kebenaran-Nya, serta biasa disebut sebagai 'aturan, hukum atau ketentuan-Nya'.

Sunatullah pasti mengatur 'tiap saatnya', dari proses yang paling sederhana, sampai yang paling kompleks (seluruh alam semesta ini). Termasuk pula proses pemberian segala bentuk balasan-Nya 'tiap saatnya', secara 'setimpal' (nikmat dan siksaan-Nya, lahiriah dan batiniah). Di samping bersifat 'mutlak' dan 'kekal', sunatullah itu juga bersifat amat sangat kompleks, sempurna, teratur, alamiah, halus, tidak kentara (gaib) dan seolah-olah terjadi begitu saja pelaksanaannya.

Sunatullah pasti berlaku secara adil, sama, seragam dan universal, bagi segala zat ciptaan-Nya di seluruh alam semesta ini, sesuai segala keadaannya 'tiap saatnya' (lahiriah dan batiniah). Maka para nabi-Nya misalnya, justru sama sekali tidak diperlakukan-Nya secara 'khusus', 'istimewa' atau 'pilih kasih'. Segala keistimewaan para nabi-Nya justru diperolehnya secara alamiah, melalui segala usaha mereka sendiri yang relatif amat keras, dalam memahami tiap kebenaran-Nya, serta sekaligus pula mengamalkannya. Tentunya pasti ada balasan-Nya yang 'setimpal' atas tiap usaha manusia.

Penting diketahui pula, bahwa 'kebebasan' makhluk sama sekali tidak diatur dalam sunatullah. Dengan daya dan akalnya, tiap makhluk justru diberikan-Nya kebebasan tiap saatnya, untuk bisa mengubah-ubah berbagai keadaannya (lahiriah dan batiniah), sebelum berlakunya sunatullah sesuai segala keadaannya 'tiap saatnya' (dari hasil usahanya sendiri dan dari hasil pengaruh lingkungan di sekitar), yang menentukan segala keadaan akhirnya 'tiap saatnya' ('qadla-Nya').

Tiap makhluk pasti diberikan-Nya kebebasan, untuk berkehendak (batiniah) dan berbuat (lahiriah). Kebebasan tiap makhluk dalam berkehendak relatif tak-terbatas. Tiap manusia misalnya, secara batiniah bisa menjadi 'setengah' malaikat dan menjadi 'setengah' iblis. Sedangkan kebebasan tiap makhluk dalam berbuat memang relatif amat terbatas. Namun dengan kebebasan seperti ini, telah lebih dari cukup bagi tiap makhluk, untuk bisa mengatur atau menjalani kehidupannya di dunia ini. Dan manusia yang relatif paling tinggi kebebasan lahiriahnya (kebebasan dalam berbuat), sedangkan para makhluk gaib yang relatif paling rendah (paling terbatas).

Pelaksanaan sunatullah itu justru sama sekali bukan dilakukan langsung oleh Allah sendiri, namun dilakukan ataupun dikawal oleh sejumlah tak-terhitung para malaikat-Nya. Sehngga dalam pelaksanaan sunatullah, Allah hanya semata mengatur ataupun memberi segala perintah-Nya kepada para malaikat-Nya, yang justru pasti tunduk, patuh dan taat kepada-Nya. Bahkan segala perintah-Nya justru diberikan-Nya 'hanya sekali saja', dalam bentuk pemberian segala 'fitrah dasar' ke dalam tiap zat ruh para malaikat-Nya, pada saat awal penciptaan seluruh zat ruh itu sendiri.

Jika dicermati pula dengan amat teliti, manusia, hewan, tumbuhan, jin, syaitan dan bahkan iblis (lebih luasnya lagi, segala makhluk selain para malaikat-Nya), pada dasarnya justru juga ikut mengawal pelaksanaan sunatullah itu. Karena berdasar 'fitrah dasarnya', justru ada hal-hal tertentu yang pasti dilakukan oleh tiap makhluk (sadar ataupun tidak, lahiriah dan batiniah), pada tiap keadaan tertentu pula. Walau akibat adanya kekafiran manusia, syaitan ataupun iblis misalnya (lebih luasnya lagi, akibat adanya kebebasan tiap makhluk), memang menjadikannya relatif sulit dipahami sebagai pengawal sunatullah.

'Materi' atau 'benda mati' pada dasarnya justru wujud dari "'makhluk' yang paling sederhana dan terbatas". Karena pada tiap materi itu, dari yang berukuran paling kecil ('materi terkecil') sampai yang berukuran paling besar ('seluruh alam semesta ini'), pada dasarnya pasti 'ditempati' oleh tiap zat ruh malaikat-Nya (terutama malaikat Mikail), yang justru bertindak mengendalikan materinya. Telah biasa diketahui, salah-satu tugas yang diberikan-Nya kepada para malaikat Mikail, adalah menurunkan air hujan.

Para malaikat-Nya yang 'menempati' materi atau benda mati, pada dasarnya yang mewujudkan terlaksananya 'hukum alam' ('sunatullah lahiriah'), termasuk terlaksananya hukum gravitasi (hukum tarik-menarik antar benda mati). Hal ini juga bisa diamati dari senyawa-senyawa organik dan unorganik yang strukturnya amat rumit dan kompleks, dan sekaligus pula memiliki kestabilan tertentu, yang menunjukkan adanya 'kecerdasan' di balik kejadiannya.

Di lain pihaknya, pelaksanaan 'sunatullah batiniah' juga diwujudkan oleh sejumlah para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), yang tiap saatnya pasti menempati atau bertugas di alam batiniah ruh atau alam pikiran pada tiap makhluk lainnya (termasuk tiap manusia), terutama dalam memberikan segala bentuk ilham yang positif-benar-baik dan yang negatif-sesat-buruk. Hal ini tentunya di samping tugas-tugas lainnya, seperti: mencatatkan tiap amal-perbuatan manusia (oleh malaikat Rakid dan 'Atid), menyalurkan tiap informasi batiniah dalam pikiran manusianya (informasi pengetahuan), dsb.

Contoh pelaksanaan 'sunatullah batiniah' misalnya, tiap manusia diilhamkan rasa bersalah, sedih, menyesal atau hina oleh para makhluk gaib (biasa disebut 'beban dosa'), jika telah berbuat buruk (dosa). Dan sebaliknya diilhamkan rasa senang, bangga, tenang, tentram atau bahagia (biasa disebut 'pahala-Nya'), jika telah berbuat baik. Diilhamkan rasa tidak rela, sedih, kehilangan atau kecil-hati, jika keluarganya meninggal dunia. Diilhamkan rasa panik, sedih, marah atau kesal, jika haknya terganggu. Begitu pula segala hal lainnya yang terjadi di alam batiniah ruh tiap manusia (alam pikirannya), yang pasti mengikuti berbagai aturan tertentu, serta pasti sesuai segala keadaan pada tiap manusia itu sendiri, tiap saatnya.

Hakekat keadaan manusia (lahiriah & batiniah)

Segala keadaan lahiriah dan batiniah pada tiap zat ciptaan-Nya 'tiap saatnya', pada dasarnya bisa berasal dari segala hasil pengaruh interaksi zat itu dengan zat-zat lain di sekitar, serta dari segala hasil usaha atau perbuatan tiap zat itu sendiri, 'tiap saatnya'. Segala keadaan lahiriah dan batiniah pada tiap zat ciptaan-Nya, dari segala hasil pengaruh zat-zat lain di sekitar, pada dasarnya bisa terbagi 2, menjadi: 'ujian-Nya' (keadaan yang memberatkan) dan 'rahmat-Nya' (keadaan yang meringankan). Sebenarnya 'ujian-Nya' sama sekali tidak merugikan, dan 'rahmat-Nya' sama sekali tidak menguntungkan, bagi manusia yang mengalaminya, karena memang sama sekali bukan hasil dari perbuatannya sendiri (langsung ataupun tidak).

Manusia pasti memiliki keterbatasan di dalam mengatur-atur atau mengubah-ubah segala keadaan fisik-lahiriahnya (pada tubuhnya sendiri, harta-kekayaannya, kelurganya, dsb), antara lain karena: banyak hasil pengaruh dari segala zat fisik-lahiriah lain di sekitar (ujian dan rahmat-Nya secara lahiriah); relatif keras dan mahal usaha yang diperlukan, untuk bisa mengubah keadaan fisik-lahiriah; terlahir dengan keadaan fisik-lahiriah yang berbeda-beda; dsb.

Tetapi ke-Maha Adil-an Allah justru terletak pada 'proses' (usaha untuk mengubah keadaan), sama sekali bukan pada 'hasil' (keadaan) yang telah dialami oleh tiap makhluk. Dalam proses berusaha atau berbuat oleh tiap makhluk, dipengaruhi oleh: niat, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, tingkat keterpaksaan, beban ujian-Nya, beban tanggung-jawab, dsb. Hal-hal ini semuanya justru berupa ukuran batiniah (bukan ukuran lahiriah), yang hanya semata tiap makhluk itu sendiri, yang memiliki kebebasan, kekuasaan dan otoritas sepenuhnya, untuk mengatur atau mengubahnya.

Segala keadaan alam batiniah ruh pada tiap makhluk (alam pikirannya), memang hanya semata hak-milik makhluk itu sendiri. Segala makhluk juga sama sekali tidak bisa memiliki kekuasaan, atas alam batiniah ruh makhluk lainnya. Bahkan Allah justru sama sekali tidak mengatur-atur atau mengubah-ubahnya. Allah hanya semata menanamkan segala keadaan dan fitrah 'dasar' ke dalam tiap zat ruh makhluk, pada awal penciptaan zat ruhnya. Selanjutnya justru sama sekali tidak ada hasil pengaruh atau intervensi dari Allah (langsung ataupun tidak). Dan sebagai bentuk awal ke-Maha Adil-an Allah, segala makhluk (termasuk manusia) justru tercipta dengan keadaan alam batiniah ruh, yang sama-sama suci-murni dan tanpa dosa, walau keadaan tubuh fisik-lahiriahnya bisa berbeda-beda.

Hakekat manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi

Umat manusia dipilih atau ditunjuk-Nya sebagai khalifah-Nya (penguasa) di muka bumi ini (di dunia), dengan diberikan-Nya kebebasan dan kekuasaan hanya semata kepada tiap umat manusia, yang relatif paling sempurna dalam berkehendak dan berbuat selama di dunia ini, dibandingkan segala makhluk-Nya lainnya. Terutama dengan diberikan-Nya kombinasi 'akal' (pengetahuan dan kecerdasan untuk memilih) dan 'nafsu' (semangat dan keinginan untuk berkembang) yang relatif paling sempurna pada tiap umat manusia.

Nafsu tentunya hanya bisa sempurna, jika sempurna pula tubuh fisik-lahiriahnya yang bisa mewujudkan keinginannya. Sedangkan akal hanya bisa sempurna, jika sempurna pula alat-alat indera fisik-lahiriahnya yang bisa menyediakannya segala bentuk informasi bagi pengetahuannya. Tiap zat ruh makhluk-Nya memang memiliki akal dan nafsu, namun perbedaan segala keadaan fisik-lahiriahnya masing-masing, yang menjadikan kemampuan akal dan nafsunya bisa berbeda-beda (hanya ada perbedaan pemanfaatannya).

Akal dan nafsu pada berbagai zat ruh makhluk-Nya selain manusia, salah-satu atau keduanya relatif kurang sempurna. Hewan dan tumbuhan misalnya, kemampuan anggota tubuh dan alat indera fisik-lahiriahnya secara 'keseluruhan' relatif lebih rendah daripada manusia, walau ada 'sebagian' anggota tubuh dan alat inderanya yang kemampuannya bisa lebih sempurna daripada manusia. Juga secara 'keseluruhan', kemampuan akal dan nafsu yang bisa 'terwujud' pada hewan dan tumbuhan, relatif lebih rendah daripada manusia.

Sedangkan para makhluk gaib misalnya, justru relatif sama sekali tanpa memiliki tubuh fisik-lahiriah, sehingga segala nafsu-keinginan fisik-lahiriah-duniawinya juga relatif paling rendah (paling terbatas). Begitu pula halnya dengan kemampuan akalnya yang bisa 'terwujud', secara 'umum' relatif paling rendah.

Namun secara 'khusus', ada pula sebagian dari para makhluk gaib itu (malaikat, jin, syaitan dan iblis) yang justru pasti mengikuti, mengawasi dan menjaga tiap makhluk hidup nyata (termasuk manusia), melalui alam batiniah ruhnya (alam pikirannya). Sehingga para makhluk gaib inipun justru pasti mengetahui segala sesuatu hal yang telah diketahui oleh manusianya ('meminjam' pemakaian alat-alat indera lahiriah dan batiniah pada manusia), dan sekaligus tentunya bisa relatif jauh lebih cerdas daripada manusia.

Kemampuan akal para makhluk gaib ini bisa relatif jauh lebih cerdas atau sempurna daripada manusia, termasuk karena mereka memang relatif tanpa segala nafsu-keinginan fisik-lahiriah-duniawi yang bisa mengotori segala pengetahuannya. Contoh sederhananya, para malaikat Jibril justru bisa mengajari para nabi-Nya.

Secara umum, kebebasan yang sempurna pada manusia relatif tidak dimiliki oleh segala makhluk-Nya lainnya. Mereka relatif pasti tunduk, patuh dan taat kepada segala perintah-Nya (relatif pasti melaksanakan tugas yang diberikan-Nya). Hal ini amat berbeda daripada manusia, yang justru memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah-Nya.

Kalaupun seolah-olah ada kebebasan pada segala makhluk-Nya selain manusia, hal itu relatif hanya semata karena berragam hal-hal yang diperintahkan atau ditugaskan-Nya kepada mereka. Mereka itu hanya semata mengikuti "naluri", karena nafsu-keinginannya justru relatif amat stabil atau tenang (terkadang juga disebut "tanpa nafsu"). Kemampuan dan keinginannya relatif hanya semata untuk mengabdi kepada-Nya. Segala perbuatannya juga relatif amat teratur atau konsisten. Maka hewan yang paling buas dan liar misalnya, justru bisa relatif mudah dikendalikan oleh manusia.

Kebebasan dan kesempurnaan pada manusia justru sekaligus sebagai suatu bentuk ujian-Nya yang relatif paling sempurna bagi manusia, dibandingkan ujian-Nya bagi segala makhluk-Nya lainnya. Bahkan hal ini telah dikuatirkan oleh para malaikat, ketika manusia akan ditunjuk-Nya sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini, karena tiap manusia justru bisa menghinakan dirinya sendiri (berbuat kerusakan, berbunuh-bunuhan, dsb). Namun begitu Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah pula memberi kemampuan kepada manusia, yang 'mestinya' bisa dipakainya untuk mengatasi segala bentuk ujian-Nya, yang justru berupa kemampuan dari hasl 'mengasah' akal dan 'menenangkan' nafsunya sendiri.

Wujud dari kekuasaan khalifah-Nya yang sebenarnya justru berada pada kehidupan spiritual-batiniah di alam batiniah ruhnya masing-masing (alam pikirannya). Dimana umat manusia justru memiliki kebebasan, kekuasaan dan otoritas sepenuhnya untuk mengatur atau mengubah segala keadaan di alam pikirannya sendiri (dengan akal-pengetahuan dan nafsu-keinginannya sendiri). Bahkan Allah dan segala makhluk-Nya lainnya memang tidak bisa mengaturnya (Allah tidak berkehendak mengaturnya).

Sedangkan pada kehidupan fisik-lahiriah, umat manusia justru relatif amat terbatas kebebasan, kemampuan dan kekuasaannya untuk bisa mengaturnya, walau umat manusia memang relatif paling sempurna akal-pengetahuan dan nafsu-keinginannya. Dan akal dan nafsu memang berada pada tiap zat ruh makhluk-Nya (di alam batiniah ruhnya).

Hakekat qadla-Nya & qadar-Nya (takdir-Nya)

Sunatullah pasti berlaku setimpal atau sesuai segala proses berusaha atau berbuat yang dilakukan oleh tiap manusia 'tiap saatnya'. Sunatullah sekaligus pula mengatur segala proses pemberian balasan-Nya (nikmat dan siksaan-Nya) bagi tiap manusia 'tiap saatnya', secara lahiriah dan terutama secara batiniah, dari hasil amal-perbuatannya 'tiap saatnya'. Karena hanya 'amat sangat sesaat' saja setelah sesuatu perbuatan 'telah' ataupun 'sedang' dilakukan, lalu sunatullah langsung pula menentukan segala keadaan akhir 'sesaat', bagi manusia pelakunya, sesuai dengan segala proses berusahanya dan segala keadaan awalnya 'tiap saatnya' (keadaan 'sesaat' sebelum perbuatan itu dilakukannya).

Segala keadaan akhir 'tiap saatnya' ini biasa disebut sebagai 'qadla-Nya', sekaligus sebagai bentuk balasan-Nya 'tiap saatnya'. Dan keadaan atau qadla-Nya yang 'paling awal' secara batiniah bagi segala makhluk-Nya, tentunya sama-sama suci-murni dan tanpa dosa (sebagai bentuk awal ke-Maha Adil-an Allah).

"Qadla-Nya adalah keadaan yang 'mustahil bisa dipilih-pilih' lagi oleh tiap manusia". Karena memang tidak ada waktu lagi untuk sempat melakukan usaha lainnya. Sedangkan "qadar-Nya adalah keadaan yang 'masih bisa dipilih-pilih' lagi oleh tiap manusia&quot, dengan segala usahanya untuk mengubah-ubah keadaannya. Qadla-Nya sedikit berbeda daripada qadar-Nya, walau pada dasarnya sama-sama berupa segala keadaan pada tiap manusia (lahiriah dan batiniah), sama-sama mustahil bisa 'diubah' (hanya bisa 'dipilih'), serta juga sama-sama hanya berlangsung 'amat sangat sesaat' saja (kira-kira secepat perubahan arah pikiran manusia, atau selang waktu 'paling kecil' antara dua usaha yang paling berdekatan, secara lahiriah dan batiniah).

Letak perbedaan antara qadla dan qadar-Nya hanya semata pada kerangka 'waktu' terjadinya. Qadla-Nya adalah keadaan saat 'sekarang', dan qadar-Nya adalah keadaan saat 'nantinya'. Maka suatu qadar-Nya hanya salah-satu pilihan dari sejumlah qadar-Nya, yang 'nantinya' akan bisa terjadi. Juga qadar-Nya tercapai setelah melalui sejumlah qadla-Nya.

Pernyataan "Allah menentukan qadla dan qadar-Nya" memang bisa benar, namun kurang lengkap. Pernyataan yang lebih lengkap, "Allah menentukan qadla dan qadar-Nya, berdasar segala keadaan dan usaha manusia terkait". Tetapi jika tidak dinyatakan secara lengkap, maka manusia justru bisa dianggap seperti halnya 'robot' (relatif tanpa kebebasan sama sekali). Padahal dengan daya dan akalnya, tiap manusia justru telah diberikan-Nya kebebasan, agar bisa berusaha mengubah-ubah keadaannya sebelum berlaku sunatullah tiap saatnya, yang menentukan atau mewujudkan qadla-Nya baginya tiap saatnya.

Penting diketahui, qadar atau takdir-Nya relatif hanya bermanfaat disebut justru 'setelah' terjadinya, bukan 'sebelumnya' (relatif belum memiliki arti). Karena Allah justru bukan menentukan qadar-Nya relatif 'jauh' sebelum terjadinya, tetapi hanya 'amat sangat sesaat' saja sebelumnya. Juga karena umat manusia bukan makhluk yang konsisten (relatif tanpa terhindar dari kesalahan atau kekafiran, keimanannya bisa naik ataupun turun), ada segala pintu taubat-Nya, ada kemurtadan, dsb. Pernyataan seperti, "qadar-Nya baginya pada Hari Kiamat adalah ….", juga relatif kurang bermanfaat, 'kecuali' bagi seseorang atau sekelompok orang yang memang benar-benar telah bertindak relatif amat berlebihan atau melampaui batas (amat zalim, seperti Fir'aun), atau sebaliknya telah relatif amat terjaga atau stabil keimanannya (seperti para nabi-Nya).

Hakekat perbuatan manusia, ke-Maha Adil-an Allah & balasan-Nya

Tiap perbuatan manusia pada dasarnya terdiri dari sejumlah 'potongan amat kecil' perbuatan, yang hanya berlangsung 'amat sangat sesaat' saja (kira-kira secepat perubahan arah pikiran manusia). Sedangkan di antara 'tiap' 2 'potongan amat kecil' perbuatan itu justru ada perbuatan Allah (melalui sunatullah), yang mewujudkan qadla-Nya baginya 'tiap saatnya' (balasan-Nya). Sehingga tiap perbuatan manusia berupa suatu rangkaian panjang secara berselang-seling, antara perbuatan manusianya sendiri dan perbuatan Allah, yang masing-masingnya hanya berlangsung 'amat sangat sesaat' saja, serta sekaligus pula membentuk suatu rangkaian panjang qadla-Nya (balasan-Nya).

Daya dan perbuatan Allah (melalui sunatullah) pasti selalu menyertai 'di belakang' tiap perbuatan manusia tiap saatnya (baik dan buruk, lahiriah dan batiniah), sebagai suatu bentuk 'rahmat-Nya' (meringankan manusia dalam menjalani kehidupan), dan sekaligus sebagai bentuk 'balasan-Nya' yang setimpal tiap saatnya (nikmat dan siksaan-Nya). Pada tiap perbuatan manusia, hanya semata kehendak, daya dan perbuatan manusianya sendiri yang mengawali, menciptakan atau memicunya. Sedangkan hanya semata kehendak, daya dan perbuatan Allah yang mengakhiri atau mewujudkannya secara setimpal. Allah hanya berkehendak baginya, jika manusianya sendiri justru menghendakinya. Manusia mestinya bertanggung-jawab atas tiap perbuatannya, bukan tanggung-jawab Allah. Tiap perbuatan manusia adalah perbuatan manusia yang sebenarnya, bukan perbuatan Allah.

Misalnya, nelayan bertindak memasang layar kapalnya, namun justru Allah Yang meniupkan angin dan membawa kapalnya itu ke tujuannya. Tetapi jika berbagai keadaan terkait memang tidak memungkinkan, agar bisa ditiupkan-Nya angin ataupun dibawa-Nya kapal misalnya, maka hal itupun mustahil bisa terjadi (ada aturan atau proses yang pasti dan jelas). Mustahil bisa terjadi misalnya, jika nelayannya justru tidak memasang layar kapalnya atau kapalnya masih dijangkarkannya.

Namun perlu diketahui pula, ke-Maha Adil-an Allah dalam tiap perbuatan manusia justru terletak pada balasan-Nya secara batiniah (pahala-Nya dan beban dosa), dan bukan pada balasan-Nya secara lahiriah (rejeki dan azab-Nya). Karena segala keadaan batiniah ruhnya justru sepenuhnya hanya semata bisa diatur oleh manusianya sendiri, sedangkan segala keadaan lahiriahnya masih bisa dipengaruhi oleh zat-zat lahiriah lain di sekitarnya (rahmat dan ujian-Nya secara lahiriah). Balasan-Nya secara batiniah pasti 'adil' atas tiap perbuatan manusia, serta dipengaruhi oleh: niat, tingkat kesadaran atau pengetahuan, tingkat keimanan, tingkat keterpaksaan, beban tanggung-jawab, beban ujian-Nya, dsb.

Sekali lagi, 'rahmat dan ujian-Nya' (lahiriah dan batiniah) pada hakekatnya sama sekali 'tidak menguntungkan' dan 'tidak merugikan' manusia yang mengalaminya, karena sama sekali bukan hasil dari perbuatannya sendiri (langsung ataupun tidak). Balasan-Nya tetap pasti 'adil' atas tiap perbuatan manusia, terhadap adanya rahmat dan ujian-Nya. Makin berat beban ujian-Nya yang 'sedang' dialaminya dalam berbuat, maka makin besar 'pahala-Nya' dari tiap amal-kebaikannya, dan sebaliknya makin kecil 'beban dosa' dari tiap amal-keburukannya. Sedangkan makin besar rahmat-Nya yang 'sedang' dialaminya dalam berbuat, maka makin kecil 'pahala-Nya' dari tiap amal-kebaikannya, dan sebaliknya makin besar 'beban dosa' dari tiap amal-keburukannya. Dan ujian-Nya (memberatkan) memang relatif berkebalikan dari rahmat-Nya (meringankan).

Hakekat ujian-Nya (lahiriah & batiniah)

'Ujian-Nya' (lahiriah dan batiniah) bagi tiap manusia memang sama sekali bukan berasal langsung dari Allah, dan juga bukan berasal dari manusianya sendiri. Ujian-Nya hanya semata berasal dari hasil interaksi manusianya dengan zat-zat ciptaan-Nya lain di lingkungan sekitar ataupun di alam semesta ini. Ujian-Nya secara lahiriah berasal dari hasil interaksinya dengan zat-zat fisik-lahiriah lain di sekitarnya. Sedangkan ujian-Nya secara batiniah berasal dari hasil interaksinya dengan para makhluk gaib, yang justru pasti selalu mengikuti di alam pikirannya (para malaikat, jin, syaitan dan iblis). Dan segala ujian-Nya secara lahiriah pada puncaknya pasti berubah menjadi ujian-Nya secara batiniah.

Segala bentuk ujian-Nya (lahiriah dan batiniah) memang bukan berasal langsung dari Allah. Namun Allah pasti ikut bertanggung-jawab, karena segala ujian-Nya memang bagian dari rencana atau kehendak-Nya, untuk bisa menguji keimanan tiap manusia, agar bisa membangun kemuliaannya sendiri (ataupun sebaliknya). Serta Allah juga pasti tetap berlaku adil, karena segala ujian-Nya memang bukan tanggung-jawab tiap manusia yang mengalaminya. Tidak ada seorang manusiapun yang sama sekali tidak pernah menghadapi ujian-Nya tiap saatnya selama hidupnya, hanya berbeda-beda bentuk ujian-Nya masing-masing. Dan secara batiniah, orang-orang yang paling bersabar adalah orang-orang yang paling kuat dan tahan banting di antara seluruh umat manusia, karena mereka itu relatif paling mampu menghadapi tiap ujian-Nya.

Tiap manusia justru mestinya pasti bisa mengatasi segala bentuk dan berat beban ujian-Nya (lahiriah dan batiniah). Karena 'beban' ujian-Nya justru hanya berupa ukuran yang bersifat batiniah. 'Beban' ujian-Nya adalah tingkat perbedaan antara keadaan lahiriah yang 'telah terwujud atau terpenuhi' dan keadaan lahiriah yang 'lebih diinginkan' oleh tiap manusia. Dengan mengatur-atur keinginan batiniahnya, tiap manusia justru mestinya bisa mengatasi tiap bentuk dan berat beban ujian-Nya, seperti halnya yang telah bisa dilakukan oleh orang-orang yang bersabar.

Hakekat alam & kehidupan akhirat, serta akhlak & budi-pekerti

Tiap perbuatan manusia (lahiriah dan batiniah), pada dasarnya pasti mengubah segala keadaan terkait pada alam batiniah ruhnya (alam pikiran), secara pasti setimpal atau pasti sesuai segala prosesnya dalam berusaha atau berbuat. "Alam batiniah ruh" tiap manusia ("alam pikirannya") adalah wujud dari "alam akhiratnya". Sehingga tiap manusia pasti memiliki alam dan kehidupan akhiratnya masing-masing. Sedangkan segala "keadaan alam batiniah ruhnya" itu adalah wujud dari "keadaan kehidupan akhiratnya", selama di dunia dan sejak Hari Kiamat (saat zat ruhnya kembali ke hadapan-Nya, saat berakhirnya kehidupan dunianya, atau saat kematiannya). Sehingga melalui tiap amal-perbuatannya selama di dunia ini, tiap manusia pada dasarnya justru juga 'langsung' membentuk atau membangun keadaan kehidupan akhiratnya.

Lebih lanjutnya lagi, tiap keadaan alam batiniah ruh justru bersifat 'kekal', setelah diubah oleh manusianya, melalui tiap amal-perbuatannya selama di dunia ini (baik atau buruk). Berbagai keadaan alam batiniah ruh ini terutama yang berupa 'pahala-Nya' dari tiap amal-kebaikan dan 'beban dosa' dari tiap amal-keburukannya. Hanya semata di dunia ini diberikan-Nya kesempatan untuk bisa mengubah atau membangun keadaan kehidupan akhiratnya (keadaan alam batiniah ruhnya). Sejak Hari Kiamat, segala amal-perbuatannya telah terputus (tidak diperhitungkan atau tidak dipertimbangkan-Nya lagi), dan juga tidak diterima-Nya lagi segala taubat dan syafaat. Dan taubat dan syafaat mestinya telah berupa berbagai amal-kebaikan selama di dunia ini.

Pemahaman atas sunatullah yang mengatur hal-hal batiniah ('sunatullah batiniah'), justru paling penting dalam beragama, dan juga relatif paling dikuasai oleh para nabi-Nya. Karena sunatullah batiniah justru terkait langsung dengan usaha pembangunan kehidupan akhirat tiap manusia (menata keadaan alam batiniah ruh atau alam pikirannya). Hal inipun bisa mudah diketahui, dari amat banyaknya anjuran-Nya bagi umat dalam ajaran-ajaran agama Islam, agar umat membangun segala bentuk akhlak dan budi-pekerti yang positif, yang pada dasarnya bertujuan untuk bisa membentuk keadaan kehidupan akhiratnya, yang makin baik.

Bahkan puncak pelaksanaan tiap ajaran agama-Nya (termasuk segala bentuk ritual dan amal-ibadah di dalamnya), pada dasarnya justru berupa pembentukan segala akhlak dan budi-pekerti yang positif (kepada Allah, diri sendiri, keluarga, tetangga, makhluk lain, alam, dsb). Bahkan nabi Muhammad saw diutus-Nya untuk bisa menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia (menyempurnakan keadaan kehidupan akhiratnya).

Hakekat taubat & syafaat

Syafaat (baik dan buruk) adalah bahan pelajaran (positif dan negatif) yang diambil dari sesuatu hal oleh tiap manusia, lalu pelajaran itupun diyakini dan juga diamalkannya. 'Tiap' syafaat (baik dan buruk, pelajaran positif dan negatif) justru hanya semata terkait dengan 'tiap' amal-perbuatan selama di dunia ini (baik dan buruk, lahiriah dan batiniah), yang juga telah dilakukan oleh tiap manusia penerima syafaatnya (pengambil pelajaran). Syafaat 'baik' dari nabi Muhammad saw misalnya (pelajaran positif dari Nabi), mestinya telah diamalkan oleh umat menjadi tiap amal-kebaikannya. Dan syafaat 'baik' yang belum diamalkan, syafaat 'buruk' ataupun segala syafaat sejak Hari Kiamat (saat segala amalan telah terputus), juga tentunya pasti tidak diterima-Nya.

Syafaat 'baik' itu bisa dari: Allah, malaikat-Nya; nabi-Nya; wali; alim-ulama; orang beriman; manusia biasa; benda mati; dsb. Sedangkan syafaat 'buruk' bisa dari: jin, syaitan dan iblis; ilah selain Allah; orang kafir; manusia biasa; benda mati; dsb. Para 'pemberi' syafaat ini tentunya bersifat 'relatif', tergantung pelajaran yang diambil darinya oleh tiap manusia (bisa syafaat baik atau buruk). Segala syafaat 'baik' pada puncaknya pasti dari Allah. Syafaat dari Nabi tentunya melalui kitab suci Al-Qur'an dan Sunnah Nabi (Hadits Nabi), yang bisa menolong umat, yang telah benar-benar mengamalkan ajaran-ajarannya.

Hakekat tiap makhluk-Nya pada 'zat ruhnya' (bukan pada sosok atau tubuh fisik-lahiriahnya). Sedangkan hakekat 'nilai' tiap makhluk-Nya di hadapan-Nya, justru hanya semata pada segala amal-perbuatannya selama di dunia ini (segala keadaan alam batiniah ruh, atau keadaan kehidupan akhiratnya), bahkan juga sama sekali tidak terkait dengan amal-perbuatan orang lainnya (termasuk para nabi-Nya). Para nabi-Nya itu hanya semata mengajari, agar umatnya bisa melakukan tiap amal-kebaikannya sendiri. Sama sekali tidak ada pertolongan dari para nabi-Nya kepada umatnya, selain dari melalui pengamalan atas ajaran-ajarannya.

Taubat adalah usaha untuk bisa relatif 'menutupi' atau 'memperringan' beban dosa, dari amal-keburukan yang telah dilakukan (bukan 'menghapus' atau 'menghilangkannya'), dengan melakukan berbagai amal-kebaikan (lahiriah dan batiniah). Dari hasil bertaubat, jumlah nilai beban dosa justru pasti tetap tidak berubah, namun jumlah nilai pahala-Nya yang biasanya meningkat, dari berbagai amal-kebaikan yang dilakukan dalam bertaubat. Sedangkan 'taubat bisa diterima-Nya', jika berbagai pahala-Nya yang diperoleh, memang 'sesuai atau terkait' dengan berbagai beban dosanya. Serta jumlah pahala-Nya terkait itu 'lebih positif' daripada jumlah beban dosa terkait. Sehingga tiap beban dosa terkait ini bisa relatif 'ditutupi' atau 'diperringan', tetapi sama sekali bukan 'dihapus' atau 'dihilangkan'. Beban dosa memang bersifat 'kekal' sejak diperoleh (mustahil dihapus), namun bisa relatif makin diperringan melalui taubat.

Usaha bertaubat atas kesalahan kepada seseorang misalnya, justru kurang sesuai atau terkait, jika bukan dengan meminta maaf langsung kepada orang tersebut, terutama jika kesalahan itu telah terwujud secara lahiriah (tidak hanya berada dalam pikiran). Kalau perlu, kepadanya juga dilakukan amal-kebaikan yang sesuai lainnya.

Taubat justru juga bisa terjadi secara 'otomatis' (tanpa dilakukan secara sadar), jika memang makin banyak bisa dilakukan segala amal-kebaikan, sekaligus makin banyak bisa dikurangi segala amal-keburukan. Juga termasuk jika makin lama tiap amal-keburukan bisa ditinggalkan (beban dosanya bisa relatif makin ringan bersama berjalannya waktu). Syafaat 'baik' yang telah bisa diamalkan, pada dasarnya juga sama dengan taubat secara 'otomatis' ini.

Hakekat Hari Kiamat & kebangkitan, serta bantahan atas reinkarnasi & Imam Mahdi

Pada hakekatnya ada 2 jenis Hari Kiamat, yaitu: Hari Kiamat 'kecil' (kematian 'tiap' manusia) dan Hari Kiamat 'besar' (akhir jaman / kematian 'seluruh' manusia). Sejak Hari Kiamat, 'zat ruh' pada tiap manusia yang telah meninggal dunia justru tetap ada, walau tubuh fisik-lahiriahnya memang telah hancur-terurai. Serta zat ruhnya lalu kembali ke hadapan-Nya dan ia hidup 'kekal' di alam arwah (alam ruh) dan di alam akhirat, sampai alam semesta ini hancur-musnah ("jika dikehendaki-Nya").

Kehidupan manusia sejak Hari Kiamat di alam arwah, pada dasarnya relatif serupa dengan kehidupan para makhluk gaib, saat ini. Namun tiap manusia tentunya pasti sambil mendapatkan segala bentuk balasan-Nya yang setimpal (nikmat dan siksaan-Nya), atas tiap perbuatannya selama hidup di dunia ini. Kehidupan tiap manusia di alam arwah adalah wujud kehidupannya di alam akhirat yang 'sebenarnya' atau 'murni' (tidak lagi 'bercampur' dengan kehidupan fisik-lahiriah-duniawinya). Sedangkan 'seluruh' kehidupan akhirat tiap makhluk justru berlangsung sepanjang umur zat ruhnya. Maka kehidupan di alam rahim, di alam dunia dan di alam kubur justru hanya sebagian saja dari kehidupan di alam akhirat. Dan kehidupan akhirat (aspek batiniah) sebenarnya justru sedang berlangsung bersamaan dengan kehidupan dunia saat ini (aspek lahiriah) (QS.30:7).

Kebangkitan 'hidup kembali' tiap manusia sejak Hari Kiamat, adalah 'hidup kembali' di alam arwah, serupa dengan kehidupan nabi Adam as saat 'sebelum' turun ke dunia ini (hidup di Surga), bukan hidup kembali di alam fisik-lahiriah-duniawi, yang serupa dengan kehidupan dunia saat ini. Serta bukan pula kebangkitan hidup kembali tubuh wadah fisik-lahiriah semula dari kuburannya, yang justru hanya terkait tak-langsung dengan proses "penciptaan makhluk", yang memang berlangsung terus-menerus atau berulang-ulang. Tubuh fisik-lahiriah semula justru pasti tetap hancur-terurai dalam kuburannya (kembali menjadi tanah), lalu zat-zat yang terurai itupun bisa bermanfaat bagi "penciptaan makhluk 'lain'" berikutnya (dari tanah).

Kebangkitan 'hidup kembali' nabi Isa as dan nabi Ilyas as justru persis sama dengan kebangkitan 'hidup kembali' umat manusia lainnya 'pada' Hari Kiamat (bukan 'sebelum' Hari Kiamat, 'sebelum' akhir jaman dan 'pada' akhir jaman). Nabi Isa as, nabi Ilyas as dan tiap manusia lainnya yang telah meninggal dunia, bahkan saat ini sedang 'hidup kembali' di alam arwah (alam ruh), serta telah melewati Hari Kiamatnya masing-masing.

Imam Mahdi pada dasarnya 'tidak ada', serta pemahaman tentang keberadaannya justru mengandung banyak mistis-tahayul dan kultus individu yang amat berlebihan, yang tidak ada bandingannya di dalam agama Islam. Bahkan jauh melebihi pengkultusan kepada para nabi-Nya, walau pengkultusan itu sendiri justru amat diharamkan. Sosok dan waktu kedatangan Imam Mahdi bahkan tidak jelas. Serta proses kedatangan dan hal-hal yang dilakukannya bahkan tidak bersifat 'alamiah' dan 'manusiawi'. Keberadaan Imam Mahdi pada dasarnya timbul dari kekeliruan pemahaman, tentang "kebangkitan 'hidup kembali' nabi Isa as 'pada' Hari Kiamat", serta amat dipengaruhi pula oleh ajaran agama Nasrani.

Secara sekilas, konsep kebangkitan 'hidup kembali' di dalam ajaran agama Islam, 'seolah-olah' serupa dengan konsep 'reinkarnasi' di dalam ajaran agama Hindu dan Budha. Namun di dalam agama Islam tidak dikenal dan amat diharamkan konsep 'reinkarnasi', terutama karena konsep ke-Maha Adil-an Tuhan di dalamnya 'kurang jelas' (bercampur baur antara aspek fisik-lahiriah-dunia dan aspek spiritual-batiniah-akhirat).

Padahal aspek lahiriah bersifat 'semu' dan 'fana', sebaliknya aspek batiniah bersifat 'hakiki' dan 'kekal'. Sehingga kedua aspek inipun mustahil bisa dibandingkan, dicampurkan dan dipertukarkan. Juga karena pada 'reinkarnasi', relatif lenyap nilai-nilai kemanusiaan, kemuliaan dan tanggung-jawab manusia atas tiap perbuatannya (bercampur baur berbagai fase kehidupan dunia, melalui wujud makhluk yang berbeda-beda, dengan satu zat ruh).

Konsep ke-Maha Adil-an Tuhan justru amat jelas di dalam ajaran agama Islam, karena hanya terletak pada aspek spiritual-batiniah-akhirat, yang justru hanya semata kebebasan, kekuasaan dan otoritas sepenuhnya pada tiap makhluknya sendiri, yang bisa mengatur atau mengubahnya. Serta tiap bayi terlahir dengan segala keadaan alam batiniah ruh yang sama (suci-murni dan tanpa dosa), walau segala keadaan lahiriahnya memang berbeda-beda.

Bahkan nilai-nilai kemanusiaan, kemuliaan dan tanggung-jawab manusia atas tiap perbuatannya juga amat jelas (hanya ada satu fase kehidupan dunia, satu wujud makhluk dan satu zat ruh). Serta pasti ada balasan-Nya yang setimpal dan langsung 'tiap saatnya', melalui alam batiniah ruhnya (pahala-Nya dan beban dosa), atas tiap perbuatannya (tanpa 'tertunda', dan tanpa melalui beberapa fase kehidupan berikutnya). Lalu hal yang terjadi atas tiap 'zat ruh' makhluk, setelah kembali ke hadapan-Nya sejak Hari Kiamat, hanya semata diserahkan kepada-Nya. Kehidupan tiap makhluk berakhir dengan hidup kekal di alam arwah, sesuai segala perbuatannya selama di dunia ini.

Hakekat perbuatan dosa (besar & kecil)

Perbuatan dosa (perbuatan buruk / amal-keburukan) adalah perbuatan yang telah dilakukan secara 'berlebihan' atau 'melampaui batas', sehingga merusak keseimbangan lahiriah dan terutama batiniah di alam semesta ini, secara langsung ataupun tidak, pada diri pelakunya sendiri, keluarga dan orang-lain, alam, dsb. Perbuatan dosa membentuk siksaan batin pada pelakunya sendiri ('beban dosa'), karena terjadi pertentangan batin antara kesadarannya dalam berbuat dosa, melawan kesadaran pada hati-nuraninya, yang timbul dari segala pengetahuan 'relatif'-nya tentang kebenaran-Nya.

Makin kecil tingkat kesadaran di dalam berbuat dosa (makin sedikit pengetahuan), makin kecil pula beban dosanya. Seorang bayi misalnya, justru masih suci-murni dan tanpa dosa, karena ia memang sama sekali belum memiliki kesadaran atau pengetahuan dalam berbuat.

Perbuatan dosa besar adalah perbuatan yang telah amat parah merusak berbagai keseimbangan batiniah pada diri pelakunya sendiri (pertentangan batin atau beban dosa yang amat berat), maka telah amat sulit untuk bisa dimaafkan-Nya (taubatnya amat sulit diterima-Nya). Selain karena memang amat sedikit pilihan amal-kebaikan yang bisa relatif 'menutupi' atau 'meringankan' beban dosanya, juga karena amal-kebaikannya amat berat untuk bisa dilakukan. Hal sebaliknya bagi dosa-dosa kecil.

Dosa-dosa besar selain 'kemusyrikan' (menyembah tuhan selain Allah), mestinya tidak menjadikan pelakunya terusir dari agama Islam, namun tingkat keimanannya telah turun amat drastis, karena mengandung kezaliman dan kemunafikan yang amat berat. 'Kemusyrikan' dalam hal ini adalah kemusyrikan lahiriah yang memang relatif amat berat (menyembah secara lahiriah melalui ritual ibadah), dan bukan kemusyrikan batiniah yang relatif ringan (menyembah secara batiniah kepada: harta, tahta, wanita, anak, keluarga, dsb). Dan dosa-dosa besar biasanya diancam-Nya dengan neraka, karena beban dosanya memang amat berat.

Hakekat Surga & Neraka (besar & kecil)

'Surga' dan 'neraka' adalah 'rangkuman simbolik' atas segala keadaan alam batiniah ruh tiap manusia (keadaan kehidupan akhirat atau keadaan alam pikiran), yang tersusun dari sejumlah tak-terhitung 'pahala-Nya' ('surga kecil') dan 'beban dosa' ('neraka kecil'), yang telah diperolehnya melalui sejumlah tak-terhitung amal-kebaikan dan keburukannya selama hidup di dunia ini. Maka 'surga' ('surga besar') adalah 'rangkuman simbolik' atas segala keadaan alam batiniah ruh, yang 'lebih banyak' jumlah nilai pahala-Nya daripada jumlah nilai beban dosanya ("jumlah nilai amalannya positif"). Dan hal yang sebaliknya tentunya bagi 'neraka' ('neraka besar'), yang "jumlah nilai amalannya negatif".

Tentunya pasti hanya semata hak-milik Allah, Yang Maha Mengetahui nilai dan jumlah amalan tiap manusia. Bahkan para nabi-Nya hanya sekedar mengetahui "rasio atau perbandingan relatif" nilai amalan antar tiap amal-perbuatan. Misalnya, pahala-Nya bagi amalan tertentu relatif 'sekian kali' dari pahala-Nya bagi amalan tertentu lainnya.

Surga dan neraka biasanya dikaitkan dengan keadaan manusia sejak Hari Kiamat, walau sebenarnya bisa keadaan alam batiniah ruh kapan saja, bersama dengan keberadaan zat ruhnya sendiri. Bahkan nabi Adam as dan Siti Hawa misalnya, pada awalnya justru tinggal di Surga, karena sejak awal penciptaan zat ruh mereka sampai berusia akil-baliq, segala keadaan alam batiniah ruh merekapun memamg masih suci-murni dan tanpa dosa. Lalu nabi Adam as dan Siti Hawa diturunkan atau diusir-Nya dari Surga, segera setelah mereka melanggar perintah-Nya. Bahkan hal serupa terjadi pula pada syaitan dan iblis.

Firman Allah "turunlah, keluarlah atau pergilah dari Surga" kepada nabi Adam as, Siti Hawa, syaitan dan iblis, terjadi karena keadaan alam batiniah ruh mereka memang telah 'mulai' mengandung dosa, akibat telah melanggar perintah-Nya. Hal ini sama sekali bukan "turun dari Surga ke Bumi (dunia)", namun tepatnya "turunnya tingkat kemuliaan mereka". Bahkan hal ini justru dialami pula oleh seluruh umat manusia lainnya, yang telah mulai melewati usia akil-baliqnya (telah mulai melakukan dosa-dosa pertamanya). Ajaran-ajaran agama-Nya pada dasarnya bertujuan untuk relatif mengembalikan tiap manusia, ke keadaan atau fitrah dasarnya yang suci-murni dan tanpa dosa (relatif mengembalikan kemuliaan awalnya).

'Surga' dan 'neraka' bukan nama-nama 'tempat' di alam akhirat, namun hanya tiap rangkuman atau gambaran umum atas segala keadaan alam batiniah ruh tiap manusia. Tiap manusia pasti memiliki surga dan nerakanya masing-masing. Nikmat dari pahala-Nya ('surga kecil') dan siksaan dari beban dosa ('neraka kecil') pada dasarnya bersifat 'kekal' sejak diperolehnya, serta bisa langsung dirasakan pula selama di dunia ini. Namun tiap manusia relatif sering lalai atas tiap 'pahala-Nya' (kurang menghargai tiap amal-kebaikan) dan tiap 'beban dosanya' (kurang menyesali tiap amal-keburukan).

Sejak Hari Kiamat, segala nikmat dan siksaan-Nya juga pasti 'disempurnakan-Nya', yang amat halus, kecil atau sederhana sekalipun (sebesar biji zarrah). Karena tiap manusia yang mengalaminya memang mulai berada pada kehidupan akhiratnya yang 'sebenarnya' atau 'murni' (tidak lagi 'bercampur' dengan kehidupan fisik-lahiriah-duniawi). Juga karena sejak Hari Kiamat itu, telah dibukakan-Nya segala kebenaran-Nya (dibukakan, dibacakan atau diberitakannya catatan amalan tiap manusia, oleh para malaikat Rakid dan 'Atid).

Maka sejak Hari Kiamat, telah tidak ada lagi segala kesibukan fisik-lahiriah-duniawi, yang bisa menjadikan manusia lalai terhadap kehidupan akhiratnya. Dan juga tiap manusia telah bisa mengetahui tiap amal-perbuatannya, secara amat detail (baik dan buruk), yang dilakukannya selama di dunia ini (termasuk bisa mengetahui tiap kemuliaan dan kehinaan, keuntungan dan kerugian, dsb, yang telah ditimbulkannya).

Juga sejak Hari Kiamat, secara alamiah seperti halnya yang terjadi selama hidup di dunia ini, tiap manusia bisa 'berpindah-pindah' dari 'surga kecil' ke 'neraka kecil', ataupun sebaliknya. Perpindahan ini tentunya hanya berupa perubahan keadaan alam batiniah ruh tiap manusia (alam pikirannya), dari waktu ke waktu, tergantung tiap amal-perbuatannya yang 'sedang' dibukakan, dibacakan atau diberitakan oleh para malaikat Rakid dan 'Atid.

Tetapi sejak Hari Kiamat itu, tiap 'surga kecil' (pahala-Nya) berupa keadaan pikiran yang relatif amat mulia, senang, riang, ringan, damai, tenang, tentram, bahagia, dsb, atas tiap amal-kebaikan selama di dunia ini. Sedangkan tiap 'neraka kecil' (beban dosa) berupa keadaan pikiran yang relatif amat terhina, resah, susah, sedih, sengsara, tersesat, bersalah, menyesal, berat, dsb, atas tiap amal-keburukan. Dan semua keadaan ini tentunya relatif jauh lebih sempurna daripada keadaan yang serupa, yang diperoleh selama di dunia ini.

Wallahu a'lam bishawwab.

Lingkup cakupan isi buku

Seluruh pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya) yang telah terungkap pada buku "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW" itu, pada dasarnya hanya mencakup tentang dasar-dasar pokok aqidah agama Islam, atau hanya pada lingkup pembahasan ilmu ushulluddin (ilmu kalam, ilmu tauhid atau ilmu theologi), beserta hal-hal yang terkait di sekitarnya.

Lebih lengkapnya, hal-hal yang terungkap atau relatif bisa terjawab pada buku itu, antara lain:

Lingkup cakupan isi buku (hal-hal yang terjawab)

Bagaimana cara Allah berkehendak, bertindak dan berbuat di alam semesta ini;

Apa hakekat dari kebebasan, kehendak, perbuatan dan daya tiap manusia, serta kaitannya dengan kehendak, perbuatan dan daya Allah;

Bagaimana proses dari tiap amal-perbuatan manusia, serta proses pemberian balasan-Nya secara setimpal, atas tiap amalan itu;

Bagaimana cara Allah berlaku 'adil' bagi segala makhluk-Nya, sesuai tugas-amanat dan amal-perbuatannya masing-masing (dari segala jenis zat makhluk, lama usia hidup, tingkat pengetahuan & kesadaran, beban tanggung-jawab, kedudukan & keadaan lahiriah, dsb);

Apa hakekat dari Qadla dan Qadar-Nya (takdir-Nya), dan bagaimana cara Allah menentukan takdir-Nya (nasib) bagi tiap zat makhluk-Nya, serta bagaimana cara tiap manusia bisa berusaha 'memilih' takdir-Nya (mustahil bisa 'mengubahnya');

Bagaimana cara Allah berkehendak menurunkan mu'jizat-Nya bagi para nabi-Nya, memberikan rejeki-Nya, menimpakan azab-Nya, menentukan kematian, dsb;

Apa hakekat dari agama dan kitab-Nya (agama dan kitab tauhid), serta kaitannya dengan Fitrah Allah (sifat-sifat terpuji dan mulia Allah);

Bagaimana cara Allah bertindak menurunkan wahyu, kitab dan agama-Nya;

Bagaimana transformasi perubahan bentuk kitab dan wahyu-Nya, dari bentuknya langsung dari Allah, sampai bentuknya yang biasa dikenal saat ini oleh umat Islam (Al-Qur'an dan ayat-ayatnya);

Bagaimana cara Allah memelihara kitab suci Al-Qur'an;

Apa kaitan antara alam semesta, pengetahuan dan wahyu-Nya, akal, hati-nurani dan pengetahuan para nabi-Nya, serta kaitannya dengan para makhluk gaib-Nya (terutama malaikat mulia Jibril);

Apa kaitan antara pengetahuan, Al-Hikmah, kenabian, dan Al-Kitab (Al-Hikmah yang terungkap, melalui kitab-kitab-Nya dan sunnah-sunnah para nabi-Nya);

Apa hakekat dari 'hijab-tabir-pembatas' antara Allah dan tiap makhluk-Nya, serta kaitannya dengan pengetahuan 'mutlak' Allah di alam semesta dan pengetahuan 'relatif' manusia;

Apa hakekat dari 'Arsy-Nya, yang amat mulia dan agung, serta kaitannya dengan pengetahuan pada Allah dan manusia;

Apa hakekat dari kitab mulia (Lauh Mahfuzh) di sisi 'Arsy-Nya, serta berbagai hal yang tercatat di dalamnya;

Apa hakekat dari 'kembali' ke hadapan 'Arsy-Nya (bagi 'zat' ruh di Hari Kiamat, dan bagi 'keadaan batiniah' ruh selama di kehidupan dunia ini), serta kaitannya dengan peristiwa 'Isra Mi'raj, yang dialami oleh Nabi;

Apa hakekat dari 'sunatullah' (sunnah Allah atau perbuatan Allah, lahiriah dan batiniah), serta kaitannya dengan hukum alam (lahiriah) dan segala pengetahuan pada manusia;

Apa kaitan antara sunatullah dan segala zat ruh ciptaan-Nya (terutama zat ruh para malaikat), serta apa kaitan antara zat ruh makhluk-Nya dan materi-benda mati;

Bagaimana cara memahami sifat-sifat Allah, serta persoalan dalam memahaminya (termasuk yang telah menimbulkan segala bentuk kemusyrikan);

Bagaimana Allah bertindak mengutus para nabi dan rasul utusan-Nya;

Apa hakekat dari 'kenabian terakhir' pada nabi Muhammad saw, serta hakekat dari agama Islam dan Al-Qur'an sebagai agama dan kitab tauhid terakhir;

Bagaimana kemustahilan atas turunnya 'nabi baru', setelah nabi Muhammad saw;

Bagaimana kemustahilan anggapan atas turunnya nabi Isa as dan Imam Mahdi, 'pada Hari Kiamat', serta apa hakekat dari dibangkitkan-Nya hidup kembali nabi Isa as, nabi Yahya as dan seluruh manusia lainnya, 'pada Hari Kiamat';

Apa hakekat dari ruh, fitrah dan hati-nurani manusia;

Apa sifat-sifat dari zat ruh makhluk-Nya, serta elemen-elemennya (akal, nafsu, hati/kalbu, hati-nurani, catatan amalan, dsb);

Bagaimana proses berpikir manusia, serta bagaimana cara akalnya mengendalikan semua elemen ruh lainnya (akal sebagai pengendali satu-satunya);

Apa kekeliruan atau kesalahan pada teori 'reinkarnasi';

Bagaimana pengabdian segala zat ruh makhluk-Nya kepada-Nya, serta hambatan atas pengabdiannya itu, dari adanya kehidupan dunia (fisik-lahiriah-nyata);

Apa hakekat dan tujuan dari diciptakan-Nya kehidupan dunia, yang bersifat fana;

Apa hakekat dari penunjukan umat manusia sebagai 'khalifah-Nya' (penguasa) di muka Bumi (dunia), serta apa kelebihan dan kekurangan manusia dibanding segala makhluk-Nya lainnya;

Apa hakekat dari kehidupan akhirat (termasuk kehidupan di surga dan di neraka pada Hari Kiamat), serta kaitannya dengan kehidupan batiniah ruh tiap manusia di dunia;

Apa hakekat dari Hari Kiamat, dan kejadian-kejadian di sekitarnya (kebangkitan; pertemuan, pengumpulan; penyaksian; penghisaban; pengadilan, pemutusan dan pembalasan), serta kaitannya dengan kematian atas tiap makhluk-Nya (termasuk manusia);

Apa hakekat dari 'syafaat', serta kaitannya dengan amal-perbuatan tiap manusia, pengajaran-Nya dan proses penyaksian pada Hari Kiamat;

Apa hakekat dari 'mau dan tidak mau' bersujudnya para makhluk gaib kepada Adam (khususnya para malaikat dan iblis), pada saat awal penciptaan Adam;

Bagaimana 'wujud asli' dari para makhluk gaib, yang amat cerdas itu, serta tugas-amanatnya masing-masing yang diberikan-Nya;

Apa hakekat dari pengelompokan para makhluk gaib (malaikat, jin, syaitan dan iblis), serta kaitannya dengan keseimbangan segala pengajaran-Nya dan ujian-Nya secara batiniah bagi manusia;

Apa hakekat dari 'ilham', 'bisikan' atau 'godaan' dari para makhluk gaib, pada alam batiniah ruh tiap manusia;

Bagaimana cara berinteraksi antara para makhluk gaib dan manusia (terutama melalui 'bisikan suara' dari para makhluk gaib), pada interaksi secara 'terselubung atau tersembunyi', dan secara 'terang-terangan';

Apa kaitan antara 'Ruh', 'Atom'/'materi terkecil' dan 'Energi', sebagai elemen paling dasar penyusun keseluruhan alam semesta ini;

Bagaimana proses-proses awal penciptaan alam semesta, sesuai konsep kosmogoni dan kosmologi di dalam ajaran agama Islam;

Apa kekeliruan-kesalahan teori ilmuwan barat, tentang asal-muasal kehidupan makhluk di Bumi, serta apa kekeliruan-kesalahan teori 'big bang', teori 'evolusi' ataupun teori 'anti-materi';

Bagaimana proses dan siklus ringkas dalam penciptaan makhluk hidup nyata, dari benih dasar tubuh wadahnya (tanah liat kering dari lumpur berwarna hitam, dan air mani);

Bagaimana proses ringkas dalam penciptaan nabi Adam as, Hawa, nabi Isa as, dan manusia pada umumnya, serta berbagai kasus khusus dalam penciptaannya;

Apa kaitan antara syariat, pengalaman rohani-moral-spiritual, akhlak dan keadaan kehidupan akhirat (keadaan alam batiniah ruh);

Apa hakekat dari 'jalan hidup' tiap manusia dan 'jalan-Nya yang lurus';

Apa hakekat dari 'ujian-Nya' (lahiriah dan batiniah), serta batas kemampuan tiap manusia dalam menghadapinya;

Dan masih banyak lagi;

Penutup

Segala puji bagi Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan Tuhannya alam semesta ini yang sebenarnya. Maha suci Allah, Tuhan Yang memiliki segala kemuliaan dan keagungan, Yang Maha memiliki dan menciptakan segala sesuatu hal di alam semesta ini, serta Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Sempurna, Maha Mengetahui dan Maha Benar.

Ya Allah, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak untuk disembah selain Engkau, dan aku bersaksi bahwa nabi Muhammad saw adalah utusan-Mu.

Ya Allah, hanya Engkau pemilik segala kebenaran dan kesempurnaan. Sedangkan hanya kami hamba-hamba-Mu pemilik segala keterbatasan, kekurangan, kekeliruan dan kesalahan. Karena itu, kami memohon segala ampunan dan taubat kepada-Mu, atas segala kekeliruan dan kesalahan kami. Serta limpahkanlah segala ilmu yang benar dan kemuliaan kepada kami. Hanya kepada-Mu kami pasti kembali dan mestinya kami berserah-diri, atas segala sesuatu urusan kami. Karena itu, ringankanlah segala urusan kami di dunia ataupun di akhirat. Hanya kepada-Mu kami meminta segala pertolongan dan perlindungan. Karena itu, berikanlah kami segala pertolongan dan perlindungan, atas segala bentuk ujian-Mu.

Juga seperti halnya do'a Imam Al-Ghazali, "kumohon Anda bersedia memohonkan ampunan bagiku, dari tersesatnya pena dan tergelincirnya kaki. Karena dalam keberanian mengarungi lautan rahasia-rahasia Ilahi, adalah sesuatu tindakan yang amat berbahaya. Usaha untuk menyingkap cahaya-cahaya di persada tinggi, di balik berbagai 'hijab', adalah sesuatu langkah yang tidak mudah. Segala puji bagi Allah Rabbul 'Alamin, shalawat untuk Sayyidina Muhammad beserta keluarganya yang baik-baik dan tersucikan".

Dan akhirnya, tiap pemahaman pada tulisan inipun sama sekali bukan pemahaman yang 'paling benar' atau 'pasti benar'. Sehingga kritik dan saran dari para pembaca justru amat diharapkan, agar bisa diperoleh segala pemahaman Al-Hikmah (hikmah dan hakekat kebenaran-Nya), yang relatif makin 'mendekati' pemahaman pada nabi Muhammad saw, atas wahyu-wahyu-Nya yang diperolehnya.

Minimalnya dengan ukuran kedekatan pemahamannya ini, adalah relatif konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan, secara keseluruhan. Juga jauh lebih baik lagi, jika bisa relatif lengkap dan mendalam. Namun sesuai keyakinannya masing-masing, tentunya tiap umat Islam juga bisa memiliki ukuran kedekatan yang lainnya.

Wassalam.

Artikel / buku terkait:

Beranda: "Islam, agama universal"

Buku on-line: "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW"

Al-Qur'an on-line (teks Arab, latin dan terjemah)

Download terkait:

Al-Qur'an digital (teks Arab, latin dan terjemah) (chm: 2,45MB)

Buku elektronik (chm): "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW" (+Al-Qur'an digital) (chm: 5,44MB)

Buku elektronik (pdf): "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW" (pdf: 8,04MB)

Buku elektronik (chm + pdf): "Menggapai Kembali Pemikiran Rasulullah SAW" dan Al-Qur'an digital (zip: 15,9MB)

 

12 Balasan ke Resensi buku hikmah

  1. adam ketjil berkata:

    Assalamu ‘alakum Wr Wb Pak Syarif dan Rekan2 Pembaca
    Mohon Ijin Belajar dan mengunduh buku ini ya pak

    Terima kasih

    Adam Ketjil S.Fil
    RIAU

  2. Ping balik: Manusia Dan Agama | saiful runardi

  3. Terima kasih dapat memperoleh pelajaran yang sangat berharga dari tulisan Bapak. Dengan keterbatasan saya dalam Bahasa Arab, dan keterbatasan saya dalam penguasaan Ilmu Agama saya, karena saya tidak pernah belajar di pesantren, saya ingin mengikuti petunjuk Allah bahwa menuntut ilmu itu adalah kewajiban sebagai mahluk yang tertinggi derajat-Nya. Amin.
    Wallahu ‘alam bishawwab,

  4. Anonim berkata:

    Asslamualaikum wr.wb
    Terimakasih sangat membantu

  5. Anonim berkata:

    Bagus sekali semoga bermanfaat

  6. Anonim berkata:

    Alhamdulillah mudah2han menambah wawasan
    Masih pak Syarif maharim

Buat komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.